Template information

Home » , , , » Hukum shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan dan memindah kuburan dari dalam masjid - Lembaga Fatwa Mesir

Hukum shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan dan memindah kuburan dari dalam masjid - Lembaga Fatwa Mesir




Memindahkan Makam dari dalam Masjid

Nomor Urut : 422
Tanggal Jawaban : 11/02/2006

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 81 tahun 2006 yang berisi: Di desa kami 'Adwa, Provinsi Fayoum, terdapat dua buah masjid yang keduanya menempel pada sebuah makam (kuburan); salah satunya milik Sidi Muhammad al-'Adawi dan lainnya milik Sidi Muhammad Badruddin. Kami melaksanakan shalat Jum'at secara bergantian di kedua masjid itu sejak sekitar tahun 1950-an. Kedua masjid itu juga sama-sama digunakan untuk seluruh shalat jamaah selain shalat Jum'at. Ketika melaksanakan shalat jahriyah (shalat dengan suara keras) kadang kami merasa terganggu dengan suara dari masjid sebelah. Lalu, ada seorang dermawan menawarkan untuk mendirikan sebuah masjid besar menggantikan kedua masjid itu dengan syarat memindahkan kedua makam yang menempel pada kedua masjid itu ke komplek pemakaman umum milik penduduk desa. Sebagian masyarakat menyetujui usulan itu dengan berpegang pada pendapat sebagian ulama yang mengharamkan melaksanakan shalat di masjid yang terdapat makam di dalamnya. Mohon penjelasan mengenai masalah ini.

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

Melakukan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan para wali dan orang-orang saleh adalah sah dan dibolehkan, bahkan bisa mencapai derajat disunnahkan. Hukum ini berdasarkan Alquran, as-Sunnah dan ijmak amali umat ini.

a. Dalil dari Al-Quran Al-Karim.

    Allah Ta'ala berfiman;

فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

"Orang-orang itu berkata: "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka". Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (Q.S. Al-Kahfi: 21).

    Konteks ayat ini menunjukkan bahwa perkataan pertama adalah perkataan orang-orang musyrik dan perkataan kedua adalah perkataan orang-orang yang mengesakan Allah. Allah ta'ala menyebutkan dua perkataan tersebut tanpa mengingkarinya, sehingga hal ini menunjukkan pengakuan syariat bagi keduanya. Bahkan konteks perkataan orang-orang yang mengesakan Allah menunjukkan sebuah pujian. Bukti akan hal ini adalah adanya pembandingan antara perkataan mereka dengan perkataan orang-orang musyrik yang mengandung keraguan. Perkataan orang-orang yang mengesakan Allah itu tegas dan keinginan mereka bukan sekedar membuat bangunan tapi membangun masjid.

    Imam ar-Razi ketika menafsirkan ayat, "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (al-Kahf [18]: 21), dia berkata, "yaitu masjid yang kita gunakan untuk menyembah Allah di dalamnya, dan dengan cara itu kita mempertahankan jejak peninggalan para penghuni gua (ash habul kahfi)".

    Asy-Syihab al-Khafaji dalam Hâsyiyah-nya terhadap tafsir al-Baidhawi, berkata, "Di dalam ayat ini terdapat dalil kebolehan membangun masjid di atas kuburan orang-orang saleh".

b. Dalil dari Sunnah Nabawiyah.

    Adapun dalil dari Sunnah, maka terdapat hadits Abu Bashir r.a., yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Ma'mar, dan Ibnu Ishaq dalam kitab as-Sîrah an-Nabawiyyah, serta Musa bin Uqbah dalam kitab al-Maghâzî. Kitab al-Maghâzî karya Musa ini merupakan kitab maghâzî yang paling shahih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik. Ketiga ulama ini (Ma'mar, Ibnu Ishaq dan Musa bin Uqbah) meriwayatkan dari az-Zuhri, dari Urwah bin Zubair, dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan ibnul Hakam r.a., bahwa Abu Jandal bin Suhail bin Amr menguburkan jenazah Abu Bashir r.a., lalu membangun sebuah masjid di atas kuburannya yang terletak di di Siful Bahr. Kejadian itu diketahui oleh tiga ratus sahabat Rasulullah saw. dan sanad riwayatnya adalah shahih. Semua perawi dalam silsilah sanadnya adalah tsiqah. Peristiwa seperti ini tentu tidak luput dari pengetahuan Nabi saw. dan tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau memerintahkan untuk mengeluarkan kuburan itu dari masjid atau membongkarnya.

    Diriwayatkan pula secara shahih bahwa Nabi saw. pernah bersabda;

فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قَبْرُ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا

    "Dalam masjid Khaif (masjid yang terletak di Mina) terdapat kuburan tujuh puluh orang nabi." (HR. Al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr).

    Hafizh Ibnu Hajar, dalam kitab Mukhtashar Zawâid al-Bazzâr, ketika berkomentar tentang derajat hadits di atas mengatakan, "Sanadnya shahih."

    Disebutkan juga dalam berbagai atsar, bahwa Nabi Ismail a.s. dan ibunya Hajar r.a. dikuburkan di Hijir Ismail di dalam Masjidil Haram. Kisah ini disebutkan oleh para ulama sejarah terpercaya dan dipegangi oleh para ulama pakar sirah Nabi saw., seperti Ibnu Ishaq dalam kitab as-Sîrah an-Nabawiyyah, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab Târîkh-nya, as-Suhaili dalam kitab ar-Raudhul Unf, Ibnul Jauzi dalam al-Muntazham, Ibnul Atsir dalam al-Kâmil, adz-Dzahabi dalam Târîkhul Islâm, Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an- Nihâyah dan kitab-kitab sejarah lain yang ditulis oleh para sejarawan Islam.

    Dalam semua peristiwa itu Nabi saw. tidak memerintahkan agar kuburan-kuburan tersebut dibongkar dan dikeluarkan dari dalam masjid Khaif atau dari masjid Haram, namun beliu membiarkannya saja.

c. Perbuatan Sahabat

    Adapun perbuatan para sahabat Nabi saw., maka dalam kitab al-Muwatha`, Imam Malik menyebutkan sebuah riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi saw. mengenai tempat penguburan jasad Nabi saw.. Sebagian sahabat berkata, "Beliau kita kubur di sisi mimbar saja". Para sahabat lainnya berkata, "Dikubur di Baqi' saja". Lalu Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. datang dan berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda;

مَا دُفِنَ نَبِيٌّ قَطُّ إِلا فِي مَكَانِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ

    "Seorang nabi tidaklah dikubur kecuali di tempatnya meninggal dunia".

    Lalu digalilah kuburan di tempat beliau meninggal dunia itu".
    Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat di atas, tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saw. yang mengingkari usulan itu. Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Abu Bakar r.a. karena mengikuti perintah Nabi saw. agar dikubur di tempat beliau meninggal dunia. Maka, beliau pun dikubur di kamar Sayyidah Aisyah r.a. yang melekat pada masjid yang digunakan sebagai tempat shalat oleh orang-orang muslim. Kondisi ini sama dengan kondisi kuburan-kuburan para wali dan orang-orang saleh yang ada di dalam masjid-masjid pada zaman ini.

    Adapun klaim bahwa kebolehan itu khusus untuk Nabi saw., maka klaim ini tidaklah benar. Karena tidak ada dalil pendukung bagi klaim ini. Bahkan sangat jelas kebatilan klaim tersebut dengan dikuburkannnya Sayyidina Abu Bakar r.a. dan Sayyidina Umar r.a. di tempat yang sama dengan Nabi saw., yaitu kamar Sayyidah Aisyah r.a.. yang masih dia gunakan untuk tinggal dan melakukan shalat-shalat fardhu dan sunnah. Dengan demikian, hukum kebolehan ini merupakan ijmak para sahabat radhiyallahu 'anhum.

d. Ijmak Ulama 

    Adapun dalil dari ijmak amali dan pengakuan para ulama atas kebolehan perbuatan ini adalah shalatnya orang-orang muslim secara terus menerus dari kalangan salaf dan kalangan setelah mereka di dalam masjid Rasulullah saw. dan juga di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Hal ini didukung juga dengan pengakuan tujuh ahli fikih Madinah (al-fuqahâ` as-sab'ah) yang menyetujui untuk dimasukkannya rumah Sayyidah Aisyah tersebut ke dalam masjid Nabi saw. pada tahun delapan puluh delapan hijriyah. Hal itu dilakukan berdasarkan perintah dari al-Walid bin Abdul Malik kepada gubernurnya yang ada di Madinah kala itu, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya kecuali Sa'id ibnul Musayyib. Namun, pengingkarannya itu bukan karena dia berpendapat haramnya shalat di dalam masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, akan tetapi karena dia ingin mempertahankan rumah-rumah para istri Rasulullah saw. tetap utuh, agar dapat dilihat orang-orang muslim sehingga mereka bersikap zuhud di dunia dan mengetahui bagaimana kehidupan Nabi saw.

    Adapun hadits Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw. bersabda;

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِد

    "Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat bersujud."

    Dalam bahasa Arab, kata masâjid merupakan bentuk plural dari kata masjid. Dan kata masjid dalam bahasa Arab merupakan mashdar mimi yang bisa menunjukkan arti waktu, tempat atau tindakan. Sehingga, makna menjadikan kuburan sebagai masâjid adalah bersujud ke arahnya untuk mengagungkan dan menyembahnya, sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik yang bersujud kepada berhala-berhala dan patung-patung mereka. Penafsiran ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat shahih yang lain dari hadits ini dalam kitab Thabaqât al-Kubrâ karya Ibnu Sa'ad. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda;

اَللّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
   
"Ya Allah, janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat satu kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid".

    Maka kalimat, "Allah melaknat satu kaum..." adalah penjelas bagi makna menjadikan kuburan sebagai berhala. Jadi makna hadits di atas adalah, "Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disujudi dan disembah, sebagaimana satu kaum yang bersujud kepada kubur para nabi mereka."

    Imam al-Baidhawi berkata, "Ketika orang-orang Yahudi dan Nashrani bersujud kepada kuburan para nabi mereka untuk mengagungkan mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, dan mereka menghadap ke arahnya ketika shalat dan menjadikannya sebagai berhala, maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang muslim untuk melakukan hal itu. Adapun orang yang membangun masjid di samping makam orang saleh atau shalat di kuburannya dengan maksud untuk mengenangnya dan agar pengaruh dari ibadahnya sampai kepada pemilik kuburan itu, bukan untuk mengagungkannya dan tidak menjadikannya sebagai kiblat, maka itu tidak apa-apa. Tidakkah Anda melihat kuburan Ismail di Masjidil Haram dan Hathim (Hijir Isma'il). Dan Masjidil Haram itu sendiri merupakan tempat shalat terbaik bagi orang-orang muslim. Sedangkan larangan melakukan shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar, karena di sekitarnya terdapat najis".

    Syariat Islam menetapkan bahwa sebuah kuburan dapat merupakan milik orang yang dikuburkan itu sebelum dia meninggal, atau merupakan tanah yang diwakafkan kepadanya setelah dia meninggal. Dan sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa kekuatan syarat yang ditetapkan oleh seorang pemberi wakaf terkait dengan penggunaan benda wakafnya adalah seperti kekuatan nash syariat, sehingga syarat tersebut tidak boleh dilanggar.

    Islam juga melarang umatnya melanggar kehormatan orang yang telah meninggal dunia, sehingga tidak boleh menggali kuburannya. Karena, kehormatan orang yang telah meninggal seperti kehormatan orang yang masih hidup. Jika orang yang dikuburkan itu adalah seorang wali Allah, maka menggali atau menghancurkan kuburnya lebih diharamkan. Karena, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan perhatian khusus dari Allah, sehingga barang siapa yang mencoba berbuat buruk atau menyakiti mereka maka dia telah mengumumkan perang melawan Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi;

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

    "Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku telah mengumumkan peperangan terhdapanya." (HR. Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a.).

    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak boleh membongkar kedua makam itu dan melanggar kehormatan kedua wali yang saleh itu dengan alasan untuk menggabungkan kedua masjid tersebut. Namun, yang tepat adalah menggabungkan kedua masjid itu dengan tetap membiarkan kedua makam berada di tempatnya seperti sedia kala. Tidak boleh melakukan suatu kebaikan dengan melakukan perbuatan yang dilarang. Secara syarak para pengurus kedua masjid tersebut tidak boleh menyetujui pembangunan masjid baru itu memindahkan kedua makam tersebut. Tapi mereka harus tetap membiarkan kedua masjid tersebut seperti sedia kala, hingga Allah mendatangkan seorang dermawan saleh yang memahami derajat para wali Allah dan menjaga kehormatan mereka sehingga kedua masjid itu digabungkan menjadi sati dengan tetap mempertahankan kedua makam itu. Sehingga, masjid itu akan berdiri di atas sikap ketakwaan kepada Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

إزالة الأضرحة من المساجد

الرقـم المسلسل : 422
تاريخ الإجابة : 11/02/2006

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 81 لسنة 2006م المتضمن أن بقرية -العدوة- بالفيوم مسجدين متلاصقين بكل منهما ضريح: أحدهما لسيدي محمد العدوي، والآخر لسيدي محمد بدر الدين، ونصلي الجمعة بينهما بالتناوب منذ خمسينيات القرن الماضي، كما يحدث تشويش في الصلوات الجهرية، ويريد أحد الأشخاص بناء مسجد كبير مكانهما على نفقته، ويشترط لذلك إزالة الضريحين ونقل رفاتهما إلى مدافن القرية، ويوافق بعض الإخوة على ذلك أخذا بقول من يحرم الصلاة في المساجد التي بها أضرحة. فما حكم الشرع في ذلك؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

الصلاة في المساجد التي يوجد بها أضرحة الأولياء والصالحين صحيحة ومشروعة، بل إنها تصل إلى درجة الاستحباب، وذلك ثابت بالكتاب والسنة وفعل الصحابة وإجماع الأمة الفعلي

فمن القرآن الكريم

قوله تعالى : ﴿فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا) (الكهف : 21) وسياق الآية يدل على أن القول الأول هو قول المشركين، وأن القول الثاني هو قول الموحدين، وقد حكى الله تعالى القولين دون إنكار، فدل ذلك على إمضاء الشريعة لهما، بل إن سياق قول الموحدين يفيد المدح، بدليل المقابلة بينه وبين قول المشركين المحفوف بالتشكيك، بينما جاء قول الموحدين قاطعا، وأن مرادهم ليس مجرد البناء بل المطلوب إنما هو المسجد. قال الإمام الرازي في تفسير ﴿لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا﴾ : نعبد الله فيه، ونستبقي آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد". اهـ. وقال الشهاب الخفاجي في حاشيته على تفسير البيضاوي: "في هذه دليل على اتخاذ المساجد على قبور الصالحين". اهـ

ومن السنة

حديث أبي بصير -رضي الله عنه- الذي رواه عبد الرزاق عن معمر، وابن إسحاق في السيرة، وموسى بن عقبة في -مغازيه- وهي أصح المغازي كما يقول الإمام مالك ثلاثتهم عن الزهري، عن عروة بن الزبير، عن المسور بن مخرمة ومروان بن الحكم -رضي الله عنهم-: "أن أبا جندل بن سهيل بن عمرو دفن أبا بصير -رضي الله عنه- لما مات وبنى على قبره مسجدا بسيف البحر، وذلك بمحضر ثلاثمائة من الصحابة". وهذا إسناد صحيح، كله أئمة ثقات، ومثل هذا الفعل لا يخفى على رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم-، ومع ذلك فلم يرد أنه -صلى الله عليه وآله وسلم- أمر بإخراج القبر من المسجد أو نبشه

    كما ثبت عن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- أنه قال: ((في مسجد الخيف قبر سبعين نبيا)). أخرجه البزار والطبراني في المعجم الكبير، وقال الحافظ بن حجر في مختصر زوائد البزار: "هو إسناد صحيح". وقد ثبت في الآثار أن سيدنا إسماعيل -عليه السلام- وأمه هاجر -رضي الله عنها- قد دفنا في الحجر من البيت الحرام، وهذا هو الذي ذكره ثقات المؤرخين واعتمده علماء السير: كابن إسحاق في السيرة، وابن جرير الطبري في تاريخه، والسهيلي في الروض الأنف، وابن الجوزي في المنتظم، وابن الأثير في الكامل، والذهبي في تاريخ الإسلام، وابن كثير في البداية والنهاية، وغيرهم من مؤرخي الإسلام، وأقر النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- ذلك، ولم يأمر بنبش هذه القبور وإخراجها من مسجد الخيف أو من المسجد الحرام. وأما فعل الصحابة: فقد حكاه الإمام مالك في الموطأ بلاغا صحيحا عندما ذكر اختلاف الصحابة في مكان دفن الحبيب -صلى الله عليه وآله وسلم- فقال: "فقال ناس: يدفن عند المنبر، وقال آخرون: يدفن بالبقيع، فجاء أبو بكر الصديق -رضي الله عنه- فقال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- يقول: ((ما دفن نبي قط إلا في مكانه الذي توفي فيه))، فحفر له فيه". اهـ، والمنبر من المسجد قطعا، ولم ينكر أحد من الصحابة هذا الاقتراح، وإنما عدل عنه أبو بكر -رضي الله عنه- تطبيقا لأمر النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- أن يدفن حيث قبضت روحه الشريفة -صلى الله عليه وآله وسلم-، فدفن في حجرة السيدة عائشة -رضي الله عنها- المتصلة بمسجده الذي يصلي فيه المسلمون، وهذا هو نفس وضع المساجد المتصلة بحجرات أضرحة الأولياء والصالحين في زماننا

    وأما دعوى الخصوصية في ذلك للنبي -صلى الله عليه وآله وسلم- فهي غير صحيحة؛ لأنها دعوى لا دليل عليها، بل هي باطلة قطعا بدفن سيدنا أبي بكر وسيدنا عمر -رضي الله عنهما- في هذه الحجرة التي كانت السيدة عائشة -رضي الله عنها- تعيش فيها وتصلي فيها صلواتها المفروضة والمندوبة، فكان ذلك إجماعا من الصحابة -رضي الله عنهم- على جوازه

    ومن إجماع الأمة الفعلي وإقرار علمائها لذلك: صلاة المسلمين سلفا وخلفا في مسجد سيدنا رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- والمساجد التي بها أضرحة بغير نكير، وإقرار العلماء من لدن الفقهاء السبعة بالمدينة المنورة الذين وافقوا على إدخال الحجرة النبوية الشريفة إلى المسجد النبوي سنة ثمان وثمانين للهجرة، وذلك بأمر الوليد بن عبد الملك لعامله على المدينة حينئذ عمر بن عبد العزيز -رحمه الله-، ولم يعترض منهم إلا سعيد بن المسيب لا لأنه يرى حرمة الصلاة في المساجد التي بها قبور، بل لأنه كان يريد أن تبقى حجرات النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- كما هي يطلع عليها المسلمون حتى يزهدوا في الدنيا ويعلموا كيف كان يعيش نبيهم -صلى الله عليه وآله وسلم-، وأما حديث عائشة -رضي الله عنها- في الصحيحين أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- قال: ((لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)). فالمساجد: جمع مسجد، والمسجد في اللغة: مصدر ميمي يصلح للدلالة على الزمان والمكان والحدث، ومعنى اتخاذ القبور مساجد: السجود لها على وجه تعظيمها وعبادتها كما يسجد المشركون للأصنام والأوثان كما فسرته الرواية الصحيحة الأخرى للحديث عند ابن سعد في الطبقات الكبرى عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعا بلفظ: ((اللهم لا تجعل قبري وثنا، لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد))، فجملة ((لعن الله قوما...)) بيان لمعنى جعل القبر وثنا، والمعنى: اللهم لا تجعل قبري وثنا يسجد له ويعبد كما سجد قوم لقبور أنبيائهم. قال الإمام البيضاوي: "لما كانت اليهود والنصارى يسجدون لقبور أنبيائهم؛ تعظيما لشأنهم، ويجعلونها قبلة، ويتوجهون في الصلاة نحوها، واتخذوها أوثانا، لعنهم الله، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه، أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام ثم الحطيم، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته، والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة، لما فيها من النجاسة". اهـ

    ومن المقرر شرعا أن مكان القبر إما أن يكون مملوكا لصاحبه قبل موته، أو موقوفا عليه بعده، وشرط الواقف كنص الشارع، فلا يجوز أن يتخذ هذا المكان لأي غرض آخر، وقد حرم الإسلام انتهاك حرمة الأموات، فلا يجوز التعرض لقبورهم بالنبش؛ لأن حرمة المسلم ميتا كحرمته حيا، فإذا كان صاحب القبر من أولياء الله الصالحين فإن الاعتداء عليه بنبش قبره أو إزالته أشد حرمة وأعظم جرما، فإنهم موضع نظر الله تعالى، ومن نالهم بسوء أو أذى فقد تعرض لحرب الله عز وجل، كما جاء في الحديث القدسي: ((من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب)). رواه البخاري من حديث أبي هريرة -رضي الله عنه-. وعليه وفي واقعة السؤال: فإنه لا يجوز نبش هذين الضريحين وانتهاك حرمة الوليين الصالحين بحجة ضم المسجدين وجعلهما مسجدا واحدا، وجعل القبرين عقبة في سبيل ذلك، بل يضم المسجدان لبعضهما ويبقى الضريحان في مكانهما، ولا يجوز التوصل إلى فعل الخير بفعل الباطل، ولا يحل شرعا للقائمين على المسجدين أن يوافقوا من اشترط إزالة الضريحين لبناء المسجد على ذلك، بل يجب إبقاء المسجدين على حالهما حتى يقيض الله تعالى من أهل الخير والصلاح من يعرف لأوليائه قدرهم ويحفظ لهم حرمتهم فيبنى المسجدان مسجدا واحدا بضريحيه، وتتحقق إقامة بنيانه على تقوى من الله ورضوان.  والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=422

0 komentar:

Posting Komentar