Template information

Download Murottal Syaikh Mahmud Kholil Al-Hushori



Imam Nawawi rahimahullah, dalam kiatab "At-Tibyan" berkata; "Ketahuilah bahwa para ulama Salaf, meminta para pembaca Al-Qur’an yang bersuara bagus agar membacanya sedang mereka mendengarnya. Semua ulama' telah sepakat bahwa hal ini (mendengarkan bacaan dari orang yang indah suaranya) merupakan suatu kesunatan dan merupakan kebiasaan orang-orang baik dan ahli ibadah serta hamba-hamba  Allah yang sholeh. Perbuatan itu adalah sunnah dari Rasulullah saw.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu: 


قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ، قَالَ: «نَعَمْ» فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا}: ، قَالَ:حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata kepadaku: "Bacakanlah Al Qur`an untukku." Maka aku pun berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacanya untuk Anda, padahal kepada Andalah alquran diturunkan?" beliau menjawab: "Ya." Lalu aku pun membacakan surat An Nisa, hingga aku sampai pada ayat:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir  nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS An-Nisa 4:41)

Maka beliau pun bersabda padaku: "Cukuplah." Lalu aku menoleh ke arah beliau dan ternyata kedua matanya meneteskan air. (Shahih Bukhari, no.5050).

Untuk itulah disini kami sajikan murottal dari Syaikh Al-Qori' Mahmud Kholil Al-Hushori, salah satu qori' paling masyhur didunia islam yang berkebangsaan mesir. Berikut ini link-link downloadnya, semoga bermanfaat...


1. Surat al Fatihah

2. Surat al Baqarah

3. Surat Ali Imran

4. Surat an Nisa'

5. Surat al Maidah

6. Surat al An'am

7. Surat al A'raf

8. Surat al Anfal

9. Surat at Taubah

10. Surat Yunus

11. Surat Huud

12. Surat Yusuf

13. Surat Ar-ra'du

14. Surat Ibrahim

15. Surat Al-Hijr

16. Surat An-Nahl

17. Surat Al-Israa'

18. Surat Al-Kahfi

19. Surat Maryam

20. Surat Thaha

21. Surat Al-Anbiya'

22. Surat Al-Haj

23. Surat Al-Mu'minun

24. Surat An-Nuur

25. Surat Al-Furqaan

26. Surat Asy-Syu'araa

27. Surat An-Naml

28. Surat Al-Qashash

29. Surat Al-'Ankabuut

30. Surat Ar-Ruum

31. Surat Luqman

32. Surat As-Sajdah

33. Surat Al-Ahzab

34. Surat Saba'

35. Surat Faathir

36. Surat Yaasiin

37. Surat Ash-Shaaffaat

38. Surat Shaad

39. Surat Az-Zumar

40. Surat Ghaafir

41. Surat Fushshilat

42. Surat Asy-Syuura

43. Surat Az-Zukhruf

44. Surat Ad-Dukhaan

45. Surat Al-Jaatsiyah

46. Surat Al-Ahqaaf

47. Surat Muhammad

48. Surat Al-Fath

49. Surat Al Hujuraat

50. Surat Qaaf

51. Surat Adz-Dzaariyaat

52. Surat Ath-Thuur

53. Surat An-Najm

54. Surat Al-Qamar

55. Surat Ar-Rahmaan

56. Surat Al-Waaqi'ah

57. Surat Al-Hadiid

58. Surat Al-Mujaadilah

59. Surat Al-Hasyr

60. Surat Al-Mumtahanah

61. Surat Ash-Shaff

62. Surat Al-Jumu'ah

63. Surat Al-Munaafiquun

64. Surat At-Taghaabun

65. Surat Ath-Thalaaq

66. Surat At-Tahriim

67. Surat Al-Mulk

68. Surat Al-Qalam

69. Surat Al-Haaqqah

70. Surat Al-Ma'aarij

71. Surat Nuh

72. Surat Al-Jin

73. Surat Al-Muzzammil

74. Surat Al-Muddatstsir

75. Surat Al-Qiyaamah

76. Surat Al-Insan

77. Surat Al-Mursalaat

78. Surat An-Naba'

79. Surat An-Naazi'aat

80. Surat 'Abasa

81. Surat At-Takwiir

82. Surat Al-Infithaar

83. Surat Al-Muthaffifiin

84. Surat Al-Insyiqaaq

85. Surat Al-Buruuj
86.Surat Ath-Thaariq

87.Surat Al-A'laa

88. Surat Al-Ghaasyiyah

89. Surat Al-Fajr

90. Surat Al-Balad

91. Surat Asy-Syams

92. Surat Al-Lail

93. Surat Adh-Dhuhaa

94. Surat Asy-Syarah

95. Surat At-Tiin

96. Surat Al-'Alaq

97. Surat Al-Qadr

98. Surat Al-Bayyinah

99. Surat Az-Zalzalah

100. Surat Al-'Aadiyaat

101. Surat Al-Qaari'ah

102. Surat At-Takaatsur

103. Surat Al-'Ashr

104. Surat Al-Humazah

105. Surat Al-Fiil

106. Surat Quraisy

107. Surat Al-Maa'uun

108. Surat Al-Kautsar

109. Surat Al-Kaafiruun

110. Surat An-Nashr

111. Surat Al-Masad

112. Surat Al-Ikhlaash

113. Surat Al-Falaq

114. Surat An-Naas

Hukum Membaca Al-Qur’an Sebelum Khutbah Sholat Jum’at - Lembaga Fatwa Mesir



Membaca Alquran Sebelum Sholat Jum'at

Nomor Urut : 577    Tanggal Jawaban : 18/10/2004

Memperhatikan permintaan fatwa No. 2163 tahun 2004 yang berisi: Bagaimana hukumnya membaca Alquran pada hari Jum'at, pada tiap minggu sebelum dilaksanakannya sholat jum’at dan khutbah? Apakah hal ini dibolehkan atau tidak ?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Allah SWT memberikan para pembaca Alquran tempat yang sangat tinggi dan mulia. Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk membacanya dan mentadaburi (merenungi) makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman,

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Muzammil: 20).

Nabi saw. juga bersabda,

اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ، اِقْرَءُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافٍّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اِقْرَءُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ

"Bacalah Alquran, karena pada hari Kiamat ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Bacalah az-Zahrawain, yaitu surat al-Baqarah dan surat Ali 'Imrân, karena pada hari Kiamat pahala dari membaca keduanya akan datang seperti dua awan yang menaungi. Atau, pahala keduanya akan datang bagaikan sekumpulan burung yang berbaris untuk membela orang yang membacanya. Bacalah surat al-Baqarah, karena dengan senantiasa membacanya akan mendatangkan keberkahan, sedangkan meninggalkannya adalah kerugian, dan para penyihir tidak akan mampu membacanya." (HR. Muslim dan Ahmad).

Dan beliau juga bersabda,

اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ قَلْباً وَعَى الْقُرْآنَ

"Bacalah Alquran, karena Allah tidak akan mengazab hati yang memahami Alquran." (HR. Tamam dari Abi Umamah r.a).

    Bahkan, Allah SWT menjadikan perbuatan mendengarkan Alquran sebagai suatu ibadah dan memberikan pahala yang besar baginya. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-Musnad dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى كُتِبَ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلاَهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang mendengarkan satu ayat dari Kitabullah maka diberikan baginya sebuah pahala yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya maka ayat itu akan menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat."

    Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membaca Alquran setiap hari, terutama pada hari Jum'at dengan membaca surat al-Kahfi. Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ النٌّوْرُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum'at niscaya cahaya akan meneranginya antara dirinya dan Baitul 'Atiq (Ka'bah)." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Îmân).

    Membaca Alquran dengan suara yang indah dan ucapan yang fasih adalah dianjurkan. Rasulullah saw. bersabda,

زِيْنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَناً

"Hiasilah Alquran dengan suaramu, karena suara yang indah menambah keindahan Alquran." (HR. Hakim).

    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak apa-apa membaca Alquran di masjid sebelum khutbah Jum'at, karena hal itu adalah perbuatan baik dan dapat membuat para hadirin berkonsentrasi pada bacaan Alquran tersebut serta mempersiapkan mereka untuk melaksanakan rangkaian ibadah salat Jum'at.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


تلاوة القرآن قبل صلاة الجمعة

الرقـم المسلسل : 577    تاريخ الإجابة : 18/10/2004

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 2163 لسنـة 2004م المتضمن السؤال عما يلي: حكم قراءة سورة من القرآن الكريم يوم الجمعة من كل أسبوع قبل صلاة الجمعة والخطبة. وهل هذا الفعل جائز أم لا؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    جعل الله تعالى لقارئ القرآن منزلة عالية ودرجة رفيعة وندب المسلمين لقراءته وتدبر معانيه قال عز وجل: ﴿إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [المزمل: 20

    وقال سيدنا محمد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَؤُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا يَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ يُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَؤُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةً وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ» أخرجه الإمام أحمد في مسنده والإمام مسلم في صحيحه،

وقوله صلى الله عليه وسلم: «اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُعَذِّبُ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ» تمام عن أبي أمامة

بل جعل الله تعالى الاستماع إلى القرآن الكريم عبادة وأعد له الأجر العظيم
    أخرج الإمام أحمد في مسنده عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ، وَمَنْ تَلَا آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»،

وندب الإسلام قراءة القرآن في كل الأيام وخاصة يوم الجمعة بقراءة سورة الكهف، فلقد قال سيدنا محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ النُّورُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ» البيهقي في شعب الإيمان

وقراءة القرآن بالصوت الحسن واللسان الفصيح مستحبة، قال صلى الله عليه وسلم: «زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا» الحاكم في المستدرك

    وعليه وفي واقعة السؤال: فإنه لا حرج في قراءة القرآن في المساجد يوم الجمعة قبل الجمعة فإنه أمر حسن يجمع الناس على كتاب الله تعالى ويهيؤهم لأداء شعائر الجمعة

والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=577

Meninggalkan Sunah Nabi Lantaran Ahlu Bid’ah - Fatwa Izzuddin Ibnu Abdissalam



Permasalahan :
Apabila terdapat sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah tetap, apakah diperbolehkan meninggalkannya dikarenakan orang yang melakukan bid’ah (mubtadi’) juga mengerjakannya ?

Jawaban :
Tidak diperbolehkan meninggalkan sunnah Nabi hanya gara-gara orang-orang yang melakukan bid’ah (mubtadi’in) juga mengerjakan amalan sunah tersebut, sebab perkara yang benar (al-haq) tidak boleh ditinggalkan dikarenakan perbuatan yang bathil. Para ulama’ dan orang-orang yang saleh juga senantiasa mengejakan sunah-sunah nabi meskipun mereka tahu bahwa kesunahan-kesunahan tersebut juga dikerjakan orang-orang yang melakukan bid’ah.

Jika perkarayang haq tidak boleh ditinggalkan lantaran suatu kebathilan, lalu bagaimana mungkin perkara yang haq sitinggalkan hanya lantaran orang-orang yang melakukan bid’ah juga mengejakannya.

Andai hal itu diperbolehkan, maka adzan, iqomat, sholat-sholat sunat rowatib, sholat hari raya, menjenguk orang sakit, salam, mendo’akan orang yang bersin, sedekah, menjamu tamu dan semua amal kebajikan lain yang sifatnya sunah akan ditinggalkan.

Wallahu a’lam.


مسئلة : إذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم سنة، هل يجوز تركها لكون المبتدع يفعلها أم لا ؟

الجواب : لا يجوز ترك السنة لمشاركة المبتدعين فيها، إذ لا يترك الحق لأجل الباطل. وما زال العلماء والصالحون يقيمون السنن مع العلم بمشاركة المبتدعين، وإذا لم يترك الحق لأجل الباطل فكيف يترك الحق لأجل المشاركة ؟، ولو شاغ ذلك لترك الأذان، والإقامة، والسنن الراتبة، وصلاة الأعياد، وعيادة المرضى، والتسليم، وتشميت العاطس، والصدقات، والضيافات، وجميع المبرات المندوبات. والله أعلم


Referensi : Fatawa Al-Mishriyah Li Izzuddin Ibnu Abdissalam, Hal : 37

Hukum Vaksin Polio - Fatwa MUI



Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tentang
Vaksin Polio Khusus

Menimbang :
1.  bahwa anak bangsa, khususnya Balita, perlu diupayakan agar terhindar dari penyakit Polio, antara lain melalui pemberian vaksin imunisasi; 

2.  bahwa dalam program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2002 ini terdapat sejumlah anak Balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV); 

3.  Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi, dan belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut; 

4.  bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum penggunaan IPV tersebut, sebagai pedoman bagi pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Mengingat :
1.  Hadis-hadis Nabi. antara lain:

"Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun" (HR. Abu Daud dari Usamah bin Syarik).

"Allah telah menurunkan pen yakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; maka, berobatlah dan jariganlah hero hat dengan berzda yang haram "(HR. Abu Daud dari Abu Darda ).

"Sekelompok orang dari sukcu 'Ukl atau 'Urainah datang dan tidak cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit); maka Nabi s.a.w. memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dari unta tersebut" (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik).

"Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya" (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi s.a.w. yang melarang penggunaan benda yang terkena najis sebagaimana diungkapkan dalam hadis tentang tikus yang jatuh dan mati (najis) dalam keju : 

"Jika keju itu ker°as (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju tersebirt: namun jika keju itu cair, tumpahkanlah” (HR alBukhari, Ahmad, dan Nasa'i dari Maimunah isteri Nabis.a.w.)

2.  . Kaidah-kaidah fiqh :

"Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin. "

"Dharar (bahaya) harus dihilangkan. "

"Kondisi hajah menempati kondisi darurat. "

"Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. "

"Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya. "

3.  Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI periode 2000-2005.

4.  Pedoman Penetapan Fatwa MUI.

Memperhatikan :
1.  Pendapat para ulama; antara lain : ”Imam Zuhri (w. 124 H) berkata , ”Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita , sebab itu adalah najis ; Allah berfirman :’...Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)......’ (QS. Al-Matidah [5]: S)”;

dan Ibnu Mas’ud (w 32 H) berkata tentang sakar (minuman keras) , Allah tidak menjadikan obatmusesuatu yang diharamkan atasmu ” (Riwaayat Imam al-Bukhori)

2.  Surat Menteri Kesehatan RI nomor: 11 92/MENKES/ IX/2002, tangga124 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP. POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya'ban 1423/8 Oktober 2002; antara lain :

1. Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit Polio dari masyarakat secara serentak di seluruh wilayah tanah air melalui program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).

2.  Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.

3.  Terdapat sejumlah anak Balitayang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV).

4.  Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi, mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.

5.  Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.

6.  Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri, diperlukan investasi (biaya, modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.

3.  Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa d tersebut; antara lain:
Sejumlah argumen keagamaan (adillah diniyyah: al-Qur'an, hadits, dan qawa'id fiqhiyyah) dan pendapat para ulama mengaj arkan; antara lain :
4.  setiap penyakit dan kecacatan yang diakibat-kan penyakit adalah dharar (bahaya) yang harus dihindarkan (dicegah) dan dihilangkan (melaluipengobatan) dengan cara yang tidak melanggar syari'ah dan dengan obat yang suci dan halal;

5.  setiap ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama keluar (colostrum, al-liba'-- kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI sampai dengan usia duatahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat memberi-kan kekebalan (imun) pada anak;

5.  Dalam proses pembuatan vaksin tersebut telah terjadi persenyawaan/persentuhan (ilhtilath antara porcine yang najis dengan media yang digunakan untuk pembiakan virus bahan vaksin dan tidak dilakukanpenyucian dengan cara van2 dibenarkan syari'ah (tathhir syar'an Hal itu menyebabkan media dan virus tersebut menjadi terkena najis (mutanadjis).

6.  Kondisi anak-anak yang menderita immunocompromise, jika tidak diberi vaksin IPV, dipandang telah berada pada posisi hajah dan dapat pula menimbulkan dharar bagi pihak lain.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
1.  FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN POLIO KHUSUS

2.  KetentuanHukum
•    Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari --atau mengandung--benda naj is ataupun bendaterkena naj is adalah haram.

2.  Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.

•    3.  Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
•   
3.  Rekomendasi (Taushiah)
•    1. Pemerintah hendaknya mengkampanyekan agar setiap ibu memberikan ASI, terutama colostrum secara memadai (sampai dengan dua tahun).

2.  Pemerintah hendaknya mengupayakan secaramaksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan yang suci dan halal.

Ditetapkan di : Jakarta
Padatanggal : 0 1 Sya'ban 1423 H.
08 Oktober 2002 M.


KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,

K.H. MA'RUF AMIN

Sekretaris

HASANUDIN

Hukum Mengeluarkan Zakat Mal Dalam Bentuk Barang - Lembaga Fatwa Mesir



Mengeluarkan Zakat Mal Dalam Bentuk Barang

Nomor Urut : 2661    Tanggal Jawaban : 16/02/2004

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 159 tahun 2004 yang berisi:  Apakah boleh mengeluarkan sebagian zakat dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, gula, minyak dan sebagainya?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

Pada dasarnya, zakat dikeluarkan dalam bentuk benda yang wajib dizakati. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim –dan dia menshahihkannya— meriwayatkan bahwa Nabi –shallallâhu 'alaihi wasallam— bersabda kepada Mu'adz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيْرَ مِنَ الإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ

"Ambillah biji-bijian dari biji-bijian, kambing dari kambing, onta dari onta dan sapi dari sapi".

Menurut para ulama’ ahli fikih dalam mazhab Hanafi dan yang lainnya, diperboplehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk nilai sebagai ganti dari barang yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun penyebutan bentuk benda yang wajib dikeluarkan sebagai zakat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, adalah bertujuan untuk memberi kemudahan kepada para pemilik harta. Karena, bagi para pemilik suatu jenis harta, akan lebih mudah mengeluarkan zakatnya dalam bentuk jenis harta yang dia miliki. Jadi penyebutan benda-benda tersebut bukan untuk mewajibkan pengeluaran zakat dalam bentuk benda-benda tersebut.

Pendapat ini berdasarkan pada beberapa dalil, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (secara mu'allaq) dan al-Baihaqi dari Thawus, dia berkata,

قَالَ مُعَاذٌ -رضي الله عنه- لأهْلِ الْيَمَنِ: ائْتُونِي بِعَرْضٍ: ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ في الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لأصْحَابِ النَّبِي -صلى الله عليه وآله وسلم- بِالْمَدِينَ

"Muadz bin Jabal berkata kepada para penduduk Yaman, "Bawalah kemari barang-barang berupa khamîsh (nama pakaian) atau pakaian lainnya sebagai zakat untuk menggantikan gandum dan jagung. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Rasulullah saw. di Madinah."

Thawus meskipun tidak pernah bertemu Muadz tapi dia mengetahui perihal Muadz, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi'i. Muadz berpijak pada kemaslahatan fakir miskin dalam menentukan cara pembayaran zakat. Karena, memberikan barang lebih mudah bagi para pemilik harta. Muadz mengambil pilihan lain ketika melihat adanya kemaslahatan bagi masyarakat di dalamnya. Pendapat Muadz itu didasarkan pada kenyataan bahwa ketika itu penduduk Yaman terkenal dengan produksi tekstilnya, sehingga memberikan hasil produk tersebut lebih mudah bagi mereka. Dan dalam satu waktu, produk yang mereka hasilkan dibutuhkan oleh penduduk Madinah.

Hal yang sama pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Said bin Manshur, dalam kitab as-Sunan, meriwayatkan dari Atha`, dia berkata,

: كان عمر بن الخطاب يأخذ العروض في الصدقة من الدراهم

"Dalam zakat harta, Umar bin Khattab lebih memilih mengambil barang daripada uang dirham."

Pendapat inilah yang kami pilih, karena tujuan terbesar dari zakat adalah memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sehingga, setiap kali zakat yang dikeluarkan lebih dekat dengan kebutuhan orang-orang miskin dan lebih bermanfaat bagi mereka, maka hal itu lebih dapat merealisasikan tujuan zakat dalam Islam.

Dengan demikian dibolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk makanan yang sesuai dengan kebutuhan fakir miskin.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


حكم إخراج زكاة المال في صورة عينية

الرقـم المسلسل : 2661    تاريخ الإجابة : 16/02/2004

 اطلعنا على الطلب المقيد برقم 159 لسنة 2004م والمتضمن: عن جواز إخراج جزء من الزكاة على هيئة مواد تموينية يحتاجها أي بيت كالأرز والسكر والزيت وخلافه

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

 الأصل في الزكاة أن تكون من جنس المال الذي تجب فيه، فقد روى أبو داود وابن ماجه والحاكم وصححه: أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- قال لمعاذ -رضي الله عنه- حين بعثه إلى اليمن: ((خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيرَ مِنَ الإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ)

وعند فقهاء الحنفية وغيرهم أنه يجوز إخراج القيمة بدلا عن العين، وأن تعيين الأجناس في الزكاة إنما كان تسهيلا على أرباب الأموال حيث يسهل على صاحب المال إخراج زكاته من جنس ماله لا أن ذلك إلزام بأخذ الزكاة من جنس المال

واستدلوا على ذلك بما رواه البخاري معلقًا والبيهقي بسنده عن طاوس قال: قَالَ مُعَاذٌ -رضي الله عنه- لأهْلِ الْيَمَنِ: "ائْتُونِي بِعَرْضٍ: ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ في الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لأصْحَابِ النَّبِي -صلى الله عليه وآله وسلم- بِالْمَدِينَة"

وطاوس وإن لم يلق معاذًا فهو عالم بأمر معاذ، -كما قال الإمام الشافعي رضي الله عنه-؛ حيث لم يفهم معاذ -رضي الله عنه- الأمر إلا على جهة المصلحة من باب أن ذلك أيسر على أصحاب الأموال، فعدل عن ذلك عندما رأى المصلحة في غيره، حيث كان أهل اليمن مشهورين بصناعة الثياب ونسجها، وكان دفعها أيسر عليهم مع حاجة أهل المدينة إليها

وكذلك كان يفعل عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-؛ فقد روى سعيد بن منصور في سننه عن عطاء قال: كان عمر بن الخطاب يأخذ العروض في الصدقة من الدراهم

وهذا الذي نرجحه؛ فإن المقصود الأعظم من الزكاة هو سد حاجة الفقراء والمحتاجين، وكلما كان جنس المخرج من الزكاة أوفق لحاجة المساكين وأنفع لهم كان ذلك أقرب إلى تحقيق مقصود الزكاة في الإسلام

وبناء على ذلك وفي واقعة السؤال: فإنه يجوز إخراج جزء من الزكاة على هيئة مواد تموينية مناسبة لاحتياج الفقراء والمساكين. والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=2661

Catatan : Mengeluarkan zakat mal berupa barang diperbolehkan apabila dipandang bahwa pemberian barang dianggap lebih bermanfaat. Dan pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan penerima zakat.

Hukum Penggunaan Dana Zakat Untuk Investasi - Fatwa MUI


PENGGUNAAN DANA ZAKAT
UNTUK ISTITSMAR (INVENTASI)


بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 4 Tahun 2003
Tentang
PENGGUNAAN DANA ZAKAT
UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

Majelis Ulama Indonesia, setelah
MENIMBANG  :
a.  bahwa pengelolaan dana zakat untuk dijadikan modal usaha yang digunakan oleh fakir dan miskin (mustahiq), banyak ditanyakan oleh umat Islam Indonesia;
b.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang status pengelolaan dana zakat tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam dan pihak-pihak yang memerlukannya.

MENGINGAT  :
1.  Firman Allah swt tentang zakat; antara lain:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”(QS. al-Taubah [9]: 60).
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ (البقرة: 219
“… dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan’ …”(QS. al-Baqarah [2]: 219).
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا (التوبة: 103
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. al-Taubah [9]: 103).

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ (رواه مسلم، كتاب الزكاة، 1631) قال النووي: هذا الحديث أصل في أن أموال القنية لا زكاة فيها
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata:“Hadis ini adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat.”
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ (رواه البخاري، كتاب الزكاة، باب لازكاة إلا عن ظهر غنى، رقم: 1338
“Dari Hakim bin Hizam r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: ‘Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan’.” (HR. Bukhari).

3. Kaidah fiqh:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyat digantungkan pada kemaslahatan.”

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat ulama tentang ta’khir dan istitsmar zakat:
يرى جمهور الفقهاء ضرورة أن تؤدى الزكاة إلى مستحقيها فورا عند وجوبها والقدرة على إخراجها، وأنه لا يجوز لصاحب المال تأخيرها، ويأثم بالتأخير لغير عذر، للأنها حق يجب صرفه إلى مستحقيه لدفع حاجتهم، وللأن الأمر بدفع الزكاة في قوله تعالى (خذ من أموالهم صدقة) مقترن بالفورية. ويرى اخرون أنها عمرية. (ص: 110
والخلاصة من ها كله أننا نرى جواز الإستثمار أموال الزكاة في التجارة والأنعام والمصانع وغيرها وتشغيل العاطلين عن العمل من الفقراء، ويكون المالك لهذه الأموال على الحقيقة أرباب الإستحقاق ينوب عنهم في الإشراف عليها صندوق الزكاة أو مصلحتها أو مؤسستها تحت رقابة الدولة وإشرافها (ص. 119
2.  Pertanyaan dari masyarakat tentang penggunaan dana sebagai dana bergulir.
3.  Rapat Komisi Fatwa, pada Sabtu, 6 Jumadil Awwal 1420/05 Juli 2003; Selasa, 15 Jumadil Awwal 1420/ 15 Juli 2003; 30 Agustus 2003;
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :  FATWA TENTANG PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)
1  Zakat mal harus dikeluarkan sesegera mungkin (fauriyah), baik dari muzakki kepada amil maupun dari amil kepada mustahiq.
2.  Penyaluran (tauzi’/distribusi) zakat mal dari amil kepada mustahiq, walaupun pada dasarnya harus fauriyah,dapat di-ta’khir-kan apabila mustahiq-nya belum ada atau ada kemaslahatan yang lebih besar.
3.  Maslahat ditentukan oleh Pemerintah dengan berpegang pada aturan-aturan kemaslahatan ( sehingga maslahat tersebut merupakan maslahat syar’iyah.
4.  Zakat yang di-ta’khir-kan boleh diinvestasikan (istitsmar) dengan syarat-syarat sebagai berikut :
•    a, Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku (al-thuruq al-masyru’ah).
•    b.  Diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini akan memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan.
•    c.  Dibina dan diawasi oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi.
•    d.  Dilakukan oleh institusi/lembaga yang professional dan dapat dipercaya (amanah).
•    e.  Izin investasi  (istitsmar)harus diperoleh dari Pemerintah dan Pemerintah harus menggantinya apabila terjadi kerugian atau pailit.
•    f.  Tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan biaya yang tidak bisa ditunda pada saat harta zakat itu diinvestasikan.
•    g.  Pembagian zakat yang di-ta’khir-kan karena diinvestasikan harus dibatasi waktunya.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 06 Ramadhan 1424 H.
01 Nopember 2003 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA


Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Hukum Memakan Dan Membudidayakan Katak / Kodok - Fatwa MUI



MEMAKAN DAN MEMBUDIDAYAKAN KODOK

Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang diperluas dengan beberapa utusan Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas Syari'ahIAIN dan tenaga-tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang diselenggarakan pada hari senin, 18 Shafar 1405 H. (12 Nopember 1984 M.) di Masjid Istiqlal Jakarta, setelah :

Menimbang :
Bahwa akhir-akhir ini telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh sebagian para petani ikan.

Mendengar :
a. Pengarahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
b.  Keterangan para ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
c.  Makalah-makalah dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Walisongo Semarang.
d.  Pembahasan para peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang tersebut.

Memperhatikan dan memahami :
a. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
1.  Surat al-An’am ayat 145
“Katakanlah : Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yangmengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor ataubinatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
2.  Surat al-Mai’dah ayat 96
“Dahalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.
3.  Surat Al-A’raf, ayat 157
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi  mereka segala yang buruk”.
b.  Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW :
“Dari Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
c.  Memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan menurut ajaran agama.
d.  Semua binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing dan babi.
e.  Khusus mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
f.  Menurut keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman M.Sc. bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10 jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu :
1.    Rana Macrodon
2.    Rana Ingeri
3.    Rana Magna
4.    Rana Modesta
5.    Rana Canerivon
6.    Rana Hinascaris
7.    Rana Glandilos
8.    Hihrun Arfiki
9.    Hyhrun Pagun
10.    Rana Catesbiana

Maka dengan bertawakal kepada Allah SWT, sidang :

MEMUTUSKAN

1.  Membenarkan adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut.
2.  Membudidayakan kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Jakarta, 18 Shafar 1405 H
12 Nopember 1984 M

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
PROF.KH.IBRAHIM

Sekretaris
H.MAS’UD


** Kesimpulan dari fatwa MUI adalah memperbolehkan budidaya kodok dan menetapkan keharaman mengkonsumsi kodok mengikuti pendapat mayoritas ulama’.

Dari Mana Kita Memulai Mengajak Kepada Kebaikan ?




Jika kita tahu bahwa susunan al-qur’an seperti yang sekarang kita gunakan tidak sesuai dengan urutan turunnya ayat tersebut, mungkin akan timbul pertanyaan; mengapa penyusunannya berbeda dengan urutan turunnya?

Pertanyaan ini akan terjawab dalam salah satu pernyataan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ : (بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَر) وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ

“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (al-qur’an) adalah surat Al Mufashshal (surat-surat pendek) yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka.

Dan ketika manusia telah condong kepada agama Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram.

Seandainya saja  yang pertama kali turun adalah ayat;

“Janganlah kalian minum arak”

Niscaya mereka akan mengatakan;

‘Kami tidak akan meninggalkan meminum arak selama-lamanya.'

Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat,

"Janganlah kalian berzina..”

Niscaya mereka akan berkomentar, 'Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.

 Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah:

بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ

“sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. ALqamar 46).'

Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali aku berada di sisi beliau (di Madinah). ( Shahih Bukhari, no.4993 )

Berdasarkan hadits diatas kita juga akan tahu bagaimana metode yang efektik untuk berdakwah, tidak langsung mengatakan “Jangan begini” dan “jangan begitu”.. karena itu bukannya akan menarik orang untuk menjalankan ajaran agama tapi malah akan membuat orang menjauhi ajaran-ajaran agama.



Oleh : Siroj Munir

Menghindari Vonis Kafir Secara Membabi Buta - Penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki



MENGHINDARI MENJATUHKAN VONIS KAFUR (TAKFIR)
SECARA MEMBABI BUTA

Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” 

Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Sedangkan penggunaan cara yang buruk dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan bodoh.

Apabila anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu anda menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan dengan anda maka sungguh anda telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.

Al-Allamah Al-Imam As-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan,

وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا، أو شرك  جلي لا يحتمل التأويل، أو إنكار النبوة، أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو   إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين

“ Para ulama’ telah sepakat untuk melarang vonis kufur yang ditujukan kepada ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur tidak mengakui keberadaan Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah disepakati oleh semua ulama dan wajib diketahui semua umat Islam”.

Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :

1.    Tinjauan sanad hadits, contohnya seperti hadits :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka”.

2.    Tinjauan tingkatan kelompok perawinya. Seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya diakui di seluruh muka bumi ini dari mulai wilayah barat sampai wilayah timur, dari segi  kajian, pembacaan dan penghapalan serta beralih dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan sanad.

3.    Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari tinjauan praktek dan turun-temurunnya (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang,

4.    Mutawatir dari tinjauan berita yang diberikan (Tawaturu ‘ilmin). Seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.

Memvonis  kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya, “ Hai orang kafir”, maka vonis kufur bisa jatuh pada salah satu dari keduanya”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.

Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ: الْكَفُّ عَمَّنْ، قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ، وَلَا نُخْرِجُهُ مِنَ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ، وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ، وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ

“Tiga hal yang merupakan pokok iman, yaitu; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Dawud)

Imam Al-Haramain pernah berkata,

لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق

“ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit  yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.

Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar point-point yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.

Hanya Allah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.


التحذير من المجازفة بالتكفير

     يخطئ كثير من الناس – أصلحهم الله – في فهم حقيقة الأسباب التي تخرج صاحبها عن دائرة الإسلام وتوجب عليه الحكم بالكفر ، فتراهم يسارعون إلى الحكم على المسلم بالكفر لمجرد المخالفة حتى لم يبق من المسلمين على وجه الأرض إلا القليل ، ونحن نلتمس لهؤلاء العذر تحسيناً للظن ، ونقول لعل نيتهم حسنة من دافع واجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولكن فاتهم أن واجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لابد في أدائه من الحكمة والموعظة الحسنة وإذ اقتضى الأمر المجادلة يجب أن تكون بالتي هي أحسن كما قال تعالى : ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

     وذلك أدعى إلى القبول وأقرب للحصول على المأمول ومخالفته خطأ وحماقة

     فإذا دعوت مسلماً يصلي ، ويؤدي فرائض الله ، ويجتنب محارمه وينشر دعوته ، ويشيد مساجده ، ويقيم معاهده ، إلى أمر تراه حقاً ويراه هو على خلافك والرأي فيه بين العلماء مختلف قديماً إقراراً وإنكاراً فلم يطاوعك في رأيك فرميته بالكفر لمجرد مخالفته لرأيك فقد قارفت عظيمة نكراء ، وأتيت أمراً إدّاً نهاك عنه الله ودعاك إلى الأخذ فيه بالحكمة والحسنى

     قال العلامة الإمام السيد أحمد مشهور الحداد : وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا أو شرك جلي لا يحتمل التأويل أو إنكار النبوة أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين

     والمعلوم من الدين ضرورة كالتوحيد والنبوات وختم الرسالة بمحمد صلى الله عليه وسلم والبعث في اليوم الآخر والحساب والجزاء والجنة والنار يكفر جاحده ، ولا يعذر أحد من المسلمين بالجهل به إلا من كان حديث عهد في الإسلام فإنه يعذر إلى أن يتعلمه فإنه لا يعذر بعده

     والمتواتر الخبر الذي يرويه جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب عن جمع مثلهم إما من حيث الإسناد كحديث : (( من كذب عليَّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار )) .. وإما من حيث الطبقة كتواتر القرآن فإنه تواتر على البسيطة شرقاً وغرباً درساً وتلاوة وحفظاً وتلقاه الكافة عن الكافة طبقة عن طبقة فلا يحتاج إلى إسناد. وقد يكون تواتر عمل وتوارث كتواتر العمل على شيء من عصر النبوة إلى الآن ، أو تواتر علم كتواتر المعجزات فإن مفرداتها وإن كان بعضها آحاداً لكن القدر المشترك منها متواتر قطعاً في علم كل إنسان مسلم

     وإن الحكم على المسلم بالكفر في غير هذه المواطن التي بيناها أمر خطير ، وفي الحديث (إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما) . رواه البخاري عن أبي هريرة

     ولا يصح صدوره إلا ممن عرف بنور الشريعة مداخل الكفر ومخارجه والحدود الفاصلة بين الكفر والإيمان في حكم الشريعة الغراء

     فلا يجوز لأي إنسان الركض في هذا الميدان والتكفير بالأوهام والمظان دون تثبت ويقين وعلم متين وإلا اختلط سيلها بالأبطح ولم يبق مسلم على وجه الأرض إلا القليل

     كما لا يجوز التكفير بارتكاب المعاصي مع الإيمان والإقرار بالشهادتين ، وفي الحديث عن أنس رضي الله عنه قال صلى الله عليه وسلم :  (( ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل ، والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل والإيمان بالأقدار )) أخرجه أبو داود

     وكان إمام الحرمين يقول : لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق

    لذلك نحذر كل التحذير من المجازفة بالتكفير في غير المواطن السابق بيانها لأنه جد خطير والله الهادي إلى سواء السبيل وإليه المصير


Referensi : “Mafahim Yajibu ‘An Tushohhah” karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyah, Hal : 79 - 81

Hukum Mengkonsumsi Kepiting - Fatwa MUI



KEPUTUSAN FATWA
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
tentang
KEPITING


Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat‐obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah: 

MENIMBANG
•    1.bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
•    2.bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak‐pihak lain yang memerlukannya. 

MENGINGAT
•    1.Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah‐langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al‐Baqarah [2]: 168).

”(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menhalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan! bagi mereka segala yang buruk... "(QS. al‐A'raf [7]: 157).

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka? " Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik‐baik dan (buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab‐Nya". Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya kepada‐Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik ! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada‐Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang‐orang yang dalam perjalanan panjang,.......... '(OS. al‐Baqarah [2] : 172).

Kemudian Nabi menceritakan seorang laki‐laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak‐acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit ia berdoa, 'Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt.  Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnya, bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu Hurairah),

"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal‐hal yang musytabihat (syubhat, samar‐samar, tidak jelas halas haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati‐hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim). 

•    2. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)‐nya" , 
•    3.Qaidah fiqhiyyah: Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya,
•    4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001‐2005 
•    5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI 

MEMPERHATIKAN :
•    1.Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza‐al‐Minhaj, (Dar’alfikr,) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air , dan halaman 151‐ 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan.
•    2.Pendapat Syeikh Muhammad al‐Kathib a;‐Syarbaini dalam Mughni Al‐Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al‐Minhaj, (t.t : Dar Al‐Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al‐Nawawi dalam Minhaj Al‐Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan oleh al‐Syarbaini : 
•    3.Pendapat Ibn al'Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al‐Sunnah (Beirut : Dar al‐Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249 tentang "binatang yang hidup di daratan dan laut".
•    4.Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi'ul Awwal 1421 H. 
•   5.Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko‐Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi'ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut : 
•    6.Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi komoditas, yaitu : 
a. Scylla serrata, 
b. Scylla tranquebarrica, 
c. Scylla olivacea, dan 
d. Scylla pararnarnosain. 
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan "kepiting". 
•    7. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan : 
a. Bernafas dengan insang. 
b. Berhabitat di air. 
c.Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. 
•    8. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas hanya ada yang : 
hidup di air tawar saja 
b. hidup di air taut saja, dan 
c.hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat. 

Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat : 

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT. 
 

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING 
•    1.Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia. 
•  2.Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana:, mestinya. 

Agar setiap muslim dan pihak‐pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini. 

Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H.
15 Ju1i  2002 M 


KOMISI FATWA
MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,

K. H. MA'RUF AMIN

Sekretaris,

DRS. HASANUDIN, S.Ag

Download Kitab Adz-Dzari'ah Ila Makarimis Syari'ah - Ar-Roghib Al-Asfihani



Judul kitab : Adz-Dzari'ah Ila Makarimis Syari'ah

Penulis : Syeikh Abul Qosim Al-Husain bin Muhammad bin Al-Mufadhdhol Ar-Roghib Al-Ashfihani

Muhaqqiq :

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1980

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Mahasinus Syari'ah - Al-Quffal Al-KabirAl- Asfihani



Judul kitab : Mahasinus Syari'ah Fi Furu'is Syafi'iyyah

(Maqoshidus Shari'ah)

Penulis : Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Isma'il bin Asy-

Syasyi (Al-Quffal Al-Kabir)

Muhaqqiq : Abu Abdillah Muhammad Ali Samak

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2007

Link download (PDF) : Klik disini

Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama - Fatwa MUI




PLURALISME, LIBERALISME, DAN
SEKULARISMEAGAMA


بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA


Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :

Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;

2.  bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;

3.  bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

Mengingat :

1.  Firman Allah SWT :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”.
(QS. Ali Imran [3]: 19)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. al-Kafirun [109] : 6).

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.(QS. al-Ahzab [33]: 36).

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.(QS. al-Mu’minun [23]: 71).

2.  Hadis Nabi saw.:

a.  Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”.(H.R. Muslim)

b.  Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).

c.  Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Memperhatikan :
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME,LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :

1.  Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

2.  Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

3.  Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4.  Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua :   Ketentuan Hukum

1.  Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

2.  Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.

3.  Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4.  Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin


Sumber : Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia
http://www.mui.or.id/

Aqidah Asy’ari, Memanjangkan jenggot, Memakai Celana cingkrang dan Qunut Sholat Subuh - Lembaga Fatwa Mesir



Pelecehan Kelompok-kelompok Ahlu Bid'ah terhadap Manhaj, Akidah dan Para Ulama Azhar


Nomor Urut : 261    Tanggal Jawaban : 19/11/2005

Memperhatikan permohonan fatwa No. 2908 tahun 2005 yang berisi: Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama salaf saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh orang-orang yang berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing, orang kafir dan zindik. Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari tuduhan mereka. Mereka menyerang akidah para ulama Azhar dan menuduh para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah. Selain itu, mereka juga mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat Subuh sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Para pemuda muslim, terutama para penuntut ilmu, hendaknya berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bukan sebaliknya, menyebar perpecahan dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan tidak berselisih dalam urusan agama. Allah berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Âli 'Imrân [3]: 103).

Dan Allah berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfâl [8]: 46).

    Allah juga memerintahkan kita untuk berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Al-Baqarah [2]: 83).

     Rasulullah saw. juga memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan umat, hingga beliau menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya adalah sedekah.

    Para pemuda juga wajib menjauhkan diri dari manhaj-manhaj pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang banyak tersebar di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus bersikap bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh. Kelompok manapun yang menggunakan nama "Salafus saleh" sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfiman,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 42).

    Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar adalah akidah Asy'ariah yang merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama Asy'ariah –semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka diridai—merupakan jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang menjawab semua syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan lainnya. Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan mereka, maka orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.

    Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyîn Kadzb al-Muftarî fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abi al-Hasan al-Asy'arî berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk mendapatkan keridaan-Nya serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya— bahwa daging para ulama adalah beracun. Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan para ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia meninggal dunia."

    Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan menara ilmu dan agama sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk sebuah lembaga ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam yang istimewa. Dengan lembaga ini Allah telah menjaga agama-Nya dari setiap penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba mencari-cari kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada dalam bahaya yang besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte Khawarij yang disinggung oleh Allah dalam firman-Nya,

لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar." (Al-Ahzâb [33]: 60).

    Berkaitan dengan masalah jenggot, maka memeliharanya dan tidak mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.

    Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram. Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.

    Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.

    Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,

عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

"Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air." 

Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur."

    Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama Syafi'iyah— berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) --yang merubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran— tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.

    Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ

"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).

    Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ

"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka." (HR. Bukhari).

Nabi saw. juga bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ - قالها ثلاثا-، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih". Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).

    Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi saw. bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."

    Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.

    Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a,

أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ

 Bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah saw. bersabda; "Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."

    Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata,

خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا

"Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata, Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali."

   Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.

    Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).

    Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.

    Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah,

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

"Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR. Bukhari dan lainnya).

Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

"Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka." (HR. Muslim).

    Adapun membaca doa qunut dalam shalat Shubuh maka hal itu adalah sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar kalangan Salaf salih dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

"Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut selama satu bulan guna melaknat mereka (suku Ra'l, Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya. Sedangkan dalam shalat Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal dunia."

Ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa orang hufâzh dan mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat mengenai penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya dengan mengatakan bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum tertentu dengan keburukan (melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.

    Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi bencana-bencana yang menimpa kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak terjadi bencana yang menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.

    Dengan demikian, jika terjadi suatu bencana yang menimpa kaum muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai anjuran membaca qunut dalam shalat Shubuh. Dalm hal ini yang masih diperdebatkan adalah membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian ulama, seperti para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut ketika terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada shalat Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab Hanafi, berpendapat bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr (shalat yang bacaannya dibaca dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah, dalam pendapat yang shahih, berpendapat bahwa qunut dibaca di seluruh shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana ini dengan wabah penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak perkampungan dan tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.

    Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para ulama dalam masalah membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada kondisi ketika tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para ulama sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh, sedangkan dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.

    Dengan demikian, kritikan terhadap pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak benar, adalah kritikan yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam yang sedang ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah kita yang dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan kemenangan umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas. Hal ini jika kita melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan dan tidak pernah berkesudahan.

    Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu bencana hanya terbatas pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau empat puluh hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang membaca qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk diikuti sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl [16]: 43).

    Barang siapa yang mentaklid imam lain yang pendapatnya menurutnya benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh mengingkari orang yang membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: Lâ yunkaru al-mukhtalaf fîh (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: Lâ yunqaqhu al-ijtihâd bil ijtihâd (Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


التهجم على منهج الأزهر وعقيدته وعلمائه من قبل بعض طوائف المبتدعة


الرقـم المسلسل : 261    تاريخ الإجابة : 19/11/2005

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 2908 لسنة 2005م المتضمن ينتمي كثير من الشباب إلى فرقة تقول بأنها الوحيدة التي تسير على نهج السلف الصالح وعلى الطريق المستقيم، وترمي كل من يخالفهم بالعمالة والكفر والزندقة، حتى العلماء لم يسلموا منهم؛ حيث يتهجمون على عقيدة الأزهر وعلمائه ويرمون الأشعرية بالابتداع، فما رأيكم في هذه الجماعة وفيما يقولونه: من إطلاق اللحية، وتقصير الثياب، وتبديع القنوت في الفجر وغير ذلك؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    إنه يجب على الشباب المسلم -خاصة طلبة العلم- أن يعملوا على توحيد كلمة المسلمين، وألا يسعَوْا بينهم بالفرقة والنزاع والخصام؛ حيث أمرنا الله تعالى أن نعتصـم جميعًا بحبـله المتين وألا نتفرق في الدين، قال تعالى: ﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ [آل عمران: 103]، وقال سبحانه: ﴿وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ﴾ [الأنفال: 46]، وأن نقول للناس الحسن من الكلام، قال عز من قائل: ﴿وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ﴾ [البقرة: 83]، وأمرنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بكل ما يؤدي إلى الوَحدة، حتى جعل التبسم في وجه الأخ صدقة

   كما يجب على الشباب أن ينأوا بأنفسهم عن مناهج التكفير وتيارات التبديع والتفسيق والتضليل التي انتشرت بين المتعالمين في هذا الزمان، وأن يلتزموا بحسن الأدب مع الأكابر من علماء الأمة وصالحيها، وأي جماعة تتخذ من اسم "السلف الصالح" ستارًا لتفرقة المسلمين وسببًا للشقاق والنزاع تكون قد لبَّست الحق بالباطل؛ قال تعالى: ﴿وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [البقرة: 42
   
المعلوم أن عقيدة الأزهر الشريف هي العقيدة الأشعرية وهي عقيدة أهل السنة والجماعة، والسادة الأشاعرة رضي الله تعالى عنهم وأرضاهم هم جمهور العلماء من الأمة، وهم الذين صَدُّوا الشبهات أمام المَلاحِدَةِ وغيرهم، وهم الذين التزموا بكتاب الله وسنة سيـدنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم عبر التاريخ، ومَنْ كفّرهم أو فسّقهم يُخْشَى عليه في دينه، قال الحافظ ابن عساكر رحمه الله في كتابه "تبيين كذب المفتري، فيما نسب إلى الإمام أبي الحسن الأشعري": "اعلم وفقني الله وإياك لمرضاته، وجعلنا ممن يتقيه حق تقاته، أن لحوم العلماء مسمومة، وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة، وأن من أطلق عليهم لسانه بالثلب، ابتلاه الله قبل موته بموت القلب" ا هـ

     والأزهر الشريف هو منارة العلم والدين عبر التاريخ الإسلامي، وقد كوَّن هذا الصرحُ الشامخُ أعظم حوزة علمية عرفتها الأمة بعد القرون الأولى المُفَضَّلة، وحفظ الله تعالى به دينه ضد كل معاند ومشكك؛ فالخائض في عقيدته على خطر عظيم، ويُخْشَى أن يكون من الخوارج والمرجفين الـذين قال الله تعالى فيهم: ﴿لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا﴾ [الأحزاب: 60
   
أما بالنسبة لحلق اللحية فإن من المقرر شرعًا أن إعفاء اللحية وعدم حلقها مأثور عن النبي صلى الله عليـه وآله وسلم، وقد كان يهذبها ويأخذ من أطرافها وأعلاها بما يحسنها بحيث تكون متناسبة مع تقاسيم الوجه والهيئة العامة. وقد كان يعتني بتنظيفها بغسلها بالماء وتخليلها وتمشيطها. وقد تابع الصحابة رضوان الله عليهم الرسول عليه الصلاة والسلام فيما كان يفعله وما يختاره

    وقد وردت أحاديث نبوية شريفة ترغب في الإبقاء على اللحية والعناية بنظافتها، كالأحاديث المرغبة في السواك وقص الأظافر والشارب: فحمل بعض الفقهاء هذه الأحاديث على الوجوب وعليه يكون حلق اللحية حرامًا، بينما ذهب بعضهم الآخر إلى أن الأمر الوارد في الأحاديث ليس للوجوب بل هو للندب وعليه يكون إعفاء اللحية سنة يُثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها. أما دليل من قال بأن حلق اللحية حرام فهو الأحاديث الخاصة بالأمر بإعفاء اللحية مخالفة للمجوس والمشركين، وروى الإمام مسلم عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: «عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ» قَالَ بعض الرواة: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

    ويقول أصحاب الرأي الآخر وهم الشافعية: إن الأوامر المتعلقة بالعادات والأكل والشرب واللبس والجلوس والهيئة .. إلخ تُحْمَل على الندب لقرينة تعلقها بهذه الجهات، ومثلوا ذلك بالأمر بالخضاب والصلاة في النعلين ونحو ذلك . كما أفاد ابن حجر العسقلاني في فتح الباري

    وبناء على ما سبق فهناك اختلاف بين الفقهاء بين الجواز وعدمه في مسألة حلق اللحية، والخروج من الخلاف مستحب، ومن ابتلي بشيء من الخلاف وتعذر عليه الخروج منه فليقلد من أجاز. وأما بالنسبة لتقصير الثياب فـإن الأصل في لبس الثياب الإباحة بشرط ألا يكون فيها إسراف ولا كبر؛ لحديث عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ» رواه أحمد والنسائي وابن ماجه وصححه الحاكم، وعلى ذلك تحمل أحاديث النهي عن الإسبال كقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ» رواه البخاري، وقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ -قَالَهَا ثلاثًا-، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَـالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ» رواه مسلم؛ فإن ذلك محمول على من فعل ذلك اختيالًا وتكبرًا كما صرّح بذلك في أحاديث أخرى كحديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما المروي في الصحيحين أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ»؛ فالمطلق منها يجب تقييده بالإسبال للخيلاء كما قال الإمام النووي، وقد نص الإمام الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء، وعقد الإمام البخاري في صحيحه بابًا لذلك سماه "باب من جر إزاره من غير خيلاء" وأورد فيه حديثَ ابنِ عمر رضي الله عنهما أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ»، وحديث أبي بكرة رضي الله عنه قَالَ: «خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا» اهـ . وهذان الحديثان صريحان في أن الإسبال المحرم إنما هو ما كان على جهة الكبر والخيلاء، وما لم يكن كذلك فليس حرامًا؛ لأن الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا

    وقد جعل الشرع الشريف للعرف مدخلا في اللبس والهيئة، ونهى النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن ثوب الشهرة الذي يلبسه صاحبه مخالفًا به عادات الناس فقال: «مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» رواه أبو داود وابن ماجه من حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما وحسنه الحافظ المنذري، ولما دخلت الصحابة فارس صلّوا في سراويلها، وتحدث العلماء عما إذا حدث للناس اصطلاح بتطويل بعض أنواع الثياب وصار لكل نوع من الناس شعار يُعرَفون به وأن ما كان من ذلك على طريق العادة فلا تحريم فيه، وإنما المحرم منه ما كان على سبيل الخيلاء

    وينبغي للمسلم المحب للسنة أن يكون مدركًا لشأنه عالمًا بزمانه وأن يحسن تطبيقها بطريقة ترغب الناس وتحببهم فيها فلا يكون فتنة يصدهم عن دينهم، وأن يفرق فيها بين السنن الجبلية وسنن الهيئـات التي تختلف باختلاف الأعراف والعادات وغيرها من السنن، وأن يعتني بترتيب الأولويات في ذلك فلا يقدم المندوب على الواجب ولا يكون اعتناؤه بالهَدْي الظاهر على حساب الهَدْي الباطن وحسن المعاملة مع الخلق وأن يأخذ من ذلك بما يفهمه الناس وتسعه عقولهم وعاداتهم حتى لا يكون ذريعة للنيل من السنة والتكذيب بها كما قال سيدنا علي كرم الله وجهه: "حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ!" رواه البخاري وغيره، وقال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: "مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً" رواه مسلم

    وأمـا بالنسبة لقنوت الفجر فإن القنوت في صلاة الفجر سنة نبوية ماضية قال بها أكثر السلف الصالح من الصحابة والتابعين فمن بعدهم من علماء الأمصار، وجاء فيه حديث أنس بن مالك رضي الله عنه: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا»، وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه كما قال الإمام النووي وغيره، وبه أخذ الشافعية والمالكية في المشهور عنهم؛ فيستحب عندهم القنوت في الفجر مطلقًا، وحملوا ما رُوي في نسخ القنوت أو النهي عنه على أن المتروك منه هو الدعاء على أقوام بأعيانهم لا مطلق القنوت

    والفريق الآخر من العلماء يرى أن القنوت في صلاة الفجر إنما يكون في النوازل التي تقع بالمسلمين، فإذا لم تكن هناك نازلة تستدعي القنوت فإنه لا يكون حينئذٍ مشروعًا، وهذا مذهب الحنفية والحنابلة. فإذا أَلَمَّتْ بالمسلمين نازلة فلا خلاف في مشروعية القنوت في الفجر، وإنما الخلاف في غير الفجر من الصلوات المكتوبة؛ فمن العلماء من رأى الاقتصار في القنوت على صلاة الفجر كالمالكية، ومنهم من عَدَّى ذلك إلى بقية الصلوات الجهرية وهم الحنفية، والصحيح عند الشافعية تعميم القنوت حينئذٍ في جميع الصلوات المكتوبة، ومثَّلوا النازلة بوباءٍ أو قحطٍ أو مطرٍ يَضُرُّ بالعمران أو الزرع أو خوف عدوٍّ أو أَسْرِ عالِمٍ

    فالحاصل أن العلماء إنما اختلفوا في مشروعية القنوت في صلاة الفجر في غير النوازل، أما في النوازل فقد اتفق العلماء على مشروعية القنوت واستحبابه في صلاة الفجر واختلفوا في غيرها من الصلوات المكتوبة، وعليه فإن الاعتراض على قنوت صلاة الفجر بحجة أنه بدعة اعتراض غير صحيح؛ بالنظر إلى ما تعيشه الأمة الإسلامية من النوازل والنكبات والأوبئة وتداعي الأمم عليها من كل جانب وما يستوجبه ذلك من كثرة الدعاء والتضرع إلى الله تعالى عسى الله أن يرفع أيدي الأمم عنَّا ويرد علينا أرضنا وأن يُقِرَّ عين نبيه المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم نصر أمته ورد مقدساتها؛ إنه قريب مجيب

     هذا إذا أخذنا في الاعتبار تواصل النوازل وعدم محدوديتها، وأما من قال بمحدودية النازلة ووقّتها بما لا يزيد عن شهر أو أربعين يومًا، فالأمر مبني على أن من قنت فقد قلّد مذهب أحد الأئمة المجتهدين المتبوعين الذين أُمرنا باتباعهم في قوله تعالى: ﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾[النحل: 43]، ومن كان مقلدًا لمذهب إمام آخر يرى صوابه في هذه المسألة فلا يحق له الإنكار على من يقنت؛ لأنه لا يُنكَر المختلف فيه، ولأنه لا يُنقَض الاجتهاد بالاجتهاد .والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=261