Template information

Home » , » Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 2)

Kajian Kitab Al-Waroqot : Amar/Perintah (Bagian 2)

وَهِي عِنْد الْإِطْلَاق والتجرد عَن الْقَرِينَة تحمل عَلَيْهِ إِلَّا مَا دلّ الدَّلِيل على أَن المُرَاد مِنْهُ النّدب أَو الْإِبَاحَة

Terjemah
Melaksanakan suatu perintah yang sifatnya mutlak dan tidak terdapat petunjuk bahwa terdapat kemungkinan lain, pada dasarnya adalah wajib, kecuali apabila terdapat dalil yang menjadikan perintah itu menjadi sunnah atau mubah.

Penjelasan
1. Pada dasarnya setiap perintah itu wajib untuk dikerjakan, seperti perintah untuk mengerjakan sholat 5 waktu yang disebutkan dalam firman Alloh;

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Q.S. Al-Isro’ : 78)

Kecuali apabila ada petunjuk yang mengarahkan perintah tersebut dari kewajiban menjadi sebuah kesunatan. Contohnya adalah perintah untuk mengerjakan sholat witir yang disebutkan dalam beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ. أَوْتِرُوا يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil, maka laksanakanlah witir wahai ahli Qur'an. " (Sunan Ibnu Majah, No.1170)

Perintah diatas tidak menunjukkan kewajiban, sebab terdapat penjelasan sayyidina Ali karromallohu wajhah dalam satu riwayat hadits;

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

" Ali bin Abu Thalib berkata, "Shalat witir tidak wajib dan tidak pula seperti shalat maktubah kalian, hanya saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya, beliau mengatakan: "Wahai ahli Qur`an, hendaklah kalian shalat witir, sesungguhnya Allah menyukai shalat witir. " (Sunan Ibnu Majah, No.1169 dan Sunan Turmudzi, No.453)

Karena itulah, para ulama’ menyimpulkan bahwa sholat witir hukumnya adalah sunat.

Dan terkecuali apabila terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa perintah tersebut adalah perintah yang sifatnya mubah, boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Contohnya adalah perintah Rosululloh dalam satu hadits;

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ، فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ

“Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah berkata, "Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya." Maka beliau bersabda: "Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu." (Shohih Bukhori, No.5364)

Perintah Rosulululloh kepada Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan secara diam-diam karena Abu Sufyan pelit, bukanlah perintah yang menunjukkan suatu kewajiban yang harus dikerjakan, tapi perintah tersebut adalah “amru ibahah” perintah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Adapun petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib terdapat pada riwayat lain dari hadits tersebut;

جَاءَتْ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ، فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنَ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا؟ فَقَالَ: لاَ حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Hindun binti 'Utbah datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, apakah aku berdosa bila aku ambil dari hartanya untuk memberi makan keluarga kami? '. Maka Beliau bersabda: "Tidak dosa atasmu jika kamu beri makan mereka dengan cara yang ma'ruf (wajar).” (Shohih Bukhori, No.2460)

Rosululloh menyatakan bahwa mengambil harta Abu Sufyan itu “tidak berdosa” (لا حرج). Kata “لا حرج” merupakan indikasi/petunjuk bahwa perintah tersebut tidaklah wajib dikerjakan, karena itulah disimpulkan bahwa perintah inilah adalah perintah yang mubah untuk dilakukan.


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

 [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

0 komentar:

Posting Komentar