Template information

Hukum menjawab salam non muslim



Pertanyaan :
Assalamualaikum...
Saya prnah dengar kalau ada non muslim mengucapkan 'assalamualaikum' kpd kita, kita tidak boleh mnjwbnya ya? kalau benar, refrensinya dimana ya...

( Dari : Sangga Bumi )


Jawaban :

Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut pendapat madzhab syafi’i dan juga pendapat mayoritas ulama’ seorang muslim diharamkan mengucapkan salam bagi orang kafir, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah kalian memulai ucapan salam pada orang yahudi dan nasrani”. (Shahih Muslim, no.2167)

Sedangkan apabila orang kafir mengucapkan salam pada orang muslim maka diwajibkan menjawabnya, namun dengan hanya mengucapkan “wa’alaikum” (dan semoga bagi kalian). Hukum ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Apabila orang ahlu kitab mengucapkan salam bagi kalian, maka jawablah “wa’alaikum”. (Shahih Bukhari, no.6258 dan Shahih Muslim, no.2163)

Maksud dari jawaban tersebut sesuai dengan tujuan orang kafir tersebut;
- Apabila ia mengucapkan salam dengan maksud agar orang islam tersebut mendapatkan keselamatan, maka maksud jawaban dari muslim tersebut adalah “semoga orang kafir tersebut masuk islam”, sebab hanya dengan masuk islam ia mendapatkan keselamatan.
- Apabila ucapannya itu niatnya menyindir atau meledek seorang muslim, maka maksud dari jawaban tersebut adalah kami juga mendo’akan hal yang sama kepadamu seperti yang kamu maksud.

Alasan dilarangnya seorang muslim mengucapkan salam kepada orang kafir adalah karena orang kafir tidak akan mendapatkan keselamatan, baik didunia maupun diakhirat jika ia tetap dalam kekafirannya. Didunia ia boleh diperangi jika termasuk kategori kafir harbi, dan diakhirat kelak ia akan disiksa selama lamanya. Wallahu a’lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ungu Kencana dan Siroj Munir )
 

Referensi :
1. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 14  Hal : 145
2. Faidhul Qodir, Juz : 1  Hal : 376


Ibarot :
Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 14  Hal : 145

واختلف العلماء في رد السلام على الكفار وابتدائهم به فمذهبنا تحريم ابتدائهم به ووجوب رده عليهم بأن يقول وعليكم أو عليكم فقط ودليلنا في الابتداء قوله صلى الله عليه وسلم لاتبدأوا اليهود ولاالنصارى بالسلام وفي الرد قوله صلى الله عليه وسلم فقولوا وعليكم وبهذا الذي ذكرناه عن مذهبنا قال أكثر العلماء وعامة السلف


Faidhul Qodir, Juz : 1  Hal : 376

إذا سلم عليكم) أيها المسلمون (أحد من أهل الكتاب) اليهود والنصارى ولفظ أهل الكتاب وإن كان أعم بحسب المفهوم من التوراة والإنجيل لكنه خص استعمال الشرع بهما لأن غير اليهود والنصارى لم يوجد زمان البعثة (فقولوا) وجوبا في الرد عليهم (وعليكم) فقط روي بالواو وبدونها. قال القرطبي: وحذفها أوضح معنى وأحسن وإثباتها أصح رواية وأشهر. قال الزركشي: الرواية الصحيحة عن مالك وابن عيينة بغير واو وهي أصوب وقال النووي إثباتها أجود فمعناه بدونها: عليكم ما تستحقونه وبها: أنهم إن لم يقصدوا دعاء علينا فهو دعاء لهم بالإسلام فإنه مناط السلامة في الدارين وإن قصدوا التعريض بالدعاء علينا فمعناه ونقول لكم وعليكم ما تريدون بها أو تستحقونه أو ندعو عليكم بما دعوتم به علينا ولا يكون عليكم عطفا على عليكم في كلامهم وإلا فتضمن ذلك تقرير دعائهم علينا وإنما اختار هذه الصيغة ليكون أبعد من الإيحاش وأقرب إلى الرفق المأمور به. قال النووي: اتفقوا على الرد على أهل الكتاب بما ذكر إذا سلموا وقال غيره: فيه أنه لا يشرع ابتداء الكافر بالسلام لأنه بين حكم الجواب ولم يذكر حكم الابتداء وأن هذا الرد خاص بالكفار فلا يجزي في الرد على مسلم لاشتهار الصيغة في الرد على غيره. وقيل بإجزائها في أصل الرد وإنما امتنع السلام على الكافر لأنه لا سلامة له إذ هو مخزي في الدنيا بالحرب والقتل والسبي وفي الآخرة بالعذاب الأبدي

Pengertian puasa syawal dan cara mengerjakannya





Pertanyaan :
Mau tanya, yang dimaksud puasa syawal itu apa ? dan pelaksanaannya bagaimana ? Terimakasih...

( Dari : Ir-One IU )


Jawaban :
Puasa syawwal adalah puasa yang dikerjakan sesudah hari raya idul fitri. Puasa pada hari ini hukumnya sunat berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia berpuasa sepanjang masa.” (Shahih Muslim, no.1164)

Sedangkan tata cara pelaksanaannya yang paling afdhol adalah setelah hari raya, lalu mengerjakan puasa (mulai tanggal 2 syawwal) selama 6 hari secara terus menerus. Meski begitu, puasa syawal boleh dikerjakan tidak langsung setelah hari raya selama masih dikerjakan dibulan syawal, begitu juga diperbolehkan mengerjakannya terpisah-pisah, tidak terus menerus. Wallahu a’lam. 

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Aziz Fariqfazarizaz, dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 344
2. Syarah Shohih Muslim,  Juz : 8  Hal : 56


Ibarot :
Al-Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 344

يستحب لمن صام رمضان أن يتبعه بست من شوال لما روى أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من صام من رمضان وأتبعه بست من شوال فكأنما صام الدهر كله

Syarah Shohih Muslim,  Juz : 8  Hal : 56

قوله صلى الله عليه وسلم (من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر) فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعي وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك قال مالك في الموطأ ما رأيت أحدا من أهل العلم يصومها قالوا فيكره لئلا يظن وجوبه ودليل الشافعي وموافقيه هذا الحديث الصحيح الصريح وإذا ثبتت السنة لا تترك لترك بعض الناس أو أكثرهم أو كلهم لها وقولهم قد يظن وجوبها ينتقض بصوم عرفة وعاشوراء وغيرهما من الصوم المندوب قال أصحابنا والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستا من شوال

Hukum menyeka/mengelap anggota badan setelah wudhu



Pertanyaan :
Assalamualaikum.. Ustadz dan ustadzah, saya mau tanya, apabila kita setelah wudhu di handuki hukumnya bagaimana?  Dan mohon dituliskan dalilnyaa. Terima kasih..

( Dari : Imrontdjahh Blanconerythee Genspexssjhatie )


Jawaban :

Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Imam Al-Mahamili menyatakan, para ulama’ telah bersepakat bahwa  menyeka/mengelap anggota badan yang dibasuh atau diusap, sesudah wudhu hukumnya tidak haram. Hanya saja mereka berselisih pendapat apakah huumnya makruh atau tidak?. Secara umum terdapat 2 pendapat dalam masalah ini, berikut ini penjelasan serta dalil masing-masing:

Pendapat pertama : Menyeka badan setelah wudhu hukumnya boleh. Ini merupakan salah satu pendapat dalam Madzhab Syafii, dan juga pendapat madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Imam Ibnul Mundzir menjelaskan bahwa pendapat ini juga dinyatakan oleh utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas'ud, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqomah, Al-Aswad, Masruq, Adh-Dhohak, Ats-Tsauri dan Ishaq. 

Diantar dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Hadis dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau mengatakan:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki handuk kecil yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah wudhu.” (Sunan Turmudzi, No.53 dan Sunan Nasai, no.701).

2. Hadis dari Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ، فَقَلَبَ جُبَّةَ صُوفٍ كَانَتْ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu, kemudian beliau membalik jubah wol yang beliau pakai dan beliau gunakan untuk mengusap wajahnya. (Sunan Ibnu Majah, no.468)

Pendapat kedua; Menyeka anggota badan setelah wudhu hukumnya makruh. Ini juga merupakan pendapat sebagian ulama’ madzhab syafi'i.  Pendapat ini juga dipilih Ibnu Abi Laila, Sa’id bin Musayyab, An-Nakho’i, Mujahid, Abul Aliyah.

Alasan lainnya sebab hal tersebut akan menghilangkan bekas ibadah yang telah dikerjakan. Sedangkan dalilnya antara lain hadis dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau menjelaskan tata cara mandi junub Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis tersebut, Maimunah mengatakan:

ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ

“Kemudian aku memberikan handuk untuk beliau, namun beliau tidak menggunankannya.” (Shahih Bukhari, no.276 dan Shahih Muslim, no.317).

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan, dalam madzhab syafi’i terrdapat 5 pendapat yang berbeda mengenai masalah menyeka anggota badan sesudah wudhu, adapun pendapat yang ashoh hukumnya tidak makruh, namun disunahkan untuk tidak melakukannya. Namun dalam Syarah Shohih Muslim beliau menyatakan bahwa hukumnya mubah secara mutlak.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menambahkan, hukum tersebut mengecualikan apabila kondisinya dingin, khawatir menempelnya najis, atau sesudahnya akan melakukan tayammum, maka dalam kondisi ini menyeka anggota badan malah dianjurkan.

Kesimpulannya, mengelap anggota badan setelah wudhu hukumnya khilaf, ada yang menyatakan makruh dan tidak, namun disunnahkan untuk tidak dilakukan, kecuali bila hajat, seperti dalam kondisi yang dingin, dll. Wallahu a’lam.

( Dijawab oleh : Maz Mamak, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, dan Siroj Munir )

Referensi :

1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 14  Hal : 66 - 68
2. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 458 - 462
3. Tuhfatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 237 - 238


Ibarot :

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 14  Hal : 66 - 68

التنشيف بعد الوضوء والغسل
لا بأس بالتنشيف والمسح بالمنديل أو الخرقة بعد الوضوء والغسل، بهذا قال الحنفية والمالكية والحنابلة وهو قول عند الشافعية، وحكى ابن المنذر إباحة التنشيف عن عثمان بن عفان والحسين بن علي وأنس بن مالك وبشر بن أبي مسعود والحسن البصري وابن سيرين وعلقمة والأسود ومسروق والضحاك والثوري وإسحاق
واستدل القائلون بجواز التنشيف بعدة أحاديث منها
حديث أم هانئ عند الشيخين قام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى غسله فسترت عليه فاطمة ثم أخذ ثوبه فالتحف به. وهذا ظاهر في التنشيف
وحديث قيس بن سعد أتانا النبي صلى الله عليه وسلم فوضعنا له ماء فاغتسل، ثم أتيناه بملحفة ورسية فاشتمل بها فكأني أنظر إلى أثر الورس على عكنه
وحديث سلمان  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ فقلب جبة صوف كانت عليه فمسح بها وجهه
وحديث أبي بكر كانت للنبي صلى الله عليه وسلم خرقة يتنشف بها بعد الوضوء
وحديث أبي مريم إياس بن جعفر عن رجل من الصحابة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان له منديل أو خرقة يمسح بها وجهه إذا توضأ
وكره التنشيف بعد الوضوء والغسل ابن أبي ليلى وسعيد بن المسيب والنخعي ومجاهد وأبو العالية، واستدلوا بما رواه ابن شاهين في الناسخ والمنسوخ من حديث أنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن يمسح وجهه بالمنديل بعد الوضوء ولا أبو بكر ولا عمر ولا ابن مسعود. وحكي كراهته عن ابن عباس في الوضوء دون الغسل. ونهى عنه جابر بن عبد الله

Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 458 - 462

قال المصنف رحمه الله : ويستحب أن لا ينشف أعضاءه من بلل الوضوء لما روت ميمونة رضي الله عنها قالت أدنيت لرسول الله صلى الله عليه وسلم غلامي الجنابة فأتيته بالمنديل فرده ولأنه أثر عبادة فكان تركه أولى فإن تنشف جاز لما روى قيس بن سعد رضي الله عنهما قال أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فوضعا له غسلا فاغتسل ثم أتيناه بملحفة ورسية فالتحف بها فكأني أنظر إلى أثر الورس على عكنه

الشرح : -إلى أن قال- أما حكم التنشيف ففيه طرق متباعدة للأصحاب يجمعها خمسة أوجه الصحيح منها أنه لايكره لكن المستحب تركه وبهذا قطع جمهور العراقيين والقاضي حسين في تعليقه والبغوي وآخرون وحكاه إمام الحرمين عن الأئمة ورجحه الرافعي وغيره من المتأخرين المطلعين (والثاني) يكره النتشيف حكاه المتولي وغيره (الثالث) أنه مباح يستوي فعله وتركه قاله  أبو علي الطبري في الإفصاح والقاضي أبو الطيب في تعليقه (والرابع) يستحب التنشيف لما فيه من السلامة من غبار نجس وغيره حكاه الفوراني والغزالي والروياني والرافعي (والخامس) إن كان في الصيف كره التنشيف وإن كان في الشتاء فلا لعذر البرد حكاه الرافعي قال المحاملي وغيره وليس للشافعي نص في المسألة قال أصحابنا وسواء التنشيف في الوضوء والغسل هذا كله إذا لم تكن حاجة إلى التنشيف لخوف برد أو التصاق بنجاسة ونحو ذلك فإن كان فلا كراهة قطعا ولا يقال إنه خلاف المستحب قال الماوردي فإن كان معه من يحمل الثوب الذي يتنشف به وقف عن يمين المتطهر والله أعلم
فرع : في مذاهب السلف في التنشيف قد ذكرنا أن الصحيح في مذهبنا أنه يستحب تركه ولا يقال التنشيف مكروه وحكى ابن المنذر إباحة التنشيف عن عثمان بن عفان والحسن بن علي وأنس بن مالك وبشير بن أبي مسعود والحسن البصري وابن سيرين وعلقمة والأسود ومسروق والضحاك ومالك والثوري وأصحاب الرأي وأحمد وإسحاق وحكى كراهته عن جابر بن عبد الله وعبد الرحمن بن أبي ليلى وسعيد بن المسيب والنخعي ومجاهد وأبي العالية وعن ابن عباس كراهته في الوضوء دون الغسل قال ابن المنذر كل ذلك مباح ونقل المحاملي الإجماع على أنه لا يحرم وإنما الخلاف في الكراهة والله أعلم

Tuhfatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 237 - 238

و) ترك (النفض) ؛ لأنه كالتبري من العبادة فهو خلاف السنة كما في التحقيق وشرحي مسلم والوسيط وصحح في الروضة والمجموع إباحته والرافعي كراهته لخبر فيه ورد بأنه ضعيف (وكذا) كأن حكمتها مع أن الخلاف بقوته فيما قبله أيضا تميز مقابله بصحة حديث الحاكم الآتي به فلا اعتراض عليه (التنشيف) ، وهو أخذ الماء بنحو خرقة فلا إيهام في عبارته خلافا لمن زعمه يسن تركه في طهر الحي (في الأصح) ؛ لأنه يزيل أثر العبادة فهو خلاف السنة؛ لأنه - صلى الله عليه وسلم - «رد منديلا جيء به إليه لأجل ذلك؛ عقب الغسل من الجنابة» ما لم يحتجه لنحو برد أو خشية التصاق نجس به أو لتيمم عقبه فلا يسن تركه بل يتأكد فعله واختار في شرح مسلم إباحته مطلقا وخبر «أنه - صلى الله عليه وسلم - كان له منديل يمسح به وجهه من الوضوء» وفي رواية «خرقة يتنشف بها» صححه الحاكم وضعفه الترمذي وعلى كل ينبغي حمله على أنه لحاجة والأولى عدمه بنحو طرف ثوبه وفعله - صلى الله عليه وسلم - ذلك مرة لبيان الجواز، ويقف هنا وفي الغسل حامل المنشفة عن يمينه والصاب عن يساره «وكانت أم عياش توضئه - صلى الله عليه وسلم -، وهي قائمة، وهو قاعد
.............................................


Dalil disunahkannya mencium hajar aswad saat menunaikan ibadah haji


Pertanyaan :
Adakah dalil dalam qur'an yang menyatakan bahwa kita di haruskan mencium hajar aswad waktu berhaji.?

( Dari : Al Khalim Al Khamdhani )


Jawaban :
Allah subhanahu wata'ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)

Ayat diatas memberikan petunjuk pada umat islam untuk menjadikan nabi sebagai suriu tauladan dan panutan, dan diantara hal yang diajarkan nabi adalah mencium hajar aswad, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Umar bin Khoththob radhiyallahu anhu ketika beliau mencium hajar aswad kemudian berkata:

وَاللهِ، لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرٌ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Demi Allah, aku tahu bahwa kamu adalah sebongkah batu, jika bukan karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, tentu aku tak akan menciummu”. (HR. Bukhari Muslim)

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, perkatan Umar adalah dorongan agar kaum muslimin menjadikan Nabi sebagai panutan, karena Nabi adalah orang yang paling diutamakan untuk diikuti.

Beliau menambahkan bahwa hadits diatas merupakan dalil disunahkannya mencium hajar aswad ketika thowaf. Dan ini merupakan pendapat madzhab syafi’i dan mayoritas ulama’.  Wallahu a’lam.

( Dijawab oleh : Achmad Rachel Ilmy, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi,  Juz : 9  Hal : 16
2. Al-Majmu’,  Juz : 8  Hal : 29


Ibarot :
Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi,  Juz : 9  Hal : 16

قوله (قبل عمر بن الخطاب الحجر ثم قال أم والله لقد علمت أنك حجر ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك) وفي الرواية الأخرى وإني لأعلم أنك حجر وأنك لا تضر ولا تنفع هذا الحديث فيه فوائد منها استحباب تقبيل الحجر الأسود في الطواف بعد استلامه -إلى أن قال- وأما قول عمر رضي الله عنه لقد علمت أنك حجر وإني لأعلم أنك حجر وأنت لا تضر ولا تنفع فأراد به بيان الحث على الاقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم في تقبيله ونبه على أنه أولا الاقتداء به لما فعله

Al-Majmu’,  Juz : 8  Hal : 29

ويستحب أن يقبله لما روى ابن عمر ان عمر رضي الله عنه قبل الحجر ثم قال والله لقد علمت أنك حجر ولولا إني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك

Adab-Adab Membaca Al-Qur’an (Bagian 1)



ADAB-ADAB MEMBACA AL-QUR’AN

1. Membersihkan mulut dengan memakai siwak atau dengan cara lainnya sebelum membaca al-qur’an. 

     Sebelum membaca al-qur’an disunahkan untuk bersiwak. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari sahabat Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda;

إِنَّ أَفْوَاهَكُمْ طُرُقٌ لِلْقُرْآنِ، فَطَيِّبُوهَا بِالسِّوَاكِ

“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al Qur`an, maka harumkanlah dengan bersiwak.” (Sunan Ibnu Majah, no.291)
     Bersiwak yang paling baik dikerjakan dengan memakai kayu arok, namun juga bisa dikerjakan dengan menggunakan benda-benda lain yang bias berfungsi seperti kayu arok, seperti kain yang kasar, sikat atau benda-benda lain.

2. Berwudlu sebelum membaca al-qur’an bagi orang yang berhadats kecil.

     Orang yang berhadats kecil diperbolehkan membaca al-qur’an berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama’. Sedangkan orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub dan sedang haidh dilarang membaca al-qur’an, namun diperbolehkan membaca al-qur’an didalam hati saja, begitu juga diperbolehkan melihat mushaf al-qur’an dan membaca do’a dan dzikir bagi orang yang sedang berhadats besar.
     Diantara dalil diperbolehkannya membaca al-qur’an bagi orang yang berhadats kecil adalah hadits yang diriwayatkan dari  sahabat Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي الْخَلَاءَ، فَيَقْضِي الْحَاجَةَ، ثُمَّ يَخْرُجُ، فَيَأْكُلُ مَعَنَا الْخُبْزَ، وَاللَّحْمَ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ، وَلَا يَحْجُبُهُ - وَرُبَّمَا قَالَ: لَا يَحْجُزُهُ - عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ، إِلَّا الْجَنَابَةُ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam WC dan menyelesaikan hajatnya, kemudian beliau keluar lalu makan roti dan daging serta membaca Al Qur`an bersama kami, dan tidak ada yang menghalanginya, -dan mungkin saja ia mengatakan; - "tidak ada yang menghalanginya untuk membaca Al Qur`an selain junub.” (Sunan Ibnu Majah, no.594)
     Meski begitu sebelum membaca al-qur’an disunahkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Dalam satu hadits dijelaskan;

عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ، ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ " إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ

“Dari Al Muhajir bin Qunfudz Bahwasanya dia pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi, namun beliau tidak menjawab salamnya hingga berwudhu, kemudian beliau meminta maaf seraya bersabda: "Sesungguhnya aku tidak suka menyebut Nama Allah Ta'ala kecuali dalam keadaan suci.” (Sunan Abu Dawud, no.17)

3. Memilih tempat yang baik dan bersih untuk membaca al-qur’an.

     Membaca al-qur’an hendaknya memilih tempat yang baik dan bersih, karena itulah para ulama’ menganjurkan untuk membaca al-qur’an dimasjid, alasannya sebab pada umumnya masjid itu bersih dan masjid adalah tempat yang dimuliakan, selain itu tujuannya untuk memperoleh pahala mengerjakan i’tikaf didalam masjid.
     Allah berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Di rumah-rumah Allah (masjid) yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,” (Q.S. An-Nur : 36)
     Syekh Wahabah Zuhaili dalam Tafsir Munir menjelaskan; ayat ini memberi petunjuk dan perintah untuk imaroh (meramaikan) masjid. Imaroh masjid secara fisik (hissiyah) dilakukan dengan cara membangun masjid, sedangkan imaroh non-fisik (maknawiyah) dilakukan dengan cara mengerjakan sholat, berdzikir, mengadakan pengajian dan membaca al-qur’an didalam masjid.

4. Duduk dengan tenang saat membaca al-qur’an

     Membaca al-qur’an boleh dilakukan dalam posisi berdiri, duduk bahkan dengan berbaring. Allah berfirman;

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ () الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imron : 190-191)
     Dalam satu hadits juga dijelaskan bahwa rasulullah pernah membaca qur’an sambil berbaring, sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersandar (dengan kepalanya) pada pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan sedang haid, lalu beliau membaca al-qur'an.” (Shahih Bukhari, no.297 dan Shahih Muslim, no.301)
     Imam Nawawi dalam kitab “At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an” menjelaskan; orang yang membaca al-qur’an hendaknya duduk dengan khusyu’, tenang, berwibawa, menundukkan kepalanya, dan duduk yang dilakukannya meskipun sendirian hendaknya seperti ketika ia duduk dihadapan gurunya. Cara seperti itu adalah yang paling sempurna, namun jika seseorang membaca qur’an sambil berdiri, berbaring atau yang lainnya maka hal tersebut diperbolehkan dan tetap mendapatkan pahala, hanya saja pahala yang didapatkan lebih sedikit disbanding yang pertama (cara yang paling sempurna).

5. Menghadap kiblat saat membaca al-qur’an

     Membaca al-qur’an hendaknya dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Imam Thobroni meriwayatkan satu hadits dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْرَمُ الْمَجَالِسِ مَا اسْتُقْبِلَ بِهِ الْقِبْلَةُ

“Majlis yang paling mulia adalah majlis yang menghadap kiblat.” (Al-Mu’jam Al-Ausath, no.8361)

FADHILAH-FADHILAH WUDLU




FADHILAH-FADHILAH WUDLU

1. Wudlu membersihkan dosa-dosa orang yang mengerjakannya dan membersihkan anggota badannya satu persatu, setiap kali anggota badan dibasuh atau diusap maka dosa-dosanya akan luntur dari anggota badan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits berikut ini;

عَن عُثْمَان بن عَفَّان رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ، حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berwudlu, lalu membaguskan wudlunya, niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya".  (H.R. Muslim)

عَن أبي هُرَيْرَة رَضِي الله عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ - أَوِ الْمُؤْمِنُ - فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ -، فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ -، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang muslim atau mukmin berwudlu, lalu membasuh wajahnya, maka keluar dari wajahnya segala kesalahan yang dia lihat dengan kedua matanya bersama turunnya air wudlu, atau bersama akhir dari tetesan air. Apabila dia membasuh kedua tangannya, maka keluar dari kedua tangannya semua kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya bersama dengan turunnya air, atau akhir dari tetesan air hingga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa". (H.R. Muslim)

عَن عَمْرو بن عَنْبَسَة رَضِي الله عَنهُ، عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ: مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ يُقَرِّبُ وَضُوءَهُ فَيَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ فَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ وَفِيهِ وَخَيَاشِيمِهِ ثُمَّ إِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رِجْلَيْهِ مِنْ أَنَامِلِهِ مَعَ الْمَاءِ فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Dari Amr bin Anbasah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah salah seorang dari kalian yang menyempurnakan wudlu, lalu ia berkumur-kumur dan beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) kecuali dosa-dosa wajahnya, bibirnya dan hidungnya akan turut melebur. Kemudian, bila ia membasuh wajahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah, niscaya dosa-dosa wajahnya akan melebur bersama air dari ujung-ujung jenggotnya. Dan tidaklah ia membasuh kedua tangannya hingga pergelangan siku kecuali dosa-dosa kedua tangannya akan melebur bersama air dari jari-jemarinya. Dan tidaklah ia membasuh kepalanya kecuali dosa-dosa kepalanya akan melebur bersama air dari ujung-ujung rambutnya. Dan tidaklah ia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki kecuali dosa-dosa kedua kakinya juga melebur bersama air dari jari-jari kakinya. Dan bila ia berdiri dan shalat lalu memuji Allah serta menyanjung-Nya dan juga memujinya dengan sesuatu yang memang Dialah yang berhak atasnya lalu mengkhusyukkan hatinya semata-semata hanya untuk Allah, maka niscaya ia akan belepas diri dari dosa-dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya". (H.R. Muslim)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الصُّنَابِحِيِّ رَضِي الله عَنهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ فَمَضْمَضَ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ فِيهِ، فَإِذَا اسْتَنْثَرَ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ أَنْفِهِ، فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ وَجْهِهِ، حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ أَشْفَارِ عَيْنَيْهِ، فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ يَدَيْهِ حَتَّى تَخْرُجَ الْخَطَايَا مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِ يَدَيْهِ، فَإِذَا مَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ رَأْسِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ أُذُنَيْهِ، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ رِجْلَيْهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِ رِجْلَيْهِ، ثُمَّ كَانَ مَشْيُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ وَصَلَاتُهُ نَافِلَةً

Dari Abdullah As-Shunabihi radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang hamba berwudlu lalu ia berkumur-kumur, maka keluarlah kesalahan-kesalahan mulutnya (kesalahan yang diperbuat oleh mulutnya). Bila dia menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya, maka keluarlah kesalahan dari hidungnya. Bila membasuh muka, keluarlah kesalahan dari mukanya hingga keluar dari kedua kelopak matanya. Jika ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah kesalahannya dari kedua tangannya hingga keluar dari bawah kuku-kuku kedua tangannya. Apabila mengusap kepalanya, maka keluarlah kesalahannya dari kepalanya hingga keluar dari kedua telinganya, dan apabila membasuh kedua kakinya, maka keluarlah kesalahan dari kedua kakinya hingga dari bawah kedua kuku-kuku kedua kakinya. Kemudian berjalannya ke masjid menjadi ibadah sunnah baginya.” (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim)

عَنْ أبي أُمَامَةَ رَضِي الله عَنهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ قَامَ إِلَى وَضُوئِهِ يُرِيدُ الصَّلَاةَ، ثُمَّ غَسَلَ كَفَّيْهِ نَزَلَتْ خَطِيئَتُهُ مِنْ كَفَّيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ، فَإِذَا مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ نَزَلَتْ خَطِيئَتُهُ مِنْ لِسَانِهِ وَشَفَتَيْهِ مَعَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ، فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ نَزَلَتْ خَطِيئَتُهُ مِنْ سَمْعِهِ وَبَصَرِهِ مَعَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ، فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ سَلِمَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ هُوَ لَهُ، وَمِنْ كُلِّ خَطِيئَةٍ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam bersabda; “Siapapun yang berdiri untuk wudhu shalat lalu membasuh kedua tangannya, kesalahannya luruh dari dua telapak tangannya bersama tetesan pertama, bila berkumur, menghirup air dan mengeluarkannya, kesalahannya luruh dari lidah dan dua bibirnya bersama tetasan pertama, bila membasuh muka, kesalahannya luruh dari pendengaran dan penglihatannya bersama tetasan pertama, bila membasuh dua tangannya hingga siku dan kaki hingga mata kaki, ia terbebas dari segala dosanya dan dari segala kesalahan seperti pada saat dilahirkan ibunya”. (H.R. Ahmad)

2. Wudhu yang dikerjakan dengan sempurna menghapus dosa-dosa yang telah lewat dan yang akan dating, sebagaimana dijelaskan dalam hadits;

عَنْ حُمْرَان، قَالَ: دَعَا عُثْمَانُ بِوَضُوءٍ، وَهُوَ يُرِيدُ الْخُرُوجَ إِلَى الصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، فَقُلْتُ: حَسْبُكَ قَدْ أَسْبَغْتَ الْوُضُوءَ، وَاللَّيْلَةُ شَدِيدَةٌ الْبَرْدِ فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: لَا يُسْبِغُ عَبْدٌ الْوُضُوءَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Humron, ia berkata, utsman meminta air untuk wudhlu, beliau akan keluar untuk sholat pada malam yang dingin, lalu aku membawakan air untuknya, kemudian beliau membasuh wajahnya dan kedua tangannya, lalu aku berkata; “Cukuplah, anda telah menyempurnakan wudlu dimalam yang dingin”, beliau berkata; “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba mengerjakan wudlu dengan sempurna kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya, baik yang telah terlewatkan maupun yang akan dating”. (H.R. Al-Bazzar).

3. Anggota badan yang dibasuh kelak di akhirat akan bersinar, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits berikut;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri karena sisa air wudlu, barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang cahayanya hendaklah ia lakukan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمَقْبُرَةَ، فَقَالَ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا» قَالُوا: أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ» فَقَالُوا: كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ مِنْ أُمَّتِكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ: «أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ؟» قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: " فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, " sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita." Para Sahabat bertanya, 'Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud." Sahabat bertanya lagi, 'Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu? ' Para Sahabat menjawab, 'Sudah tentu wahai Rasulullah.' Beliau bersabda lagi: 'Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. (H.R. Muslim)

4. Wudlu yang dikerjakan dengan sempurna pada saat-saat yang tidak disukai akan mengangkat derajat orang yang mengerjakannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi;

عَن أبي هُرَيْرَة رَضِي الله عَنهُ، أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ: أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?" Mereka menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Menyempurnakan wudlu dalam keadaan-keadaan yang tidak disenangi, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat. Maka itulah ribath (hal yang disenangi) ".  (H.R. Muslim)


Referensi :
1. Fadho’ilul A’mal, Hal: 98-101
2. Syaroful Ummah Al-Muhammadiyah, Hal: 32-33
3. Al-Muttajir Ar-Robih, Hal: 33-40

Download kitab Ahkamul Qur'an - Ibnul Fars Al-Andalusi

Download kitab Ahkamul Qur'an - Al-Jahdhomi

Download Kitab Nailul Marom Min Tafsir Ayatil Ahkam - Shiddiq Hasan Khan

MENULIS UNTUK BELAJAR




     Dalam kitab Al-Muhimmat Syaikh Jamaluddin Al-Asnawi mengatakan; Ketahuilah bahwasanya ketika Syaikh Muhyiddin rahimahullah sudah menguasai ilmu-ilmu yang pernah beliau pelajari, beliau bergegas untuk mengamalkan kebajikan dengan cara menuliskan ilmu yang telah beliau peroleh dalam satu kitab yang akan memberikan manfaat bagi orang yang membacanya, selain itu, niat beliau menulis kitab juga sebagai bahan untuk pembelajaran bagi diri sendiri.
     Syaikh Asnawi menambahkan, niat seperti inilah bentuk niat yang benar dan baik, dan hal inilah yang menjadikan Imam Nawawi diberikan kemudahan untuk menulis karya-karya beliau. Hal ini juga yang membedakan metode Imam Nawawi dan Imam Rofi’i. Jika Imam Nawawi menganggap bahwa menulis merupakan satu cara yang digunakan untuk memberikan manfaat kepada orang lain sekaligus sebagai bahan pembelajaranuntuk diri sendiri, tidak begitu halnya dengan Imam Rofi’i. Dalam pandangan Imam Rofi’i menulis sebuah kitab yang merupakan karya ilmiah hanya boleh dilakukan setelah benar-benar mencapai kesempurnaan intelektual. Selain Imam Rofi’i pandangan serupa juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Rif’ah. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka semua. 
    Imam Nawawi sendiri dalam kitab-kitabnya mendorong agar orang-orang yang sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk menulis suatu karya yang dapat dimanfaatkan orang lain. Dalam kitab Al-Majmu’ beliau  menjelaskan bahwa dengan menulis seseorang akan dengan sendirinya membanya banyak kitab-kitab untuk dijadikan referensi penulisannya sehingga ia akan tahu banyak mengenai penjelasan para ulama’, setelah ia tahu banyak keterangan para ulama’ ia akan tergerak untuk untuk meneliti penjelasan dan pendapat-pendapat tersebut dan memilah-milah mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah, dengan begitu seseorang akan menjadi orang yang ahli.
      Mari menulis...!