Template information

Kajian Kitab Al-Waroqot : ‘Am dan Khash (Bagian 1)

الْعَام وَالْخَاص

وَأما الْعَام فَهُوَ مَا عَم شَيْئَيْنِ فَصَاعِدا
من قَوْله عممت زيدا وعمرا بالعطاء وعممت جَمِيع النَّاس بالعطاء
وألفاظ أَرْبَعَة
الِاسْم الْوَاحِد الْمُعَرّف بِالْألف وَاللَّام
 وَاسم الْجمع الْمُعَرّف بِاللَّامِ
والأسماء المبهمة ك
"من" فِيمَن يعقل
وَ"مَا" فِيمَا لَا يعقل
وَ"أي" فِي الْجَمِيع
وَ"أَيْنَ" فِي الْمَكَان، وَ"مَتى" فِي الزَّمَان، وَ"مَا" فِي الِاسْتِفْهَام وَالْجَزَاء وَغَيره
وَ"لَا" فِي النكرات

‘AM DAN KHASH

Am adalah: Suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tampa terbatas.
Diambil dari perkataan "عممت زيدا وعمرا بالعطاء"  (Aku mengumumkan pemberian bagi zaid dan amr) dan perkataan  "عممت جميع الناس بالعطاء" (Aku mengumumkan pemberian untuk semua orang). 

Bentuk kata umum itu ada empat:
1. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال) 
2. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)
3. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:
- مَنْ; untuk menunjukkan sesuatu yang berakal.
- مَا; untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal.
- أَيّ; untuk menunjukkan kesemuanya.
- أَيْنَ); untuk menunjukkan tempat,
- مَتَى; untuk menunjukkan waktu
- مَا; untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya.
- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum).


Penjelasan:

1. Pengertian Am –sebagaimana dijelaskan diatas- adalah suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa adanya suatu batasan.

Contohnya adalah firman Allah;

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”. (QS.Al-Baqoroh : 29)

Ayat diatas menggunakan kata جميع yang berarti “semua”, karena itu kalimat seperti ini dikatakan sebagai kalimat yang umum (am). Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil imam suyuthi menyatakan bahwa ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama’; bahwa hokum asal semua benda yang ada dibumi itu halal kecuali jika ada dalal yang menyatakan keharamannya. (1)


2. Sedangkan tambahan kata-kata “tanpa batasan” dalam definisi am, bertujuan untuk mengecualikan isim adad (kata bilangan), sebab meskipun isim adad juga bisa mencakup sesuatu lebih dari dua tetap saja cakupannya terbatas. Contohnya kata مائة yang berarti 100 dan مائة yang berarti 1000, cakupannya memang diatas dua tapi tetap saja terbatas pada angka 100 dan 1000 tidak lebih. (2)

3. Bentuk-bentuk kata yang menunjukkan arti umum adalah sebagai berikut:

a. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)  . Contohnya adalah firman Allah;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqoroh : 275)

Pada ayat diatas terdapat isim mufrod, yaitu kata بيع yang artinya jual beli, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi (mencakup semua jenis), maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis jual beli”. Imam Suyuthi menjelaskan, bahwa ayat diatas adalah dalil bahwa hokum asal semua bentuk transaksi jual beli adalah halal, kecuali bentuk-bentuk jual beli yang terdapat dalil mengenai keharamannya. (3)

b. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال). Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa” (QS. Az-Zumar : 53)

Pada ayat diatas terdapat jama’ (jama’ taksir), yaitu kata ذنوب yang berarti beberapa dosa, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi, maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis dosa”. Syekh Wahabah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, dari ayat ini bisa diambil ketentuan hukum bahwa Allah bisa saja mengampuni semua dosa yang telah dikerjakan manusia, baik dosa kecil maupun dosa besar, semua itu diserahkan sepenuhnya menurut kehendak Allah subhanahu wata’ala. (4)

c. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:

1- مَنْ (siapa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang berakal. Contohnya adalah firman Allah;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqoroh : 185)

Ayat diatas merupakan ayat yang mengganti ketentuan hukum sebelumnya dimana seorang muslim yang menemui bulan ramadhan boleh memilih antara berpuasa atau memberikan makanan pada fakir miskin bagi yang tidak berpuasa, sebagaimana dikisahkan dalam satu hadits;

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: «كُنَّا فِي رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ» ، حَتَّى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Dari Salamah Al Akwa' radliallahu 'anhu, bahwa ia berkata; Dulu, ketika kami memasuki bulan Ramadlan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam siapa saja yang ingin, maka ia berpuasa dan siapa yang tidak suka, maka ia akan berbuka dengan syarat membayar fidyah, peritstiwa itu terus terjadi hingga turunnya ayat: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Shahih Muslim, No.1145) (5)

2-  مَا (apa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal. Contohnya adalah firman Allah;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka (pahalanya) itu untuk kamu sendiri.” (QS. Al-Baqoroh : 272)

Ayat diatas menunjukkan bahwa pada hakekatnya segala bentuk nafkah yang diberikan oleh seseorang itu manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, sebab apa yang ia lakukan tidaklah sia-sia karena akan mendapatkan balasan dari Allah, sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayatnya;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqoroh : 272) (6)

3- أَيّ (yang mana saja); untuk menunjukkan kesemuanya. Contohnya adalah firman Allah;

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)”. (QS. Al-Isro’ : 110)

Maksud dari ayat diatas adalah kita boleh saja berdo’a atau menyebut Allah dengan menggunakan salah satu dari asma’ul husna, sebab semua nama tersebut yang dituju adalah satau (musamma wahid) yaitu Allah, bukan seperti orang-orang musyrik yang salah memahami dan mengira bahwa nama yang banyak tersebut berarti tuhan juga ada banyak. (7)

4- أَيْنَ (di mana saja); untuk menunjukkan tempat. Contohnya adalah firman Allah;

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh”. (QS. An-Nisa’ : 78)

Maksud dari ayat diatas adalah peringatan bagi kaum muslimin untuk tidak menghindar atau lari dari peperangan karena takut mati, karena toh dimanapun mereka berada pasti akhirnya akan mati juga. (8)

5- مَتَى (kapan?); untuk menunjukkan waktu. Contohnya adalah firman Allah;

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, Padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqoroh : 214)

Ayat diatas mengingatkan semua orang islam bahwa keimanan dan keislaman kita akan diuji dengan berbagai cobaan, Allah berfirman;

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَراتِ، وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqoroh : 155)

Dan hal seperti itu sudah terjadi semenjak dahulu, sampai=sampai para Rasul yang merupakan orang-orang yang paling teguh keimanannya sampai bertanya “kapan akan dating pertolongan dari Allah?”, karena itulah diakhir ayat Allah menguatkan hati orang-orang mukmin dengan menyatakan; “Ketahuilah bahwasanya pertolongan Allah itu dekat”. (9)
 
6- مَا (apa?); untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya. Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." (QS. Al-Baqoroh : 26)

Ayat diatas menjelaskan perbedaan pola pikir orang-orang kafir dan orang yang beriman; orang kafir ketika mengetahui bahwa Allah memberikan beberapa perumpamaan dalam al-qur’an "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dan tidak mau berpikir secara obyektif, jika saja mereka mau bersikap obyektik tentu mereka akan tahu maksud dan hikmah dibalik semua itu. Berbeda dengan orang mukmin yang meyakini bahwa semua yang dating dari Allah itu benar, selain itu ia yakin bahwa perumpamaan-perumpamaan itu bertujuan untuk mennjelaskan suatu kebenaran agar mudah diterima dengan cara menjadikan sesuatu yang berada diruang pikiran ditampakkan kasat mata, atau dengan cara memberikan perincian pada sesuatu yang masih global. (10)

7- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum). Contohnya adalah firman Allah;

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada pemaksaan dalam agama”. (QS. Al-Baqoroh : 256)

Kata اكراه adalah isim nakiroh (kata umum) yang didahului oleh “laa naïf” (laa yang bermakna “tidak”) sehingga memberikan faedah keumuman kalimat tersebut. Imam Suyuthi menjelaskan, ayat ini dijadikan dalil bahwa kafir dzimmi (orang-orang kafir yang berada dinegara islam namun membayar pajak kepada negara)  tidak boleh dipaksa untuk masuk islam, dan jika mereka masuk islam karena paksaan maka islamnya tidak dianggap sah. (12)


Referensi:
1. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal:27
2. Tahqiq Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal: 122
3. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 63
4. Tafsir Al-Munir, 24/41
5. Shahih Muslim, 2/802
6. Tafsir Al-Munir, 3/80
7. Tafsir Al-Munir, 15/194
8. Tafsir At-Thobari, 7/234
9. Tafsir Al-Munir, 2/249
10. Tafsir Al-Maroghi, 1/72
11. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 61


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian Kitab Al-Waroqot : Tujuan-tujuan lain dari sebuah perintah


وَترد صِيغَة الْأَمر وَالْمرَاد بِهِ الْإِبَاحَة أَو التهديد أَو التَّسْوِيَة أَو التكوين

Suatu perintah terkadang dimaksudkan untuk menunjukkan kebolehan, ancaman, menyamakan atau penciptaan.

Penjelasan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa suatu perintah itu menunjukkan hukum wajib, kecuali apabila ada petunjuk yang mengalihkan perintah tersebut pada hukum lainnya, seperti hukum sunat. Selain 2 hukum tersebut, adakalanya suatu perintah menunjukkan beberapa hal lain. Yaitu :

1.  Hukum mubah (ibahah). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ

“Hai sekalian manusia, makanlah apa yang terdapat di bumi” (Q.S. Al-Baqoroh : 168). (1)

Ayat diatas memerintahkan manusia untuk makan, dan perintah tersebut menunjukkan hukum mubah, sebab makan sudah menjadi kebiasaan dan tabiat manusia. (2)

2. Ancaman (tahdid). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Fushshilat ; 40) (3)

3. Menyamakan 2 hal (taswiyah). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi Balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Ath-Thur : 16) (4)

4. Penciptaan (takwin). Contohnya adalah perintah yang terdapat dalam firman Alloh;

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

"Jadilah kalian kera yang hina” (Q.S. Al-Baqoroh : 65, Al-A’rof : 166) (5)

Referensi :
1. Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
2. Ushul Fiqh Al-Islami, Juz : 1  Hal : 220
3. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 120,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
4. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 120,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 160
5. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 121,  Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 161

Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"
Karya : Imam Haromain
Oleh : Siroj Munir

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Peintah (Bagian 6)

وَالْكفَّار مخاطبون بِفُرُوع الشَّرِيعَة وَبِمَا لَا تصح إِلَّا بِهِ وَهُوَ الْإِسْلَام لقَوْله تَعَالَى : مَا سلككم فِي سقر قَالُوا لم نك من الْمُصَلِّين
 
وَالْأَمر بالشَّيْء نهي عَن ضِدّه
 
وَالنَّهْي عَن الشَّيْء أَمر بضده

Orang-orang kafir juga termasuk dalam sasaran perintah dalam melaksanakan cabang-cabang hukum agama islam dan segala yang berkaitan dengan keabsahan hukum cabang tersebut, yaitu islam, berdasarkan firman Alloh ta’ala;

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)

Memerintahkan sesuatu artinya melarang melakukan sebaliknya,

Dan melarang sesuatu artinya memerintahkan melakukan sebaliknya


Penjelasan

1. Orang-orang kafir itu juga masuk dalam cakupan khitob cabang-cabang hukum syariat islam, sebab yang menjadi syarat ditaklifnya seseorang adalah memiliki akal yang sehat, dan hal ini juga dimiliki orang kafir, jadi mereka juka masuk dalam cakupan taklif, dalam arti bahwa orang-orang kafir yang telah sampai dakwah islam kepada mereka, kelak akan disiksa dineraka karena keengganan mereka untuk masuk islam,

Jika dikatakan; mustahil memerintahkan sholat bagi orang dalam keadaan kafir, maka  jawabannya adalah maksud dari perintah sholat bagi mereka adalah perintah untuk masuk islam terlebih dahulu agar dapat mengerjakan sholat, karena sholat hanya sah dikerjakan oleh orang yang beragama islam,sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (Q.S. Al-Mudatstsir : 42-43)

2. Tujuan dari suatu perintah adalah terwujudnya apa yang diperintahkan, dan suatu perintah tak akan terwujud jika yang dilakukan adalah kebalikan dari apa yang diperintahkan. Karena itu; “perintah untuk mengerjakan sesuatu adalah larangan untuk mengerjakan kebalikannya”.

Contohnya adalah perintah untuk berdiri saat mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu, sebagaimana dijelaskan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Sholatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan". (Shohih Bukhori, no.1117)

Berdasarkan hadits diatas para ulama’ menetapkan bahwa sholat fardhu harus dikerjakan dengan berdiri bagi orang yang mampu, jadi apabila orang yang mampu untuk berdiri mengerjakan sholat dengan duduk atau berbaring maka sholatnya tidak sah.

Dari ketetapan tersebut dapat dipahami bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal ini perintah berdiri ketika mengerjakan sholat fardhu bagi orang yang mampu juga merupakan larangan untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu sholat dengan duduk atau berbaring.

3. Begitu juga sebaliknya, tujuan dari suatu larangan adalah terwujudnya apa yang dilarang dan hal tersebut tak akan terwujud apabila yang dikerjakan malah mengerjakan larangan tersebut. Karena itu; “larangan untuk mengerjakan sesuatu adalah perintah untuk mengerjakan kebalikannya”.

Contohnya adalah larangan untuk mengerjakan puasa yaumus syak, yaitu mengerjakan puasa pada tanggal 30 sya’ban yang masih diragukan apakah hari tersebut masih masuk bulan sya’ban atau sudah masuk bulan romadhon. Larangan puasa yaumus syak didasarkan pada hadits;

عَنْ صِلَةَ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ، فَقَالَ عَمَّارٌ: مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dari Shilah, ia berkata; kami pernah berada bersama 'Ammar pada hari yang diragukan, kemudian ia membawa seekor kambing dan sebagian orang menyingkir. Kemudian 'Ammar berkata; barangsiapa yang berpuasa pada hari ini maka sungguh ia telah durhaka kepada Abu Al Qosim (Nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam)”. (Sunan Abu Dawud, no.2334)

Berdasarkan hadits diatas para ulama’ memahami dan menetapkan bahwa puasa yaumus syak hukumnya haram.

Dari ketetapan tersebut juga bisa ditarik kesimpulan bahwa larangan untuk mengerjakan sesuatu, yang dalam hal inilarangan untuk berpuasa pada yaumus syak juga merupakan perintah untuk mengerjakan kebalikannya, yaitu tidak mengerjakan puasa.

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 113-115
2. Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 150-155
3. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 130-131 & 361


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian Kitab Nukhbatul Fikar : Hadits Masyhur

والثاني: المشهور وهو المستفيض على رأي

Yang kedua dinamakan hadits masyhur, dan hadits masyhur merupakan hadits mustafidh menurut satu pendapat

Penjelasan
HADITS MASYHUR
Definisi
Pengertian hadits masyhur adalah :

ما رواه ثلاثة فأكثر - في كل طبقة - ما لم يبلغ حد التواتر

“Hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih disetiap tingkatannya namun tidak mencapai batasan berturut-turut (tawatur)”

Contohnya
Contoh hadits masyhur adalah hadits :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Alloh tidak mematikan ilmu dengan mencabutnya secara langsung dari para hamba, tetapi Alloh mematikan ilmu dengan mengambil nyawa para ulama’, sehingga apabila sudah tidak ada lagi orang alim, maka manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin itu akan ditanya dan memberikan fatwa dengan tanpa ilmu, pada akhirnya para pemimpin itu akan tersesat dan menyesatkan” (Shohih Bukhori, no.100, Shohih Muslim, no.2673, Sunan Turmudzi, no.2652, Sunan Ibnu Majah, no.52)

Hadits Mustafidh
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai pengertian hadits mustafidh :

1. Hadits mustafidh sama dengan hadits masyhur
2. Hadits masyhur lebih khusus dari hadits mustafidh, sebab hadits mustafidh disyaratkan kedua sisi sanadnya harus sama, sedangkan hal tersebut tidak disyaratkan dalam hadits madyhur
3. Hadits masyhur lebih umum dari hadits mustafidh, kebalikan dari pendapat kedua

Masyhur selain istilah
Yang dimaksud dengan masyhur selain istilah adalah hadits yang masyhur dan sering diucapkan, namun secara istilah tidak memenuhi syarat-syarat hadits masyhur yang ditetapkan dalam ilmu mustholah hadits. jadi hadits masyhur selain istilah itu mencakup :

1. Hadits yang hanya memiliki satu sanad
2. Hadits yang memiliki lebih dari satu sanad
3. Hadits yang sama sekali tidak ada sanadnya

Macam-macam hadits masyhur selain istilah
Terdapat banyak jenis hadits yang masyhur diluar istilah, yang paling dikenal adalah :

1. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’ ahli hadits. Contohnya adalah hadits :

قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ

“Rosululloh mengerjakan qunut selama sebulan yang dilakukan setelah rukuk untuk mendo’akan suku ri’l dan dzakwan” (Shohih Bukhori, no.1003 Shohih Muslim, no.677 )

2. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’ ahli hadits, para ulama’ dan juga orang awam. Contohnya adalah hadits :

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-orang islam lainnya dari lisan dan datangnya” (Shohih Bukhori, no.10, 11, 6484 dan Shohih Muslim, no.40, 41, 42)

3. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’-ulama’ ahli fiqih (fuqoha’). Contohnya ada;lah hadits :

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ

“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah perceraian” (Sunan Abu Dawud, no.2178, Sunan Ibnu Majah, no. 2018 dan Sunan Baihaqi, no.14894)

4. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’ ahli ushul fiqih. Contohnya adalah hadits :

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Diangkat dari umatkudari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya." (Sunan Ibnu Majah, no.2043, Shohih Mustadrok Hakim, no.2601Ibnu Hibban, no.7219, Sunan Daruqutni, no.4351)

5. Hadits yang masyhur dikalangan ulama’ ahli nahwu. Contohnya hadits :

نعم العَبْد صُهَيْب لَو لم يخف الله لم يَعْصِهِ

“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, jika saja ia tidak takut pada Alloh, ia tak akan melakukan maksiat kepaNya” (La Adhla Lah = hadits ini tidak diketahui asalnya).

6. Hadits yang masyhur dikalangan orang-orang awam. Contohnya adalah hadits :

العَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sifat tergesa-gesa itu darri setan” (Sunan Turmudzi, no.2012)

Hukum Hadits Masyhur
Hadits masyhur dalam istilah dan diluar istilah itu tidak bisa langsung dihukumi shohih atau tidak shohih, sebab diantara hadits-hadits masyhur ada yang shohih, hasan, dho’if dan ada juga yang maudhu’. Namun apabila hadits masyhur itu termasuk hadits shohih maka hadits tersebut memiliki keistimewaan yang membuatnya unggul dari hadits ‘aziz danhadits ghorib.

Karya-karya yang masyhur
Diantara karya-karya yang masyhur yang mengkaji seputar hadits-hadits yang masyhur diluar istilah (bukan hadits masyhur menurut ilmu mustholah hadits) adalah sebagai berikut :

1. Al-Maqoshid Al-Hasanah Fi Ma Isytaharo Ala Alsinah, kaya Imam As-Sakhowi
2. Kasyful Khofa’ Wa Muzilul Ilbas An Ma Isytaharo Minal Ahadits Ala Alsinatin Nas, karya Imam Al-Ajluni
3. Tamyizut Thoyyib Minal Khobits Fi Ma Yaduru Ala Alsinatin Nas Minal Hadits, karya Ibnu Ad-Daiba’ Asy-Syaibani.


Referensi
1. Nuzhatun Nadhor Syarah Nukhbatul Fikar, Hal : 49 - 50
2. Taisir Ilmu Mushtholah Hadits, Hal : 24 - 26


Kajian kitab : Nukhbatul Fikar Fi Mushtholahi Ahlil Atsar
Karya : Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani
Oleh : Siroj Munir

Kajian Kitab Safinatun Naja : Syarat-Syarat Wudhu

فَصْلٌ : شُرُوْطُ الْوُضُوْءِ عَشَرَةٌ
 الإِسْلاَمُ
وَالتَّمْيِيْزُ
وَالنَّقَاءُ عَنِ الْحَيْضِ، والنِّفَاسِ
وَعَمَّا يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ
وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ عَلَى الْعُضْوِ مَا يُغَيِّرُ الْمَاءَ
وَالْعِلَمُ بِفَرْضِيَّتِهِ
وَ أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ فَرْضَاً مِنْ فًرُوْضِهِ سُنَّةً
وَالْمَاءُ الطَّهُوْرُ
وَدُخُوْلُ الْوَقْتِ وَالْمُوَالاَةُ لِدَائِمِ الْحَدَثِ
 
[Pasal] Syarat-syarat wudlu ada 10 :
1. Islam
2. Tamyiz
3. Bersih dari haidh
4. Bersih dari nifas
5. Bebas dari sesuatu yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit
6. Tidak   terdapat sesuatu pada anggota wudlu’ yang bisa merubah air
7. Mengetahui kewajiban wudhu
8. Tidak meyakini fardhu-fardhu wudhu sebagai suatu kesunatan
9. (Menggunakan) air yang suci dan mensucikan
10. Harus setelah memasuki waktu shalat bagi orang yang “dai’mul hadats” (selalu berhadats)

Penjelasan
SYARAT-SYARAT WUDHU

Syarat sah mengerjakan wudhu yang sekiranya apabila salah satunya tidak terpenuhi maka wudhu tidak dihukumi sah, itu jumlahnya ada 10. Penjelasannya secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Islam
Wudhu hanya bisa sah apabila dikerjakan oleh seorang muslim, karena itu orang kafir tidak sah mengerjakan wudhu sebab wudhu merupakan ibadah badaniah (ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan yang nampak) yang disyaratkan bagi yang mengerjakannya harus beragama islam dan juga membutuhkan niat, karena itu orang kafir tidak sah mengerjakan wudhu.

2. Tamyiz
Orang yang mengerjakan wudhu disyaratkan harus sudah tamyiz agar wudhu yang dikerjakannya dihukumi sah, karena itu wudhu yang dikerjakan oleh anak kecil yang belum tamyiz tidak sah. Sebab wudhu membutuhkan niat yang berfungsi untuk membedakan antara pekerjaan yang bersifat ibadah dengan yang lainnya.

3. Suci dari haidh dan nifas
Wanita yang sedang dalam keadaan haidh dan nifas tidak sah apabila mengerjakan wudhu, begitu juga tidak sah mandi besar yang dikerjakan dengan niat menghilangkan hadat, bahkan hal tersebut harom dilakukan oleh wanita yang sedang haidh dan nifas. Sebab wudhu adalah ibadah, sedangkan orang yang sedang mengeluarkan darah haidh atau nifas bukanlah termasuk orang yang diperintahkan untuk mengerjakan ibadah tersebut.

4. Bersihnya anggota badan dari perkara yang dapat mencegah sampainya air keanggota tubuh
Anggota badan orang yang wudhu disyaratkan harus bersih dari perkara yang akan menghalang-halangi sampainya air pada kulit bagian luar, seperti adanya benda padat yang menempel pada anggota badan yang wajib dibasuh dalam wudhu, Adapun kotoran yang ada dibawah kuku apabila kotoran tersebut berasal dari benda lain maka harus dibersihkan, namun apabila berasal dari keringat tubuh yang mengendap maka tidak wajib dihilangkan.

5. Tidak   terdapat sesuatu pada anggota wudlu’ yang bisa merubah air
Maksudnya adalah pada anggota tubuh orang yang wudhu tidak terdapat sesuatu yang akan membuat air yang digunakan wudhu menjadiberubah yang mana perubahan tersebut sampai merubah kemutlakan air, seperti ada minyak za’faron pada anggota badan dan saat menempel pada air yang digunakan wudhu minyak tersebut merubah air menjadi seperti minyak, namun apabila perubahannya hanya sedikit air tersebut masih bisa digunakan bersuci.

6. Mengetahui kewajiban wudhu
Orang yang wudhu harus mengerti bahwa wudhu yang dikerjakan hukumnya adalah wajib. Jadi apabila ia ragu-ragu mengenai kewajibannya atau ia meyakini bahwa wudhu sebelum sholat bagi orang yang hadats hukumnya sunat, maka wudhunya tidak sah.

7. Tidak meyakini fardhu-fardhu wudhu sebagai suatu kesunatan
Artinya wudhu seseorang dihukumi sah apabila :
a) Mengetahui dengan pasti mana yang wajib dan mana yang sunat
b) Meyakini bahwa semua yang ia kerjakan adalah wajib
c) Meyakini bahwa sebagian yang ia kerjakan adalah wajib dan sebagian yang lainnya adalah sunat, tanpa tahu persis mana yang wajib dan mana yang sunat, semisal ia ditanya mana yang wajib dan mana yang sunat ia menjawab; “saya tidak tahu”.

Dalam ketiga keadaan tersebut wudhu yang dikerjakan seseorang dihukumi sah. Yang dihukumi tidak sah adalah apabila seseorang meyakini bahwa salah satu fardhu-fardhu tersebut hukumnya sunat.

8. Menggunakan air yang suci dan mensucikan
Air yang digunakan untuk wudhu haruslah air yang suci dan mensucikan, jadi apabila yang digunakan adalah air yang suci tapi tidak bisa menyucikan seperti air musta’mal dan air yang terkena najis mka wuhunya tidak sah.

Delapan syarat diatas adalah syarat yang diberlakukan secara umum, sedangkan bagi orang yang terus menerus berhadats, seperti wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh dan orang yang tidak bisa berhenti mengeluarkan air kencing, maka terdapat 2 syarat tambahan, yaitu :

1. Masuknya waktu sholat, jadi apabila wudhunya dilakukan sebelum masuknya waktu maka wudhunya tidak sah dan harus diulangi lagi saat waktu sholat telah masuk.

2. Muwalah (terus menerus dalam mengerjakan fardhu-fardhu wudhu). Maksud dari muwalah adalah membasuh/mengusap anggota badan sebelum keringnya anggota badan sebelumnya.

Lebih jelasnya, urutan dari perkara-perkara yang harus dikerjakan orang yang selalu berhadats adalah :
a) Membersihkan najisnya
b) Menempelkan kapas pada tempat keluarnya darah kecuali saat puasa.
c) Jika kapas tersebut tidak mencukupi, karena darah yang keluar banyak semisal, maka ditambah dengan perban
d) Setelah waktu sholat masuk, bergegas melakukan wudhu dan sholat.

Referensi
1. Ghoyatul Muna, Hal : 176 - 179


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

Kajian Kitab Al-waroqot : Amar/Perintah (Bagian 5)

يدْخل فِي خطاب الله تَعَالَى الْمُؤْمِنُونَ
وَأما الساهي وَالصَّبِيّ وَالْمَجْنُون فهم غير داخلين فِي الْخطاب

Sasaran perintah Allah adalah orang-orang mukmin jika dalam Alquran terdapat kata perintah maka perintah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang beriman.

Orang yang lupa, anak-anak dan orang gila tidak termasuk dalam sasaran perintah.

Penjelasan
ORANG YANG MASUK DALAM PERINTAH DAN LARANGAN

1. Orang orang-yang termasuk dalam cakupan perintah dan larangan syari’at islam adalah semua orang yang beriman, baik laki-laki atu perempuan yang sudah baligh dan memiliki akal yang sehat.

2. Anak kecil (shobiy), orang yang sedang lupa (sahi), orang yang sedang tidur (na’im), orang yang sedang mabuk (sakron) danorang gila (majnun) tidak termasuk dalam cakupan khithob (perintah dan larangan syari’at) sebab mereka semua tidak termasuk dalam kategori orang yang mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh, berakal sehat dan dalam keadaan sadar. Rosululloh bersabda;

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ المُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ

"Pena (pencatat amal dan dosa) itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia baligh." (Sunan Abu Dawud, no.4398)

Sedangkan dalil-dalil yang seolah-olah menyatakan bahwa mereka di-taklif maka sebenarnya tidaklah seperti itu.

Contohnya, terdapat dalil yang menyatakan bahwa anak kecil yang sudah berumur 7 tahun dan kalau meninggalkannya pada usia 10 tahun maka ia dipukul, sebagaimana dijelaskan dalam dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

مُرُوا الصِّبْيَانَ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا فِي عَشْرٍ

“Perintahkan anak-anak kecil untuk mengerjakan sholat ketika telah berumur 7 tahun, dan pukullah mereka ketika sudah berumur 10 tahun” (Mustadrok Lil-Hakim, no.708, Sunan Baihaqi, no.5092)

Sebenarnya yang diperintah dalam hadits tersebut bukanlah anaknya tapi orang yang mengurusinya (walinya).

Contoh lainnya adalah dalil yang menyatakan bahwa orang yang tidur dan lupa wajib sholat, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

"Jika salah seorang diantar kalian ketiduran dari (tidak mengerjakan) shalat, hendaknya ia mengerjakan ketika ingat, sebab Allah Ta'ala berfirman; Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (Shohih Muslim, no.684)

Maksudnya adalah perintah bagi orang yang tidur yang menyebabkan ia tidak mengerjakan sholat dan orang yang lupa mengerjakan sholat untuk mengerjakannya ketika mereka sudah bangun dari tidurnya dan ingat bahwa ia belum sholat bagi orang yang lupa. Jadi perintah itu bukanlah perintah bagi orang yang tidur atau lupa, karena orang yang sedang tidur atau lupa tidak mukallaf.

Begitu juga larangan mengerjakan sholat bagi orang yang mabuk yang dijelaskan dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian sholat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kamu ucapkan” (Q.S. An-Nisa’ : 43)

Ayat tersebut bukanlah larangan yang ditujukan bagi orang yang sedang mabuk, tapi larangan bagi orang yang dalam keadaan sadar agar tidak mabuk ketika akan mengerjakan sholat.

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 112
2. Syarah Al-Waroqot Li Ibnu Firkah, Hal : 149
3. Ushulul Fiqh Al-islami Li Wahabah Az-Zuhaili, Juz : 1  Hal : 159 - 160


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian kitab Nukhbatul Fikar : Hadits Mutawatir

فأقول: الخبر إما أن يكون له: طرق بلا عدد معين, أو مع حصر بما فوق الاثنتين, أو بهما, أو بواحد
فالأول: المتواتر المفيد للعلم اليقيني بشروطه

Saya berkata; Khobar itu ada kalanya memiliki :
- Banyak jalan (sanad) dengan bilangan tak terrbatas
- Bilangannya terbatas, diatas 2
- Bilangan sanadnya ada 2
- Bilangan sanadnya ada 1

Khobar yang pertama disebut khobar mutawatir yang memberikan suatu pengetahuan yang dapat diyakini apabila memenuhi beberapa syaratnya.

Penjelasan

PENGERTIAN KHOBAR, HADITS DAN ATSAR

1. Hadits adalah; Sesuatu yang disandarkan pada Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan (taqrir) atau sifat.

2. Khobar, menurut istilah terdapat 3 pendapat;
a) Khobar memiliki arti yang sama dengan hadits
b) Khobar memiliki arti yang berbeda dengan hadit, hadits merupakan berita yang datangnya dari Nabi sedangkan khobar adalah berita yang datangnya dari selain nabi
c) Khobar memiliki arti yang lebih umum dari hadits, istilah hadits hanya digunakan untuk menyebut berrita yang datangnya dari nabi, sedangkan istilah khobar mencakup semua berita, baik yang datangnya dari nabi atau dari yang lainnya.

Karena itulah dalam kitab ini, Al-Hafidh Ibnu hajar menggunakan istilah khobar yang dapat mencakup semua jenis kabar, baik yang datangnya dari nabi, sahabat atau tabi’in.

3. Atsar, menurut istilah terdapat 2 pendapat;
a) artinya sama dengan hadits
b) artinya berbeda, karena istilah atsar hanya dipakai untuk menunjukkan perkataan atau perbuatan  yang disandarkan pada shohabat atau tabi’in.

PEMBAGIAN KHOBAR DARI SUDUT PANDANG SAMPAINYA KEPADA KITA

Dari sudut pandang sampainya suatu khobar pada kita, khobar dibagi menjadi 2;
1. Hadits mutawatir
2.  Hadits ahad

Hadits ahad dibagi lagi menjadi 3;
1. Hadits masyhur
2. Hadits aziz
3. Hadits ghorib

HADITS MUTAWATIR

Definisi

     Hadits/khobar mutawatir adalah :

الحديث أو الخبر الذي يرويه في كل طبقة من طبقات سنده رواة كثيرون يحكم العقل باستحالة أن يكون أولئك الرواة قد التفقوا على اختلاف هذا الخبر

"Hadits/khobar yang diriwayatkan oleh perowi yang banyak pada setiap tingkatannya, sehingga menurut akal pada kebiasaannya mustahil mereka bersepakat untuk menyelisihi khobar tersebut".

Syarat-syarat Hadits Mutawatir

     Syarat hadits mutawatir itu ada 4 :

1. Diriwayatkan oleh bilangan perawi yang banyak, menurut Ibnu Hajar tidak disyaratkan adanya ketentuan bilangan tertentu mengenai berapa banyak orang yang meriwayatkannya.

Sedangkan menurut ulama’ lainnya memberikan ketentuan mengenai batasan bilangan orang yang meriwayatkannya, sehingga suatu khobar bisa dikatakan sebagai khobar mutawatir., namun mereka juga berbeda pendapat mengenai berapa bilangan pastinya, ada yang memberikan ketentuan :
a) 4 orang
b) 5 orang
c) 7 orang
d) 10 orang
e) 12 orang
f) 40 orang

Dan masih ada lagi beberapa pendapat lainnya. Menurut Imam Nawawi pendapat yang dipilih (al-mukhtar) adalah 10 orang).

2. Bilangan yang banyak ini terdapat dalam setiap tingkatan (thobaqot) sanadnya.
3. Pada kebiasaannya mustahil bagi mereka untuk bersepakat melakukan kebohongan
4. Dasar dari khobar ini adalah indera seperti ucapan “سمعنا” (kami mendengar),” رأينا” (kami melihat), dan sebagainya. Jadi apabila sandaran dari khobar ini adalah akal seperti pendapat tentang alam ini baru, maka khobar tersebut tidak bisa disebut sebagai khobar mutawatir.

Pembagian Hadits Mutawatir

     Hadits mutawatir dibagi menjadi 2:

1. Al-Mutawatir Al-Lafdhi, yaitu hadist yang mutawatir pada kata (lafadh) dan maknanya. Contohnya seperti hadis:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka." (Shohih Bukhori, no.1291, Shohih Muslim, no.3, Sunan Abu Dawud, no.3651, Sunan Turmudzi, no.2659, Sunan Ibnu Majah, no.30)

Hadits ini telah diriwayatkan oleh banyak perowi, terdapat beberapa pendapat mengenai jumlah pasti perowinya :

a) Imam Abu Bakar Al-Bazzar dalam musnadnya mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat.

b) Imam Abu Bakar As-Shoirofi dalam syarah kitab Ar-risalah karya Imam Syafi’i menyatakan bahwa terdapat 60 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

c) Sebagian ulama’ hadits mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, dan diantara mereka adalah 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga 9al-asyroh al-mubasysyrina bil jannah). Dikatakan bahwa hadits ini merupakan satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh semua orang sahabat yang dijamin masuk surga tersebut dan juga satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari 60 sahabat.

d) Imam Abul Qosim Abdurrohman bin Mandah pernah menghitung jumlah perowinya dan ternyata perowinya mencapai 87.

e) Sebagian ulama’ lainnya menyatakan bahwa perowi hadits tersebut mencapai 200 orang dan terus bertambah.

2. Mutawatir Al-Ma’nawi, yaitu hadits yang mutawatir pada maknanya saja tidak pada lafadhnya. Seperti hadits mengangkat dua tangan ketika berdo’a. Terdapat sekitar 100 hadits yang menjelaskan mengenai masalah mengangkat tangan ketika berdo’a, pada setiap hadis tersebut menyebutkan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika berdoa, namun hal tersebut dilakukan dalam kesempatan berbeda-beda. Jika dilihat dari segi lafadhnya hadits tersebut tidak mutawatir, tapi apabila semua hadits yang menjelaskan tentang mengangkat tangan saat berdo’a maka hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits mutawatir.

Hukum Hadits Mutawatir

     Khobar mutawatir menghasilkan ilmu yang pasti (ilmu dhoruri), yaitu pengetahuan yang pasti akan dipercaya oleh semua orang dan mereka semua akan  membenarkan dengan tegas seakan-akan mereka menyaksikannya sendiri speristiwa. Jadi semua  hadits mutawatir diterima dan tidak perlu lagi mengkaji keadaan perowinya.

Kewujudan Hadits Mutawatir

     Terdapat bilangan yang cukup banyak hadis mutawatir, diantaranya hadis yang menjelaskan tentang telaga (haudh), mengusap kedua sepatu (mashul huffain), mengangkat dua tangan di dalam solat, hadis “semoga Alloh menyinari seseorang yang mendengar hadis” dan banyak lagi.

Namun, jika dibandingkan dengan hadis ahad, bilangan hadis mutawatir sangatlah sedikit.

Karya-karya mengenai hadits mutawatir

     Para ulama memberi perhatian khusus dalam menghimpun hadis-hadis Mutawatir di dalam karangan berasingan bagi memudahkan pelajar-pelajar membuat rujukan, dari kitab-kitab tersebut yang masyhur adalah:

a) “Al-Azhar Al-Mutanatsiroh Fil Akhbar  Al-Mutawatiroh” karangan Imam al-Suyuti. Kitab ini disusun mengikut bab-bab.

b) “Qotf al-Azhar”  juga karangan al-Suyuti.

c) “Nadmul Mutanatsir Minal Hadith Al-Mutawatir” karangan Muhammad bin Ja’far al-Kattani.

Referensi
1. Nuzhatul Fikar Syarah Nukhbatul Fikar, Hal : 35 - 40
2. Taisir Mustholah Al-Hadits, Hal : 14 - 21
3. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 1  Hal : 68


Kajian kitab : Nukhbatul Fikar Fi Mushtholahi Ahlil Atsar
Karya : Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani
Oleh : Siroj Munir

Kajian kitab Al-Waroqot : Amr/Perintah (Bagian 4)

وَالْأَمر بإيجاد الْفِعْل أَمر بِهِ وَبِمَا لَا يتم الْفِعْل إِلَّا بِهِ كالأمر بِالصَّلَاةِ فَإِنَّهُ أَمر بِالطَّهَارَةِ المؤدية إِلَيْهَا

وَإِذا فعل يخرج الْمَأْمُور عَن الْعهْدَة

Perintah untuk mewujudkan suatu pekerjaan juga merupakan perintah untuk melakukan perkerjaan yang tidak sempurna kecuali adanya pekerjaan tersebut, seperti perintah Shalat juga termasuk perintah untuk bersuci yang harus dilakukan untuk keabsahan shalat”

Jika perintah sudah dilaksanakan maka terlepaslah orang yang disuruh dari kewajiban perintah tersebut.

Penjelasan
1. Perintah untuk melakukan suatu perkara berarti juga perintah untuk untuk melakukan segala hal yang menjadi perantara dari perkara tersebut.

Masalah ini dalam istilah ilmu ushul fiqih dikenal dengan “muqoddimah wajib” (pendahuluan wajib), para ulama’ ahli ushul fiqih biasa mengungkapkan masalah ini dengan kaedah;  

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب, وما لا يتم الوجوب إلا به فليس بواجب

"”Perkara yang menjadi penyempurna dari suatu kewajiban itu dihukumi wajib, sedangkan perkara yang menjadi penyempurna “wujub” hukumnya tidak wajib”

Penjelasan dari kaedah diatas adalah sebagai berikut :

Para ulama’ ushul fiqih membagi muqoddimah wajib itu menjadi 2 bagian :

Pertama; “muqoddimah wujub”, atau biasa disebut “muqoddimah taklif”. Muqoddimah wujub adalah;

ما يتوقف وجوب الواجب عليه سواء كانت سبباً أو شرطاً

“Perkara yang menjadi ketetapan mengenai kewajiban perkara yang wajib, baik itu berupa sebab, atau syarat”.

Contoh dari sebab adalah masuknya bulan romadhon yang menjadi sebab diwajibkannya puasa wajib pada bulan romadhon, sebagaimana dinyatakan dalam sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal bulan romadhon) dan berbukalah kalian dengan melihatnya pula” (Shohih Bukhori, no.1909 dan Shohih Muslim, no.1081)

Sedangkan contoh dari syarat adalah kemampuan (istitho’ah) yang menjadi syarat diwajibkannya haji, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah“ (Q.S. Ali Imron : 97)

Mengerjakan perkara yang masuk dalam kategori “muqoddimah wujub” itu hukumnya tidak wajib, karena “muqoddimah wajib” berada diluar kemampuan manusia. Dalam contoh diatas eseorang tentu tidak mampu diperintah untuk mempercepat laju waktu agar masuk bulan romadhon dan supaya bisa berpuasa pada bulan itu.

Begitu juga seseorang tidak diwajibkan untuk menjadikan dirinya mampu melaksanakan ibadah haji, sebab manusia hanya mampu bekerja untuk menghasilkan uang, namun berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut hingga menyebabkannya memiliki uang yang cukup agar mampu menunaikan haji adalah sesuatu yang berada diluar kemampuannya.

Kedua; “muqoddimah wujud” atau yang biasa disebut “muqoddimah shihhah”. Muqoddimah wujud adalah;

ما يتوقف وجود الواجب عليه

“Perkara yang menjadi penentu terwujudnya suatu kewajiban”.

Contohnya seperti wudhu yang menjadi syarat sahnya sholat, sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Ma’idah : 6)

Bagian yang kedua, yaitu muqoddimah wujud, inilah yang wajib dikerjakan seseorang itupun dengan ketentuan selama hal tersebut masih dalam batasan kemampuannya.

Sedangkan apabila muqoddimah wujud tersebut berada diluar batas kemampuannya, seperti hadirnya 40 orang yang menjadi syarat terlaksananya sholat jum’at, maka menghadirkan 40 orang untuk sholat jum’at itu tidak wajib dilakukan, meskipun hal tersebut masuk dalam kategori “muqoddimah wujud”.(1)

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ketentuan;

“Perintah untuk mewujudkan suatu pekerjaan juga merupakan perintah untuk melakukan perkerjaan yang tidak sempurna kecuali adanya pekerjaan tersebut”

adalah : “perintah untuk mengerjakan sesuatu juga merupakan perintah untuk mengerjakan “muqoddimah wujud” yang masih dalam batas kemampuan seseorang, sedangkan menegerjakan selain dari itu, yaitu mengerjakan “muqoddimah wujub” dan “muqoddimah wujud” yang berada diluar kemampuan itu hukumnya tidak wajib.

2. Perintah yang telah dikerjakan seseorang secara sempurna dengan memenuhi semua ketentuannya mulai dari syarat-syaratnya hingga dikerjakan dengan melakukan kewajiban-kewajibannya, maka orang tersebut sudah terbebas dari tanggungan mengerjakan kewajiban tersebut.

Referensi
1. Tahqiq Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 109


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kajian kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 3)

وَلَا تَقْتَضِي التّكْرَار على الصَّحِيح إِلَّا مَا دلّ الدَّلِيل على قصد التّكْرَار
وَلَا تقتضى الْفَوْر

Terjemahan
Menurut pendapat yang shahih, perintah itu tidak dilakukan berulang kali kecuali ada dalil yang menunjukkan perintah tersebut harus dilakukan berulang.

Perintah tidak harus dikerjakan seketika/langsung.


Penjelasan
1. Suatu perintah hanya wajib dikerjakan sekali selama belum ada dalil yang menyatakan bahwa perintah itu harus dikerjakan berulang kali, sebab apa yang dituju perintah tersebut sudah dihasilkan dengan hanya dikerjakan satu kali dan pada dasarnya tak ada kewajiban untuk menambah lagi (1).

2. Contoh dari perintah yang hanya dikerjakan sekali adalah memberkan mas kawin kepada istri saat melangsungkan pernikahan, berdasarkan firman Alloh;

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S. An-Nisa’ : 4)

Karena tak ada dalil yang menyatakan bahwa kewajiban memberikan mahar harus diberikan berulang kali, maka maka ditetapkan bahwa mahar hanya diberikan satu kaki saja.

3. Contoh perintah yang harus dikerjakan berulang kali adalah puasa pada bulan romadhon, yang diperintahkan Alloh dalam firman-Nya;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqoroh : 183)

Puasa romadhon diwajibkan setiap tahunnya berdasarkan penjelasan dalam ayat lainnya, diamana Alloh berfirman;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Q.S. Al-Baqoroh : 185)

Dan berdasarkan sabada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal bulan romadhon) dan berbukalah kalian dengan melihatnya pula” (Shohih Bukhori, no.1909 dan Shohih Muslim, no.1081)

4. Dalam sebagian salinan kitab Al-Waroqot, setelah kalimat :

وَلَا تقتضى الْفَوْر

“Dan (perintah untuk mengerjakan sesuatu) tidak harus dikerjakan secara langsung”,
 Terdapat tambahan penjelasan :

لأن الغرض منه إيجاد الفعل من غير اختصاص بالزمان الأول دون الزمان الثانى

“Sebab tujuan utama suatu perintah adalah  terlaksananya perintah tersebut dengan tanpa adanya penentuan harus dikerjakan pada waktu pertama dan tidak boleh dikerjakan diwaktu kedua” (2).

5. Contoh dari kewajiban yang tidak harus dikerjakan secara langsung  adalah kewajiban menunaikan haji. Alloh berfirman;

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah“ (Q.S. Ali Imron : 97)

Menurut madzhab syafi’i menunaikan ibadah haji tidak harus dikerjakan secara langsung pada saat seseorang sudah mampu, jadi pelaksanaannya bisa diakhirkan, dengan syarat orang tersebut sudah berniat menunaikannya pada masa yang akan dating, meski begitu disunatkan untuk menunaikannya langsung ketika sudah mampu, berdasarkan firman Alloh;

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kalian semua akan kembali, lalu diberitahukan-Nya kepada aklian apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Q.S. Al-Ma’idah : 48)  (3)

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 106,   Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 140
2. Syarah Al-Waroqot Lil Mahalli, Hal : 108,    Syarah Al-Waroqot Li Ibnul Firkah, Hal : 140-141
3. Al-Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, Juz : 1  Hal : 373


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Fardhu-Fardhu Mandi

فَصْلٌ : فُرُوْضُ الْغُسْلِ اثْنَانِ
النِّيَّةُ
وَ تَعْمِيْمُ الْبَدَنِ بِالمَاءِ

Terjemahan
[Pasal] Fardhu-fardhu mandi itu ada 2 :
1. Niat
2. Meratakan air keseluruh badan

Penjelasan
1. Niat mandi besar harus dikerjakan ketika membasuh bagian pertama pada tubuh, baik itu dimulai dari kepala atau bagian lainnya, jadi pembasuhan yang dikerjakan sebelum niat tidak dianggap, dalam arti pembasuhan tersebut harus diulang lagi setelah niat (1).

2. Kewajiban untuk mengerjakan niat pada pembasuhan pertama mengecualikan masalah memandikan mayit, sebab ketika memandikan mayit tidak diwajibkan untuk niatnya dikerjakan pada basuhan pertama, hanya saja disunatkan untuk mengerjakan niat pada basuhan pertama (2).

3. Niat mandi bisa dilakukan dengan beberapa cara, berikut ini niat-niat yang bisa dikerjakan (gunakan salah satunya);

•    a). Niat menghilangkan hadats janabah, dengan kalimat : “NAWAITU ROF’AL JANABAH” (saya niat menghilangkan hadats janabat)

•    b) Niat menghilangkan hadats besar, dengan kalimat : “NAWAITU ROF’AL HADATSIL AKBAR” (saya niat menghilangkan hadats besar).

•    c). Niat melakukan kewajiban mandi, dengan kalimat : “NAWAITU FARDHOL GHUSLI” (saya niat melakukan kewajiban mandi).

•    d). Niat bersuci dari sholat, dengan kalimat : “NAWAITUT THOHAROH LIS-SHOLAT” (saya niat bersuci untuk mengerjakan sholat) (3).

Hal yang harus diketahui adalah bahwa niat tidak diharuskan memakai bahasa arab, dan bisa dilakukan dengan bahasa apapun. Selain itu niat tidak wajib diucapkan karena niat tempatnya didalam hati.

4. Apabila berkumpul 2 mandi pada seseorang, maka hukumnya diperinci sebagai berikut :

•    Apabila yang berkumpul adalah 2 mandi wajib, seperti orang yang memiliki kewajiban untuk mandi karena melakukan hubungan intim sekaligus kewajiban mandi yang disebabkan mengeluarkan mani maka niatnya cukup satu saja.

•    Apabila yang berkumpul adalah 2 mandi sunat, seperti orang yang selesai memandikan jenazah dan juga hendak pergi melaksanakan sholat jum’at, maka niatnya juga cukup satu saja.

•    Apabila yang berkumpul adalah mandi wajib dan mandi, seperti orang yang mengeluarkan mani dan hendak pergi melaksanakan sholat jum’at, maka niatnya harus 2, satu niat untuk mandi wajib dan satu niat untuk mandi sunat (4).

5. Jika pada tubuh seseorang terdapat najis, maka najis tersebut cukup dibasuh ketika mandi dan basuhan untuk menghilangkan najis tersebut juga sudah termasuk basuhan untuk menghilangkan hadats, jadi tidak harus dilakukan pembasuhan untuk menghilangkan najis dan pembasuhan untuk menghilangkan hadats secara tersendiri, sebab satu basuhan sudah mencukupi untuk keduanya sekaligus (5).

6. Apabila berrkumpul hadats kecil dan hadats besar pada seseorang, maka orang tersebut cukup melakukan mandi saja, sebab dengan mengerjakan mandi hadats besar dan hadats kecilnya sudah hilang semua (6)

7. Orang yang memiliki beberapa kewajiban mandi cukup mengerjakan mandi satu kali untuk menghilangkan semua hadatsnya, begitu juga orang yang untuk mandi sunah. Yang dimaksud dengan “cukup” disini adalah bahwa orang yang tanggungannya sudah gugur, sedangkan untuk masalah pahalanya, orang tersebut hanya akan mendapatkannya apabila mengerjakan mandinya sebanyak bilangan hadatsnya dan dikerjakan dengan niat tersendiri (7).

Referensi
1. Kasyifatus Saja, Hal : 24
2. Ghoyatul Muna, Hal : 171
3.4. Taqrirot As-Sadidah, hal : 118
5. Ghoyatul Muna, Hal : 171
6.7. Ghoyatul Muna, Hal : 172


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Kitab Nukhbatul Fikar : Pengantar Ilmu Mustholah Hadits

الحمد لله الذي لم يزل عليماً قديراً وصلى الله على سيدنا محمد الذي أرسله إلى الناس كافةً بشيراً ونذيراً، وعلى آل محمد وصحبه وسلم تسليماً كثيراً
أما بعد:
فإن التصانيف في اصطلاح أهل الحديث قد كثرت، وبسطت واختصرت، فسألني بعض الإخوان أن ألخص له المهم من ذلك، فأجبته إلى سؤاله رجاء الاندراج في تلك المسالك

Terjemahan
Segala puji bagi Allah yang senantiasa bersifat Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Muhammad shollallohu 'alaihi wa salam, yang diutus kepada segenap umat manusia untuk memberi peringatan dan kabar kembira bagi mereka. Dan juga kepada keluarga beliau, para sahabat, semoga Allah melimpahkan keselamatan kepada mereka.

Amma ba'du, telah banyak ditulis karangan-karangan yang membahas ilmu Mushthalah Ahli Hadits, ada yang berupa penjelasan luas dan ada pula yang berupa ringkasan. Sebagian rekan memintaku untuk merangkum poin-poin penting dari ilmu tersebut. Akupun memenuhi permintaan mereka dengan harapan agar mereka dapat mempelajarinya secara bertahap.

Penjelasan
1. Pengenalan Ilmu mustholah hadts;

- Ilmu mustholah hadits adalah ilmu yang memuat pokok-pokok dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui keadaan-keadaan sanad dan matan hadits dari sudut pandang diterima dan tidaknya hadits tersebut.

- Sasaran ilmu mustholah hadits adalah sanad dan matan hadits ditinjau dari sudut pandang diterima atau tidaknya hadits tersebut.

- Hasil dari kajian ilmu mustholah hadits adalah mampu membedakan antara hadits yang shohih (sehat/waras) dan saqim (sakit).

2. Kitab-kitab induk yang masyhur dalam kajian ilmu mustholah hadits adalah sebagai berikut :

- Al-Muhaddits Al-Fadhil Bainar Rowi Wal-Wa’i
Kitab ini ditulis oleh Al-Qodhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrohman bin Khollad Ar-Romahurmuzi, (Romahurmuz adalah salah satu daerah dikawasan Ahwaz, Ibu kota provinsi Khuzestan, salah satu provinsi dinegara Iran). beliau wafat pada tahun 360 H. Kitab yang beliau tulis tidak mencakup semua kajian ilmu mustholaf hadits, namun hal ini dapat dimaklumi karena kitab ini adalah kitab pertama yang ditulis dalam kajian ilmu mustholah hadits.

-  Ma’rifatu Ulumil Hadits
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdulloh Al-Hakim An-Naisaburi, beliau wafat pada tahun 405 H. Karena kitab ini juga merupakan kitab rintisan ilmu hadits, jadi kajiannya belum disusun secara rapi agar mudah dipahami.

- Al-Mustakhroj Ala Ma’rifati Ulumil Hadits
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdulloh Al-Ashbihani, beliau wafat pada tahun 430 H. (Abu Nu’aim adalah penulis kitab yang terekanal “Hilyatul Auliya’). Kitab ini ditulis untuk melengkapi kajian yang ilmu mustholah hadits yang ditulis oleh Imam Hakim yang ditulis sebelumnya, hanya saja kitab ini sendiri juga masih menyisakan beberapa kajian ilmu hadis yang juga masih perlu dilengkapi oleh generasi selanjutnya.

- Al-Kifayah Fi Ilmi Ar-Riwayah
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Bakar bin Ali bin Tsabit Al-Khotib Al-Baghdadi, yang biasa disebut “Khotib Al-Baghdadi”, beliau wafat pada tahun 463. Inilah kitab pertama yang mengkaji ilmu mustholah hadits dengan penjelasan secara rapid an rinci mengenai masalah-masalah dalam ilmu mustholah hadits dan juga menjelasan kaedah-kaedah dalam meriwayatkan hadits. Karena itulah kitab ini dianggap sebagai salah satu acuan utama dalam fan ilmu mustholah hadits.

- Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rowi Wa Adabi As-Sami’
Kitab ini juga ditulis oleh Imam Khotib Al-Baghdadi, yang menjelaskan tentang adab-adab meriwayatkan sebuah hadits dan merupakan satu-satunya kitab yang ditulis mengenai pembahasan ini. Imam Khotib Al-Baghdadi memang diakui sebagai pemuka dalam kajian ilmu hadits, hampir dalam setiap fan ilmu hadits beliau ikut ambil dengan menulis kitab dalam kajian tersebut. Karena itulah Al-Hafidh Abu Bakar bin Naqthoh pernah mengatakan; “Semua orang yang bisa bersikap moderat pasti akan mengakui bahwa semua ulama’ ahli hadits setelah masa Imam Khotib memiliki hubungan kekeluargaan (mengambil faedah) pada kitab-kitab beliau”. 

- Al-Ilma’ Ila M’rifati ushuli  Ar-Riwayah Wa Taqyidi  As-Sima’
Kitab ini ditulis oleh Qodhi Iyadh bin Musa Al-Bahshubi, beliau wafat pada tahun 544 H. Kitab yang beliau tulis tidak mencakupsemua kajian ilmu mustholah hadits tapi hanya terbatas dalam pembahasan mengenai tata cara memperoleh (tahamul) dan menyampaikan (ada’) hadits dan hal-hal yang terkaitan dengan pembahasan tersebut, meski begitu kitab ini merupakan kitab yang sangat baik dalam kajian tersebut dan disusun dengan uraian yang rapi.

- Ma La Yasa’u Al-Muhaddits Jahluhu
Kitab ini ditulis oleh Abu Hafsh Umar bin Abdul Majid Al-Mayanaji Al-Mayanisyi (Mayanis adalah salah satu desa yang berada dibenua Afrika), beliau wafat pada tahun 580. Kitab ini hanya merupakan kitab tipis yang berisikajian ilmu hadits.

- Ulumul Hadits / Muqoddimah Ibnus Sholah
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Amr Utsman bin Abdurrohman Asy-Syahrozuri, yang lebih dikenal dengab nama Ibnus Sholah, beliau wafat pada tahun 653 H kitab ini lebih dikenal dengan nama “Muqoddimah Ibnus Sholah”. Kitab ini merupakan salah satu kitab mustholah terbaik yang pernah ditulis, beliau menyusun kitab ini berdasarkanketerangan-keterangan yang ditulis dalam kitab Imam Khotib Al-Baghdadi dan para pendahulunya, sayangnya kitab ini kurang tersusun secara rapi, hal ini dapat dimaklumi karena memang kitab ini beliau tulis sebagai materi pelajaran sewaktu beliau mengajar hadits di madrasah Al-Asyrofiyah, yang beliau ajarkan sedikit demi sedikit. Meski begitu kitab ini merupakan kitab pegangan utama (umdah) dalam fan ilmu mustholah hadits, hal ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab yang ditulis untuk mengkaji kitab ini,baik berupa kitab ringkasan (mukhtashor) dibuat berbentuk nadhom dan lain sebagainya.

- At-Taqrib Wat-Taisir Li Ma’rifati Sunanil Basyir An-Nadhir
Kitab ini ditulis oleh Imam Muhyiddin, Yahya bin Syarof An-nawawi, yang lebih dikenal dengan nama Imam Nawawi, beliau wafat pada tahun 676 H. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Muqoddimah Ibnus Sholah.

- Tadribur Rowi Fi Syarhi Taqrib An-Nawawi
Kitab ini ditulis oleh Imam jalaluddin Abdurrohman bin Abu Bakar As-Suyuti, yang lebih dikenal dengan nama Imam Suyuthi, beliau wafat pada tahun 911 H. Kitab ini merupakan syarah (penjelasan) kitab Taqrib yang ditulis oleh Imam Nawawi.

- At-Tabshiroh Wat-Tadzkiroh Fi Ulumil Hadits / Alfiyah Al-Iroqi
Kitab ini ditulis oleh Imam Al-Hafidh Zainuddin Abdurrohim bin Al-Husain Al-Iroqi, yang lebih dikenal dengan sebutan All-Hafidh Al-Iroqi, beliau wafat pada tahun 807 H. Kitab mushtholah hadits yang memuat 1000 nadhom (tepatnya 1002 nadhom) dalam kajian ilmu mustholah hadits, karena itu kitab ini lebih dikenal dengan nama “Alfiyah Al-Iroqi” artinya kitab yang berisi 1000 nadhom yang ditulis Imam Al-Iroqi. .

- Fathul Mughits Fi Syarhi Alfiyatil Hadits
Kitab ini ditulis oleh Imam Muhammad bin Abdurrohman As-Sakhowi, yang biasa disebut Imam Sakhowi, beliau wafat pada tahun 902 H. Kitab ini merupakan syarah terbaik yang menjelaskan kitab Alfiyah Al-Iroqi

- Nukhbatul Fikar Fi Mushtholahi Ahlil Atsar
Kitab ini ditulis oleh Imam Al-hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani, beliau wafat pada tahun 852 H. Kitab ini adalah kitab tipis yang ditulis dalam ilmu mustholah hadits, tapi kitab ini diakui sebagai kitab mukhtashor 9kitab ringkas) yang paling bermanfaat dan paling baik susunannya, sebelumnya belum ada kitab mustholah hadits yang ditulis dengan susunan dan pembagian kajian-kajian ilmu mustholah hadits seperti yang dibuat oleh Imam Ibnu Hajar, beliau juga menulis kitab syarah (penjelasan) kitab ini yang diberi judul “Nuzhatun Nadhor Fi Taudhihi Nukhbatil Fikar”. Kitab inilahyang insya Alloh akan kita kaji.

- Nadhom Ad-Duror Fi Ilmil Atsar / Alfiyah As-Suyuthi
Kitab ini ditulis oleh Imam Suyuti, beliau menulis kitab kajian ilmu mustholah haditsnya dalam bentuk nadhom yang berjumlah 1000 nadhom (lebih tepatnya 994 nadhom), karena itulah kitab ini dikenal dengan nama “Alfiyah As-Suyuthi”.

- Nadhom Al-Baiquniyah
Kitab ini ditulis oleh Syaikh Umar bin Muhammad Al-Baiquni, beliau wafat pada tahun 1080 H. Kitab ini merupakan kitab kajian mustholah hadits yang ringkas dan hanya memuat 34 nadhom, meski begitu kitab ini merupakan salah satu kitab yang menjadi rujukan dalam mustholah hadits terutapa bagi para pemula.

Selain dari kitab-kitab yang telah disebutkan diatas masih terdapat banyak kitab-kitab kajian tentangilmu mustholah hadits, namun disini hanya disebutkan kitab-kitab yang masyhur dikalangan para pelajar ilmu mustholah hadits.

Referensi
1. Nuzhatun Nadhor, Hal : 29 - 34
2. Taisir Mustholah Hadits, Hal : 11 - 14


Kajian kitab : Nukhbatul Fikar Fi Mushtholahi Ahlil Atsar
Karya : Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 2)

وَهِي عِنْد الْإِطْلَاق والتجرد عَن الْقَرِينَة تحمل عَلَيْهِ إِلَّا مَا دلّ الدَّلِيل على أَن المُرَاد مِنْهُ النّدب أَو الْإِبَاحَة

Terjemah
Melaksanakan suatu perintah yang sifatnya mutlak dan tidak terdapat petunjuk bahwa terdapat kemungkinan lain, pada dasarnya adalah wajib, kecuali apabila terdapat dalil yang menjadikan perintah itu menjadi sunnah atau mubah.

Penjelasan
1. Pada dasarnya setiap perintah itu wajib untuk dikerjakan, seperti perintah untuk mengerjakan sholat 5 waktu yang disebutkan dalam firman Alloh;

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. Al-Isro’ : 78)

Kecuali apabila ada petunjuk yang mengarahkan perintah tersebut dari kewajiban menjadi sebuah kesunatan. Contohnya adalah perintah untuk mengerjakan sholat witir yang disebutkan dalam beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ. أَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil, maka laksanakanlah witir wahai ahli Qur'an. " (Sunan Ibnu Majah, No.1170)

Perintah diatas tidak menunjukkan kewajiban, sebab terdapat penjelasan sayyidina Ali karromallohu wajhah dalam satu riwayat hadits;

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

" Ali bin Abu Thalib berkata, "Shalat witir tidak wajib dan tidak pula seperti shalat maktubah kalian, hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya, beliau mengatakan: "Wahai ahli Qur`an, hendaklah kalian shalat witir, sesungguhnya Allah menyukai shalat witir. " (Sunan Ibnu Majah, No.1169 dan Sunan Turmudzi, No.453)

Karena itulah, para ulama’ menyimpulkan bahwa sholat witir hukumnya adalah sunat.

Dan terkecuali apabila terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang sifatnya mubah, boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Contohnya adalah perintah Rosululloh dalam satu hadits;

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ، فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ

“Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah berkata, "Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya." Maka beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu." (Shohih Bukhori, No.5364)

Perintah Rosulululloh kepada Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan secara diam-diam karena Abu Sufyan pelit, bukanlah perintah yang menunjukkan suatu kewajiban yang harus dikerjakan, tapi perintah tersebut adalah “amru ibahah” perintah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Adapun petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib terdapat pada riwayat lain dari hadits tersebut;

جَاءَتْ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ، فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنَ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا؟ فَقَالَ: لاَ حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Hindun binti 'Utbah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, apakah aku berdosa bila aku ambil dari hartanya untuk memberi makan keluarga kami? '. Maka Beliau bersabda: "Tidak dosa atasmu jika kamu beri makan mereka dengan cara yang ma'ruf (wajar).” (Shohih Bukhori, No.2460)

Rosululloh menyatakan bahwa mengambil harta Abu Sufyan itu “tidak berdosa” (لا حرج). Kata “لا حرج” merupakan indikasi/petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib dikerjakan, karena itulah disimpulkan bahwa perintah inilah adalah perintah yang mubah untuk dilakukan.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

 [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Perkara - Perkara Yang Mewajibkan Mandi

فَصْلٌ : مُوْجِبَاتُ الْغُسْلِ سِتَّةٌ
إِيْلاَجُ الْحَشَفَةِ فِيْ الْفَرْجِ
وَخُرُوُجُ الْمَنيِّ
وَالْحَيْضُ
وَالنَّفَاسُ
وَالْوِلاَدَةُ
وَالْمَوْتُ

Terjemahan
[Pasal] Perkara-perkara yang mewajibkan mandi ada 6 :
1. Memasukkan hasyafah kedalam farji
2. Keluarnya mani
3. Haid
4. Nifas
5. Melahirkan
6. Meninggal dunia

Penjelasan
1. Perkara - perkara yang mewajibkan seseorang untuk mengerjakan mandi dibagi menjadi 2; 
•    Pertama; Perkara-perkara yang mewajibkan mandi yang berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan, yaitu : Memasukkan hasyafah kedalam farji, keluarnya mani  dan meninggal dunia.
•    Kedua; Perkara-perkara yang mewajibkan mandi yang hanya berlaku bagi perempuan, yaitu : keluarnya darah haidh, nifas dan melahirkan (1).

2. Masuknya hasyafah (bagian ujung dari penis yang terlihat setelah dikhitan) kedalam farji mewajibkan mandi meskipun masuknya tidak dengan sengaja atau dalam keadaan tidur (2).

3. Seorang lelaki diwajibkan mandi apabila :
•    Hasafahnya masuk kedalam farji bagian depan (vagina) atau bagian belakang (dubur
•    Hasafahnya masuk kedalam farjinya seorang perempuan, hewan atau sesamaa lelaki (sodomi)
•    Hasyafahnya masuk kedalam farji anak kecil atau orang yang sudah dewasa
•    Hasyafahnya masuk kedalam farji orang yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia.

Begitu juga seorang perempuan diwajibkan mandi apabila farjinya dimasuki hasyafah, baik hasyafah seorang manusia, hewan, anak kecil atau orang yang sudah meninggal (3).

4. Keluarnya mani mewajibkan mandi bagi laki-laki dan wanita, baik keluarnya diwaktu sedang tidur atau terjaga (4).

5. haidh adalah darah kebiasaan yang keluar dari dari pangkal rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu (5)

6. Nifas adalah darah yang keluar setelah seorang wanita melahirkan, meskipun yang keluar berupa segumpal daging atau segumpal darah (wanita keguguran). Jadi, darah yang keluar bersamaan dengan bayi dan sebelum bayi keluar secara sempurna tidak dihukumi darah nifas (6).

7. Melahirkan adalah mewajibkan seorang wanita untuk mandi secara tersendiri, maksudnya semisal ada seorang wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah nifas tetap wajib mandi. Begitu juga diwajibkan mandi meskipun yang keluar hanya berupa gumpalan daging atau gumpalan darah, karena gumpalan daging atau darah tersebut adalah cikal bakal penciptaan manusia (7).

8. Kematian seseorang mewajibkan mandi kecuali bagi orang yang mati syahid dimedan pertempuran.

Referensi
1. Kasyifatus Saja, Hal : 22  Ghoyatul Muna, Hal : 167
2. Kasyifatus Saja, Hal : 22
3. Kasyifatus Saja, Hal : 22
4. Kasyifatus Saja, Hal ; 23  Ghoyatul Muna, Hal : 168
5. Kasyifatus Saja, Hal ; 23
6. Kasyifatus Saja, Hal : 23
7. Kasyifatus Saja, Hal : 24  Ghoyatul Muna, Hal : 170


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 1)

وَالْأَمر استدعاء الْفِعْل بالْقَوْل مِمَّن هُوَ دونه على سَبِيل الْوُجُوب
وصيغته افْعَل

Terjemahan
Amar (perintah) ialah permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan melalui ucapan kepada bawahannya dengan ketentuan harus dikerjakan.

Bentuk kata perintah adalah  افعل  (Kerjakan!)

Penjelasan
1. Suatu permintaan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, apabila yang meminta derajatnya lebih tinggi dari yang diminta, maka permintaan itu disebut dengan “amar”, Sedangkan apabila yang meminta dan yang diminta kedudukannya sama, maka permintaan itu disebut dengan “iltimas”,  dan apabila yang meminta kedudukannya lebih rendah dari yang dimintai, disebut dengan “su’al” atau “do’a” (1).

Contoh dari amar adalah perintah Alloh bagi para hambanya yang menikahi para wanita untuk memberikan mahar/mas kawin yang terdapat pada ayat;

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً 


“Dan kalian berikanlah bagi para wanita mahar-mahar mereka dengan suka rela” (Q.S. An-Nisa’ : 4)

Contoh dari iltimas adalah  permintaan seseorang kepada temannya untuk berkunjung kerumahnya.

Contoh dari do’a terdapat dalam ayat;

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (40) رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ (41
 
“Wahai Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Wahai Tuhan Kami, perkenankanlah doaku. Wahai Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (Q.S. Ibrohim : 40-41)


2. Perintah bisa diungkapkan dengan beberapa sighot (bentuk kalimat);

a. Perintah yang diungkapkan dengan fi’il amar, seperti dalam firman Alloh;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu” (Q.S. Al-Ma’idah : 1)

Perintah untuk memenuhi janji pada ayat diatas diungkapkan dengan fi’il amar, yaitu kalimat “أوفوا”.

b. Perintah yang diungkapkan dengan fi’il mudhori’ yang didahului dengan lam amar (huruf lam yang berfungsi untuk menunjukkan perintah) , seperti dalam firman Alloh;

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya” (Q.S. Ath-Tholaq : 7)

Perintah untuk memberikan nafkah pada ayat diatas diungkapkan dengan fi’il mudhori, yaitu lafadh “ينفق” yang didahului/kemasukan lam amar menjadi kalimat “لينفق”.

c. Perintah yang diungkapkan dengan jumlah khobariyah (kalimat berita), seperti yang terdapat dalam firman Alloh;

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Alloh tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nisa’ : 141)

Ayat diatas bukan hanya berita bahwa Alloh tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir kepada orang-orang mukmin tapi juga merupakan perintah agar orang-orang mukmin tidak tunduk dibawah kekuasaan orang-orang kafir (2).

Referensi
1. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 103
2. Ushulul Fiqh Al-Islami, Juz : 1  Hal : 219


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Air Sedikit Dan Air Banyak

فَصْلٌ : المَاءُ قَلِيْلٌ وَكَثِيْرٌ
فَالْقَلِيْلُ: مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ
وَالْكَثِيْرُ: قُلَّتَانِ فَأكْثَرُ
وَالقَلِيْلُ: يَتَنَجَّسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ فِيْهِ، وَإِن لَمْ يَتَغَيَّرْ
وَالْمَاءُ الْكَثِيْرُ: لاَ يَتَنَجَّسُ إِلاَّ إذا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، أوْ رِيْحُهُ

Terjamahan
[Pasal] Air terbagi menjadi 2, air sedikit dan air banyak ;
1.  Air sedikit adalah air yang kurang dari kulah
2. Air banyak adalah air yang mencapai 2 kulah atau lebih.

Air sedikit dihukumi najis jika  terkena najis walaupun tidak berubah.  
Sedangkan air banyak, tidak dihukumi najis kecuali jika berubah rasa, warna dan baunya.

Penjelasan
1. Ada 2 cara untuk menetapkan air 2 kulah;
Pertama, dengan melihat dari wadah air tersebut. Perinciannya adalah;
-    Apabila wadah yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi empat, maka panjang, lebar dan kedalaman wadah tersebut adalah 1 seperempat dziro’
-    Apabila wadah yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi tiga, maka panjang ketiga sisinya adalah 2 setengah dziro’ dan kedalamannya 2 dziro’.
-    Apabila wadah yang digunakan berupa wadah berbentuk lingkaran, maka lebarnya adalah 1 dziro’ dan kedalamannya 2 setengah dziro’.
( 1 Dziro’ = 48 cm )

Kedua, dengan me;lihat isinya. Apabila volume air telah mencapai 216 liter, maka air tersebut telah mencapai 2 kulah (1).

2. Air yang kurang dari 2 kulah apabila terkena najis maka dihukumi najis dengan syarat :
a. Benda yang najis jatuh kedalam air tersebut, apabila najisnya yang disiramkan pada najis maka air tersebut tidak dihukumi najis kecuali jika air tersebut berubah setelah terpisah dari najis tersebut atau volume airnya bertambah setelah bercampur dengan najis tersebut.
b. Diyakini bahwa air yang kurang dari 2 kulah tersebut kemasukan najis, apabila masih diragukan apakah air tersebut kemasukan najis atau tidak, sedangkan sebelumnya air tersebut suci, maka air tersebut tetap dihukumi suci.
c. Najis yang jatuh kedalam air tersebut bukanlah najis yang ma’fu, apabila najis yang masuk adalah najis yang ma’fu, seperti bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dalam tubuhnya maka air tersebut tetap dihukumi suci (2).

3. Air 2 kulah atau lebih yang terkena najis tetap dihukumi suci dan tidak dihukumi najis selama air tersebut tidak berubah rasanya, warnanya atau baunya atau berubah semua sifatnya, dimana perubahannya disebabkan benda najis tersebut (3).

Referensi
1. Kasyifatusy Syaja, Hal : 20,  Ghoyatul Muna, Hal : 161
2. Ghoyatul Muna, Hal : 162
3. Ghoyatul Muna, Hal : 163

 
Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]