Template information

Home » , » Kajian Kitab Al-Waroqot : Hakikat dan Majaz

Kajian Kitab Al-Waroqot : Hakikat dan Majaz

وَمن وَجه آخر يَنْقَسِم إِلَى حَقِيقَة ومجاز
فالحقيقة مَا بَقِي فِي الِاسْتِعْمَال على مَوْضُوعه وَقيل مَا اسْتعْمل فِيمَا اصْطلحَ عَلَيْهِ من المخاطبة
وَالْمجَاز مَا تجوز عَن مَوْضُوعه
 والحقيقة إِمَّا لغوية وَإِمَّا شَرْعِيَّة وَإِمَّا عرفية
وَالْمجَاز إِمَّا أَن يكون بِزِيَادَة أَو نُقْصَان أَو نقل أَو اسْتِعَارَة
فالمجاز بِالزِّيَادَةِ مثل قَوْله تَعَالَى : لَيْسَ كمثله شَيْء
وَالْمجَاز بِالنُّقْصَانِ مثل قَوْله تَعَالَى : واسأل الْقرْيَة
وَالْمجَاز بِالنَّقْلِ كالغائط فِيمَا يخرج من الْإِنْسَان
وَالْمجَاز بالاستعارة كَقَوْلِه تَعَالَى : جدارا يُرِيد أَن ينْقض

Terjemahan
Dari sisi lainnya, kalam terbagi menjadi haqiot dan majas
Haqiqot (kata yang sebenarnya) adalah kalam yang dalam penggunaannya tetap sesuai dengan ketentuan asalnya. Ada juga yang mengatakan bahwa kalam yang digunakan sesuai dengan istilah yang dipakai dalam pembicaraan.

Majaz (kata kiasan) adalah kalam yang melewati ketentuan asalnya.

Haqiqot adakalanya lughowiyah (haqiqot menurut bahasa), haqiqot syar’iyyah (haqiqot menurut syari’at Islam) dan urfiyyah (haqiqot menurut adat/kebiasaan).

Majaz adakalanya dengan tambahan, pengurangan, pemindahan atau peminjaman kata (isti’aroh).

Majaz dengan tambahan seperti firman Alloh ta’ala;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha melihat” (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Majaz dengan pengurangan, seperti firman Alloh ta’ala;

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ

“Dan tanyalah (penduduk) negeri” (Q.S. Yusuf : 82)

Majaz dengan pemindahan, seperti pemindahan kata “al-gho’ith” (الغائط) yang digunakan untuk menunjukkan arti kotoran yang keluar dari manusia.

Majaz dengan isti’aroh seperti firman Alloh ta’ala;

جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ

“Dinding rumah yang hampir roboh” (Q.S. Al-Kahfi : 77)

Penjelasan
1. Haqiqot Lughowiyyah adalah kata yang penggunaannya sesuaai dengan ketentuan bahasa. Contohnya kata “asad” (أسد) yang diucapkan untuk menunjukkan arti salah satu jenis binatang buas, pengucapan ini sesuatu dengan penetapan asli kata tersebut dalam bahasa arab, sebab kata tersebut terkadang digunakan sebagai gelar bagi orang yang pemberani.

2. Haqiqot syar’iyyah adalah kata yang penggunaannya mengikuti istilah syari’at agama. Contohnya kata “sholat”(صلاة) yang asalnya berarti “do’a”, seperti kata sholat yang terdapat pada firman Alloh;

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Q.S. At-taubah : 103)

Namun kata “sholat” dalam penggunaannya mengarah pada satu bentuk ibadah secara khusus. Jadi setiap kata ‘sholat” disebutkan dalam suatu dalil maka pertama akan mengarah pada arti sholat sebagai suatu ibadah secara khusus, bukan berarti do’a. Semisal kaqta sholat yang terdapat pada firman Alloh;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan kalian dirikan sholat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman".(Q.S. Yunus : 87)

3. Haqiqot Urfiyyah adalah kata yang penggunaannya mengikuti kebiasaan secara umum. Contohnya adalah kata “dabbah” (دابة) yang menurut penetapan asli dalam bahasa arab artinya adalah “semua hewan yang melata diiatas bumi”, sebagaimana kata dabbah yang terdapat pada firman Alloh;

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang melata di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitabkemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan” (Q.S. Al-An’am : 38)

Namun dalam kebiasaan (urf) pengucapan keseharian, kata dabbah dimaksudkan untuk menunjukkan “hewan berkaki empat”, seperti sapi, kambing atau unta, sebagaimana penggunaan kata dabbah dalam hadits;

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلِّي عَلَى دَابَّتِهِ مِنَ اللَّيْلِ، وَهُوَ مُسَافِرٌ مَا يُبَالِي حَيْثُ مَا كَانَ وَجْهُهُ» قَالَ ابْنُ عُمَرَ: «وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّي عَلَيْهَا المَكْتُوبَةَ

“'Abdullah bin 'Umar rodliyallohu 'anhuma ketika bepergian pernah shalat malam diatas tunggangannya ke arah mana saja tunggangannya menghadap. berkata, Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma: "Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat sunnat diatas tunggangan Beliau ke arah mana saja menghadap dan juga melaksanakan shalat witir di atasnya. Hanya saja Beliau tidak melaksanakan yang demikian untuk shalat wajib" (Shohih Bukhori, no.1098)

4. Contoh majaz dengan tambahan adalah firman Alloh;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha melihat” (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Huruf kaf (ك) yang terdapat pada kata mitslihi (مثله) adalah kaf za’idah (huruf tambahan) yang tidak diartikan, sebab huruf kaf tersebut artinya sama dengan kata “mitslu” yaitu “seperti/menyerupai”. Karena itulah kalimat ini disebut majaz dengan ziyadah, yaitu tambahan huruf kaf.

5. Contoh majaz dengan pengurangan adalah firman Alloh;

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ

“Dan tanyalah (penduduk) negeri” (Q.S. Yusuf : 82)

Ayat diatas membuang kata “ahli” (اهل) yang tempatnya terletak sesudah kata “وَاسْأَلِ” artinya penduduk, sebab tidak mungkin yang ditanya desanya, tentu yang ditanya adalah penduduk desanya. Karena itu kalimat ini disebut majaz naqs larena mengurangi satu kata, yaitu kata “ahli’ dari kalimat tersebut.

6. Contoh majaz dengan pemindahan, seperti pemindahan kata “al-gho’ith” (الغائط) yang digunakan untuk menunjukkan arti kotoran yang keluar dari manusia. Arti sebenarnya kata “gho’ith” adalah tempat yang biasa digunakan untuk buang air, sebagaimana yang digunakan dalam ayat;

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu” (Q.S. An-Nisa’ : 43)

Kemudian kata gho’ith yang berarti tempat dipindah untuk menunjukkan arti “kotoran yang keluar dari manusia” (tinja), seperti yang terdapat pada hadits;

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ

“Sungguh beliau (Rosululloh) telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar” (Shohih Muslim, no.262)

7. Contoh majaz dengan peminjaman adalah firman Alloh;

جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ

“Dinding rumah yang hampir roboh” (Q.S. Al-Kahfi : 77)

Pada ayat diatas dikisahkan bahwa tembok tersebut “ingin” (يريد) padahal “keinginan” adalah sifat bagi makhluk hidup sedangkan tembok merupakan benda mati, tapi saat tembok tersebut menjadi miring dan hendak roboh, temboh tersebut dikatakan “ingin” roboh.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

0 komentar:

Posting Komentar