وَالْكفَّار مخاطبون بِفُرُوع الشَّرِيعَة وَبِمَا لَا تصح إِلَّا بِهِ وَهُوَ الْإِسْلَام لقَوْله تَعَالَى : مَا سلككم فِي سقر قَالُوا لم نك من الْمُصَلِّين
وَالْأَمر بالشَّيْء نهي عَن ضِدّه
وَالنَّهْي عَن الشَّيْء أَمر بضده
Orang-orang kafir juga termasuk dalam sasaran perintah dalam melaksanakan cabang-cabang hukum agama islam dan segala yang berkaitan dengan keabsahan hukum cabang tersebut, yaitu islam, berdasarkan firman Alloh ta’ala;
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)
Memerintahkan sesuatu artinya melarang melakukan sebaliknya,
Dan melarang sesuatu artinya memerintahkan melakukan sebaliknya
Penjelasan
1. Orang-orang kafir itu juga masuk dalam cakupan khitob cabang-cabang hukum syariat islam, sebab yang menjadi syarat ditaklifnya seseorang adalah memiliki akal yang sehat, dan hal ini juga dimiliki orang kafir, jadi mereka juka masuk dalam cakupan taklif, dalam arti bahwa orang-orang kafir yang telah sampai dakwah islam kepada mereka, kelak akan disiksa dineraka karena keengganan mereka untuk masuk islam,
Jika dikatakan; mustahil memerintahkan sholat bagi orang dalam keadaan kafir, maka jawabannya adalah maksud dari perintah sholat bagi mereka adalah perintah untuk masuk islam terlebih dahulu agar dapat mengerjakan sholat, karena sholat hanya sah dikerjakan oleh orang yang beragama islam,sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)
2. Tujuan dari suatu perintah adalah terwujudnya apa yang diperintahkan, dan suatu perintah tak akan terwujud jika yang dilakukan adalah kebalikan dari apa yang diperintahkan. Karena itu; “perintah untuk mengerjakan sesuatu adalah larangan untuk mengerjakan kebalikannya”.
Contohnya adalah perintah untuk berdiri saat mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu, sebagaimana dijelaskan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Sholatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan". (Shohih Bukhori, no.1117)
Berdasarkan hadits diatas para ulama’ menetapkan bahwa sholat fardhu harus dikerjakan dengan berdiri bagi orang yang mampu, jadi apabila orang yang mampu untuk berdiri mengerjakan sholat dengan duduk atau berbaring maka sholatnya tidak sah.
Dari ketetapan tersebut dapat dipahami bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal ini perintah berdiri ketika mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu juga merupakan larangan untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu sholat dengan duduk atau berbaring.
3. Begitu juga sebaliknya, tujuan dari suatu larangan adalah terwujudnya apa yang dilarang dan hal tersebut tak akan terwujud apabila yang dikerjakan malah mengerjakan larangan tersebut. Karena itu; “larangan untuk mengerjakan sesuatu adalah perintah untuk mengerjakan kebalikannya”.
Contohnya adalah larangan untuk mengerjakan puasa yaumus syak, yaitu mengerjakan puasa pada tanggal 30 sya’ban yang masih diragukan apakah hari tersebut masih masuk bulan sya’ban atau sudah masuk bulan romadhon. Larangan puasa yaumus syak didasarkan pada hadits;
عَنْ صِلَةَ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ، فَقَالَ عَمَّارٌ: مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Shilah, ia berkata; kami pernah berada bersama 'Ammar pada hari yang diragukan, kemudian ia membawa seekor kambing dan sebagian orang menyingkir. Kemudian 'Ammar berkata; barangsiapa yang berpuasa pada hari ini maka sungguh ia telah durhaka kepada Abu Al Qosim (Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam)”. (Sunan Abu Dawud, no.2334)
Berdasarkan hadits diatas para ulama’ memahami dan menetapkan bahwa puasa yaumus syak hukumnya haram.
Dari ketetapan tersebut juga bisa ditarik kesimpulan bahwa larangan untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal inilarangan untuk berpuasa pada yaumus syak juga merupakan perintah untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu tidak mengerjakan puasa.
Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 113-115
2. Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 150-155
3. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1 Hal : 130-131 & 361
Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"
Karya : Imam Haromain
Oleh : Siroj Munir
0 komentar:
Posting Komentar