Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya istri yang sedang istihadhoh disetubuhi?
( Dari : Riya Damayanti )
Jawaban :
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum berhubungan intim dengan wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh, terdapat 2 pendapat berbeda dalam masalah ini;
Pendapat pertama: Mayoritas ulama’ dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad menyatakan bahwa bergubugan intim dewan wanita yang sedang istihadhoh hukumnya boleh, baik ketika darahnya keluar atau tidak. Imam Ibnul Mundzir menjelaskan bahwa pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhiu, Ibnul Musayyab, Al-Hasan, Atho’ Qotadah, Sa’id bin Jabir, Hammad bin Sulaiman, Bakar bin Abdulloh Al-Muzani, Al-Auza’i, Ats-Tsauri danIshaq Abu Tsur, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.
Dalil dari pendapat ini adalah pemahaman dari firman Alloh;
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqoroh : 222)
Ayat diatas secara jelas dinyatakan bahwa larangan menggauli wanita yang sedang haidh berlaku sampai wanita tersebut berhenti haidhnya, jadi haidhnya sudah tuntas maka diperbolehkan menggaulinya, sedangkan masa istihadhoh itu bukan masa haidh, karena itu ketentuan yang berlaku baginya adalah seperti ketentuan bagi wanita yang suci seperti diwajibkannya sholat dll. karena itu diperbolehkan juga menggaulinya.
Dan berdasarkan hadits;
“Dari Hamnah binti Jahsy, bahwa dia pernah istihadlah, dan suaminya tetap berhubungan badan dengannya.” (Sunan Abu Dawud, no.310)
Selain itu suatu larangan hanya bisa ditetapkan jika ada dalil yang melarangnya, dan tidak ada dalil yang melarang menggauli istri dalam keadaan istihadhoh.
Pendapat kedua: Menurut madzhab Hanbali, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, An-Nakho’i, Al-Hakam dan Syekh Ibnu Ulaiyah dari kalangan madzhab Maliki, menggauli wanita dalam keadaan istihadhoh itu tidak diperbolehkan, kecuali apabila tidak dilakukan takut akan berzina maka diperbolehkan.
Dalilnya adalah atsar yang diriwayatkan dari sayyidah A’isyah rodhiyallohu ‘anha, beliua bersabda;
“Wanita yang sedang istihadhoh tidak boleh digauli suaminya” (Sunan Baihaqi, no.1563)
Selain itu terdapat bahaya/sakit (adza) pada wanita yang sedang istihadhoh, sedangkan alas an pelarangan menggauli wanita yang sedang haidh adalah karena adanya adza padanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh diatas, karena itulah dalam hal ini statusnya disamakan dengan wanita yang sedang haidh dalam hal pelarangan menggaulinya.
Kesimpulannya, menggauli wanita dalam kondisi istihadhoh diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama’, sedangkan menurut madzhab Hanbali dan beberapa ulama’ tiudak diperbolehkan. Meskipun begitu, jika dikhawatirkan membahayakan, baik bagi lelaki atau wanitanya sendiri terutama menggauli wanita tersebut saat darahnya keluar, sebaiknya hal ini tidak dilakukan. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;
"Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat." (Sunan Ibnu Majah, no.2341)
Wallohu a’lam.
( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Permata Hati dan Siroj Munir)
Referensi :
1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21 (Fiqih Perbandingan)
2. Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291 (Madzhab Hanafi)
3. Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31 (Madzhab Maliki)
4. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373 (Madzhab Syafi’i)
5. Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218 (Madzhab Hanbali)
6. Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
Ibarot :
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21
Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291
Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373
Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218
Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
Bagaimana hukumnya istri yang sedang istihadhoh disetubuhi?
( Dari : Riya Damayanti )
Jawaban :
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum berhubungan intim dengan wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh, terdapat 2 pendapat berbeda dalam masalah ini;
Pendapat pertama: Mayoritas ulama’ dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad menyatakan bahwa bergubugan intim dewan wanita yang sedang istihadhoh hukumnya boleh, baik ketika darahnya keluar atau tidak. Imam Ibnul Mundzir menjelaskan bahwa pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhiu, Ibnul Musayyab, Al-Hasan, Atho’ Qotadah, Sa’id bin Jabir, Hammad bin Sulaiman, Bakar bin Abdulloh Al-Muzani, Al-Auza’i, Ats-Tsauri danIshaq Abu Tsur, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.
Dalil dari pendapat ini adalah pemahaman dari firman Alloh;
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Q.S. Al-Baqoroh : 222)
Ayat diatas secara jelas dinyatakan bahwa larangan menggauli wanita yang sedang haidh berlaku sampai wanita tersebut berhenti haidhnya, jadi haidhnya sudah tuntas maka diperbolehkan menggaulinya, sedangkan masa istihadhoh itu bukan masa haidh, karena itu ketentuan yang berlaku baginya adalah seperti ketentuan bagi wanita yang suci seperti diwajibkannya sholat dll. karena itu diperbolehkan juga menggaulinya.
Dan berdasarkan hadits;
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ، أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا
“Dari Hamnah binti Jahsy, bahwa dia pernah istihadlah, dan suaminya tetap berhubungan badan dengannya.” (Sunan Abu Dawud, no.310)
Selain itu suatu larangan hanya bisa ditetapkan jika ada dalil yang melarangnya, dan tidak ada dalil yang melarang menggauli istri dalam keadaan istihadhoh.
Pendapat kedua: Menurut madzhab Hanbali, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, An-Nakho’i, Al-Hakam dan Syekh Ibnu Ulaiyah dari kalangan madzhab Maliki, menggauli wanita dalam keadaan istihadhoh itu tidak diperbolehkan, kecuali apabila tidak dilakukan takut akan berzina maka diperbolehkan.
Dalilnya adalah atsar yang diriwayatkan dari sayyidah A’isyah rodhiyallohu ‘anha, beliua bersabda;
الْمُسْتَحَاضَةُ لَا يَغْشَاهَا زَوْجُهَا
“Wanita yang sedang istihadhoh tidak boleh digauli suaminya” (Sunan Baihaqi, no.1563)
Selain itu terdapat bahaya/sakit (adza) pada wanita yang sedang istihadhoh, sedangkan alas an pelarangan menggauli wanita yang sedang haidh adalah karena adanya adza padanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh diatas, karena itulah dalam hal ini statusnya disamakan dengan wanita yang sedang haidh dalam hal pelarangan menggaulinya.
Kesimpulannya, menggauli wanita dalam kondisi istihadhoh diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama’, sedangkan menurut madzhab Hanbali dan beberapa ulama’ tiudak diperbolehkan. Meskipun begitu, jika dikhawatirkan membahayakan, baik bagi lelaki atau wanitanya sendiri terutama menggauli wanita tersebut saat darahnya keluar, sebaiknya hal ini tidak dilakukan. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat." (Sunan Ibnu Majah, no.2341)
Wallohu a’lam.
( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Permata Hati dan Siroj Munir)
Referensi :
1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21 (Fiqih Perbandingan)
2. Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291 (Madzhab Hanafi)
3. Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31 (Madzhab Maliki)
4. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373 (Madzhab Syafi’i)
5. Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218 (Madzhab Hanbali)
6. Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
Ibarot :
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 44 Hal : 21
اختلف الفقهاء في جواز وطء المستحاضة على قولين
القول الأول: ذهب جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والمالكية وأحمد في إحدى الروايتين عنه إلى جواز وطء المستحاضة. وقد نقله ابن المنذر عن ابن عباس رضي الله عنه وابن المسيب والحسن وعطاء وقتادة وسعيد بن جبير وحماد بن أبي سليمان وبكر بن عبد الله المزني والأوزاعي والثوري وإسحاق وأبي ثور، وقال ابن المنذر: وبه أقول
واحتجوا على ذلك بقوله تعالى: {حتى يطهرن } . وهذه طاهرة من الحيض، وبما روي أن حمنة بنت جحش رضي الله عنها كانت تستحاض، وكان زوجها طلحة بن عبيد الله يجامعها، وأن أم حبيبة رضي الله عنها كانت تستحاض، وكان زوجها عبد الرحمن بن عوف يغشاها ، وقد سألتا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أحكام المستحاضة، فلو كان وطؤها حراما لبينه لهما. ولأن المستحاضة كالطاهر في الصلاة والصوم والاعتكاف والقراءة وغيرها، فكذلك في الوطء، ولأنه دم عرق، فلم يمنع الوطء كالناسور، ولأن التحريم بالشرع، ولم يرد بتحريم في حقها، بل ورد بإباحة الصلاة التي هي أعظم
القول الثاني: ذهب الحنابلة في المذهب وابن سيرين والشعبي والنخعي والحكم وابن علية من المالكية إلى أنه لا يباح وطء المستحاضة من غير خوف العنت منه أو منها، لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: " المستحاضة لا يغشاها زوجها " . ولأن بها أذى فيحرم وطؤها كالحائض، فإن الله تعالى منع وطء الحائض معللا بالأذى بقوله: {قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض } . فأمر باعتزالهن عقيب الأذى مذكورا بفاء التعقيب، ولأن الحكم إذا ذكر مع وصف يقتضيه ويصلح له علل به، والأذى يصلح أن يكون علة فيعلل به، وهو موجود في المستحاضة فيثبت التحريم في حقها
Hasyiyah Ibnu Abidin Ala Durrul Mukhtar, Juz : 1 Hal : 291
ودم استحاضة) حكمه (كرعاف دائم) وقتا كاملا (لا يمنع صوما وصلاة) ولو نفلا (وجماعا) لحديث «توضئي وصلي وإن قطر الدم على الحصير
.................................
قوله وجماعا) ظاهره جوازه في حال سيلانه وإن لزم منه تلويث، وكذا هو ظاهر غيره من المتون والشروح وكذا قولهم: يجوز مباشرة الحائض فوق الإزار وإن لزم منه التلطخ بالدم، وتمامه في ط
Jawahirul Iklil Syarah Muhtashor Kholil, Juz : 1 Hal : 31
ثم هي مستحاضة وتغتسل كلما انقطع وتصوم وتصلي وتوطأ
...................................
هى مستحاضة) لا حائض فتغتسل من الحيض وتصلى وتصوم وتوطأ والدم نازل عليها -إلى أن قال- وتوطأ بعد غسلها على المعروف خلافا لصاحب الارشاد القائل لا يجوز وطؤها
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 2 Hal : 373
يجوز عندنا وطئ المستحاضة في الزمن المحكوم بأنه طهر وإن كان الدم جاريا وهذا لا خلاف فيه عندنا قال القاضي أبو الطيب وابن الصباغ والعبد رى وهو قول أكثر العلماء ونقله ابن المنذر في الإشراف عن ابن عباس وابن المسيب والحسن وعطاء وسعيد بن جبير وقتادة وحماد بن أبي سليمان وبكر بن عبد الله المزني والاوزاعي ومالك والثوري واسحق وأبي ثور قال ابن المنذر وبه أقول وحكي عن عائشة والنخعي والحكم وابن سيرين منع ذلك وذكر البيهقي وغيره أن نقل المنع عن عائشة ليس بصحيح عنها بل هو قول الشعبي أدرجه بعض الرواة في حديثها وقال احمد لا يجوز الوطئ إلا أن يخاف زوجها العنت واحتج للمانعين بأن دمها يجري فأشبهت الحائض واحتج أصحابنا بما احتج به الشافعي في الأم وهو قول الله تعالى (فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن) وهذه قد تطهرت من الحيض واحتجوا أيضا بما رواه عكرمة عن حمنة بنت جحش رضي الله عنها أنها كانت مستحاضة وكان زوجها يجامعها رواه أبو داود وغيره بهذا اللفظ بإسناد حسن وفي صحيح البخاري قال قال ابن عباس المستحاضة يأتيها زوجها إذا صلت الصلاة أعظم ولأن فكذا في الوطئ ولانه دم عرق فلم يمنع الوطئ كالناسور ولأن التحريم بالشرع ولم يرد بتحريم بل ورد بإباحة الصلاة التي هي أعظم كما قال ابن عباس والجواب عن قياسهم على الحائض أنه قياس يخالف ما سبق من دلالة الكتاب والسنة فلم يقبل ولأن المستحاضة لها حكم الطاهرات في غير محل النزاع فوجب إلحاقه بنظائره لا بالحيض الذي لا يشاركه في شئ
Kasysyaful Qona’, An Matnil Iqna’, Juz : 1 Hal : 218
ولا يباح وطء المستحاضة من غير خوف العنت منه أو منها) لقول عائشة: المستحاضة لا يغشاها زوجها ولأن بها أذى فحرم وطؤها كالحائض، وعنه يباح مطلقا، وهو قول أكثر العلماء لأن حمنة كانت تستحاض، وكان زوجها طلحة بن عبيد الله يجامعها، وأم حبيبة كانت تستحاض، وكان زوجها عبد الرحمن بن عوف يغشاها، رواهما أبو داود وقد قيل: إن وطء الحائض يتعدى إلى الولد فيكون مجذوما
Sunan Ibnu Majah, Juz : 2 Hal : 784
حدثنا محمد بن يحيى قال: حدثنا عبد الرزاق قال: أنبأنا معمر، عن جابر الجعفي، عن عكرمة، عن ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا ضرر ولا ضرار
0 komentar:
Posting Komentar