Template information

Kajian Kitab Al-Waroqot : ‘Am dan Khash (Bagian 1)

الْعَام وَالْخَاص

وَأما الْعَام فَهُوَ مَا عَم شَيْئَيْنِ فَصَاعِدا
من قَوْله عممت زيدا وعمرا بالعطاء وعممت جَمِيع النَّاس بالعطاء
وألفاظ أَرْبَعَة
الِاسْم الْوَاحِد الْمُعَرّف بِالْألف وَاللَّام
 وَاسم الْجمع الْمُعَرّف بِاللَّامِ
والأسماء المبهمة ك
"من" فِيمَن يعقل
وَ"مَا" فِيمَا لَا يعقل
وَ"أي" فِي الْجَمِيع
وَ"أَيْنَ" فِي الْمَكَان، وَ"مَتى" فِي الزَّمَان، وَ"مَا" فِي الِاسْتِفْهَام وَالْجَزَاء وَغَيره
وَ"لَا" فِي النكرات

‘AM DAN KHASH

Am adalah: Suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tampa terbatas.
Diambil dari perkataan "عممت زيدا وعمرا بالعطاء"  (Aku mengumumkan pemberian bagi zaid dan amr) dan perkataan  "عممت جميع الناس بالعطاء" (Aku mengumumkan pemberian untuk semua orang). 

Bentuk kata umum itu ada empat:
1. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال) 
2. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)
3. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:
- مَنْ; untuk menunjukkan sesuatu yang berakal.
- مَا; untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal.
- أَيّ; untuk menunjukkan kesemuanya.
- أَيْنَ); untuk menunjukkan tempat,
- مَتَى; untuk menunjukkan waktu
- مَا; untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya.
- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum).


Penjelasan:

1. Pengertian Am –sebagaimana dijelaskan diatas- adalah suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa adanya suatu batasan.

Contohnya adalah firman Allah;

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”. (QS.Al-Baqoroh : 29)

Ayat diatas menggunakan kata جميع yang berarti “semua”, karena itu kalimat seperti ini dikatakan sebagai kalimat yang umum (am). Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil imam suyuthi menyatakan bahwa ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama’; bahwa hokum asal semua benda yang ada dibumi itu halal kecuali jika ada dalal yang menyatakan keharamannya. (1)


2. Sedangkan tambahan kata-kata “tanpa batasan” dalam definisi am, bertujuan untuk mengecualikan isim adad (kata bilangan), sebab meskipun isim adad juga bisa mencakup sesuatu lebih dari dua tetap saja cakupannya terbatas. Contohnya kata مائة yang berarti 100 dan مائة yang berarti 1000, cakupannya memang diatas dua tapi tetap saja terbatas pada angka 100 dan 1000 tidak lebih. (2)

3. Bentuk-bentuk kata yang menunjukkan arti umum adalah sebagai berikut:

a. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)  . Contohnya adalah firman Allah;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqoroh : 275)

Pada ayat diatas terdapat isim mufrod, yaitu kata بيع yang artinya jual beli, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi (mencakup semua jenis), maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis jual beli”. Imam Suyuthi menjelaskan, bahwa ayat diatas adalah dalil bahwa hokum asal semua bentuk transaksi jual beli adalah halal, kecuali bentuk-bentuk jual beli yang terdapat dalil mengenai keharamannya. (3)

b. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال). Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa” (QS. Az-Zumar : 53)

Pada ayat diatas terdapat jama’ (jama’ taksir), yaitu kata ذنوب yang berarti beberapa dosa, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi, maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis dosa”. Syekh Wahabah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, dari ayat ini bisa diambil ketentuan hukum bahwa Allah bisa saja mengampuni semua dosa yang telah dikerjakan manusia, baik dosa kecil maupun dosa besar, semua itu diserahkan sepenuhnya menurut kehendak Allah subhanahu wata’ala. (4)

c. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:

1- مَنْ (siapa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang berakal. Contohnya adalah firman Allah;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqoroh : 185)

Ayat diatas merupakan ayat yang mengganti ketentuan hukum sebelumnya dimana seorang muslim yang menemui bulan ramadhan boleh memilih antara berpuasa atau memberikan makanan pada fakir miskin bagi yang tidak berpuasa, sebagaimana dikisahkan dalam satu hadits;

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: «كُنَّا فِي رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ» ، حَتَّى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Dari Salamah Al Akwa' radliallahu 'anhu, bahwa ia berkata; Dulu, ketika kami memasuki bulan Ramadlan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam siapa saja yang ingin, maka ia berpuasa dan siapa yang tidak suka, maka ia akan berbuka dengan syarat membayar fidyah, peritstiwa itu terus terjadi hingga turunnya ayat: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Shahih Muslim, No.1145) (5)

2-  مَا (apa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal. Contohnya adalah firman Allah;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka (pahalanya) itu untuk kamu sendiri.” (QS. Al-Baqoroh : 272)

Ayat diatas menunjukkan bahwa pada hakekatnya segala bentuk nafkah yang diberikan oleh seseorang itu manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, sebab apa yang ia lakukan tidaklah sia-sia karena akan mendapatkan balasan dari Allah, sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayatnya;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqoroh : 272) (6)

3- أَيّ (yang mana saja); untuk menunjukkan kesemuanya. Contohnya adalah firman Allah;

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)”. (QS. Al-Isro’ : 110)

Maksud dari ayat diatas adalah kita boleh saja berdo’a atau menyebut Allah dengan menggunakan salah satu dari asma’ul husna, sebab semua nama tersebut yang dituju adalah satau (musamma wahid) yaitu Allah, bukan seperti orang-orang musyrik yang salah memahami dan mengira bahwa nama yang banyak tersebut berarti tuhan juga ada banyak. (7)

4- أَيْنَ (di mana saja); untuk menunjukkan tempat. Contohnya adalah firman Allah;

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh”. (QS. An-Nisa’ : 78)

Maksud dari ayat diatas adalah peringatan bagi kaum muslimin untuk tidak menghindar atau lari dari peperangan karena takut mati, karena toh dimanapun mereka berada pasti akhirnya akan mati juga. (8)

5- مَتَى (kapan?); untuk menunjukkan waktu. Contohnya adalah firman Allah;

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, Padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqoroh : 214)

Ayat diatas mengingatkan semua orang islam bahwa keimanan dan keislaman kita akan diuji dengan berbagai cobaan, Allah berfirman;

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَراتِ، وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqoroh : 155)

Dan hal seperti itu sudah terjadi semenjak dahulu, sampai=sampai para Rasul yang merupakan orang-orang yang paling teguh keimanannya sampai bertanya “kapan akan dating pertolongan dari Allah?”, karena itulah diakhir ayat Allah menguatkan hati orang-orang mukmin dengan menyatakan; “Ketahuilah bahwasanya pertolongan Allah itu dekat”. (9)
 
6- مَا (apa?); untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya. Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." (QS. Al-Baqoroh : 26)

Ayat diatas menjelaskan perbedaan pola pikir orang-orang kafir dan orang yang beriman; orang kafir ketika mengetahui bahwa Allah memberikan beberapa perumpamaan dalam al-qur’an "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dan tidak mau berpikir secara obyektif, jika saja mereka mau bersikap obyektik tentu mereka akan tahu maksud dan hikmah dibalik semua itu. Berbeda dengan orang mukmin yang meyakini bahwa semua yang dating dari Allah itu benar, selain itu ia yakin bahwa perumpamaan-perumpamaan itu bertujuan untuk mennjelaskan suatu kebenaran agar mudah diterima dengan cara menjadikan sesuatu yang berada diruang pikiran ditampakkan kasat mata, atau dengan cara memberikan perincian pada sesuatu yang masih global. (10)

7- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum). Contohnya adalah firman Allah;

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada pemaksaan dalam agama”. (QS. Al-Baqoroh : 256)

Kata اكراه adalah isim nakiroh (kata umum) yang didahului oleh “laa naïf” (laa yang bermakna “tidak”) sehingga memberikan faedah keumuman kalimat tersebut. Imam Suyuthi menjelaskan, ayat ini dijadikan dalil bahwa kafir dzimmi (orang-orang kafir yang berada dinegara islam namun membayar pajak kepada negara)  tidak boleh dipaksa untuk masuk islam, dan jika mereka masuk islam karena paksaan maka islamnya tidak dianggap sah. (12)


Referensi:
1. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal:27
2. Tahqiq Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal: 122
3. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 63
4. Tafsir Al-Munir, 24/41
5. Shahih Muslim, 2/802
6. Tafsir Al-Munir, 3/80
7. Tafsir Al-Munir, 15/194
8. Tafsir At-Thobari, 7/234
9. Tafsir Al-Munir, 2/249
10. Tafsir Al-Maroghi, 1/72
11. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 61


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian Kitab Al-Waroqot : Tujuan-tujuan lain dari sebuah perintah


وَترد صِيغَة الْأَمر وَالْمرَاد بِهِ الْإِبَاحَة أَو التهديد أَو التَّسْوِيَة أَو التكوين

Suatu perintah terkadang dimaksudkan untuk menunjukkan kebolehan, ancaman, menyamakan atau penciptaan.

Penjelasan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa suatu perintah itu menunjukkan hukum wajib, kecuali apabila ada petunjuk yang mengalihkan perintah tersebut pada hukum lainnya, seperti hukum sunat. Selain 2 hukum tersebut, adakalanya suatu perintah menunjukkan beberapa hal lain. Yaitu :

1.  Hukum mubah (ibahah). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ

“Hai sekalian manusia, makanlah apa yang terdapat di bumi” (Q.S. Al-Baqoroh : 168). (1)

Ayat diatas memerintahkan manusia untuk makan, dan perintah tersebut menunjukkan hukum mubah, sebab makan sudah menjadi kebiasaan dan tabiat manusia. (2)

2. Ancaman (tahdid). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Fushshilat ; 40) (3)

3. Menyamakan 2 hal (taswiyah). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi Balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Ath-Thur : 16) (4)

4. Penciptaan (takwin). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

"Jadilah kalian kera yang hina” (Q.S. Al-Baqoroh : 65, Al-A’rof : 166) (5)

Referensi :
1. Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
2. Ushul Fiqh Al-Islami, Juz : 1  Hal : 220
3. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 120,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
4. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 120,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
5. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 121,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 161

Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"
Karya : Imam Haromain
Oleh : Siroj Munir

Download Kitab Al-Muwafaqot - Asy-Syathibi



Judul kitab : Al-Muwafaqot Fi Ushulis Syari'at

Penulis : Imam Abu Ishaq, Ibrohim bin Musa bin Muhammad Asy-Syathibi

Muhaqqiq : Syaikh Abdulloh Daroz

Penerbit : Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro - Mesir

Cetakan : -

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Cover  Juz 1  Juz 2  Juz 3  Juz 4

Download Kitab Al-I'tishom - Asy-Syathibi


Judul kitab : Al-I'tishom

Penulis : Imam Abu Ishaq, Ibrohim bin Musa bin Muhammad Asy-Syathibi


VERSI PERTAMA

Muhaqqiq : Salim bin 'Id Al-Hilali

Penerbit : Dar Ibnu Affan, Al-Aqrobiyah - Arab Saudi

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1992

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA

Muhaqqiq : Sayyid Muhammad Rosyid Ridho

Penerbit : Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro - Mesir

Cetakan : -

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Cover  Juz 1  Juz 2


VERSI KETIGA

Muhaqqiq : Muhammad bin Abdurrohman Asy-Syaqir - Sa'id bin Abdulloh Alu Humaid - Hisyam bin Isma'il Ash-Shini

Penerbit : Dar Ibnul Jauzi, Damam - Arab Saudi

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2008

Link download (PDF) : Cover  Muqodimah  Juz 1  Juz 2  Juz 3


VERSI KEEMPAT

Muhaqqiq : Abu Ubaidah, Masyhur bin Hasan Alu Sulaiman

Penerbit : Maktabah At-Tauhid,

Cetakan : -

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Cover  Muqoddimah  Juz 1  Juz 2  Juz 3  Juz 4

Download Kitab Al-Wajiz Fi Ushulil Fiqh - Wahabah Zuhaili



Judul kitab : Al-Wajiz Fi Ushulil Fiqh

Penulis : Dr. Wahabah Az-Zuhaili

Muhaqqiq : -

Penerbit : Darul Fikr, Damaskus - Syiria

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1999

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Ushulul Fiqh Al-islami - Wahabah Zuhaili



Judul kitab : Ushulul Fiqh Al-islami

Penulis : Dr. Wahabah Az-Zuhaili

Muhaqqiq : -

Penerbit : Darul Fikr, Damaskus - Syiria

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1986

Link download (PDF) : Klik disini

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Peintah (Bagian 6)

وَالْكفَّار مخاطبون بِفُرُوع الشَّرِيعَة وَبِمَا لَا تصح إِلَّا بِهِ وَهُوَ الْإِسْلَام لقَوْله تَعَالَى : مَا سلككم فِي سقر قَالُوا لم نك من الْمُصَلِّين
 
وَالْأَمر بالشَّيْء نهي عَن ضِدّه
 
وَالنَّهْي عَن الشَّيْء أَمر بضده

Orang-orang kafir juga termasuk dalam sasaran perintah dalam melaksanakan cabang-cabang hukum agama islam dan segala yang berkaitan dengan keabsahan hukum cabang tersebut, yaitu islam, berdasarkan firman Alloh ta’ala;

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)

Memerintahkan sesuatu artinya melarang melakukan sebaliknya,

Dan melarang sesuatu artinya memerintahkan melakukan sebaliknya


Penjelasan

1. Orang-orang kafir itu juga masuk dalam cakupan khitob cabang-cabang hukum syariat islam, sebab yang menjadi syarat ditaklifnya seseorang adalah memiliki akal yang sehat, dan hal ini juga dimiliki orang kafir, jadi mereka juka masuk dalam cakupan taklif, dalam arti bahwa orang-orang kafir yang telah sampai dakwah islam kepada mereka, kelak akan disiksa dineraka karena keengganan mereka untuk masuk islam,

Jika dikatakan; mustahil memerintahkan sholat bagi orang dalam keadaan kafir, maka  jawabannya adalah maksud dari perintah sholat bagi mereka adalah perintah untuk masuk islam terlebih dahulu agar dapat mengerjakan sholat, karena sholat hanya sah dikerjakan oleh orang yang beragama islam,sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)

2. Tujuan dari suatu perintah adalah terwujudnya apa yang diperintahkan, dan suatu perintah tak akan terwujud jika yang dilakukan adalah kebalikan dari apa yang diperintahkan. Karena itu; “perintah untuk mengerjakan sesuatu adalah larangan untuk mengerjakan kebalikannya”.

Contohnya adalah perintah untuk berdiri saat mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu, sebagaimana dijelaskan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Sholatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan". (Shohih Bukhori, no.1117)

Berdasarkan hadits diatas para ulama’ menetapkan bahwa sholat fardhu harus dikerjakan dengan berdiri bagi orang yang mampu, jadi apabila orang yang mampu untuk berdiri mengerjakan sholat dengan duduk atau berbaring maka sholatnya tidak sah.

Dari ketetapan tersebut dapat dipahami bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal ini perintah berdiri ketika mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu juga merupakan larangan untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu sholat dengan duduk atau berbaring.

3. Begitu juga sebaliknya, tujuan dari suatu larangan adalah terwujudnya apa yang dilarang dan hal tersebut tak akan terwujud apabila yang dikerjakan malah mengerjakan larangan tersebut. Karena itu; “larangan untuk mengerjakan sesuatu adalah perintah untuk mengerjakan kebalikannya”.

Contohnya adalah larangan untuk mengerjakan puasa yaumus syak, yaitu mengerjakan puasa pada tanggal 30 sya’ban yang masih diragukan apakah hari tersebut masih masuk bulan sya’ban atau sudah masuk bulan romadhon. Larangan puasa yaumus syak didasarkan pada hadits;

عَنْ صِلَةَ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ، فَقَالَ عَمَّارٌ: مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dari Shilah, ia berkata; kami pernah berada bersama 'Ammar pada hari yang diragukan, kemudian ia membawa seekor kambing dan sebagian orang menyingkir. Kemudian 'Ammar berkata; barangsiapa yang berpuasa pada hari ini maka sungguh ia telah durhaka kepada Abu Al Qosim (Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam)”. (Sunan Abu Dawud, no.2334)

Berdasarkan hadits diatas para ulama’ memahami dan menetapkan bahwa puasa yaumus syak hukumnya haram.

Dari ketetapan tersebut juga bisa ditarik kesimpulan bahwa larangan untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal inilarangan untuk berpuasa pada yaumus syak juga merupakan perintah untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu tidak mengerjakan puasa.

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 113-115
2. Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 150-155
3. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 130-131 & 361


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Download kitab Al-Lamadzhabiyah Akhdhoru Bid'ah - Al-Buthi







Judul kitab : Al-Lamadzhabiyah Akhdhoru Bid'ah Tuhaddidu Asy-Syari'ah Al-Islamiyah

Penulis : Dr. Muhammad Sa'id Romdhon Al-Buthi

Muhaqqiq : Dr. Muhammad Hasan Haitu

Penerbit : Dar Al-Farobi, Damaskus - Syiria

Cetakan : -

Tahun terbit : 2005

Link download (PDF) : Klik disini

Download kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam - Al-Amidi



Judul kitab : Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam

Penulis : Imam Ali bin Muhammad Al-Amidi

Muhaqqiq : Syaikh Abdurrozaq Al-Afifi

Penerbit : Darus Shomi'i, Riyadh - Arab Saudi

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2003

Link download (PDF) : Cover  Juz 1  Juz2  Juz 3  Juz 4

Download kitab At-Tamhid Fi Takhrijil Furu' Alal Ushul



Judul kitab : At-Tamhid Fi Takhrijil Furu' Alal Ushul

Penulis : Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdurrohim bin Al-Hasan Al-Isnawi

Muhaqqiq : Dr. Muhammad Hasan Haitu

Penerbit : Mu'asssisah Ar-Risalah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : 1981

Link download (PDF) : Klik disini

Kajian Kitab Al-waroqot : Amar/Perintah (Bagian 5)

يدْخل فِي خطاب الله تَعَالَى الْمُؤْمِنُونَ
وَأما الساهي وَالصَّبِيّ وَالْمَجْنُون فهم غير داخلين فِي الْخطاب

Sasaran perintah Allah adalah orang-orang mukmin jika dalam Alquran terdapat kata perintah maka perintah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang beriman.

Orang yang lupa, anak-anak dan orang gila tidak termasuk dalam sasaran perintah.

Penjelasan
ORANG YANG MASUK DALAM PERINTAH DAN LARANGAN

1. Orang orang-yang termasuk dalam cakupan perintah dan larangan syari’at islam adalah semua orang yang beriman, baik laki-laki atu perempuan yang sudah baligh dan memiliki akal yang sehat.

2. Anak kecil (shobiy), orang yang sedang lupa (sahi), orang yang sedang tidur (na’im), orang yang sedang mabuk (sakron) danorang gila (majnun) tidak termasuk dalam cakupan khithob (perintah dan larangan syari’at) sebab mereka semua tidak termasuk dalam kategori orang yang mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh, berakal sehat dan dalam keadaan sadar. Rosululloh bersabda;

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ المُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ

"Pena (pencatat amal dan dosa) itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia baligh." (Sunan Abu Dawud, no.4398)

Sedangkan dalil-dalil yang seolah-olah menyatakan bahwa mereka di-taklif maka sebenarnya tidaklah seperti itu.

Contohnya, terdapat dalil yang menyatakan bahwa anak kecil yang sudah berumur 7 tahun dan kalau meninggalkannya pada usia 10 tahun maka ia dipukul, sebagaimana dijelaskan dalam dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

مُرُوا الصِّبْيَانَ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا فِي عَشْرٍ

“Perintahkan anak-anak kecil untuk mengerjakan sholat ketika telah berumur 7 tahun, dan pukullah mereka ketika sudah berumur 10 tahun” (Mustadrok Lil-Hakim, no.708, Sunan Baihaqi, no.5092)

Sebenarnya yang diperintah dalam hadits tersebut bukanlah anaknya tapi orang yang mengurusinya (walinya).

Contoh lainnya adalah dalil yang menyatakan bahwa orang yang tidur dan lupa wajib sholat, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

"Jika salah seorang diantar kalian ketiduran dari (tidak mengerjakan) shalat, hendaknya ia mengerjakan ketika ingat, sebab Allah Ta'ala berfirman; Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (Shohih Muslim, no.684)

Maksudnya adalah perintah bagi orang yang tidur yang menyebabkan ia tidak mengerjakan sholat dan orang yang lupa mengerjakan sholat untuk mengerjakannya ketika mereka sudah bangun dari tidurnya dan ingat bahwa ia belum sholat bagi orang yang lupa. Jadi perintah itu bukanlah perintah bagi orang yang tidur atau lupa, karena orang yang sedang tidur atau lupa tidak mukallaf.

Begitu juga larangan mengerjakan sholat bagi orang yang mabuk yang dijelaskan dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian sholat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.S. An-Nisa’ : 43)

Ayat tersebut bukanlah larangan yang ditujukan bagi orang yang sedang mabuk, tapi larangan bagi orang yang dalam keadaan sadar agar tidak mabuk ketika akan mengerjakan sholat.

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 112
2. Syarah Al-Waroqot Li Ibnu Firkah, Hal : 149
3. Ushulul Fiqh Al-islami Li Wahabah Az-Zuhaili, Juz : 1  Hal : 159 - 160


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian kitab Al-Waroqot : Amr/Perintah (Bagian 4)

وَالْأَمر بإيجاد الْفِعْل أَمر بِهِ وَبِمَا لَا يتم الْفِعْل إِلَّا بِهِ كالأمر بِالصَّلَاةِ فَإِنَّهُ أَمر بِالطَّهَارَةِ المؤدية إِلَيْهَا

وَإِذا فعل يخرج الْمَأْمُور عَن الْعهْدَة

Perintah untuk mewujudkan suatu pekerjaan juga merupakan perintah untuk melakukan perkerjaan yang tidak sempurna kecuali adanya pekerjaan tersebut, seperti perintah Shalat juga termasuk perintah untuk bersuci yang harus dilakukan untuk keabsahan shalat”

Jika perintah sudah dilaksanakan maka terlepaslah orang yang disuruh dari kewajiban perintah tersebut.

Penjelasan
1. Perintah untuk melakukan suatu perkara berarti juga perintah untuk untuk melakukan segala hal yang menjadi perantara dari perkara tersebut.

Masalah ini dalam istilah ilmu ushul fiqih dikenal dengan “muqoddimah wajib” (pendahuluan wajib), para ulama’ ahli ushul fiqih biasa mengungkapkan masalah ini dengan kaedah;  

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب, وما لا يتم الوجوب إلا به فليس بواجب

"”Perkara yang menjadi penyempurna dari suatu kewajiban itu dihukumi wajib, sedangkan perkara yang menjadi penyempurna “wujub” hukumnya tidak wajib”

Penjelasan dari kaedah diatas adalah sebagai berikut :

Para ulama’ ushul fiqih membagi muqoddimah wajib itu menjadi 2 bagian :

Pertama; “muqoddimah wujub”, atau biasa disebut “muqoddimah taklif”. Muqoddimah wujub adalah;

ما يتوقف وجوب الواجب عليه سواء كانت سبباً أو شرطاً

“Perkara yang menjadi ketetapan mengenai kewajiban perkara yang wajib, baik itu berupa sebab, atau syarat”.

Contoh dari sebab adalah masuknya bulan romadhon yang menjadi sebab diwajibkannya puasa wajib pada bulan romadhon, sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal bulan romadhon) dan berbukalah kalian dengan melihatnya pula” (Shohih Bukhori, no.1909 dan Shohih Muslim, no.1081)

Sedangkan contoh dari syarat adalah kemampuan (istitho’ah) yang menjadi syarat diwajibkannya haji, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah“ (Q.S. Ali Imron : 97)

Mengerjakan perkara yang masuk dalam kategori “muqoddimah wujub” itu hukumnya tidak wajib, karena “muqoddimah wajib” berada diluar kemampuan manusia. Dalam contoh diatas eseorang tentu tidak mampu diperintah untuk mempercepat laju waktu agar masuk bulan romadhon dan supaya bisa berpuasa pada bulan itu.

Begitu juga seseorang tidak diwajibkan untuk menjadikan dirinya mampu melaksanakan ibadah haji, sebab manusia hanya mampu bekerja untuk menghasilkan uang, namun berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut hingga menyebabkannya memiliki uang yang cukup agar mampu menunaikan haji adalah sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

Kedua; “muqoddimah wujud” atau yang biasa disebut “muqoddimah shihhah”. Muqoddimah wujud adalah;

ما يتوقف وجود الواجب عليه

“Perkara yang menjadi penentu terwujudnya suatu kewajiban”.

Contohnya seperti wudhu yang menjadi syarat sahnya sholat, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Ma’idah : 6)

Bagian yang kedua, yaitu muqoddimah wujud, inilah yang wajib dikerjakan seseorang itupun dengan ketentuan selama hal tersebut masih dalam batasan kemampuannya.

Sedangkan apabila muqoddimah wujud tersebut berada diluar batas kemampuannya, seperti hadirnya 40 orang yang menjadi syarat terlaksananya sholat jum’at, maka menghadirkan 40 orang untuk sholat jum’at itu tidak wajib dilakukan, meskipun hal tersebut masuk dalam kategori “muqoddimah wujud”.(1)

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ketentuan;

“Perintah untuk mewujudkan suatu pekerjaan juga merupakan perintah untuk melakukan perkerjaan yang tidak sempurna kecuali adanya pekerjaan tersebut”

adalah : “perintah untuk mengerjakan sesuatu juga merupakan perintah untuk mengerjakan “muqoddimah wujud” yang masih dalam batas kemampuan seseorang, sedangkan menegerjakan selain dari itu, yaitu mengerjakan “muqoddimah wujub” dan “muqoddimah wujud” yang berada diluar kemampuan itu hukumnya tidak wajib.

2. Perintah yang telah dikerjakan seseorang secara sempurna dengan memenuhi semua ketentuannya mulai dari syarat-syaratnya hingga dikerjakan dengan melakukan kewajiban-kewajibannya, maka orang tersebut sudah terbebas dari tanggungan mengerjakan kewajiban tersebut.

Referensi
1. Tahqiq Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 109


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 3)

وَلَا تَقْتَضِي التّكْرَار على الصَّحِيح إِلَّا مَا دلّ الدَّلِيل على قصد التّكْرَار
وَلَا تقتضى الْفَوْر

Terjemahan
Menurut pendapat yang shahih, perintah itu tidak dilakukan berulang kali kecuali ada dalil yang menunjukkan perintah tersebut harus dilakukan berulang.

Perintah tidak harus dikerjakan seketika/langsung.


Penjelasan
1. Suatu perintah hanya wajib dikerjakan sekali selama belum ada dalil yang menyatakan bahwa perintah itu harus dikerjakan berulang kali, sebab apa yang dituju perintah tersebut sudah dihasilkan dengan hanya dikerjakan satu kali dan pada dasarnya tak ada kewajiban untuk menambah lagi (1).

2. Contoh dari perintah yang hanya dikerjakan sekali adalah memberkan mas kawin kepada istri saat melangsungkan pernikahan, berdasarkan firman Alloh;

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S. An-Nisa’ : 4)

Karena tak ada dalil yang menyatakan bahwa kewajiban memberikan mahar harus diberikan berulang kali, maka maka ditetapkan bahwa mahar hanya diberikan satu kaki saja.

3. Contoh perintah yang harus dikerjakan berulang kali adalah puasa pada bulan romadhon, yang diperintahkan Alloh dalam firman-Nya;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqoroh : 183)

Puasa romadhon diwajibkan setiap tahunnya berdasarkan penjelasan dalam ayat lainnya, diamana Alloh berfirman;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Q.S. Al-Baqoroh : 185)

Dan berdasarkan sabada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal bulan romadhon) dan berbukalah kalian dengan melihatnya pula” (Shohih Bukhori, no.1909 dan Shohih Muslim, no.1081)

4. Dalam sebagian salinan kitab Al-Waroqot, setelah kalimat :

وَلَا تقتضى الْفَوْر

“Dan (perintah untuk mengerjakan sesuatu) tidak harus dikerjakan secara langsung”,
 Terdapat tambahan penjelasan :

لأن الغرض منه إيجاد الفعل من غير اختصاص بالزمان الأول دون الزمان الثانى

“Sebab tujuan utama suatu perintah adalah  terlaksananya perintah tersebut dengan tanpa adanya penentuan harus dikerjakan pada waktu pertama dan tidak boleh dikerjakan diwaktu kedua” (2).

5. Contoh dari kewajiban yang tidak harus dikerjakan secara langsung  adalah kewajiban menunaikan haji. Alloh berfirman;

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah“ (Q.S. Ali Imron : 97)

Menurut madzhab syafi’i menunaikan ibadah haji tidak harus dikerjakan secara langsung pada saat seseorang sudah mampu, jadi pelaksanaannya bisa diakhirkan, dengan syarat orang tersebut sudah berniat menunaikannya pada masa yang akan dating, meski begitu disunatkan untuk menunaikannya langsung ketika sudah mampu, berdasarkan firman Alloh;

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kalian semua akan kembali, lalu diberitahukan-Nya kepada aklian apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Q.S. Al-Ma’idah : 48)  (3)

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 106,   Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 140
2. Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 108,    Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 140-141
3. Al-Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, Juz : 1  Hal : 373


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 2)

وَهِي عِنْد الْإِطْلَاق والتجرد عَن الْقَرِينَة تحمل عَلَيْهِ إِلَّا مَا دلّ الدَّلِيل على أَن المُرَاد مِنْهُ النّدب أَو الْإِبَاحَة

Terjemah
Melaksanakan suatu perintah yang sifatnya mutlak dan tidak terdapat petunjuk bahwa terdapat kemungkinan lain, pada dasarnya adalah wajib, kecuali apabila terdapat dalil yang menjadikan perintah itu menjadi sunnah atau mubah.

Penjelasan
1. Pada dasarnya setiap perintah itu wajib untuk dikerjakan, seperti perintah untuk mengerjakan sholat 5 waktu yang disebutkan dalam firman Alloh;

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. Al-Isro’ : 78)

Kecuali apabila ada petunjuk yang mengarahkan perintah tersebut dari kewajiban menjadi sebuah kesunatan. Contohnya adalah perintah untuk mengerjakan sholat witir yang disebutkan dalam beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ. أَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil, maka laksanakanlah witir wahai ahli Qur'an. " (Sunan Ibnu Majah, No.1170)

Perintah diatas tidak menunjukkan kewajiban, sebab terdapat penjelasan sayyidina Ali karromallohu wajhah dalam satu riwayat hadits;

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

" Ali bin Abu Thalib berkata, "Shalat witir tidak wajib dan tidak pula seperti shalat maktubah kalian, hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya, beliau mengatakan: "Wahai ahli Qur`an, hendaklah kalian shalat witir, sesungguhnya Allah menyukai shalat witir. " (Sunan Ibnu Majah, No.1169 dan Sunan Turmudzi, No.453)

Karena itulah, para ulama’ menyimpulkan bahwa sholat witir hukumnya adalah sunat.

Dan terkecuali apabila terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang sifatnya mubah, boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Contohnya adalah perintah Rosululloh dalam satu hadits;

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ، فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ

“Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah berkata, "Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya." Maka beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu." (Shohih Bukhori, No.5364)

Perintah Rosulululloh kepada Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan secara diam-diam karena Abu Sufyan pelit, bukanlah perintah yang menunjukkan suatu kewajiban yang harus dikerjakan, tapi perintah tersebut adalah “amru ibahah” perintah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Adapun petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib terdapat pada riwayat lain dari hadits tersebut;

جَاءَتْ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ، فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنَ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا؟ فَقَالَ: لاَ حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Hindun binti 'Utbah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, apakah aku berdosa bila aku ambil dari hartanya untuk memberi makan keluarga kami? '. Maka Beliau bersabda: "Tidak dosa atasmu jika kamu beri makan mereka dengan cara yang ma'ruf (wajar).” (Shohih Bukhori, No.2460)

Rosululloh menyatakan bahwa mengambil harta Abu Sufyan itu “tidak berdosa” (لا حرج). Kata “لا حرج” merupakan indikasi/petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib dikerjakan, karena itulah disimpulkan bahwa perintah inilah adalah perintah yang mubah untuk dilakukan.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

 [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 1)

وَالْأَمر استدعاء الْفِعْل بالْقَوْل مِمَّن هُوَ دونه على سَبِيل الْوُجُوب
وصيغته افْعَل

Terjemahan
Amar (perintah) ialah permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan melalui ucapan kepada bawahannya dengan ketentuan harus dikerjakan.

Bentuk kata perintah adalah  افعل  (Kerjakan!)

Penjelasan
1. Suatu permintaan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, apabila yang meminta derajatnya lebih tinggi dari yang diminta, maka permintaan itu disebut dengan “amar”, Sedangkan apabila yang meminta dan yang diminta kedudukannya sama, maka permintaan itu disebut dengan “iltimas”,  dan apabila yang meminta kedudukannya lebih rendah dari yang dimintai, disebut dengan “su’al” atau “do’a” (1).

Contoh dari amar adalah perintah Alloh bagi para hambanya yang menikahi para wanita untuk memberikan mahar/mas kawin yang terdapat pada ayat;

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً 


“Dan kalian berikanlah bagi para wanita mahar-mahar mereka dengan suka rela” (Q.S. An-Nisa’ : 4)

Contoh dari iltimas adalah  permintaan seseorang kepada temannya untuk berkunjung kerumahnya.

Contoh dari do’a terdapat dalam ayat;

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41
 
“Wahai Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Wahai Tuhan Kami, perkenankanlah doaku. Wahai Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (Q.S. Ibrohim : 40-41)


2. Perintah bisa diungkapkan dengan beberapa sighot (bentuk kalimat);

a. Perintah yang diungkapkan dengan fi’il amar, seperti dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu” (Q.S. Al-Ma’idah : 1)

Perintah untuk memenuhi janji pada ayat diatas diungkapkan dengan fi’il amar, yaitu kalimat “أوفوا”.

b. Perintah yang diungkapkan dengan fi’il mudhori’ yang didahului dengan lam amar (huruf lam yang berfungsi untuk menunjukkan perintah) , seperti dalam firman Alloh;

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya” (Q.S. Ath-Tholaq : 7)

Perintah untuk memberikan nafkah pada ayat diatas diungkapkan dengan fi’il mudhori, yaitu lafadh “ينفق” yang didahului/kemasukan lam amar menjadi kalimat “لينفق”.

c. Perintah yang diungkapkan dengan jumlah khobariyah (kalimat berita), seperti yang terdapat dalam firman Alloh;

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Alloh tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisa’ : 141)

Ayat diatas bukan hanya berita bahwa Alloh tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir kepada orang-orang mukmin tapi juga merupakan perintah agar orang-orang mukmin tidak tunduk dibawah kekuasaan orang-orang kafir (2).

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 103
2. Ushulul Fiqh Al-Islami, Juz : 1  Hal : 219


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

Kajian Kitab Al-Waroqot : Hakikat dan Majaz

وَمن وَجه آخر يَنْقَسِم إِلَى حَقِيقَة ومجاز
فالحقيقة مَا بَقِي فِي الِاسْتِعْمَال على مَوْضُوعه وَقيل مَا اسْتعْمل فِيمَا اصْطلحَ عَلَيْهِ من المخاطبة
وَالْمجَاز مَا تجوز عَن مَوْضُوعه
 والحقيقة إِمَّا لغوية وَإِمَّا شَرْعِيَّة وَإِمَّا عرفية
وَالْمجَاز إِمَّا أَن يكون بِزِيَادَة أَو نُقْصَان أَو نقل أَو اسْتِعَارَة
فالمجاز بِالزِّيَادَةِ مثل قَوْله تَعَالَى : لَيْسَ كمثله شَيْء
وَالْمجَاز بِالنُّقْصَانِ مثل قَوْله تَعَالَى : واسأل الْقرْيَة
وَالْمجَاز بِالنَّقْلِ كالغائط فِيمَا يخرج من الْإِنْسَان
وَالْمجَاز بالاستعارة كَقَوْلِه تَعَالَى : جدارا يُرِيد أَن ينْقض

Terjemahan
Dari sisi lainnya, kalam terbagi menjadi haqiot dan majas
Haqiqot (kata yang sebenarnya) adalah kalam yang dalam penggunaannya tetap sesuai dengan ketentuan asalnya. Ada juga yang mengatakan bahwa kalam yang digunakan sesuai dengan istilah yang dipakai dalam pembicaraan.

Majaz (kata kiasan) adalah kalam yang melewati ketentuan asalnya.

Haqiqot adakalanya lughowiyah (haqiqot menurut bahasa), haqiqot syar’iyyah (haqiqot menurut syari’at Islam) dan urfiyyah (haqiqot menurut adat/kebiasaan).

Majaz adakalanya dengan tambahan, pengurangan, pemindahan atau peminjaman kata (isti’aroh).

Majaz dengan tambahan seperti firman Alloh ta’ala;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha melihat” (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Majaz dengan pengurangan, seperti firman Alloh ta’ala;

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ

“Dan tanyalah (penduduk) negeri” (Q.S. Yusuf : 82)

Majaz dengan pemindahan, seperti pemindahan kata “al-gho’ith” (الغائط) yang digunakan untuk menunjukkan arti kotoran yang keluar dari manusia.

Majaz dengan isti’aroh seperti firman Alloh ta’ala;

جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ

“Dinding rumah yang hampir roboh” (Q.S. Al-Kahfi : 77)

Penjelasan
1. Haqiqot Lughowiyyah adalah kata yang penggunaannya sesuaai dengan ketentuan bahasa. Contohnya kata “asad” (أسد) yang diucapkan untuk menunjukkan arti salah satu jenis binatang buas, pengucapan ini sesuatu dengan penetapan asli kata tersebut dalam bahasa arab, sebab kata tersebut terkadang digunakan sebagai gelar bagi orang yang pemberani.

2. Haqiqot syar’iyyah adalah kata yang penggunaannya mengikuti istilah syari’at agama. Contohnya kata “sholat”(صلاة) yang asalnya berarti “do’a”, seperti kata sholat yang terdapat pada firman Alloh;

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“Dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Q.S. At-taubah : 103)

Namun kata “sholat” dalam penggunaannya mengarah pada satu bentuk ibadah secara khusus. Jadi setiap kata ‘sholat” disebutkan dalam suatu dalil maka pertama akan mengarah pada arti sholat sebagai suatu ibadah secara khusus, bukan berarti do’a. Semisal kaqta sholat yang terdapat pada firman Alloh;

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan kalian dirikan sholat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman".(Q.S. Yunus : 87)

3. Haqiqot Urfiyyah adalah kata yang penggunaannya mengikuti kebiasaan secara umum. Contohnya adalah kata “dabbah” (دابة) yang menurut penetapan asli dalam bahasa arab artinya adalah “semua hewan yang melata diiatas bumi”, sebagaimana kata dabbah yang terdapat pada firman Alloh;

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Dan tiadalah binatang-binatang yang melata di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitabkemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan” (Q.S. Al-An’am : 38)

Namun dalam kebiasaan (urf) pengucapan keseharian, kata dabbah dimaksudkan untuk menunjukkan “hewan berkaki empat”, seperti sapi, kambing atau unta, sebagaimana penggunaan kata dabbah dalam hadits;

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلِّي عَلَى دَابَّتِهِ مِنَ اللَّيْلِ، وَهُوَ مُسَافِرٌ مَا يُبَالِي حَيْثُ مَا كَانَ وَجْهُهُ» قَالَ ابْنُ عُمَرَ: «وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّي عَلَيْهَا المَكْتُوبَةَ

“'Abdullah bin 'Umar rodliyallohu 'anhuma ketika bepergian pernah shalat malam diatas tunggangannya ke arah mana saja tunggangannya menghadap. berkata, Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma: "Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat sunnat diatas tunggangan Beliau ke arah mana saja menghadap dan juga melaksanakan shalat witir di atasnya. Hanya saja Beliau tidak melaksanakan yang demikian untuk shalat wajib" (Shohih Bukhori, no.1098)

4. Contoh majaz dengan tambahan adalah firman Alloh;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha melihat” (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Huruf kaf (ك) yang terdapat pada kata mitslihi (مثله) adalah kaf za’idah (huruf tambahan) yang tidak diartikan, sebab huruf kaf tersebut artinya sama dengan kata “mitslu” yaitu “seperti/menyerupai”. Karena itulah kalimat ini disebut majaz dengan ziyadah, yaitu tambahan huruf kaf.

5. Contoh majaz dengan pengurangan adalah firman Alloh;

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ

“Dan tanyalah (penduduk) negeri” (Q.S. Yusuf : 82)

Ayat diatas membuang kata “ahli” (اهل) yang tempatnya terletak sesudah kata “وَاسْأَلِ” artinya penduduk, sebab tidak mungkin yang ditanya desanya, tentu yang ditanya adalah penduduk desanya. Karena itu kalimat ini disebut majaz naqs larena mengurangi satu kata, yaitu kata “ahli’ dari kalimat tersebut.

6. Contoh majaz dengan pemindahan, seperti pemindahan kata “al-gho’ith” (الغائط) yang digunakan untuk menunjukkan arti kotoran yang keluar dari manusia. Arti sebenarnya kata “gho’ith” adalah tempat yang biasa digunakan untuk buang air, sebagaimana yang digunakan dalam ayat;

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu” (Q.S. An-Nisa’ : 43)

Kemudian kata gho’ith yang berarti tempat dipindah untuk menunjukkan arti “kotoran yang keluar dari manusia” (tinja), seperti yang terdapat pada hadits;

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ

“Sungguh beliau (Rosululloh) telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar” (Shohih Muslim, no.262)

7. Contoh majaz dengan peminjaman adalah firman Alloh;

جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ

“Dinding rumah yang hampir roboh” (Q.S. Al-Kahfi : 77)

Pada ayat diatas dikisahkan bahwa tembok tersebut “ingin” (يريد) padahal “keinginan” adalah sifat bagi makhluk hidup sedangkan tembok merupakan benda mati, tapi saat tembok tersebut menjadi miring dan hendak roboh, temboh tersebut dikatakan “ingin” roboh.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-waroqot : Amar, Nahi, Khobar, Istikhbar, Tamanni, ‘Ird dan Qosam

وَالْكَلَام يَنْقَسِم إِلَى أَمر وَنهي وَخبر واستخبار وينقسم أَيْضا إِلَى تمن وَعرض وَقسم

Terjemahan

Kalam terbagi menjadi amar, nahi, khobar dan istikhbar. Dan juga terbagi menjadi tamanni, ‘ird dan qosam.

Penjelasan
Berdasarkan madlul-nya (perkara yang ditunjukkannya) kalam terbagi menjadi 7 macam, yaitu :
1. Amar (perintah)
2. Nahi (larangan)
3. Khobar (kabar/berita)
4. Istikhbar/Istifham (mencari informasi)
5. Tamanni (pengharapan yang sulit atau mustahil tercapai)
6. ‘Irdh (tawaran/usulan)
7. Qosam (sumpah)

Contoh - contoh dari kalam - kalam diatas adalah sebagai berikut :

1. Contoh kalam yang mengandung amar adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat” (Shohih Bukhori, no.613, 6008, 7246)

2. Contoh dari kalam yang mengandung nahi adalah firman Alloh;

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al-Isro’ : 32)

3. Contoh kalam yang mengandung istikhbar/istifham adalah perkataan sayyidina Umar rodhiyallohu ‘anhu yang terdapat pada hadits;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ اسْتَفْتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلْ يَنَامُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، لِيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَنَمْ، حَتَّى يَغْتَسِلَ إِذَا شَاءَ


“Dari Ibnu Umar. Sesungguhnya Umar berkata; "Wahai Rosulullah, apa (boleh) salah seorang dari kita tidur sedangkan dia dalam keadaan junub?" Beliau menjawab, "Ya boleh, apabila dia berwudhu." (Shohih Muslim, no.306)

4. Contoh kalam yang mengandung tamanni adalah perkataan orang - orang kafir diakhirat nanti sebagaimana dikisahkan dalam firman Alloh;

إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا

“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya Sekiranya dahulu adalah tanah". (Q.S. An-Naba’ : 40)

5. Contoh kalam yang mengandung ‘ird adalah perkataan istri Nabi Isma’il pada Nabi Ibrohim ‘alaihis salam yang diceritakan dalam hadits;

أَلاَ تَنْزِلُ فَتَطْعَمَ وَتَشْرَبَ


“Apakah tidak sebaiknya anda singgah dulu untuk makan dan minum” (Shohih Bukhori, no.3365)

6. Contoh kalam yang mengandung sumpah adalah perkataan orang a’robi 9orang pedalaman) kepada Nabi yang dikisahkan dalam hadits;

وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ

"Demi Alloh, aku tidak akan menambah atau menguranginya" (Shohih Bukhori, no.46, 2678)


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-waroqot : Susunan Kalimat

وأبواب أصُول الْفِقْه أَقسَام : الْكَلَام، وَالْأَمر، وَالنَّهْي، وَالْعَام، وَالْخَاص، والمجمل، والمبين، وَالظَّاهِر، وَالمؤول، وَالْأَفْعَال، والناسخ والمنسوخ، وَالْإِجْمَاع، وَالْأَخْبَار، وَالْقِيَاس، والحظر وَالْإِبَاحَة، وترتيب الْأَدِلَّة، وَصفَة الْمُفْتى والمستفتى، وَأَحْكَام الْمُجْتَهدين
فَأَما أَقسَام الْكَلَام
فَأَقل مَا يتركب مِنْهُ الْكَلَام اسمان أَو اسْم وَفعل أَو فعل وحرف أَو اسْم وحرف

Terjemahan
Bab – bab dalam ushul fiqih yaitu :
1. Aqsamul kalam (pembagian-pembagian kalam)
2. Amr (perintah)
3. Nahi (larangan)
4. Aam (keumuman)
5. Khosh (kekhususan)
6. Mujmal (global/menyeluruh)
7. Mubayyan (Dijelaskan)
8. Dhohir (jelas)
9. Mu’awwal (dita’wil)
10. Af’aal (beberapa pekerjaan)
11. Nasih Mansuh (penghapus dan yang dihapus)
12. Ijma’ (kesepakatan ulama’)
13. Akhbar (kabar – kabar)
14. Qiyas (analogi/menyamakan satu hal sengan hal lain)
15. Hadhru wal Ibahah (dilarang dan diperbolehkan)
16. Tartibul adillah (urutan dalil – dalil)
17. Sifatul mufti wal mustafti (sifat orang yang berfatwa dan yang meminta fatwa)
18. Ahkamul mujtahidin (ketentuan – ketentuan bagi orang yang berijtihad)

Adapun pembagian kalam, maka kalam minimal harus tersusun dari 2 isim, isim dan fi’il, fi’il dan huruf atau isim dan huruf.

Penjelasan
1. Pembagian kalam itu dibagi menjadi 3, yaitu; pembagian kalam dari sudut pandang susunannya, pembagian dari sudut pandang petunjuknya dan pembagian kalam dari sudut pandang penggunaannya.

2. Dari sudut pandang penyusannya, kalam dapat tersusun dari :
a. 2 kalimah isim
b. Kalimah isim dan kalimah fi’i
c. Kalimah fi’il dan kalimah huruf
d. Kalimah isim dan kalimah huruf

3.. Contoh kalam yang tersusun dari 2 kalimah isim adalah hadits;

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Dari Tamim ad-Dari bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agama itu adalah nasihat." Kami bertanya, "Nasihat untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka." (Shohih Muslim, no.55)

Kata “الدين” dan “النصيحة” pada sabda Rosul diatas adalah sama-sama kalimah isim.

4.. Contoh kalam yang tersusun dari kalimah isim dan fi’il adalah firman Alloh;

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Q.S. Al-Isro’ : 81)

Kata “جاء” dan “زهق” pada ayat diatas adalah kalimah fi’il, sedangkan kata “الحق” dan “الباطل” adalah kalimah isim.

5. Contoh kalam yang tersusun dari kalimah fi’il dan kalimah huruf adalah hadits;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ: «لاَ تَغْضَبْ» فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

“Dari Abu Hurairoh rodliyallohu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shollallohu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (Shohih Bukhori, no.6116)

Kata “لا” pada hadits diatas adalah kalimah huruf, sedangkan kata “تغضب” adalah kalimah fi’il.

6. Contoh kalam yang tersusun dari kalimah isim dan kalimah huruf adalah hadits;

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

“Dari Abu Musa berkata: 'Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Siapa yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya". (Shohih Bukhori, no.11 dan Shohih Muslim, no.42)

Kata “يا” pada hadits diatas adalah kalimah huruf, sedangkan kata “رسول الله” adalah kalimah isim.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-Waroqot : Kegunaan Ilmu Ushul Fiqih

وَعلم أصُول الْفِقْه طرقه على سَبِيل الْإِجْمَال وَكَيْفِيَّة الِاسْتِدْلَال بهَا

Terjemahan

Ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang metode – metode yang digunakan untuk menetapkan hukum secara global, dan menjelaskan cara mengambil dalil dengan metode - ,metode tersebut.


Penjelasan

Perbedaan antara ilmu ushul fiqih dan ilmu furu’ fiqih, atau yang lebih dikenal dengan ilmu fiqih adalah; ilmu ushul fiqih hanya menjelaskan cara – cara untuk mengambil dalil secara global dari suatu dalil, sedangkan  ilmu fiqih menjelaskan setiap masalah secara terperinci mulai dari syarat – syarat, rukun – rukun, dll.

Contohnya; mengenai masalah  wudhu’ ditetapkan bahwa fardhu wudhu’ ada 6. Ketetapan ini didasarkan pada 2 dalil dari hadits dan 1 dalil dari ayat al-qur’an. Perinciannya adalah sebagai berikut;

1. Fardhu wudhu yang pertama adalah niat, yang didasarkan pada hadits :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Semua perbuatan tergantung niatnya” (Shohih Bukhori, no.1 dan Shohih Muslim, no.1907)

2. Fardhu wudhu kedua, ketiga, keempat dan kelima, yaitu membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dan membasuk kedua kaki sampai kedua mata kaki, didasarkan pada ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Ma’idah : 6)

3. Fardhu wudhu keenam yaitu berurutan, yang didasarkan pada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa nabi selalu berwudhu secara berurutan, diantaranya hadits :

عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ اللَّيْثِيَّ، أَخْبَرَهُ أَنَّ حُمْرَانَ، مَوْلَى عُثْمَانَ، أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: «دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ». ثُمَّ قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا

“Dari Ibnu Syihab bahwa 'Atho' bin Yazid Al-Laitsi telah menceritakan kepadanya, bahwa Humron budak Utsman, telah menceritakan kepadanya, bahwa Utsman bin Affan meminta air untuk berwudlu, kemudian dia membasuh dua tangan sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur serta memasuk dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian ia membasuh muka sebanyak tiga kali dan membasuh tangan kanannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh tangan kirinya sama seperti beliau membasuh tangan kanan, kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh kaki kiri, sama seperti membasuh kaki kanannya. Kemudian Utsman berkata, 'Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu seperti cara aku berwudlu” (Shohih Muslim, no.226)

Penggalian hukum dari dalil – dalil diatas dilakukan dengan berpegang pada cara – cara yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih, sedangkan hukum – hukum yang dihasilkannya nantinya disebut ilmu fiqih.

Jadi setelah “tugas” dari ilmu ushul fiqih untuk menggali hukum langsung dari dalilnya telah selesai, selanjutnya hukum – hukum yang dihasilkan ditata secara rapi dan dikelompokkan sesuai dengan temanya, semisal hukum – hukum yang berkaitan dengan fardhu –fardhu  wudhu’ dikelompokkan dengan sub tema “syarat – syarat wudhu” begitu juga untuk hukum – hukum lainnya.

Setelah hukum – hukum terrsebut dikelompokkan berdasarkan pembahasannya, setelah itu setiap permasalahannya dijelaskan secara rinci, semisal dalam masalah niat wudhu’, dijelaskan secara lebih rinci bagaimana kalimat yang digunakan ketika niat, bagaimana  cara niat wudhunya orang yang normal, bagaimana niat wudhu orang yang terus menerus berhadats, dan lain sebagainya.

Dari uraian diatas nampak jelas bahwa ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih adalah 2 ilmu yang sangat berkaitan erat dan tak terpisahkan.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Al-Waroqot : Perbedaan Antara Fiqih, Ilmu, Dhon Dan Syak

وَالْفِقْه أخص من الْعلم
وَالْعلم معرفَة الْمَعْلُوم على مَا هُوَ بِهِ
وَالْجهل تصور الشَّيْء على خلاف مَا هُوَ بِهِ
وَالْعلم الضَّرُورِيّ مَا لم يَقع عَن نظر واستدلال كَالْعلمِ الْوَاقِع بِإِحْدَى الْحَواس الْخمس الَّتِي هِيَ السّمع وَالْبَصَر والشم والذوق واللمس أَو التَّوَاتُر
وَأما الْعلم المكتسب فَهُوَ الْمَوْقُوف على النّظر وَالِاسْتِدْلَال
وَالنَّظَر هُوَ الْفِكر فِي حَال المنظور فِيهِ
وَالِاسْتِدْلَال طلب الدَّلِيل
وَالدَّلِيل هُوَ المرشد إِلَى الْمَطْلُوب لِأَنَّهُ عَلامَة عَلَيْهِ
وَالظَّن تَجْوِيز أَمريْن أَحدهمَا أظهر من الآخر
وَالشَّكّ تَجْوِيز أَمريْن لَا مزية لأَحَدهمَا على الآخر

Terjemahan

Kata “fiqih” itu lebih khusus dari pada kata “ilmu”.
Ilmu adalah pengetahuan mengenai sesuatu sesuai dengan keadaannya.
Jahl (Kebodohan) adalah penggambaran mengenai sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaannya.
Ilmu dhoruri adalah ilmu/pengetahuan yang dihasilkan dengan tanpa berpikir dan mengambil dalil. Seperti pengetahuan yang dihasilkan dengan salah satu dari kelima panca indra, yaitu; pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa,dan peraba, atau dihasilkan dari kejadian yang berlangsung berulang kali.
Ilmu muktasab adalah ilmu yang hanya bisa dihasilkan dengan cara berpikir dan mengambil dalil.
Nadhor adalah berpikir mengenai sesuatu
Istidlal adalah mengambil dalil.
Dalil adalah suatu perkara yang menjadi petunjuk mengenai sesuatu yang sedang dicari, dimana perkara tersebut merupakan tanda keberadaan seuatu yang sedang dicari itu.
Dhon adalah dimungkinkannya dua perkara, dimana salah satunya lebih nampak  dari yang lainnya.
Syak adalah dimungkinkannya dua perkara, dimana tidak ada kelebihan pada salah satunya dibanding dengan yang lainnya.
Ilmu ushul fiqih adalah metode - metode yang digunakan untuk memperoleh fiqih secara global dan cara mengambil dalil dengan metode – metode tersebut

Penjelasan :
1. Dalam istilah ilmu – ilmu keislaman, kata “fiqih” lebih khusus dari kata “ilmu”, sebab fiqih hanyalah salah satu bagian dari berbagai macam ilmu.

2. Pengetahuan mengenai sesuatu sesuai dengan fakta yang ada itu disebut ilmu, dan kebalikannya disebut jahl (kebodohan).

3. Jahl dibagi menjadi 2, yaitu Jahl Basith dan Jahl Murokkab;

a. Jahl basith adalah tidak tahu atau tidak mengerti mengenai sesuatu, contohnya; tidak tahu tentang tata cara bersuci bagi wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh.

b. Jahl murokkab adalahmeyakini sesuatu yang sebenarnya salah, contohnya; menganggap bahwa darah sedikit yang menempel pada tubuh itu dihukumi najis yang wajib dibasuh sehingga apabila ada orang yang sholat dan ada darah sedikit pada tubuhnya sholatnya batal, padahal sebenarnya darah sedikit itu dihukumi najis ma’fu yang tidak wajib disucikan sehingga apabila seseorang sholat dalam keadaan pada tubuhnya terdapat darah yang hanya sedikit sholatnya tetap sah.

4. Ilmu dhoruri yang dihasilkan dari panca indra seperti pengetahuan bahwa najis berpa darah yang menempel pada pakaian masih belum hilang karena masih nampak jelas warnanya. Sedangkan ilmu dhoruri yang dihasilkan karena terus menerus, seperti pengetahuan bahwa sholat 5 waktu dan puasa romadhon hukumnya juga wajib bagi bagi orang islam karena kaum muslimin mengerjakannya tanpa dilakukan penalaran.

5. Ilmu muktasab contohnya seperti pengetahuan bahwa orang yang mabuk wudhunya batal, karena orang yang mabuk hilang kesadarannya, sedangkan hilangnya kesadaran dapat membatalkan wudhu’. Nabi bersabda;

وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

 "Tali pantat adalah kedua mata, maka barangsiapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu." (Sunan Abu Dawud, no.203)

Meskipun hadits diatas hanya menyebutkan bahwa yang membatalkan wudhu adalah tidur, namun karena illat (alas an) yang menyebabkan batalnya adalah hilangnya kesadaran, maka keadaan mabuk yang menghilangkan kesadaran diqiyaskan (disamakan) dengan keadaan tidur, karena itu disimpulkan bahwa mabuk membatalkan wudhu.

Kesimpulan seperti ini hanya bisa dihasilkan dengan penalaran, dan ilmu seperti inilah yang disebut dengan “ilmu muktasab”.

6. Dzon dan syak memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, meskipun dhon derajatnya dibawah yakin, tapi dhon dihukumi seperti halnya yakin, sedangkan syak dianggap seperti tidak ada. Contohnya; ketika orang akan mengerjakan sholat, salah satu syaratnya adalah mengetahui bahwa waktunya telah masuk, seperti orang yang sedang dipantai melihat matahari nampak jelas terbenam diufuk barat, berarti ia telah yakin bahwa waktu sholat telah masuk, begitu juga ketika dhon bahwa waktu sholat telah masuk, seperti orang – orang dulu yang mengetahui bahwa matahari telah terbenam dengan keluarnya kelelawar, karena kelelawar hanya akan keluar dimalam hari, pada 2 keadaan tadi seseorang sudah boleh mengerjakan sholat maghrib. Sedangkan apabila seseorang masih syak apakah matahari terbenam atau belum, seperti orang yang mendengar suara samar – samar dari kejauhan dan tidak dapat memastikan apakah itu suara adzan atau suara lainnya, maka orang tersebut belum diperbolehkan mengerjakan sholat. 


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]