Template information

Download Kitab At-Targhib Wat-Tarhib - Al-Yafi'i


Judul kitab : At-Targhib Wat-Tarhib

Penulis : Syekh Abdulloh bin As'ad Al-Yafi'i

Muhaqqiq : Muhammad Faris

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1996

Link download (PDF) : Klik disni

Download Kitab At-Targhib Wat-Tarhib - Qiwamus Sunnah




Judul kitab : At-Targhib Wat-Tarhib

Penulis : Syekh Ismail bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Jauzi Al-Ashbihani (Qiwamus Sunnah)

Muhaqqiq : Aiman bin Sholeh bin Sya'ban

Penerbit : Darul Hadits

Cetakan : -

Tahun : 1993

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3

Download Kitab At-Targhib Wat-Tarhib - Al-Mundziri


Judul kitab : At-Targhib Wat-Tarhib

Penulis : Imam Al-Hafidh Abdul Adhim bin Abdul Qowiy Al-Mundziri

Muhaqqiq : Abu Shuhaib Al-Karmi

Penerbit : Baitul Afkar Ad-Dauliyah - Arab Saudi

Cetakan : -

Tahun : -

Link download (PDF) : Klik Di sini

Hukum Buang Air Kecil (Kencing) Sambil Berdiri


Pertanyaan:
Assalamu alaikum..
Bagaimana hukumnya kencing sambil berdiri?

(Dari: Choirul Mustaqim EL-Chikam)


Jawaban:

Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Menurut pendapat mayoritas ulama' 4 madzhab, kencil sambil berdiri hukumnya makruh, berdasarkan beberapa hadits, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Jabir radhiyallahu 'anhu;

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang seorang lelaki kencing sambil berdiri" (Sunan Baihaqi, no.496)

dan hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu 'anha;

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقْهُ، مَا بَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا مُنْذُ أُنْزِلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ

"Barang siapa menceritakan kepadamu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam buaar kecil sambil berdiri maka maka kamu jangan mempercayainya, Rasulullah tidak pernah buang air kecil sambil berdiri sejak diturunkannya Al-qur'an kepada beliau". (Musnad Ahmad, no.25045).

Namun apabila ada udzur, diperbolehkan kencing sambil berdiri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا

"Aku pernah berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri" (Shahih Bukhari, no.224 dan Shahih Muslim, no.273).

Imam Nawawi menjelaskan, berdasarkan hadits diatas (yang mengsahkan bahwa Nabi buang air kecil sambil berdiri) dan beberapa hadits yang melarang kencing sambil berdiri para ulama' ahli fiqih menyimpulkan bahwa kencing sambil berdiri itu hukumnya makruh, kecuali apabila ada udzur. Para ulama' menjelaskan beberapa alasan mengapa Nabi pernah buang air kecil sambil berdiri, diantara mereka menjelaskan bahwa ketika itu nabi buang air sambil berdiri karena saat itu tak ada tempat untuk duduk akhirnya beliau terpaksa buang air kecil berdiri, sedangkan tempat pembuangan sampahnya tinggi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kencing sambil berdiri hukumnya makruh kecuali apabila ada udzur, seperti tidak memungkinkannya kencing sambil duduk. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)


Referensi:
1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Jilid: 34  Hal: 9

يكره عند جمهور الفقهاء أن يبول الرجل قائما لغير عذر، لحديث عائشة رضي الله عنها قالت: من حدثك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بال قائما فلا تصدقه ، وقال جابر رضي الله عنه: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبول الرجل قائما -إلى أن قال- فإن كان لعذر فليس بمكروه اتفاقا، قال الشافعية: بل ولا خلاف الأولى، لما ورد عن حذيفة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما، فتنحيت فقال: ادنه، فدنوت حتى قمت عند عقبيه فتوضأ فمسح على خفيه

2. Syarah Shahih Muslim Lin-Nawawi, Jilid: 3  Hal: 165-166

وأما سبب بوله صلى الله عليه وسلم قائما فذكر العلماء فيه أوجها حكاها الخطابي والبيهقي وغيرهما من الأئمة -إلى أن قال- والثالث أنه لم يجد مكانا للقعود فاضطر إلى القيام لكون الطرف الذي من السباطة كان عاليا مرتفعا -إلى أن قال- فلهذا قال العلماء يكره البول قائما إلا لعذر وهي كراهة تنزيه لا تحريم

Infaq Untuk Situs Fiqih Kontemporer



Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh,

Kaum muslimin, pembaca situs FIKIH KONTEMPORER yang budiman,
Dengan rahmat dan taufiq dari Allah, website fikih kontemporer mendapat kemudahan untuk terus membahas pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai permasalahan agama di grup fiqh kontemporer dan mengupdate hasil-hasl diskusi tersebut di website fikih kontemporer.

Misi utama program ini tidak lain adalah untuk mempermudah umat islam memperoleh jawaban mengenai masalah hukum-hukum Islam dengan jawaban yang valid karena jawaban diambil dari referensi-referensi yang jelas, baik itu dari qur'an, hadits, maupun penjelasan para ulama' dalam kitab-kitab fikih.

Saat ini situs Fikih Kontemporer telah memiliki lebih dari 1.000 artikel (dan setiap harinya terus bertambah, insya Allah) yang sebagian besar berupa hasil keputusan diskusi tanya jawab di grup fiqh kontemporer, dan selebihnya adalah fatwa-fatwa para ulama', link-link download kitab-kitab yang dibutuhkan sebagai sarana pembelajaran, dan artikel-artikel bermanfaat lainnya.

Perlu diketahui, bahwa saat ini member grup fiqh kontemporer berjumlah lebih dari 17.000, sedangkan admin grup yang aktif hanya 4 orang yang berbagi tugas dan saling membantu untuk memantau jalannya diskusi, mengawrahkan dan ikut memberikan masukan jawaban masalah yang ditanyakan, selain itu ada juga yang memutuskan kesimpulan jawaban akhir kemudian membuatkan dokumen hasilnya di grup dan mempostingnya di situs fikih kontemporer.

Untuk itu, kami mengharapkan partisipasi anda untuk mendukung kami dengan cara infaq pulsa (mengisi pulsa) ke nomer:

0856 0780 3081

atau

0852 5914 6186

Kami berharap, semoga semua partisipasi Anda dalam proyek dakwah ini menjadi amal jariyah dalam bentuk ilmu, yang akan terus mengalir pahalanya.

Demikian, semoga Allah memberkahi usaha dakwah kita.

Wassalamu’alaikum waraohmatulloh wabarokatuh

Solusi Bagi Orang Meragukan Batalnya Wudhu

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr.wb
Saya mau tanya, ada teman sering kali setelah wudlu atau waktu sholat seperti keluar angin, dibilang kentut tapi bukan, sehingga menyebabkan ragu, bagaimana solusinya? Sesuatu itu merupakan kentut atau bukan? Syukron

(Dari: Cahya Laila)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Dalam satu hadits dikisahkan;

شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرَّجُلُ، يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ، قَالَ: لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا

"Seorang lelaki diadukan kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bahwa dia seolah-olah mendapati sesuatu (kentut) ketika shalatnya. Beliau bersabda, "Dia tidak perlu membatalkan shalatnya sehingga dia mendengar suara atau mencium bau." (Shahih Bukhari, no.137 dan Shahih Muslim, no.361)

Dalam hadits lainnya Nabi bersabda:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا، فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا

"Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu yang kurang beres dalam perutnya, lalu rancu baginya perkara tersebut, apakah keluar atau tidak, maka janganlah dia keluar dari masjid hingga dia mendengar suara (kentut) atau mendapatkan baunya." (Shahih Muslim, no.362)

Berdasarkan 2 hadits diatas dan hadits-hadits lainnya para ulama' fiqih menetapkan satu qoidah yang terkenal dalam fiqih, yaitu: "Al-Yaqin La Yuzalu Bisy-Syak" (Suatu keyakinan tidak dapat dihilangkan hanya karena suatu keraguan). Mereka memberi contoh semisal ada orang yang telah bersuci kemudian ia ragu apakah telah batal atau belum, maka orang tersebut masih dihukumi suci, sebab keyakinan bahwa ia telah bersuci sebelumnya tidak menjadi hilang statusnya karena keragu-raguan telah batal yang datang kemudian.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa orang yang merasa seakan-akan kentut ketika sholat tersebut masih dihukumi suci selama ia belum yakin bahwa telah kentut, jadi orang tersebut tidak wajib wudhu lagi dan tidak diperbolehkan memutuskan sholatnya hanya karena keragu-raguan tersebut. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Nidzom Elfath, Al Murtadho dan Siroj Munir)


Referensi:
1. Al-Asybah Wan Nadho'ir Lis-Suyuthi, Jilid: 1 Hal: 151-152

القاعدة الثانية: اليقين لا يزال بالشك

ودليلها قوله صلى الله عليه وسلم «إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه، أخرج منه شيء أم لا؟ فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا» رواه مسلم من حديث أبي هريرة. وأصله في الصحيحين عن عبد الله بن زيد قال " شكي إلى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل يخيل إليه أنه يجد الشيء في الصلاة قال «: لا ينصرف حتى يسمع صوتا، أو يجد ريحا» وفي الباب عن أبي سعيد الخدري وابن عباس. وروى مسلم عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم «إذا شك أحدكم في صلاته، فلم يدر كم صلى أثلاثا أم أربعا؟ فليطرح الشك، وليبن على ما استيقن» . وروى الترمذي عن عبد الرحمن بن عوف قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إذا سها أحدكم في صلاته، فلم يدر: واحدة صلى، أم اثنتين؟ فليبن على واحدة فإن لم يتيقن: صلى اثنتين، أم ثلاثا؟ فليبن على اثنتين، فإن لم يدر: أثلاثا صلى أم أربعا؟ فليبن على ثلاث، وليسجد سجدتين قبل أن يسلم

اعلم أن هذه القاعدة تدخل في جميع أبواب الفقه، والمسائل المخرجة عليها تبلغ ثلاثة أرباع الفقه وأكثر، ولو سردتها هنا لطال الشرح ولكني أسوق منها جملة صالحة فأقول: يندرج في هذه القاعدة عدة قواعد: منها: قولهم الأصل بقاء ما كان على ما كان 

فمن أمثلة ذلك: من تيقن الطهارة، وشك في الحدث فهو متطهر. أو تيقن في الحدث وشك في الطهارة فهو محدث

Deskripsi Situs Fikih Kontemporer


Situs fikih kontemporer adalah merupakan website resmi yang memuat hasil-hasil diskusi dan kajian dari grup fiqh kontemporer di facebook. Grup FK dibuat oleh beberapa alumni pondok pesantren dengan tujuan agar dijadikan tempat diskusi permasalahan-permasalahan fiqih, dengan tetap berdasarkan sumber-sumber  yang dapat dibuat pegangan.

Bisa dikatan grup FK merupakan majlis "Bahtsul Masa'il Dunia Maya", sebab tujuan awal dibuatnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum islam dengan referensi yang jelas dan tetap berpegang pada metode bermadzhab.

 Dalam menjawab pertanyaan, sebisa mungkin kami carikan sumbernya dari al-quran hadits disertai penjelasan para ulama', bukan hanya dari kitab-kitab ulama' terdahulu namun juga kitab-kitab ulama' fiqih kontemporer.

FILOSOFI DAN MAKNA LOGO "FIQH KONTEMPORER"

Dalam lambang ini setidaknya ada 5 hal yang sangat mendasar.

1. Latar bulat yang melingkar

2. Bola Bumi

3. Alat menulis yang terdiri dari :

a.Tinta dengan warna kuning emas

b.pena [ bulu]

4. Kitab yang terbuka

5. Tulisan "Fiqh Kontemporer"

1. LATAR BULAT MELINGKAR.

Lingkaran Bentuk Bulat bermakna Ilmu yang dikembangkan oleh para santri dari berbagai pesantren ini tidak bertepi artinya semua disiplin Ilmu, agama dan umum.

2. BOLA BUMI.

a.) Birunya lautan, adalah simbol dari Ilmunya Tuhan yang tanpa batas, dan supaya kita sadar bahwa : Diatas orang pandai, masih ada yang lebih pandai darinya.

b.) Bumi adalah tempat kita mengabdikan semua ilmu yang kita miliki, dan tidak berhenti hanya pada pengetahuan semata, tanpa menghiraukan daerah sekitar dengan "Nasyrul Ilimi".

c.) Bola Bumi pun Menunjukkan bahwa ilmu yang diperoleh para santri dari berbagai tempat menuntut ilmu adalah untuk disebarluaskan serta dikenalkan keseluruh penjuru dunia dan untuk memberikan cahaya dan petunjuk bagi umat supaya dapat memahami literatur ilmu/hukum agama islam.

d.) Serta Menjadi peringatan bagi kita semua, supaya kita ramah lingkungan, dan berusaha tidak merusaknya, dan janganlah dikotori dengan perbuatan jahat kita, yang menjadi sebab turunnya murka Tuhan semesta alam.

3. ALAT MENULIS

a.) Dengan menggunakan bulu ayam, menjadi tanda dari generasi yang peka sejarah, serta tidak melupakannya.

b.) Dan juga pena bulu memiliki syarat makna serta inovasi dalam mengembangkan Ilmu amaliyah dan kreatifitas dalam mengaplikasikan amal Ilmiah.

✽Adapun sejarah yang baik, maka mereka berusaha mempertahankannya, sedangkan yang buruk, menjadi dorongan untuk supaya tidak terjerumus lagi dalam sejarah kegagalan.✽

4. KITAB YANG TERBUKA.

a.) Kitab terbuka, adalah simbol cakrawala dari seseorang yang tidak hanya menggunkan akal dan logikanya dalam menyikapi persoalan hidup, namun setiap problem kehidupan ia tanggapi dengan Kitab, Baik Al-Qura'n, Hadits Rasul, atau Aqwal Ulama.

b.) Kitab yang terbuka juga berarti faham keagamaan yang telah dipelajari dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang sesuai dengan faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

c.) Pun, kitab yang terbuka ini juga pertanda, seseorang yang haus ilmu, karena sepintar apapun keilmuan seseorang masih harus tetap membuka kitab, baik untuk Muroja'ah, atau untuk mencari pengetahuan yang baru.

5. TULISAN "FIQH KONTEMPORER"

Adalah sebuah nama identitas community atau group yang tergabung dalam jejaring sosial.

Hukum Memegang, Mengambil Dan Membawa Al-Qur'an Dengan Tangan Kiri



Pertanyaan:
Assalamu Alaikum
Bagaimana hukumnya memegang, mengambil dan membawa al qur'an dengan tangan kiri?? Monggo di jawab dengn terperinci dan menggunakan ta'bir yg shorih.

( Dari: Bintang Timur )


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Dalam satu hadits dijelaskan;

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَامُنَ، يَأْخُذُ بِيَمِينِهِ، وَيُعْطِي بِيَمِينِهِ، وَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ

"Dari Aisyah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suka memulai sesuatu dengan yang kanan, beliau mengambil dengan tangan kanan, memberi dengan tangan kanan, dan suka memulai dengan yang kanan dalam segala perkara." (Sunan Nasa'i, no.5059)

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan; para ulama' telah sepakat bahwa segala sesuatu yang masuk dalam kategori kemuliaan, perhiasan, kebersihan dan hal-hal baik lainnya seperti memakai sepatu atau sepatu, memotong atau menyisir rambut, memotong kuku, wudhu, masuk masjid, memberikan sedekah dan hal-hal lainnya  disunatkan untuk mendahulukan bagian kanan. edangkan untuk selain hal-hal yang baik atau perkara yang kotor disunatkan mendahulukan bagian kiri.

Selain itu, Imam Ghozali menjelaskan bahwa salah satu cara syukur pada nikmat Allah yang berupa 2 tangan adalah dengan menggunakan tangan kanan untuk hal-hal yang baik, seperti mengambil mushaf al-qur'an, sebab Allah menciptakan tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri, karena itu tangan kanan lebih mulia dari tangan kiri. Karena itulah jika ada orang yang mengambil mushaf, semisal dengan tangan kiri maka ia telah menempatkan sesuatu yang mulia pada sesuatu yang rendah, dan juga telah mengurangi hak dan mendholiminya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa memegang, mengambil dan membawa mushaf al-qur'an dengan tangan kiri adalah perbuatan yang menyelisihi kesunahan dan merupakan tindakan kufur pada nikmat Allah. Wallahu a'lam.

( Dijawab oleh: Al-Murtadlo dan Siroj Munir )


Referensi:
1. Sunan An-Nasa'i, Jilid: 8  Hal: 133

أخبرنا محمد بن معمر، قال: حدثنا أبو عاصم، عن محمد بن بشر، عن أشعث بن أبي الشعثاء، عن الأسود بن يزيد، عن عائشة قالت: «كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب التيامن، يأخذ بيمينه، ويعطي بيمينه، ويحب التيمن في جميع أموره

2. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Jilid: 14  Hal: 74-75

أما فقه الأحاديث ففيه ثلاث مسائل أحدها يستحب البداءة باليمنى في كل ما كان من باب التكريم والزينة والنطافة ونحو ذلك كلبس النعل والخف والمداس والسراويل والكم وحلق الرأس وترجيله وقص الشارب ونتف الإبط والسواك والاكتحال وتقليم الأظفار والوضوء والغسل والتيمم ودخول المسجد والخروج من الخلاء ودفع الصدقة وغيرها من أنواع الدفع الحسنة وتناول الأشياء الحسنة ونحو ذلك الثانية يستحب البداءة باليسار فى كل ماهو ضد السابق في المسألة الأولى فمن ذلك خلع النعل والخف والمداس والسراويل والكم والخروج من المسجد ودخول الخلاء والاستنجاء وتناول أحجار الاستنجاء ومس الذكر والامتخاط والاستنثار وتعاطى المستقذارات وأشباهها الثالثة يكره المشي في نعل واحدة أو خف واحد أومداس واحد لا لعذر ودليله هذه الأحاديث التي ذكرها مسلم قال العلماء وسببه أن ذلك تشويه ومثله ومخالف للوقار ولأن المنتعلة تصير أوفع من الأخرى فيعسر مشيه وربما كان سببا للعثار وهذه الآداب الثلاثة التي في المسائل الثلاث مجمع على استحبابها وأنها ليست واجبة

3. Faidhul Qodir, Jilid: 6  Hal: 311

 قال الغزالي: على العبد شكر النعمة في جميع أفعاله فمن استنجى بيمينه أو مس بها فرجه فقد كفر نعمة اليدين لأن الله تعالى خلقهما وجعل إحداهما أقوى من الأخرى فاستحقت الأقوى بمزيد رجحانها للتشريف والتفضيل وتفضيل الناقص عدول به عن العدل والله لا يأمر إلا بالعدل والأعمال بعضها شريف كأخذ المصحف وبعضها خسيس كإزالة الخبث فإذا أخذت المصحف باليسار وأزلت الخبث أو مسست الفرج باليمين فقد خصصت الشريف بالخسيس فنقصته حقه وظلمته

Hukum Shalat Saat Hadir Di Masjid Bertepatan Dengan Adzan Jum’at



Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.
Saya mau tanya, kenapa kalau ada yang lagi adzan tidak boleh sholat? seperti kemarin waktu Jum'at orang yang datang belakangan berdiri semua dan tidak ada  yang shalat karena sedang dikumandangkan adzan.

(Dari: Aceng Ingin DiCinta).


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Para ulama' telah menetapkan bahwa ketika seseorang masuk masjid pada saat mu'adzin sedang mengumandangkan adzan hendaknya orang tersebut menunggu sampai muadzin selesai adzan, baru setelah itu ia mengerjakan sholat tahiyat masjid. Tujuannya adalah agar memperoleh 2 pahala sekaligus, yaitu pahala menjawab adzan dan sholat sunat tahiyat masjid.

Hanya saja terjadi menurut pendapat madzhab Syafi'i dan Hanbali; orang yang masuk masjid ketika muadzin sedang adzan menunggu selesainya adzan sambil berdiri, sedangkan menurut pendapat madzhab Hanafi orang tersebut menunggu mu'adzin menyelesaikan adzan sambil duduk.

Jadi kesimpulannya, orang yang masuk masjid pada saat muadzin sedang mengumandangkan adzan tidak mengerjakan sholat tujuannya agar ia memperoleh 2 pahala, yaitu pahala menjawab adzan dan sholat tahiyat masjid, karena menjawab adzan itu hukumnya sunat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ المُؤَذِّنُ

"Apabila kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti apa yang diucapkan mu'adzin." (Shahih Bukhari, no.611 dan Shahih Muslim, no.383).

Begitu juga halnya dengan sholat tahiyat masjid, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

إذَا دَخَلَ أَحَدُ كُمُ الْمَسجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua raka'at". (Shahih Bukhari, no.1110 dan Shahih Muslim, no.714).

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho dan Siroj Munir).


Referensi:

1. Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah juz 34 hal. 111.

إذا دخل المسلم المسجد ، والمؤذن يؤذن ، فهل يظل قائما أو يجلس؟ للفقهاء اتجاهان
ذهب الشافعية والحنابلة إلى أنه إذا دخل المصلي المسجد، والمؤذن قد شرع في الأذان، لم يأت بتحية ولا بغيرها، بل يجيب المؤذن واقفا، حتى يفرغ من أذانه، ليجمع بين أجر الإجابة والتحية
وذهب الحنفية إلى أنه إذا دخل المصلي المسجد ، والمؤذن يؤذن أو يقيم قعد حتى يفرغ المؤذن من أذانه، فيصلي التحية بعدئذ  ليجمع بين أجر الإجابة وتحية المسجد

2. Mughnil Muhtaj, Jilid: 1  Hal: 327-328 (Madzhab Syafi'i)

ويسن لسامعه) أي المؤذن ومستمعه كما فهم بالأولى، ومثل المؤذن المقيم (مثل قوله) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «إذا سمعتم النداء فقولوا مثل ما يقول المؤذن» متفق عليه ويقاس بالمؤذن المقيم، وتناولت عبارته الجنب والحائض ونحوهما وهو المعتمد كما جزما به خلافا للسبكي في قوله لا يجيبان لحديث «كرهت أن أذكر الله إلا على طهر» ولابنه في قوله: ويمكن أن يتوسط، فيقال: تجيب الحائض لطول زمنها بخلاف الجنب، وتناولت أيضا المجامع وقاضي الحاجة، لكن إنما يجيبان بعد الفراغ
كما قاله في المجموع، ومحله ما لم يطل الفصل، فإن طال لم تستحب لهما الإجابة، وفارق هذا تكبير العيد المشروع عقب الصلاة حيث يتدارك وإن طال الفصل بأن الإجابة تنقطع مع الطول بخلاف التكبير ومن في صلاة، والأصح أنه لا يستحب له الإجابة بل تكره، فإن قال في التثويب: صدقت وبررت، أو قال: حي على الصلاة أو الصلاة خير من النوم بطلت صلاته، بخلاف صدق رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لا تبطل به كما صرح به في المجموع، وإن أجاب في أثناء الفاتحة وجب استئنافها، وإذا كان السامع أو المستمع في قراءة أو ذكر استحب له أن يقطعهما ويجيب، أو في طواف أجاب فيه كما قاله الماوردي

3. Kasyaful Qona', Jilid: 1  Hal: 246-247 (Madzhab Hanbali)      

ولو دخل المسجد والمؤذن قد شرع في الأذان لم يأت بتحية المسجد ولا بغيرها، بل يجيب) المؤذن (حتى يفرغ) من أذانه فيصلي التحية بشرطه، ليجمع بين أجر الإجابة والتحية    

3. Hasyiyah Ibnu Abidin, Jilid: 1  Hal. 400 (Madzhab Hanafi)

دخل المسجد والمؤذن يقيم قعد إلى قيام الإمام في مصلاه
........................
قوله: قعد) ويكره له الانتظار قائما، ولكن يقعد ثم يقوم إذا بلغ المؤذن حي على الفلاح انتهى هندية عن المضمرات

Kontak Admin Fikih Kontemporer


Jika anda memiliki pertanyaan, saran atau kritik yang membangun, anda bisa menghubungi kami melalui kontak-kontak berikut ini:

1. Siroj Munir: No. HP 0857 9080 5240

2. Ubaidillah Fanani: 0857 3679 9009

3. Harsandi Muhammad: 0856 4587 0678

4. Ali Murtadlo: 0812 3049 4615

Atau melalui email:

Hukum Pencucian Dry Clean (tanpa menggunakan air)


Pertanyaan:
Assalaamu'alaikum.

Permisi mau tanya, apakah mencuci dengan cara dry clean (tanpa air) seperti yang marak akhir-akhir ini bisa suci?

(Dari  Yu Paijah).


Jawaban:
Wa alaikum salam.

Semua ulama' madzhab 4 sepakat bahwa benda yang digunakan untuk bersuci (bersuci dari najis dan hadats) adalah air mutlak. Hal ini didasarkan atas firman Allah;

وَيُنَزِّل عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

"..dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu". (QS. Al-Anfal: 11)

dan hadits;

عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

"Dari Asma' dia berkata, "Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, 'Pakaian salah seorang dari kalangan kami terkena darah haid. Apa yang harus dia lakukan? ' Beliau bersabda: "Keriklah darah itu (terlebih dahulu), kemudian bilaslah ia dengan air, kemudian siramlah ia. Setelah itu (kamu boleh) menggunakannya untuk menngerjakan shalat." (Shahih Muslim, no.291).

Sedangkan pencucian dengan tanpa menggunakan air, semisal karena sudah kering terkena sinar matahari atau hembusan angin, hukumnya diperselisihkan diantara ulama':

1. Menurut mayoritas ulama', pencucian dengan cara tersebut tidak bisa menjadikan suci benda yang terkena najis, ini merupakan pendapat madzhab syafi'i, maliki, dan hanbali.

2. Menurut pendapat hanafi penyucian dengan cara tersebut sudah mencukupi jika najisnya sudah benar-benar hilang tanpa bekas, sebab tujuan dari penyucian suatu benda adalah menghilangkan rasa, bau dan warna najis yang menempel.

Jadi kesimpulannya, pencucian dengan cara dry clean menurut pendapat mayoritas ulama' belum dianggap suci sebelum dibilas dengan air. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah sudah dianggap suci. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Muh KHolili Aby Fitry, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).


Referensi:
1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Jilid 29 Hal. 95

 اتفق الفقهاء على أن الماء المطلق رافع للحدث مزيل للخبث، لقول الله تعالى: (وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به) ولحديث أسماء رضي الله تعالى عنها قالت: جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إحدانا يصيب ثوبها من دم الحيضة، كيف تصنع به؟ قال: تحته ثم تقرصه بالماء، ثم تنضحه، ثم تصلي فيه

2.Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A'immah, Hal. 4

ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻨﺎﺭ ﻭﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻲ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺗﺄﺛﻴﺮ ﺍﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺣﺘﻰ ﺍﻥ ﺟﻠﺪ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ ﺍﺫﺍ ﺟﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻃﻬﺮ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﻼ ﺩﺑﻎ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻓﺠﻔﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻃﻬﺮ ﻣﻮﺿﻌﻬﺎ ﻭﺟﺎﺯﺕ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﻻ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﻪ, ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺗﺰﻳﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻋﻨﺪﻩ

3. Al Majmu' Syarah al Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 296

إذا أصاب الارض نجاسة ذائبة في موضع ضاح فطلعت عليه الشمس وهبت عليه الريح فذهب اثرها ففيه قولان قال في القديم والاملاء يطهر لانه لم يبق شئ من النجاسة فهو كما لو غسل بالماء وقال في الام لا يطهر وهو الاصح لانه محل نجس فلا يطهر بالشمس كالثوب النجس
..................
الشرح: هذان القولان مشهوران وأصحهما عند الأصحاب لا يطهر كما صححه المصنف ونقله البندنيجي عن نص الشافعي في عامة كتبه وحكى في المسألة طريقين أحدهما فيه القولان والثاني القطع بأنها لا تطهر وتأويل نصفه على أرض مضت عليه سنون وأصابها المطر ثم القولان فيما إذا لم يبق من النجاسة طعم ولا لون ولا رائحة ومن قال بأنها لا تطهر مالك وأحمد وزفر وداود وممن قال بالطهارة أبو حنيفة وصاحباه
...................................................................................

Download Kitab Al-Muhimmat - Al-Asnawi


Judul kitab : Al-Muhimmat Fi Syarhi Ar-Roudloh Wa Ar-Rofi'i

Penulis : Imam Jamaluddin Abdurrohim Al-Asnawi

Muhaqqiq : Ahmad bin Ali Ad-Dimyati

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2009

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4  Jilid 5  Jilid 6  Jilid 7  Jilid 8  Jilid 9  Jilid 10

Hukum Membasuh Tangan Palsu Saat Wudhu


Pertanyaan:
Assalamu alaikum.
Saya mau tanya, bagaimana hukumnya bagi orang yang tangannya terpotong  lalu diganti dengan tangan palsu. Apakah tangan sambungan tersebut termasuk anggota wudhu atau tidak? Mohon penjelasannya.


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh.

Tangan palsu tidak wajib dibasuh karena bukan termasuk anggota wudhu. Kendati demikian, jika tangan palsu tersebut sudah disambung permanen dan menyatu dengan sisa tangan yang asli maka wajib untuk dibasuh saat berwudhu karena tidak mungkin untuk melepasnya. Hal ini juga berlaku untuk anggota tubuh lain yang wajib dibasuh saat wudhu. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Sohib Suckit).


Referensi:

1.  Fatawi al Fiqhiyah al Kubra, juz 1 hal 59

وسئل نفع الله بعلومه عمن قطع أنفه أو أنملته فجعل محله بدله من ذهب مثلا فهل يجب غسله في الوضوء والغسل أو إزالته وهل يمسحه بدلا عما تحته كالجبيرة أو لا فأجاب بقوله إن كان ذلك البدل بحيث يمكن بلا خشية مبيح تيمم إزالته وعوده وجبت إزالته وغسل ما تحته وهذا ظاهر وإن لم يكن كذلك فالذي يظهر أنه إن بني عليه اللحم أو الجلد وستره وجب غسله وكذا لو بني على بعضه فيجب غسل ذلك البعض وهذا ظاهر أيضا
.............................................

Hukum Menunda Pembagian Harta Warisan



Pertanyaan:
Assalamu’alaikum... 
Bagaimana hukum penundaan pembagian warisan ?
Teman-teman FK tolong saya dibantu.

(Dari: Malchub Illa-LilChabib Al-Awwali)


Jawaban:
Wa alaikum salamwarahmatullahi wabarakatuh

Apabila ada sebagian ahli waris meminta agar harta warisan segera di bagi maka hukumnya wajib untuk membaginya, namun jika tidak ada yang meminta untuk segera membaginya maka diperbolehkan menunda pembagian harta warisan dengan catatan :

- Atas persetujuan ahli waris yang rasyid (dewasa dan mengetahui maslahat)

- Atas persetujuan dari wali dari anak yang belum rasyid.

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho dan Syeikh Culit Ireng).


Referensi:

1. Hamisy Al Bajuriy juz 2 hal. 244.

إذا دعا أحد الشريكين شريكه إلى قسمة ما لا ضرر فيه لزم الشريك الأخر إجابته

2. Hasyiyah Qulyubiy, juz 2 hal. 331.

قوله بموت أحدهما) ويخرج من التركة دين أو وصية ثم للوارث الرشيد إبقاؤها ولو بلفظ التقرير وكذا الولي غير الرشيد لمصلحة (وبجنونه) ويفعل وليه بالمصلحة من إبقائهاولو بلفظ التقرير وإذا أفاق فعل ما يراه

3. Hasyiyah al Jamal, juz 3 hal. 398.

فرع : وقع السؤال عما يقع كثيرا أن الشخص يموت , ويخلف تركة , وأولادا , ويتصرفون بعد الموت في التركة بالبيع والزرع والحج وغيرها ثم بعد مدة يطلبون الانفصال فهل لمن لم يحج , ومن لم يتزوج الرجوع بما يخصه على من تصرف بالزواج ونحوه أم لا ؟ . فيه نظر والجواب عنه أنه إن حصل إذن ممن يعتد بإذنه بأن كان بالغا رشيدا في التصرف فلا رجوع له , وينبغي أن مثل الإذن ما لو دلت قرينة ظاهرة على الرضا بما ذكر فإن لم يوجد إذن , ولا رضا أو حصل الإذن ممن لا يعتد بإذنه فله الرجوع على المتصرف بما يخصه ا هـ

Download Kitab Ghoyatul Maqshud Syarah Sunan Abu Dawud - Al-Adhim Abadi




Judul kitab : Ghoyatul Maqshud Fi Syarhi Sunan Abu Dawud

Penulis : Imam Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi

Muhaqqiq : -

Penerbit : Al-Majma' Al-Ilmi & Hadits Academy - Pakistan

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1414 H.

Link download (PDF) : Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3


Download Kitab Al-Ijaz Syarah Sunan Abu Dawud - An-Nawawi


Judul kitab : Al-Ijaz Fi Syarhi Sunan Abi Dawud As-Sajistani

Penulis : Imam Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi

Muhaqqiq : Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Sulaiman

Penerbit : Ad-Dar Al-Atsariyah, Amman - Yordania

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2008

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Mirqotus Shu'ud Syarah Sunan Abu Dawud - As-Suyuthi



Judul kitab : Mirqotus Shu'ud Ila Sunan Abu Dawud

Penulis : Imam Jalaluddin Abdurrohman As-Suyuthi

Muhaqqiq : Muhammad Syayib Syarif

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2012

Link download (PDF) : Klik disini

Waktu Pelaksanaan Aqiqah Setelah Lewatnya Hari Ketujuh


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum...
Telah maklum bahwa dianjurkan menyembelih aqiqoh pada hari ke 7 dari kelahiran si buah hati. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam kitab salaf, salah satunya di dalam kitab Fath al-Mu’in, hal 63. Akan tetapi, karena beberapa hal, sebagian orang ada yang baru bisa menyembelihnya setelah hari ke 7. Dalam kasus penyembelihan aqiqoh pada hari ke 7 ini, terdapat dua anggapan di masyarakat:
1.    Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari ke 14 atau 21.
2.    Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari selapannya atau hari ke 40.
Pertanyaan:
Diantara dua anggapan tersebut, manakah yang benar dalam pandangan fiqh, atau justru kedua-duanya benar?

(Dari: NN)


Jawaban:
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Menurut qoul mukhtar (pendapat yang dipilih oleh ulama’) dalam madzhab syafi’i, setelah lewat masa 7 hari, aqiqoh bisa dilakukan kapan saja ketika seseorang sudah mampu melakukan aqiqoh, sampai masa baligh. Alasannya sebab penyembelihan aqiqoh setelah lewatnya hari ke 7 sifatnya adalah qodho’, jadi kalau bisa secepatnya dikerjakan ketika sudah mampu.

Hanya saja penyembelihan aqiqah dianjurkan untuk dilakukan pada hari ke 14, dan jika tidak bisa maka pada hari ke 21, begitu seterusnya dengan hitungan kelipatan 7, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Al-Busyaihi, salah seorang ashab madzhab syafi’i. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Dari Ummu Kurz dan Abi Kurz:

نَذَرَتِ امْرَأَةٌ مِنْ آلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إِنْ وَلَدَتِ امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ نَحَرْنَا جَزُورًا، فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: «لَا بَلِ السُّنَّةُ أَفْضَلُ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرَ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ، وَلْيَكُنْ ذَاكَ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إِحْدَى وَعِشْرِينَ

“Seorang wanita dari keluargaAbdurrohman bin Abu Bakar bernadzar, apabila istri Abdurrohman melahirkan seorang bayi maka aku akan menyembelih seekor unta, mendengar hal itu Aisyah berkata: “Jangan, mengerjakan kesunahan itu lebih utama, bagi anak lelaki 2 kambing yang besar, dan bagi anak perempuan satu kambing, yang dipotong sepenggal-penggal, dan tulangnya tidak dipecah, kemudian (dagingnya) dimakan dan disedekahkan. Dan itu semua hendaknya dikerjakan pada hari ke-7, jika tidak maka dikerjakan pada hari ke-14, dan jika tidak, maka dikerjakan pada hari ke-21”. (Al-Mustadrok, No.7595. Hadits ini dishohihkan oleh Imam Hakim dan Imam Adz-Dzahabi).

Berdasarkan uraian ini, maka pandangan yang benar adalah yang pertama. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)


Referensi:
1. Al-Majmu’, 8/431

قال أصحابنا ولا تفوت بتأخيرها عن السبعة لكن يستحب أن لا يوخر عن سن البلوغ
قال أبو عبد الله البوشيحى من أئمة أصحابنا إن لم تذبح في السابع ذبحت في الرابع عشر وإلا ففي الحادي والعشرين ثم هكذا في الأسابيع

2. Kifayatul Akhyar, Hal: 534

وفي العدة والحاوي للماوردي أنها بعد السابع تكون قضاء والمختار أن لا يتجاوز بها النفاس فإن تجاوزته فيختار أن لا يتجاوز بها الرضاع فإن تجاوز فيختار أن لا يتجاوز بها سبع سنين فإن تجاوزها فيختار أن لا يتجاوز بها البلوغ

3. Al-Mughni Li Ibnu Qudamah, 9/461

مسألة: قال: ويذبح يوم السابع، قال أصحابنا: السنة أن تذبح يوم السابع، فإن فات ففي أربع عشرة، فإن فات ففي إحدى وعشرين. ويروى هذا عن عائشة. وبه قال إسحاق.
     وعن مالك، في الرجل يريد أن يعق عن ولده، فقال: ما علمت هذا من أمر الناس، وما يعجبني. ولا نعلم خلافا بين أهل العلم القائلين بمشروعيتها في استحباب ذبحها يوم السابع
     والأصل فيه حديث سمرة، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «كل غلام رهينة بعقيقته، تذبح عنه يوم سابعه، ويسمى فيه، ويحلق رأسه
     وأما كونه في أربع عشرة، ثم في أحد وعشرين، فالحجة فيه قول عائشة - رضي الله عنها - وهذا تقدير، الظاهر أنها لا تقوله إلا توقيفا.

4. Al-Mustadrok Ala As-Shohihain, 4/266

    أخبرنا أبو عبد الله محمد بن يعقوب الشيباني، ثنا إبراهيم بن عبد الله، أنبأ يزيد بن هارون، أنبأ عبد الملك بن أبي سليمان، عن عطاء، عن أم كرز، وأبي كرز، قالا: نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا، فقالت عائشة رضي الله عنها: «لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان، وعن الجارية شاة تقطع جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق، وليكن ذاك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين» هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه "      [التعليق - من تلخيص الذهبي] ٧٥٩٥ - صحيح

Hukum Meminta Uang Ganti Rugi Pencemaran Nama Baik



Pertanyaan:
Assalamu'alaikum...
Seperti‬ yang kita tau bahwa d zaman sekarang banyak penuntutan pencemaran nama baik dgn hukuman sejumlah uang. Pertanyaannya A# bolehkah menuntut dengan uang apa bila nama baik kita d cemarkan oleh seseorang?

(Dari: Assyeiban Bin)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Meminta ganti rugi uang terkait pencemaran nama baik, itu hukumnya tidak diperbolehkan, karena harga diri bukanlah sesuatu yang bisa diperjual-belikan.

Hanya saja, seandainya kita telah mencemarkan nama baiknya dan pihak terkait tidak mau memaafkan kecuali dengan minta ganti rugi, maka boleh bagi kita memberikan untuk menghapus beban.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad)


Referensi:
1. Al-Mughni 4/321

فصل ولو صالح شاهدا على أن لا يشهد عليه لم يصح لأنه لا يخلو من ثلاثة أحوال أحدها أن يصالحه على أن لا يشهد عليه بحق تلزم الشهادة به كدين آدمي أو حق لله تعالى لا يسقط بالشبهة كالزكاة ونحوها فلا يجوز كتمانه ولا يجوز أخذ العوض عن ذلك كما لا يجوز أخذ العوض على شرب الخمر وترك الصلاة الثاني أن يصالحه على أن لا يشهد عليه بالزور فهذا يجب عليه ترك ذلك ويحرم عليه فعله فلا يجوز أخذ العوض عنه كما لا يجوز أن يصالحه على أن لا يقتله ولا يغصب ماله الثالث أن يصالحه على أن لا يشهد عليه بما يوجب حدا كالزنا والسرقة فلا يجوز أخذ العوض عنه لأن ذلك ليس بحق له فلم يجز له أخذ عوضه كسائر ما ليس بحق له ولو صالح السارق والزاني والشارب بمال على أن لا يرفعه الى السلطان لم يصح الصلح لذلك ولم يجز له أخذ العوض وإن صالحه عن حد القذف لم يصح الصلح لأنه إن كان لله تعالى لم يكن له أن يأخذ عوضه لكونه ليس بحق له فأشبه حد الزنا والسرقة وإن كان حقا له لم يجز الاعتياض عنه لكونه حقا ليس بمالي ولهذا لا يسقط الى بدل بخلاف القصاص ولأنه شرع لتنزيه العرض فلا يجوز أن يتعاض عن عرضه بمال وهل يسقط الحد بالصلح فيه وجهان مبنيان على الخلاف في كونه حقا لله تعالى أو حقا لآدمي فإن كان حقا لله تعالى أو حقا لآدمي فإن كان حقا لله تعالى لم يسقط بصلح الآدمي ولا إسقاطه كحد الزن

2. Al-Mushonnaf, 5/233

حدثنا أبو بكر قال حدثنا هشيم عن يونس عن الحسن مثله.حدثنا أبو بكر قال حدثنا هشيم عن يونس عن الحسن أنه كان لا يرى أن يعطي الرجل من ماله ما يصون به عرضه

3. Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khothib, 3/117

ولو لم يرض صاحب الحق في الغيبة والزنا ونحوهما ان يعفو الا ببذل مال فله بذله سببا في خلاص ذمته

4. Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khothib, 4/185

ولو عفا وارث المقذوف على مال سقط ولم يجب المال كما في فتاوى الحناطي (قوله أو عفو المقذوف) أي عن كله ولو بمال وإن لم يثبت المال سم

Mimpi Basah Pada Wanita Dan Ketentuan Hukumnya



Pertanyaan:
Assalamu'alaikum..
Mau nanya, apakah perempuan juga mengalami mimpi basah seperti halnya laki-laki? Dan apakah jika mengalami mimpi basah juga wajib mandi?

(Dari : Lisa Listiyani)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Wanita juga dapat mengalami mimpi basah sepertihalnya laki-laki, dan wanita diwajibkan mandi jinabat ketika mengeluarkan mani saat mimpi basah. Sedangkan ciri-ciri mani wanita adalah encer dan berwarna kuning. Ketentuan hukum ini didasarkan pada satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

 عَنْ قَتَادَةَ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، حَدَّثَهُمْ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ،، حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ» فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟ إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ، وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ

"Diriwayatkan dari Qotadah, bahwasanya Anas bin Malik bercerita bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi hadas." Ummu Sulaim berkata, "Aku malu untuk bertanya perkara tersebut". Ummu Sulaim bertanya, "Apakah perkara ini berlaku pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan?. Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning." (Shohih Muslim, no.311)

(Dijawab oleh: Ahmad Afif Arfianto, Al Murtadho, Zainul Abidin Kholil dan Siroj Munir)


Referensi :
Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 3  Hal : 222-223

حدثنا عباس بن الوليد، حدثنا يزيد بن زريع، حدثنا سعيد، عن قتادة، أن أنس بن مالك، حدثهم أن أم سليم، حدثت أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل» فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك، قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم: نعم، فمن أين يكون الشبه؟ إن ماء الرجل غليظ أبيض، وماء المرأة رقيق أصفر، فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه
...............................................
قوله صلى الله عليه وسلم (إن ماء الرجل غليظ أبيض وماء المرأة رقيق أصفر) هذا أصل عظيم في بيان صفة المني وهذه صفته في حال السلامة وفي الغالب قال العلماء مني الرجل في حال الصحة أبيض ثخين يتدفق في خروجه دفقة بعد دفقة ويخرج بشهوة ويتلذذ بخروجه وإذا خرج استعقب خروجه فتورا ورائحة كرائحة طلع النخل ورائحة الطلع قريبة من رائحة العجين وقيل تشبه رائحته رائحة الفصيل وقيل إذا يبس كان رائحته كرائحة البول فهذه صفاته وقد يفارقه بعضها مع بقاء ما يستقل بكونه منيا وذلك بأن يمرض فيصير منيه رقيقا أصفر أو يسترخي وعاء المني فيسيل من غير التذاذ وشهوة أو يستكثر من الجماع فيحمر ويصير كماء اللحم وربما خرج دما غبيطا وإذا خرج المني أحمر فهو طاهر موجب للغسل كما لو كان أبيض ثم إن خواص المني التي عليها الاعتماد في كونه منيا ثلاث أحدها الخروج بشهوة مع الفتور عقبه والثانية الرائحة التي شبه الطلع كما سبق الثالث الخروج بزريق ودفق ودفعات وكل واحدة من هذه الثلاث كافية في إثبات كونه منيا ولا يشترط اجتماعها فيه واذا لم يوجد شئ منها لم يحكم بكونه منيا وغلب على الظن كونه ليس منيا هذا كله في مني الرجل وأما مني المرأة فهو أصفر رقيق وقد يبيض لفضل قوتها وله خاصيتان يعرف بواحدة منهما إحداهما أن رائحته كرائحة مني الرجل والثانية التلذذ بخروجه وفتور شهوتها عقب خروجه