Template information

Hukum pengobatan dengan leburan ayat alqur'an

Soal: Assalamualaikum, ustadz mau tanya, apa hukumnya menulis al qur'an di piring lantas tulisan al qur'an di piring itu di lebur dengan air lalu di minum, bolehkah kita mengobati dengan cara begitu?

(Pertanyan dari: Opick Syahreza )

Jawab: Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh,
Secara umum, pengobatan dengan menggunakan al-qur’an itu diperbolehkan, sebab salah satu tujuan diturunkannya Al-Qur'an adalah sebagai obat (syifa'), sebagaimana firman Allah:

وَنُنَزِّل مِنْ الْقُرْآن مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَة لِلْمُؤْمِنِينَ

"Dan telah kami turunkan Al-Qur'an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al Isra’ : 82)

Banyak ulama’ yang menafsiri arti “syifa’” pada ayat diatas adalah segala bentuk pengobatan yang mencakup pengobatan rohani dan jasmani.

Bahkan pengobatan dengan menggunakan al-qur’an juga dianjurkan oleh nabi sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عَلَيْكُمْ بِالشِّفَاءَيْنِ: الْعَسَلِ، وَالْقُرْآنِ

“Dari Abdullah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Gunakanlah dua jenis terapi penyembuhan; madu dan Al Qur'an." (Sunan Ibnu majah, no. 3452).

Sedangkan mengenai cara pengobatan dengan cara menuliskan ayat al-qur’an kemudian dilebur dan diminum oleh orang yang sakin, hukumnya diperselisihkan diantara ulama’.

Imam Nawawi dalam Syarh al Muhadzdzab (Majmu')nya berkata ; “Jika ada seseorang menulis (ayat) al-Qur'an dalam sebuah wadah atau bejana. Kemudian (wadah atau bejananya) dituangi air (sehingga tulisan ayat al-Qur'annya lebur dengan air) dan diminumkan kepada orang yang sakit, maka imam Hasan al-Bashri, Mujahid, Abu Qilabah dan al-Auzai berkata ; (hal tersebut) tak masalah. Dan imam An-Nakhoi membencinya. Tapi beliau berkata ; Tuntutan dari madzhab kita (Syafiiyyah) bahwasanya hal tersebut tidak masalah. Karena sungguh al-Qodli Husain, al-Baghowi dan yang lainnya berkata ; Seandainya ada seseorang menulis (ayat) al-Qur'an di sebuah manisan dan makanan, maka tak masalah memakan manisan dan makanan tersebut.”

Pendapat  yang tak memperbolehkan cara seperti ini juga dikemukakan oleh ibnu abdis salam dalam kitab fatwanya bahwa beliau mengharamkan meminum air leburan alqur’an karena akan masuk kedalam perut yang otomatis terkena najis yang ada didalam perut.  Namun pendapat ini oleh banyak ulama dianggap lemah.

Kesimpulannya menurut mayoritas ulama’ pengobatan dengan cara meminum air leburan ayat al-qur’an hukumnya boleh. Wallahu a’lam

(Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad , Al Murtadho, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi :
1. Al-Itqon, juz 2 hal. 401

ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ : ﻟﻮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺇﻧﺎﺀ ، ﺛﻢ ﻏﺴﻞ ﻭﺳﻘﺎﻩ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ، ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﻗﻼﺑﺔ ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ : ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ، ﻭﻛﺮﻫﻪ ﺍﻟﻨﺨﻌﻲ . ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﻘﺘﻀﻰ ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ، ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺣﺴﻴﻦ ﻭﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ : ﻟﻮ ﻛﺘﺐ ﻗﺮﺁﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺣﻠﻮﻯ ﻭﻃﻌﺎﻡ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﺄﻛﻠﻪ ﺍﻧﺘﻬﻰ

2. Mughnil Muhtaj, juz 1 hal. 152

فوائد: يكره كتب القرآن على حائط ولو لمسجد وثياب وطعام ونحو ذلك، ويجوز هدم الحائط ولبس الثوب وأكل الطعام، ولا يضر ملاقاته ما في المعدة بخلاف ابتلاع قرطاس عليه اسم الله تعالى فإنه يحرم، ولا يكره كتب شيء من القرآن في إناء ليسقى ماؤه للشفاء خلافا لما وقع لابن عبد السلام في فتاويه من التحريم

3. Fatawa Al-Azhar, juz 8 hal.10

ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺸﻔﺎﺀ
ﺍﻟﻤﻔﺘﻲ: ﻋﻄﻴﺔ ﺻﻘﺮ . ﻣﺎﻳﻮ 1997
ﺍﻟﻤﺒﺎﺩﺉ: ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ

ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ: ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﻜﺘﺐ ﺑﻌﺾ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻳﻌﻠﻘﻬﺎ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ﺃﻭ ﻳﻤﺤﻮﻫﺎ ﺑﺎﻟﻤﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﺍﻟﺸﻔﺎﺀ ؟

ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ ﺃﻣﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺷﻔﺎﺀ ﻓﺬﻟﻚ ﺃﻣﺮ ﻻ ﺷﻚ ﻓﻴﻪ ، ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ (( ﻭﻧﻨﺰﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺷﻔﺎﺀ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ )) ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ : 82 ، ﻭﻗﺎﻝ (( ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺟﺎﺀﺗﻜﻢ ﻣﻮﻋﻈﺔ ﻣﻦ ﺭﺑﻜﻢ ﻭﺷﻔﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺼﺪﻭﺭ )) ﻳﻮﻧﺲ : 57 . ﻭﻗﺪ ﺣﻤﻞ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﺸﻔﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﻌﻢ ﺍﻟﺸﻔﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺮﺍﺽ ﺍﻟﻌﻘﻠﻴﺔ ﻭﺍﻟﻨﻔﺴﻴﺔ ﻭﺍﻟﺨﻠﻘﻴﺔ ﻭﺍﻟﺠﺴﻤﻴﺔ، ﺣﻴﺚ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﻣﺎ ﻳﻤﻨﻊ ﺫﻟﻚ . ﻓﻬﻮ ﻳﺼﺤﺢ ﺍﻟﻔﻜﺮ ﻭﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ، ﻭﻳﻬﺬﺏ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﻳﻤﻨﺤﻬﺎ ﺍﻷﻣﻦ ﻭﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ، ﻭﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﺴﻠﻮﻙ ﺑﺎﻷﺧﻼﻕ ﺍﻟﺤﻤﻴﺪﺓ ، ﻭﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﻌﻠﻞ ﻭﺍﻷﻣﺮﺍﺽ ﺍﻟﺘﻰ ﺗﻌﺘﺮﻯ ﺍﻷﺟﺴﺎﺩ . ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﺣﻜﺎﻳﺔ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﺤﻰ ﺍﻟﺬﻯ ﻟُﺪﻍ ، ﻭﺭﻗﺎﻩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻓﺸﻔﺎﻩ ﺍﻟﻠّﻪ ، ﻭﺃﺧﺬﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﺟﺮﺍ ﺃﻗﺮﻫﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ " ﺇﻥ ﺃﺣﻖ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺟﺮﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ " ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﻄﻮﻟﻪ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻓﻰ ﺯﺍﺩ ﺍﻟﻤﻌﺎﺩ ﻻﺑﻦ ﺍﻟﻘﻴﻢ " ﺝ 3 ﺹ 121 " ﻭﺫﻛﺮ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﺭﻭﻯ ﻓﻰ ﺳﻨﻨﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺪﻭﺍﺀ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ " ﻭﻭﺿﺢ ﺗﺄﺛﻴﺮ ﺍﻟﻌﻼﺝ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺗﻮﺿﻴﺤﺎ ﻛﺒﻴﺮﺍ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ﺇﻟﻴﻪ .

ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺸﻔﺎﺀ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻫﻮ ﻣﺎ ﻋﺪﺍ ﺷﻔﺎﺀ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ ، ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺒﺮ ﺃﻥ ﻟﻜﻞ ﺩﺍﺀ ﺩﻭﺍﺀ ﺇﻻ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﺃﻭ ﺇﻻ ﺍﻟﻬﺮﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺪﺍﻭﻯ ، ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺨﺘﺼﻴﻦ ﻛﺎﻟﺤﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﻛﻠﺪﺓ ، ﻭﻋﺎﻟﺞ ﺑﺎﻟﻔﺼﺪ ﻭﺍﻟﺤﺠﺎﻣﺔ ﻭﺷﺮﺏ ﺍﻟﻌﺴﻞ ﻭﺑﻐﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻭﺿﺤﻪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻴﻢ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻄﺐ ﺍﻟﻨﺒﻮﻯ .

ﻭﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﻋﻼﺝ ﺍﻷﻣﺮﺍﺽ ﺍﻟﺒﺪﻧﻴﺔ ﻣﻄﻠﻮﺏ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺨﺘﺼﻴﻦ ، ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻯ ﺃﺭﺷﺪ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺑﺴﺆﺍﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻛﺮ، ﻭﺑﺎﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ ﻭﺍﻹﻓﺎﺩﺓ . ﻣﻊ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻔﺎﻋﻠﻴﺘﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻼﺝ ﺍﻟﻔﻜﺮﻯ ﻭﺍﻟﻨﻔﺴﻰ ، ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻰ ﻓﻰ " ﺍﻹﺗﻘﺎﻥ " ﺝ 2 ﺹ 163 ﻃﺮﻓﺎ ﻣﻦ ﺧﻮﺍﺹ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻼﺝ ﺍﻟﻌﺎﻡ ، ﻭﺃﻭﺭﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ " ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﺸﻔﺎﺀﻳﻦ ﺍﻟﻌﺴﻞ ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ " ﻭﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻠﺪﻳﻎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﺤﻰ ﻭﻋﻼﺟﻪ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﺬﻯ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﻣﺴﻠﻢ ، ﻭﺫﻛﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻰ ﻋﻦ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﻝ : ﻟَﺪَﻏَﺖْ ﺍﻟﻨﺒﻰَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻘﺮﺏٌ ، ﻓﺪﻋﺎ ﺑﻤﺎﺀ ﻭﻣﻠﺢ ﻭﺟﻌﻞ ﻳﻤﺴﺢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻳﻘﺮﺃ : ﻗﻞ ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻭﻥ ﻭﺍﻟﻤﻌﻮﺫﺗﻴﻦ . ﺛﻢ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻮﻭﻯ ﻗﺎﻝ ﻓﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ : ﻟﻮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻰ ﺇﻧﺎﺀ ﺛﻢ ﻏﺴﻠﻪ ﻭﺳﻘﺎﻩ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻯ ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﻗﻼﺑﺔ ﻭﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻰ : ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ، ﻭﻛﺮﻫﻪ ﺍﻟﻨﺨﻌﻰ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﻘﺘﻀﻰ ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ - ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ - ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ . ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻰ : ﻭﻣﻤﻦ ﺻﺮﺡ ﺑﺎﻟﺠﻮﺍﺯ ﻓﻰ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻹﻧﺎﺀ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻟﻨﻴﻬﻰ، ﻣﻊ ﺗﺼﺮﻳﺤﻪ ﺑﺄﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﺑﺘﻼﻉ ﻭﺭﻗﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺁﻳﺔ ، ﻟﻜﻦ ﺃﻓﺘﻰ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺑﺎﻟﻤﻨع ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺏ ﺃﻳﻀﺎ ، ﻷﻧﻪ ﻳﻼﻗﻰ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﺒﺎﻃﻦ . ﻭﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ . ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﻌﻼﺝ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻮﺍﺯ، ﻓﻬﻮ ﻧﺎﻓﻊ ﺇﻥ ﺷﺎء الله ... الخ..

Hukum melihat aurat anak masih kecil


Soal: Assalamu'alaikum, apa hukumnya  melihat aurat cewek (bukan mahram) yang masih kecil, balita, tapi tanpa di sertai nafsu..?

(Pertanyaan dari: Amar Ma'ruf Nahi Mukar)

Jawab: Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh,
Semua ulama' sepakat bahwasanya melihat aurot anak kecil -berapapun usianya dan bagian tubuh yang mana saja yang dilihat-, apabila disertai dengan syahwat hukumnya haram. Sebaliknya, mereka bersepakat mengenai kebolehan melihat melihat aurot anak kecil jika dilakukan tanpa adanya syahwat. Hanya saja kesepakatan mengenai kebolehan ini berlaku jika yang dilihat adalah bagian tubuh selain alat kelamin, sedangkan dalam masalah melihat alat kelamin anak kecil yang belum sampai pada "haddus syahwah" (batasan umur yang dapat menimbulkan syahwat) para ulama' berbeda pendapat.

Dalam madzhab syafi'i uga terdapat perelisihan dalam msalah ini, menurut Imam Rofi'i melihat alat kelamin anak kecil hukumnya haram, bahkan penulis kitab "Al-Uddah' menyatakan bahwa keharaman ini telah disepakati ulama' madzhab syafi'i. Namun pernyataan ini tidak dibenarkan oleh Imam Nawawi, sebab  Qodhi Husain berpendapat bahwa melihat kelamin anak kecil yang belum sampai pada "haddus syahwah" hukumnya boleh. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Mutawalli yang menyatakan bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat yang membolehkannya, sebab hal seperti itu sudah dianggap biasa oleh masyarakat dari dulu hingga kini, dan kebolehan ini berlaku sampai anak tersebut menginjak usia tamyiz(kurang lebih 7 tahun).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa melihat aurot anak perempuan yang masih kecil tanpa disertai syahwat hukumnya boleh, apabila yang di;lihat adalah bagian selain alt kelaminnya, sedangkan apabila yang dilihat adalah alat kelaminnya hukumnya diperselisihkan diantara ulama', dan menurut pendapat yang dishahihkan Imam Mutawalli hukumnya juga boleh jika anak tersebut masih belum menimbulkan syahwat pada umumnya dan orang yang melihat tidak syahwat . Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh :Kaum Sarungan New Version, Bani Slagah Al Husaini,Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi :

1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 40 hal. 347

نظر الرجل إلى الصغيرة
اتفق الفقهاء على أن النظر إلى الصغيرة بشهوة حرام، مهما كان عمرها، ومهما كان العضو المنظور إليه منها، واتفقوا أيضا على أنه يجوز للرجل أن ينظر بغير شهوة إلى جميع بدن الصغيرة التي لم تبلغ حد الشهوة سوى الفرج منها. ثم اختلفوا في حكم النظر إلى فرج الصغيرة التي لم تبلغ حد الشهوة، وفي تقدير السن التي تبلغ فيها حد الشهوة، وفيما يحرم النظر إليه من الصغيرة التي بلغت حد الشهوة

2. Roudlotut thalibin, juz 7 hal. 24

الخامسة: في النظر إلى الصبية، وجهان. أحدهما: المنع. والأصح الجواز، ولا فرق بين عورتها وغيرها، لكن لا ينظر إلى الفرج
قلت: جزم الرافعي، بأنه لا ينظر إلى فرج الصغيرة. ونقل صاحب العدة الاتفاق على هذا، وليس كذلك، بل قطع القاضي حسين في تعليقه بجواز النظر إلى فرج الصغيرة التي لا تشتهى، والصغير، وقطع به في الصغير إبراهيم المروذي. وذكر المتولي فيه وجهين، وقال: الصحيح الجواز، لتسامح الناس بذلك قديما وحديثا، وأن إباحة ذلك تبقى إلى بلوغه سن التمييز، ومصيره بحيث يمكنه ستر عورته عن الناس. - والله أعلم

Cara Menguburkan Jenazah Saat Terjadi banjir

Soal: Assalamualaikum, Bagaimana caranya mengubur mayit jika keadaan sdang banjir?

(Pertanyaan dari: Ayix Juga Faried)

Jawab: Wa'alaaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Jika masih memungkinkan untuk dimakamkan didaerah tersebut, maka pemakaman dilakukan didaerah tersebut, dan apabila dikhawatirkan jenazah yang dimakamkan akan terkena air didalam kuburannya maka solusinya jenazah tersebut dimasukkan kedalam peti saat dimakamkan.

Hal ini dilakukan karena memindahkan pemakaman jenazah kedaerah lain itu tidak diperbolehkan, karena pemindahan tempat pemakaman akan menyebabkan penundaan pemakaman padahal pemakaman jenazah dianjurkan untuk sesegera mungkin dikerjakan, ketetapan hukum ini juga hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abi Malikah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata;

تُوُفِّيَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ بِحُبْشِيٍّ  قَالَ: فَحُمِلَ إِلَى مَكَّةَ، فَدُفِنَ فِيهَا، فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ أَتَتْ قَبْرَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ
وَكُنَّا كَنَدْمَانَيْ جَذِيمَةَ حِقْبَةً ... مِنَ الدَّهْرِ حَتَّى قِيلَ لَنْ يَتَصَدَّعَا
فَلَمَّا تَفَرَّقْنَا كَأَنِّي وَمَالِكًا ... لِطُولِ اجْتِمَاعٍ لَمْ نَبِتْ لَيْلَةً مَعَا
ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ لَوْ حَضَرْتُكَ مَا دُفِنْتَ إِلَّا حَيْثُ مُتَّ، وَلَوْ شَهِدْتُكَ مَا زُرْتُكَ

"Abdurrahman bin Abu Bakar meninggal di Hubsyi. Kemudian dia dibawa ke Makkah dan dikubur di dalamnya. Tatkala Aisyah datang, dia mengunjungi kuburan Abdullah bin Abu Bakar, lalu berkata; "Kami adalah orang yang duduk di suatu raja di Iraq dalam waktu yang lama (empat puluh tahun) sampai dikatakan tidak akan berpisah lagi. Tatkala kami berpisah, seolah saya dan si mayit karena lamanya bersatu, belum pernah sekalipun bermalam bersama." Lalu beliau berkata; "Demi Allah, kalau saja saya hadir pada (kematian) mu, niscaya kamu tidak akan dikubur kecuali di tempat kamu meninggal. Seandainya saya menyaksikanmu, niscaya saya tidak akan mengunjungimu." (Sunan Turmudzi, no.1055).

Sedangkan jika daerah tersebut memang jenazah tersebut tidak mungkin bisa dimakamkan didaerah tersebut, maka pemakamannya dipindahkan kedaerah lain yang tidak kebanjiran.

Syekh Zakariya Al-Anshori menjelaskan bahwa jika tanah yang akan dijadikan tempat pemakaman mayit rusak atau jika dimakamkan ditempat tersebut mayit tersebut akan rusak, maka sebaiknya tidak dilakukan pemakaman ditempat tersebut, bahkan bisa jadi wajib dipindahkan ketempat lain.

Syekh Ad-Dardir, seorang ulama' madzhab Maliki juga menjelaskan tentang kebolehan memindahkan mayit sebelum dimakamkan dari satu tempat ketempat lainnya jika memang terdapat kemaslahatan seperti dikhawatirkan kuburannya tergerus air laut.

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Muh KHolili Aby Fitry, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).

Referensi:
1. Roudlotut Tholibin, juz 2 hal. 143

وأما نقل الميت من بلد إلى بلد قبل دفنه، فقال صاحب (الحاوي) قال الشافعي: لا أحبه إلا أن يكون بقرب مكة أو المدينة، أو بيت المقدس،  فنختار  أن ينقل إليها  لفضل الدفن فيها وقال صاحب (التهذيب) ، والشيخ  أبو نصر  البندنيجي  من العراقيين:  يكره نقله. وقال القاضي  حسين،  وأبو الفرج  الدارمي،  وصاحب  (التتمة) : يحرم  نقله.  قال  القاضي وصاحب (التتمة) : ولو أوصى به، لم تنفذ وصيته، وهذا أصح، فإن  في نقله تأخير دفنه وتعريضه لهتك حرمته من وجوه

2. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 21 hal. 10

وذهب جمهور الشافعية والحنابلة  إلى أنه لا يجوز نقل الميت  قبل الدفن من بلد  إلى آخر إلا لغرض صحيح. وبه قال الأوزاعي وابن المنذر. قال عبد الله بن أبي مليكة: توفي عبد الرحمن بن أبي بكر بالحبشة، فحمل  إلى مكة فدفن،  فلما قدمت  عائشة رضي الله تعالى عنها أتت قبره، ثم قالت: والله  لو حضرتك ما دفنت إلا حيث مت، ولو شهدتك  ما زرتك. ولأن ذلك أخف لمؤنته، وأسلم له من التغيير، وأما إن كان فيه غرض صحيح جاز

3. Mughnil Muhtaj, juz 2 hal. 53

ويكره دفنه في تابوت) بالإجماع؛ لأنه بدعة  (إلا في أرض ندية) بسكون الدال وتخفيف التحتية (أو رخوة) وهي بكسر الراء  أفصح من فتحها: ضد  الشديدة  فلا يكره للمصلحة

4. Asnal Matholib, juz 1 hal. 324

ولو كانت المقبرة مغصوبة أو سبلها ظالم  اشتراها  بمال خبيث أو نحوهما أو كان أهلها أهل بدعة أو فسق أو كانت تربتها فاسدة لملوحة أو نحوها  أو كان نقل الميت إليها يؤدي لانفجاره فالأفضل اجتنابها قلت بل يجب في بعض ذلك

5. Syarah Al-Kabir Ala Mukhtashor Kholil, juz 1 hal. 421

و) جاز (نقل) الميت قبل الدفن وكذا بعده من مكان إلى آخر بشرط أن لا ينفجر حال نقله وأن لا تنتهك حرمته وأن يكون لمصلحة  كأن يخاف عليه أن يأكله البحر أو ترجى بركة الموضع المنقول إليه أو ليدفن بين أهله أو لأجل قرب زيارة أهله

Download Kitab At-taqrirot As-Sadidah - Al-Kaff


Judul kitab : At-taqrirot As-Sadidah Fil Masa'il Al-Mufidah

Penulis : Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaff

Muhaqqiq : -

Penerbit : Darul Ilmi Wad Da'wah, Tarim - Yaman

Cetakan : Pertama

Tahun : 2003

Link download (PDF) : Klik disini 

Deskripsi: Kitab ini merupakan salah satu kitab fiqih madzhab syafi'i yang paling populer dikalangan pelajar ilmu fiqih saat ini, dan sering kali dijadikan rujukan oleh para santri dalam mempelajari fiqih madzhab syafi'i. Kelebihan utama kitab ini adalah metode penyusunannya yang sangat rapi, dimana permasalahan yang dibahas diberi nomer dan tabel untuk memudahkan pemahaman, seperti tabel perbedaan antara "al-lams" dan "al-mass" pada penjelasan masalah perkara-perkara yang membatalkan wudhu', perbedaan antara wudhu dan tayammum, tabel hukum seputar siklus haid dan nifas, dan pada pembahasan-pembahasan lainnya. Selain itu selain mencantumkan ukuran dan timbangan yang berlaku dalam fiqih, seperti farsah dan qullah, dicantumkan juga ukuran dan timbangan tersebut jika memakai ukuran dan timbangan yang berlaku pada masa ini.

Batasan Tertawa Yang Membatalkan Sholat

Soal: Banyak sekali tayangan tv yg lucu-lucu hingga hal yang lucu tersbut terbawa dalam sholat hingga tertawalah orang yang sedang sholat. Pertanyaannya batasan tertawa yg membatalkan sholat itu bagaimana? Syukron..

(Pertanyaan dari: Mamad Potlot)

Jawab:
Imam Ibnul Mundzir dalam kitab beliau, Al-Ijma', menyatakan bahwa semua ulama' sepakat mengenai batalnya sholat orang yang tertawa ketika sedang sholat. Imam Ad-Daruquthi meriwayatkan satu hadits dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الضَّحِكُ يُنْقِضُ الصَّلَاةَ وَلَا يُنْقِضُ الْوُضُوءَ

"Tertawa itu membatalkan sholat, dan tidak membatalkan wudhu." (Sunan Ad-Daruquthni, no. 658).

Sedangkan batasan tertawa yang membatalkan wudhu yaitu apabila sampai mengeluarkan 2 huruf, jadi apabila tidak sampai mengeluarkan 2 huruf maka tidak membatalkan sholat. Alasannya adalah karena apabila sudah sampai 2 huruf maka itu sama saja dengan berbicara, padahal berbicara saat sholat itu dapat membatalkan sholat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda;

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an." (Shahih Muslim, no.537).

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ihal Ba QuinKing dan Siroj Munir)

Referensi:
1. Al-Ijma', hal. 34

وأجمعوا على أن الضحك في الصلاة ينقض الصلاة

2. Al-Mughni, juz 2 hal. 39-40

فصل: والكلام المبطل ما انتظم حرفين. هذا قول أصحابنا وأصحاب الشافعي لأن بالحرفين تكون كلمة كقوله: أب وأخ ودم. وكذلك الأفعال والحروف، ولا تنتظم كلمة من أقل من حرفين. ولو قال: لا. فسدت صلاته، لأنها حرفان لام وألف.
وإن ضحك فبان حرفان. فسدت صلاته وكذلك وإن قهقه ولم يكن حرفان. وبهذا قال جابر بن عبد الله، وعطاء، ومجاهد، والحسن، وقتادة، والنخعي، والأوزاعي، والشافعي، وأصحاب الرأي، ولا نعلم فيه مخالفا. قال ابن المنذر: أجمعوا على أن
الضحك يفسد الصلاة، وأكثر أهل العلم على أن التبسم لا يفسدها، وقد روى جابر بن عبد الله عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال «القهقهة تنقض الصلاة ولا تنقض الوضوء» رواه الدارقطني في سننه

3. Sunan Ad-Daruquthni, juz 1 hal. 318

حدثنا عبد الباقي بن قانع , نا محمد بن بشر بن مروان الصيرفي , نا المنذر بن عمار , نا أبو شيبة , عن يزيد أبي خالد , عن أبي سفيان , عن جابر , عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الضحك ينقض الصلاة ولا ينقض الوضوء

4. Al-Majmu', juz 4 hal. 79

وأما الضحك والبكاء والأنين والتأوه والنفخ ونحوها فإن بان منه حرفان بطلت صلاته وإلا فلا

5. Al-Iqna', juz 1 hal. 147

والذي يبطل الصلاة) المنعقدة أمور المذكور منها هنا (أحد عشر شيئا) الأول (الكلام) أي النطق بكلام البشر بلغة العرب وبغيرها بحرفين فأكثر أفهما كقم ولو لمصلحة الصلاة كقوله لا تقم أو اقعد أو لا كعن ومن لقوله صلى الله عليه وسلم إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس والحرفان من جنس الكلام

Batasan menggauli istri yang sedang haid


Soal: Assalamualaikum, pertanyaan titipan: Ada seorang istri yg sedang haid/mens. Dia "mengajak" suaminya tuk meredam hasratnya yg sedang bergejolak dimana saat itu si istri sedang "ingin" berat. Bolehkah si suami menggesek2an anunya dibagian luar farji istrinya tanpa dimasukkan? Dan batasan-batasan mana saja si suami boleh istimta' pada istrinya yang sedang haid? Maaf kl ada bahasa yang kurang pas, atas jawaban dan ibarotnya terimakasih.
(Pertanyaan dari: Ibnu Lail)
Jawab: Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
     Seorang suami diperbolehkan istimta' (bersenang-senang) dengan seorang istri yang sdang haid kecuali berhubungan intim, dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
"Kerjakanlah segala sesuatu kecuali nikah." (Shahih Muslim, no.302)
     Sedangkan istimta' dengan melakukan persentuhan kulit dengan seorang istri yang sedang haid pada bagian diantara pusar dan lutut hukumnya diperselisihkan diantara ulama';
1.    Menurut pendapat yang ashoh (paling shahih) dan diikuti oleh mayoritas ashhab madzhab syafi'i  hukumnya haram.
     Diantara dalilnya adalah hadits;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ  النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ  إِرْبَهُ
    "Dari 'Aisyah ia berkata, "Jika salah seorang dari kami sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan untuk bermesraan, beliau memerintahkan untuk mengenakan kain, lalu beliau pun mencumbuinya." 'Aisyah berkata, "Padahal, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menahan." (Shahih Bukhari, no.291).
    Dan hadits;
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ فَقَالَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ
    "Dari Mu'adz bin Jabal saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang apa yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang haidl. Maka beliau menjawab: "Boleh apa yang ada di atas kain sarung." (Sunan Abu Dawud, no.183).
    Selain itu istimta' pada bagian diantara pusar dan lutut dapat memicu terjadinya hubungan intim, karena itulah dilarang melakukan istimta' pada bagian tersebut. Hal ini didasarkan pada hadits nabi;
مَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
“Siapa yang berada di sekitar batasan yang diharamkan maka ditakutkan dia akan terperosok ke dalamnya.” (Shahih Bukhari, no.1910 dan Shahih Muslim, no.2996)
2.    Menurut sebagain ulama' hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak sampai melakukan hubungan intim. Pendapat ini yang dipilih oleh imam nawawi dan beliau menyatakan bahwa dalilnya lebih kuat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan imam muslim diatas, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
   "Kerjakanlah segala sesuatu kecuali nikah." (Shahih Muslim, no.302)
3.    Sebagian ulama' lainnya mengambil jalan tengah, mereka berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan apabila memang ia yakin bahwa dirinya mampu mengontrol nafsunya sehingga tidak sampai melakukan hubungan intim, sebaliknya jika ia tidak mampu maka hal tersebut dilarang. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang baik.
     Kesimpulannya, batasan menggauli wanita yang sedang haid adalah selama tidak melakukan hubungan intim, sedangkan melakukan istimta' dengan cara seperti ditanyakan diatas hukumnya diperselisihkan diantara ulama', menurut mayoritas ulama' hukumnya haram, sebagian lainnya menyatakan boleh dan ada juga yang memperbolehkannya hanya bagi orang yang mampu mengontrol syahwatnya. Wallahu a'lam.
     (Dijawab oleh: Mahrusalfaqir Ilaafwirabbihi, Muhammad Fawwaz Kurniawan dan Siroj Munir)
Referensi:
1. Al Majmu’ Syarah Al-mUhadzdzab, juz 2  hal.  362-364
قال المصنف رحمه الله تعالى: [ويحرم الاستمتاع فيما بين السرة والركبة  وقال أبو اسحق لا يحرم غير الوطئ
في الفرج لقوله صلى الله عليه وسلم  (اصنعوا كل شئ غير النكاح)  ولانه وطئ  حرم للاذى  فاختص به كالوطئ في الدبر والمذهب الأول لما  روى عمر رضي الله عنه قال سألت  رسول الله صلى الله عليه وسلم
 ما يحل للرجل من امرأته وهي حائض فقال (ما فوق الازار) ]
[الشرح] أما الحديث الأول فبعض حديث:  روى أنس رضي الله عنه أن اليهود كانت  إذا حاضت منهم المرأة أخرجوها من البيت ولم يؤاكلوها ولم يجامعوهن  في البيت فسأل أصحاب  رسول الله صلى الله عليه وسلم النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل  الله عز وجل  ويسألونك عن المحيض) الآية: فقال  رسول الله صلى
الله عليه وسلم (اصنعوا كل شئ إلا النكاح) رواه مسلم وأما حديث  عمر رضي الله عنه  فرواه ابن ماجه والبيهقي بمعناه وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها  قالت (كانت  إحدانا  إذا كانت حائضا  فأراد رسول الله صلى الله عليه وسلم  إن يباشرها أمرها  أن تتزر ثم يباشرها  قالت وأيكم يملك إربه: كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يملك إربه) وعن ميمونة  رضي الله عنها  نحوه  رواه البخاري ومسلم  وفي رواية (كان يباشر نساءه فوق الإزار) يعني في الحيض والمراد  بالمباشرة  هنا  التقاء البشرتين  على أي وجه كان (أما) حكم المسألة ففي مباشرة الحائض بين السرة والركبة ثلاثة أوجه أصحها عند جمهور الأصحاب
 أنها حرام وهو المنصوص للشافعي رحمه الله في الأم  والبويطي وأحكام القرآن  قال صاحب الحاوي  وهو قول أبي العباس وأبي علي بن أبي هريرة وقطع به جماعة من أصحاب المختصرات واحتجوا له  بقوله تعالى: (فاعتزلوا النساء في المحيض) وبالحديث المذكور ولان ذلك حريم للفرج: ومن يرعى حول الحمى يوشك أن يخالط الحمى وأجاب القائلون بهذا عن حديث أنس المذكور بأنه محمول على القبلة ولمس الوجه واليد ونحو ذلك مما هو معتاد لغالب الناس فإن غالبهم إذا لم يستمتعوا بالجماع استمتعوا بما ذكرناه لا بما تحت الاوزار والوجه الثاني أنه ليس بحرام وهو قول أبي اسحاق المروزى وحكاه صاحب الحاوي عن أبي علي بن  خيران ورأيته أنا مقطوعا به في كتاب اللطيف لأبي الحسن بن خيران من أصحابنا وهو غير أبي علي بن خيران واختاره صاحب الحاوي في كتابه الإقناع  والروياني في الحلية  وهو الأقوى من حيث  الدليل  لحديث أنس رضي الله عنه فإنه  صريح  في الإباحة  وأما مباشرة  النبي  صلى الله عليه وسلم  فوق الإزار  فمحمولة على الاستحباب جمعا بين قوله صلى الله عليه وسلم وفعله وتأول هؤلاء الازار في حديث عمر رضى الله عنه على أن المراد به الفرج بعينه ونقلوه عن اللغة  وأنشدوا فيه شعرا  وليست مباشرة  النبي صلى الله عليه وسلم فوق الإزار تفسيرا للإزار في حديث عمر رضي الله عنه بل هي محمولة على الاستحباب كما سبق والوجه الثالث إن وثق المباشر تحت الإزار بضبط نفسه عن الفرج لضعف شهوة أو شدة ورع جاز وإلا فلا حكاه صاحب الحاوي ومتابعوه عن أبي الفياض البصري وهو حسن

2. Asnal Matholib, juz 1  hal. 100-101
(وكذا) يحرم (وطء) في فرجها ولو بحائل (وما) أي واستمتاع (بين السرة والركبة) أي بما بينهما لآية {فاعتزلوا النساء في المحيض} [البقرة:٢٢٢] ولخبر أبي داود بإسناد جيد «أنه - صلى الله عليه وسلم - سئل عما يحل للرجل من امرأته وهي حائض فقال ما فوق الإزار» وخص بمفهومه عموم خبر مسلم «اصنعوا كل شيء إلا النكاح» ولأن الاستمتاع بما تحت الإزار يدعو إلى الجماع فحرم لأن «من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه» واختار النووي تحريم الوطء فقط لخبر مسلم السابق  بجعله مخصصا لمفهوم خبر أبي داود –إلى أن قال- (ووطؤها في الفرج) عالما عامدا مختارا (كبيرة) كما في المجموع هنا والروضة في الشهادات عن الشافعي (يكفر مستحله) كما في المجموع عن الأصحاب وغيرهم (لا جاهلا) ولا ناسيا ولا مكرها فلا يحرم لخبر «إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه» وهو حسن رواه البيهقي وغيره.

Download Kitab I'la'us Sunan - At-Tahawani


Judul kitab : I'la'us Sunan

Penulis : Syekh Dhofar Ahmad Al-Utsmani At-Tahawani

Muhaqqiq : -

Penerbit : Darul Fikr, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 2001

Link download (PDF) : Klik disini (19 Juz)

Deskripsi: Kitab "I'la'us Sunan" merupakan kitab hadits ahkam (kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum) terbesar dan terlengkap dalam madzhab hanafi yang ditulis oleh ulama' pada kurun akhir. Kitab ini ditulis untuk menanggapi kelompok islam yang menghujat madzhab hanafi dan menggembar gemborkan bahwa pendapat-pendapat madzhab hanafi hanya mengandalkan rasio (ro'yu) dan tak memiliki dalil hadits yang shahih.

Pihak Yang Berhak Menggantikan Nadzir Yang Telah Wafat


Soal: Assalamu alaikum, mau bertanya masalah nadzir waqof, apakah nanti jika nadhir sudah meninggal apakah jabatan nadhir bisa berpindah pada ahli waris? Mohon jawabannya sekaligus sertakan ibarotnya syukron
(Pertanyaan dari: Rizka Hikami)

Jawab: Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
     Apabila nadhir wakaf telah meninggal dunia maka ketentuan mengenai pihak yang menggantikan posisinya sebagai nadhir adalah sebagai berikut:

1. Apabila waqif (orang yang mewakafkan) memberikan hak pada nadzir yang ditunjuk agar ahli warisnya bisa menggantikan posisinya jika ia telah meninggal, maka yang menjadi penggantinya adalah ahli waris dari nadir yang ditunjuk.

2. Apabila wakif tidak memberikan hak tersebut pada nadhir, maka keputusan mengenai penggantinya diserahkan pada pejabat yang diberi hak oleh negara untuk mengurusi wakaf, sedangkan di Indonesia yang diberi kewenangan mengangkat nadhir adalah petugas BWI (Badan Wakaf Indonesia).

3. Apabila didaerah tersebut tidak ada petugas yang mengurus wakaf, maka penunjukan pengganti nadhir wakaf diserahkan kepada pemuka agama setempat.

     Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jabatan sebagai nadhir tidak dapat serta merta beralih kepada ahli warisnya kecuali jika nadhir tersebut diberi hak oleh waqif untuk mengalihkan kepada ahli warisnya setelah wafat. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kua Pakualaman Yogyakarta, Masduki, Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. Asnal Matholib (cet,. Darul Fikr), juz 5 hal.549

فصل: النظر في الوقف لمن شرطه) (الواقف) له من نفسه أو غيره سواء أفوضه في الحياة أم أوصى به؛ لأنه المتقرب بصدقته فيتبع شرطه فيه كما يتبع في مصارفه (وإلا) أي، وإن لم يشرطه لأحد (فللحاكم) لا للواقف ولا للموقوف عليه؛ لأنه الناظر العام ولأن الملك في الوقف لله تعالى
.....................
[حاشية الرملي الكبير]
قوله: وإلا فللحاكم) قال في العباب يظهر أنه قاضي بلد الموقوف عليه لا بلد الواقف كمال اليتيم وقوله: قال في العباب إلخ أشار إلى تصحيحه

2. Fatawa Ibnu Hajar Al-Haitami, juz 3 hal. 215

 وسئل) عما إذا مات الناظر ولم يكن في تلك الناحية حاكم فلمن يكون النظر؟
فأجاب) بقوله يكون للعلماء والصلحاء بذلك المكان

Hukum Ulama' Yang Berpolitik dan Menjadi Perjabat Pemerintah


KEPUTUSAN KOFERENSI BESAR PENGURUS BESAR 
SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1
Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H./18 - 22 April 1960 M.

294. Ulama di Pemerintahan

Soal: Bagaimana ulama-ulama kita yang menjabat dalam pemerintahan? Apakah tidak termasuk dalam sabda Nabi Muhammad Saw:


الْعُلَمَاءُ أَمَنَاءُ الرُّسُلِ مَا لَمْ يُخَالِطُوْا السَّلاَطِيْنَ. فَاِنْ خَالَطُوْهُمْ وَفَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ وَخَنُوْهُمْ فَاحْذَرْهُمْ وَاعْتَزِلُوْهُمْ

Artinya: "Para ulama adalah kepercayaan para Rasul atas para hamba Allah selama mereka tidak bergaul dengan penguasa. Akan tetapi kalau mereka bergaul dan berbuat demikian, maka sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul dan para hamba Allah, maka takut dan hindarilah mereka."
Dalam kitab AlMajmu' bahwasa jawa karya K. Sholeh Darat Semarang ditegaskan bahwa: "Ulama pejabat pemerintahan adalah orang-orang yang terhina dan tertipu", ataukah tidak termasuk dalam hadits tersebut? (NU Cab. Kudus)

Jawaban: Para ulama pejabat pemerintah itu tidak termasuk dalam hadits dan pendapat K. Sholeh seperti tersebut diatas, jika menjabatnya karena ada hajat/darurat/kemaslahatan agama, dan dengan niat yang baik.

Keterangan, dari kitab:
1. Is'ad al-Rafiq 'ala Sullam al-Taufiq, juz 2 hal. 31

وأن لا يكون مترددا على السلاطين وغيرهم من أرباب الرياسة في الدنيا إلا لحاجة وضرورة أو مصلحة دينية راجحة على المفسدة إذا كانت بنية حسنة. وعلى هذا يحمل ما جاء لبعضهم من المشي والتردد إليهم كالزهري والشافعي وغيرهما لا على أنهم قصدوا بذلك فضول الأعراض الدنيوية, قاله السمهودي

Dan hendaknya tidak bolak-balik pergi ke sultan dan para penguasa dunia lainnya kecuali karena hajah (ada kebutuhan), dharurah (terpaksa), atau terdapat kemaslahatan agama yang lebih besar dari pada mafsadahnya, dan dengan disertai niat baik.

Pada konteks seperti inilah pergaulan para ulama seperti imam Zuhri, Imamam Syafi'i dan ulama-ulama lainnya dengan para penguasa dipahami, bukan dalam konteks mereka mencari kepentingan-kepentingan duniawi. Demikian penjelasan Imam Samhudi.

Status Hukum Shalat Dengan Membawa Selang Kencing


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, sahkah shalatnya orang yang saluran kencingnya memakai selang? sedangkan kalau dicopot disamping sakit juga butuh biaya lagi untuk pemasangannya.

(Dari Kang Bakre Bakre).

Jawaban:
Wa alaikum salam.
Memandang bahwa pemasangan selang tersebut karena ada hajat dan bila dilepas dapat menimbulkan kesulitan yang secara umum tidak sanggup ditanggung maka tetap wajib shalat dan shalatnya tersebut dihukumi sah meskipun membawa najis, hanya saja sebelum shalat harus berusaha meminimalisir najis yang terdapat pada selang semampunya.

Selain itu shalatnya juga tidak wajib diqadha' (diulangi lagi) karena adanya dharar (membahayakan atau merugikan kesehatan) dalam melepas selang tersebut menjadikannya termasuk kategori udzur nadir da'im (udzur yang jarang terjadi namun berjangka lama). Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho).

Referensi:

1. Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, juz 3 hal. 101

قال المصنف رحمه الله تعالى إذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها ولم يجد ما يغسلها به صلى وأعاد , كما قلنا فيمن لم يجد ماء ولا ترابا وإن كان على قرحه دم يخاف من غسله صلى وأعاد , وقال في القديم لا يعيد لأنه نجاسة يعذر في تركها فسقط معها الفرض كأثر الاستنجاء , والأول أصح ; لأنه صلى بنجس نادر غير متصل فلم يسقط معه الفرض كما لو صلى بنجاسة نسيها

 الشرح ) القرح بفتح القاف وضمها لغتان , وقوله : ( صلى بنجس نادر ) احتراز من أثر الاستنجاء , وقوله : ( غير متصل ) احتراز من دم المستحاضة. (أما حكم المسألة) فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال { : وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم } رواه البخاري ومسلم . وتلزمه الإعادة لما ذكره المصنف وقد سبق في باب التيمم قول غريب أنه لا تجب الإعادة في كل صلاة أمرناه أن يصليها على نوع خلل أما إذا كان على قرحه دم يخاف من غسله وهو كثير بحيث لا يعفى عنه ففي وجوب الإعادة القولان اللذان ذكرهما المصنف الجديد الأصح : وجوبها والقديم : لا يجب وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والمزني وداود والمعتبر في الخوف ما سبق في باب التيمم , وقوله : ( كما لو صلى بنجاسة نسيها ) هذا على طريقته وطريقة العراقيين أن من صلى بنجاسة نسيها تلزمه الإعادة قولا واحدا , وإنما القولان عندهم فيمن صلى بنجاسة جهلها فلم يعلمها قط , وعند الخراسانيين في الناسي خلاف مرتب على الجاهل , وسنوضحه قريبا حيث ذكره المصنف إن شاء تعالى   

2. Hawasyi asy Syarwaniy, juz 2 hal. 134

ولو وصل ) معصوم إذ غيره لا يأتي فيه التفصيل الآتي على الأوجه لأنه لما أهدر لم يبال بضرره في جنب حق الله تعالى وإن خشي منه فوات نفسه ( عظمه ) لاختلاله وخشية مبيح تيمم إن لم يصله ( بنجس ) من العظم ولو مغلظا ومثل ذلك بالأولى دهنه بمغلظ أو ربطه به ( لفقد الطاهر ) الصالح للوصل كأن قال خبير ثقة إن النجس أو المغلظ أسرع في الجبر  أو مع وجوده , وهو من آدمي محترم ( فمعذور ) في ذلك فتصح صلاته للضرورة ولا يلزمه نزعه وإن وجد طاهرا صالحا كما أطلقاه وينبغي حمله على ما إذا كان فيه مشقة لا تحتمل عادة وإن لم تبح التيمم ولا يقاس بما يأتي لعذره هنا لا ثم ( وإلا ) بأن وصله بنجس مع وجود طاهر صالح ومثله ما لو وصله بعظم آدمي محترم مع وجود نجس أو طاهر صالح ( وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا ) , وهو ما يبيح التيمم وإن تألم واستتر باللحم فإن امتنع أجبره عليه الإمام أو نائبه وجوبا كرد المغصوب ولا تصح صلاته قبل نزع النجس لتعديه بحمله مع سهولة إزالته . فإن خاف ذلك  ولو نحو شين وبطء برء لم يلزمه نزعه لعذره بل يحرم كما في الأنوار وتصح صلاته معه بلا إعادة ( قيل ) يلزمه نزعه ( وإن خاف ) مبيح تيمم لتعديه   


3. Al Asybah wan Nadzair lis Suyuthiy, hal. 400

قاعدة : فيما يجب قضاؤه بعد فعله لخلل , وما لا يجب . قال في شرح المهذب : قال الأصحاب : الأعذار قسمان : عام ونادر  فالعام : لا قضاء معه للمشقة , ومنه : صلاة المريض قاعدا , أو موميا , أو متيمما ; والصلاة بالإيماء في شدة الخوف , وبالتيمم في موضع , يغلب فيه فقد الماء . والنادر : قسمان : قسم يدوم غالبا , وقسم لا يدوم . فالأول : كالمستحاضة , وسلس البول , والمذي , ومن به جرح سائل , أو رعاف دائم , أو استرخت مقعدته فدام خروج الحدث منه , ومن أشبههم , فكلهم يصلون مع الحدث , والنجس , ولا يعيدون للمشقة والضرورة . والثاني نوعان : نوع يأتي معه ببدل للخلل , ونوع لا يأتي . فالأول : كمن تيمم في الحضر لعدم الماء , أو للبرد مطلقا , أو لنسيان الماء في رحله , أو مع الجبيرة الموضوعة على غير طهر , والأصح في الكل : وجوب الإعادة . ومنه من تيمم مع الجبيرة الموضوعة على طهر , ولا إعادة عليه , في الأصح قال في شرح المهذب , ومن الأصحاب من جعل مسألة الجبيرة : من العذر العام وهو حسن . والثاني : كمن لم يجد ماء ولا ترابا , والزمن , والمريض الذي لم يجد من يوضئه , أو من يوجهه إلى القبلة , والأعمى الذي لم يجد من يدله عليها , ومن عليه نجاسة لا يعفى عنها , ولا يقدر على إزالتها والمربوط على خشبة ومن شد وثاقه ; والغريق , ومن حول عن القبلة , أو أكره على الصلاة مستدبرا أو قاعدا .  فكل هؤلاء تجب عليهم الإعادة ; لندور هذه الأعذار . وأما العاري : فالمذهب أنه يتم الركوع والسجود , ولا إعادة عليه وقيل : يومئ , ويعيد , ومن خاف فوت الوقوف لو صلى العشاء . قيل : يصلي صلاة شدة الخوف ويعيد , واختاره البلقيني . صرح به العجلي , كما نقله ابن الرفعة في الكفاية وقيل : لا يعيد . وقيل : يلزمه الإتمام , ويفوت الوقوف , وصححه الرافعي . وقيل : يبادر إلى الوقوف , ويفوت الصلاة لأنها يجوز تأخيرها عن الوقت , للجمع بمشقة السفر  ومشقة فوات الحج أصعب , وهذا ما صححه النووي

Sumbangan dan Hadiah Yang Diberikan Waktu Khitanan, Milik Orang Tua Atau Anak yang Dikhitan?


Pertamyaan:
Asalamualaikum.. mau tanya apa, bila seorang anak di khitan biasanya ia di beri uang oleh orang yang hadir atau kondangan yang jadi pertanyaan uang tersebut milik ayahnya atau anaknya.

(Pertanyaan dari Opick Syahreza)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
Status hukum sumbangan atau hadiah yang yang diberikan pada saat acara khitanan diperinci sebagai berikut:

1. Apabila pemberinya secara jelas menentukan untuk siapa sumbangan/hadiah tersebut, maka sumbangan/hadiah menjadi milik orang yang dituju, baik yang menerima orang tua atau anaknya.

2. Apabila pemberinya tidak menentukan penerimanya, maka hukumnya diprselisihkan diantara ulama';

- Menurut Imam Nawawi sumbangan/hadiah tersebut menjadi milik orang tua anak yang dikhitan, karena secara umum sumbangan/hadiah yang diberikan pada acara seperti itu ditujukan untuk orang tuanya bukan anaknya. Sebagaimana yang telah berlaku dimasyarakat ketika seseorang menyumbang untuk suatu hajatan yang dituju adalah orang tuanya dengan harapan nantinya kalau dia nanti juga mempunyai hajat, dia akan disumbang balik oleh orang yang pernah dia sumbang. Sehingga ada ulama yang mengatakan bahwasanya uang sumbangan itu hukumnya sama dengan hutang yang harus dikembalikan lagi.

- Menurut Qodhi Husain, barang sumbangan/hadiah tersebut milik anaknya.

- Menurut pendapat imam Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar, hukumnya diperinci; apabila sumbangan/hadiah tersebut berupa barang yang biasanya diperuntukkan kepada anak kecil, seperti pakaian yang berukuran kecil, maka hadiah tersebut adalah milik anaknya, sedangkan apabila berupa barang yang biasanya diperuntukkan bagi orang dewasa, maka barang tersebut milik orang tuanya.

Wallahu a’lam

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi:
1. I'anatut Tholibin, juz 4 hal.154

(( ﻓﺮﻉ )) ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﻟﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﻣﻠﻚ ﻟﻸﺏ ﻭﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻟﻺﺑﻦ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻷﺏ ﻗﺒﻮﻟﻬﺎ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺍﺫﺍ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﻓﻠم ﻳﻘﺼﺪ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﺍﻻ ﻓﻬﻲ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ  ((ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻻ )) ﻭﺍﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﺑﺄﻥ ﻭﺟﺪ ﻣﻨﻪ ﻗﺼﺪ ((ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻬﻲ )) ﺃﻱ ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ ﺍﻭ ﻣﻦ ﺍﻹﺑﻦ ﺍﻭ ﻣﻨﻬﻤﺎ

2. Tuhfatul Muhtaj, juz 6 hal.317

ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﻟﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﻣﻠﻚ ﻟﻸﺏ ﻭﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻟﻼﺑﻦ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻷﺏ ﻗﺒﻮﻟﻬﺎ ﺃﻱ : ﺣﻴﺚ ﻻ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ ﻭﻣﻨﻪ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﻟﻸﺏ ﻭﻫﻮ ﻧﺤﻮ ﻗﺎﺽ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺍﻟﻘﺒﻮﻝ ﻛﻤﺎ ﺑﺤﺜﻪ ﺷﺎﺭﺡ ﻭﻫﻮ ﻣﺘﺠﻪ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﺺﺩ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻲ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ ﻭﻳﺠﺮﻱ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻌﻄﺎﻩ ﺧﺎﺩﻡ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﻓﻬﻮ ﻟﻪ ﻓﻘﻂ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﻃﻼﻕ ، ﺃﻭ ﻗﺼﺪﻩ ﻭﻟﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﻗﺼﺪﻫﻢ ﻭﻟﻪ ﻭﻟﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﻗﺼﺪﻫﻤﺎ ﺃﻱ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﺃﺧﺬﺍ ﻣﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺻﻲﺓ ﻟﺰﻳﺪ ﺍﻟﻜﺎﺗﺐ ، ﻭﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﻣﺜﻼ ﻭﻗﻀﻴﺔ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺍﻋﺘﻴﺪ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﻮﺍﺣﻲ ﻣﻦ ﻭﺿﻊ ﻃﺎﺳﺔ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻒﺭﺡ ﻟﻴﻀﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻬﺎ ﺩﺭﺍﻫﻢ ، ﺛﻢ ﺗﻘﺴﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺎﻟﻖ ﺃﻭ ﺍﻟﺨﺎﺗﻦ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻳﺠﺮﻱ ﻓﻴﻪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﻓﺈﻥ ﻗﺼﺪ ﺫﺍﻙ ﻭﺡﺩﻩ ، ﺃﻭ ﻣﻊ ﻧﻈﺮﺍﺋﻪ ﺍﻟﻤﻌﺎﻭﻧﻴﻦ ﻟﻪ ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻟﻘﺼﺪ ﻭﺇﻥ ﺃﻃﻠﻖ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻜﺎ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻳﻌﻄﻴﻪ ﻟﻤﻦ ﺷﺎﺀ ﻭﺑﻬﺬﺍ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻧﻈﺮ ﻫﻨﺎ ﻟﻠﻌﺮﻑ ، ﺃﻣﺎ ﻣﻊ ﻗﺼﺪ ﺧﻼﻓﻪ ﻓﻮﺍﺿﺢ ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻊ ﺍﻹﻃﻼﻕ ﻓﻸﻥ ﺣﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ ﻭﺍﻝﺧﺎﺩﻡ ﻭﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻧﻈﺮﺍ ﻟﻠﻐﺎﻟﺐ ﺃﻥ ﻛﻼ ﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻫﻮ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻴﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻒ ﻝﻩ ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺸﺮﻉ ﻓﻴﻪ ﻋﺮﻑ ﻓﺈﻧﻪ ﺗﺤﻜﻢ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻟﻮ ﻧﺬﺭ ﻟﻮﻟﻲ ﻣﻴﺖ ﺑﻤﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻗﺼﺪ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻠﻜﻪ ﻟﻐﺎ ﻭﺇﻥ ﺃﻃﻠﻖ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻗﺒﺮﻩ ﻣﺎ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﻟﻠﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻟﺤﻪ ﺻﺮﻑ ﻟﻬﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻉﻧﺪﻩ ﻗﻮﻡ ﺍﻋﺘﻴﺪ ﻗﺼﺪﻫﻢ ﺑﺎﻟﻨﺬﺭ ﻟﻠﻮﻟﻲ ﺻﺮﻑ ﻟﻬﻢ

3. Kifayatul akhyar, juz 1 hal 324

 وقال الحصني في كفاية الآخيار فرع اذا ختن شخص ولده وعمل وليمة فحملت اليه هدايا ولم يسم آصحابه الآب ولا الإبن فهل هي للآب او للإبن وجهان صحح النووي آنها للآب وآجاب القاضي حسين آنها للإبن ويقبل الآب قلت ينبغي آمر ثالث وهو انه ان كان المهدي مما يصلح للصبي دون ابيه كشيئ من ملبوس الصغار فهو للصبي وان كان لايصلح للصغير فهو للآب وان كان إحتملهما فهو موضع التردد لعدم القرينة المرجحة والله اعلم انتهي

cabang bila seseorang mengkhitan anaknya dan mengadakan acara walimah khitan dan memuat dalam acara walimah khitan tersebut adanya hadiah dari orang yg mengundang dan orang yg mempunyai hadiah (orang yg diundang) itu tidak menyebut hadiahnya itu untuk bapak ataupun anaknya maka apakah hadiah tersebut itu milik bapak ataupun anaknya dalam ini ada dua pendapat. imam nawawi menshahihkan hadiah tersebut milik bapaknya dan al qodhi husain menjawab bahwa hadiah tersebut itu milik anaknya dan status bapaknya hanya menerima hadiah saja (dari pihak yg diundang) saya berkata ( imam taqiyyuddin abi bakar muhammad al khisni seyogyanya ada perkara (pendapat ) tiga adapun perkara tiga itu bila hadiah itu pantas (patut) bagi anaknya bukan bapaknya seperti pakaian anak-anak maka hadiah tersebut milik anaknya ,dan bila hadiah itu tidak pantas bagi anaknya ( contoh pakaian ukuran dewasa dll) maka hadiah tersebut milik bapaknya dan bila hadiah tersebut masih ikhtimal maka hadiah yg masih ikhtimal itu tempat kebimbangan karna tidak ada qorinah (tanda-tanda) yg diunggulkan antaranya

Rencana Penerbitan Buku "FIQIH NIKAH" Kumpulan Hasil Diskusi Seputar Hukum Pernikahan

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh..

Para pengunjung website fikih kontemporer yang berbahagia...

Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan, artikel-artikel seputar permasalahan pernikahan, hasil diskusi grup fiqh kontemporer yang diposting di website fikih kontomperer merupakan postingan-postingan yang paling banyak dibaca.

Misalnya saja artikel yang berjudul "Hukum menjilat kelentit/klitoris istri" adalah artikel yang paling banyak dibaca dari ratusan artikel hasil diskusi lainnya, artikel ini hingga kini telah dibaca 23. 738 kali. Begitu juga halnya dengan artikel yang paling banyak dibagikan, diantara sekian banyak artikel, artikel berjudul "Hukum lelaki biasa menikahi syarifah (wanita keturunan habaib)" adalah artikel yang paling sering dibagikan, hingga kini artikel ini telah diberikan +1 oleh 41.312 pengguna google plus! Subhanallah...

Selain itu permasalahan-permasalahan seputar pernikahan juga sangat sering ditanyakan, bahkan beberapa masalah tertentu berulang kali ditanyakan di grup fiqh kontemporer, seperti masalah "Hukum meminum ASI seorang istri dan pengaruhnya dalam hubungan rodho' (persusuan)" yang telah selesai dibahas, didokumentasikan dan telah diposting ke website fikih kontemporer, namun masalah ini masih berulang kali ditanyakan. Artikel tersebut telah dibaca sebanyak 11. 741 kali semenjak dipostingkan.

Berdasarkan pengamatan tersebut kami mengambil kesimpulan bahwa hukum-hukum seputar permasalahan-permasalahan pernikahan memang banyak dibutuhkan dikalangan masyarakat umum.

Untuk itulah, kami para admin grup fiqh kontemporer berencana membukukan hasil-hasil diskusi seputar masalah pernikahan agar hasil-hasil keputusan diskusi grup fiqh kontemporer seputar masalah pernikahan tidak hanya dapat dibaca oleh orang yang memiliki akses internet namun bisa dibaca oleh semua orang. Sebagaimana dalam ilmu qo'idah fiqih terdapat satu qo'idah: العمل المتعدي أفضل من العمل القاصر (Amal perbuatan yang bisa dirasakan banyak orang lebih utama dari pada amal yang sifatnya hanya terbatas).

Kami merencanakan insya Allah bulan ini buku tersebut sudah bisa diterbitkan, dan bagi para pengunjung website fikih kontemporer yang berencana membelinya, bisa mendaftar mulai sekarang dengan cara SMS ke nomer: 0857 9080 5240.

Akhirul kalam, kami mohon do'a restu dari para pengunjung sekalian semoga kami diberi kemudahan dalam proses penerbitan buku ini..

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

NB: Mengenai harga dan ketentuan - ketentuan lainnya akan kami infokan secepatnya.. Insya Allah..

Hukum Menjawab Salam Saat Berpamitan/Perpisahan

Pertanyaan:
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Mohon jawaban untuk semuanya, pertanyaan titipan; Si A berkunjung kerumahnya si B, di awal perjumpaan si A mungucap salam dan di jawab oleh si B, lantas (singkat cerita) setelah si A mau pulang dia mengucap salam lagi dan tidak di jawab oleh si B.

Yang jadi pertanyaan adalah ada satu oknum yang mempunyai persepsi bahwa salam dalam kasus terakhir diatas (ketika si A mau pulang) salam nya itu tidak wajib di jawab karena asumsi oknum tersebut, yang wajib di jawab adalah permulaan salam (إبتداء السلام).
Mohon tanggapan nya para teman-teman

(Pertanyaan dari : Izal Ya Fahri)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Menurut pendapat mayoritas ulama' orang yang akan berpamitan pulang atau berpisah disunahkan menjawab salam, dan orang yang mendengarnya wajib menjawab salam tersebut. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata;

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتْ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنْ الْآخِرَةِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian sampai pada suatu majlis hendaklah ia mengucapkan salam, dan jika akan bangkit hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama itu lebih berhak dari yang terakhir." (Sunan Abu Dawud, no.4532 dan Sunan Turmudzi, no. 2630)

Sedangkan menurut  pendapat Qodli Husain dan imam al-Mutawalli salam yang diucapkan saat berpisah tidak wajib dijawab, alasannya karena salam merupakan suatu bentuk penghormatan, sedangkan perhormatan itu diberikan pada saat bertemu bukan pada saat berpisah.

Menanggapi pendapat ini, Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini menyalahi hadits yang telah disebutkan tadi. Pendapat tersebut juga ditentang oleh Imam Asy-Syasyi, bahkan beliau secara tegas menyatakan pendapat tersebut fasid (rusak), sebab mengucapkan disunahkan ketika bertemu dan juga ketika berpisah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits diatas.

Kersimpulannya, anggapan bahwa salam yang diucapkan ketika berpisah tidak wajib dijawab itu tidak benar, sebab salam yang diucapkan ketika berpisah itu tetap wajib dijawab menurut pendapat yang benar dan diikuti oleh mayoritas ulama' dan didasarkan pada  hadits yang shahih. Wallahu a’lam

(Dijawab oleh; Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Al Murtadho, Ubaid Bin Aziz Hasanan, dan Siroj Munir)

Referensi :

1. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdab, juz 4 hal. 599

 ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﺸﺮﺓ )) : ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻠﺲ ﻭﺃﺭﺍﺩ ﻓﺮﺍﻕ ﺍﻟﺠﺎﻟﺴﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ (( ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺠﻠﺲ ﻓﻠﻴﺴﻠﻢ ، ﻓﺈﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﻓﻠﻴﺴﻠﻢ ، ﻓﻠﻴﺴﺖ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺑﺄﺣﻖ ﻣﻦ ﺍﻷﺧﺮﻯ )) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺑﺄﺳﺎﻧﻴﺪ ﺣﺴﻨﺔ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ : ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ، ﻓﻬﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ . (( ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻝ )) ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺣﺴﻴﻦ ﻭﺍﻟﻤﺘﻮﻟﻲ : ﺟﺮﺕ ﻋﺎﺩﺓ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﻋﻨﺪ ﻣﻔﺎﺭﻗﺔ ﺍﻟﻘﻮﻡ ، ﻭﺫﻟﻚ ﺩﻋﺎﺀ ﻣﺴﺘﺤﺐ ، ﺟﻮﺍﺑﻪ : ﻭﻻ ﻳﺠﺐ ; ﻷﻥ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ ﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻧﺼﺮﺍﻑ (( ﻓﻈﺎﻫﺮﻩ )) : ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ، ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﺷﻲ : ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺎﻻﻩ ﻓﺎﺳﺪ ; ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻧﺼﺮﺍﻑ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﺳﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ

2. Al Adzkar lin Nawawiy, hal. 258

فقد روينا في سنن أبي داود والترمذي وغيرهما بالأسانيد الجيدة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إذَا انْتَهَى أحَدُكُمْ إلى المَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ، فإذَا أَرَادَ أنْ يَقُومَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الأُولى بأحَقّ مِنَ الآخِرَةِ " قال الترمذي: حديث حسن. قلت: ظاهر هذا الحديث أنه يجب على الجماعة ردّ السلام على هذا الذي سلَّم عليهم وفارقهم، وقد قال الإِمامان القاضي حسين وصاحبه أبو سعد المتولّي: جرتْ عادةُ بعض الناس بالسلام عند مفارقة القوم، وذلك دعاءٌ يُستحبّ جوابه ولا يجب، لأن التحية إنما تكون عند اللقاء لا عند الانصراف، وهذا كلامُهما، وقد أنكره الإِمام أبو بكر الشاشي الأخير من أصحابنا وقال: هذا فاسد، لأن السَّلامَ سنّةٌ عند الانصراف كما هو سنّة عند الجلوس، وفيه هذا الحديث، وهذا الذي قاله الشاشي هو الصواب

Hikmah Diwajibkannya Qodho' Puasa Wajib Bagi Orang Haid Tapi Tidak Diwajibkan Qodho' Sholat

Pertanyaan:
Kenapa seorang perempuan ketika haid sholat fardhunya tidak wajib diqodo', tapi kenapa kalau puasa wajib di qodo', pdahal dua-duanya sama-sama fardhu?

(Dari: Ahmadsyeckherkediri)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Mu'adzah radhiyallahu 'anha;

سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

"Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, 'Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat? ' Maka Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ' Aku menjawab, 'Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'." (Shahih Muslim, no.335)

Berdasarkan hadits ini ditetapkan hukum bahwa wanita yang sedang haid diwajibkan mengqodho' puasa fardhu, namun tidak diwajibkan mengqodho' sholat fardhu. Ketentuan hukum ini telah disepakati oleh semua ulama' (ijma') segamaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, Imam Ibnul Mundzir, Imam Zuhri dan ulama'-ulama' lainnya.

Sedangkan mengenai hikmahnya, imam Nawawi menjelaskan bahwa sholat fardhu merupakan kewajiban yang banyak dan berulang kali, sehingga apabila wajib diqodho' akan menyulitkan, berbeda dengan puasa fardhu yang hanya diwajibkan sekali setahun apalagi haid terkadang hanya berlangsung satu atau dua hari. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Moh ReUs Tnow, Imam Al-Bukhori dan Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. I'anatut Tholibin, juz 1 hal. 85

ويجب قضاؤه) أي الصوم، لخبر عائشة رضي الله عنها كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاةأي للمشقة في قضائها لانها تكثر، ولم يبن أمرها على التأخير ولو بعذر بخلاف الصوم

2. Nailul Author, juz 1 hal. 348

وعن معاذة قالت سألت عائشة فقلت : ما بال الحائض  تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة ؟  قالت : كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة. رواه الجماعة
..................
نقل ابن المنذر والنووي وغيرهما إجماع المسلمين على أنه  لا يجب على الحائض قضاء الصلاة ويجب عليها قضاء الصيام . وحكى ابن عبد البر عن طائفة من الخوارج أنهم كانوا يوجبون على الحائض قضاء الصلاة وعن سمرة بن جندب أنه كان يأمر به فأنكرت عليه أم سلمة . قال الحافظ : لكن استقر ا الإجماع على عدم الوجوب كما قاله الزهري وغيره ،
ومستند ا الإجماع هذا الحديث الصحيح

3. Syarah Shahih Muslim Lin  Nawawi, juz 4 hal. 26

قولها (فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة) هذا الحكم متفق عليه أجمع المسلمون على أن الحائض والنفساء لاتجب عليهما الصلاة ولا الصوم في الحال وأجمعوا على أنه لايجب عليهما قضاء الصلاة وأجمعوا على أنه يجب عليهما قضاء الصوم قال العلماء والفرق بينهما أن الصلاة كثيرة متكررة فيشق قضاؤها بخلاف الصوم فإنه يجب في السنة مرة واحدة وربما كان الحيض يوما أو يومين

Download Kitab Al-Kulliyat Al-Fiqhiyah - Al-Maqarri


Judul Kitab: Al-Kulliyat Al-Fiqhiyah

Penulis: Imam Abul Abbas Ahmad bin Idris Ash-Shonhaji Al-Qorofi

Muhaqqiq: Muhammad bin Al-Hadi Abul Ajfan

Penerbit: Ad-Dar Al-Arobiyah Lil-Kitab

Tahun terbit: 1997

Link Download: Klik disini

Download Kitab Al-Furuq - Al-Qarqfi


Judul Kitab: Al-Furuq / Anwarul Buruq Fi Anwa'il Furuq

Penulis: Imam Abul Abbas Ahmad bin Idris Ash-Shonhaji Al-Qorofi

Muhaqqiq: Kholil Al-Manshur

Penerbit: Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Tahun terbit: 1998

Link Download: Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4

Donasi Untuk Website Fikih Kontemporer

Untuk mendukung keberlangsungan website fikih kontemporer agar bisa terus mengupdate postingan seputar hasil-hasil diskusi di grup kami, tanya jawab melalui sms dan email, fatwa-fatwa dan kajian-kajian seputar hukum islam, kami sangat mengharap partisipasi para pembaca situs fikih kontemporer untuk memberikan bantuan dana yang akan kami gunakan untuk membiayai program dakwah kami.

Insya Allah bantuan anda akan bermanfaat dan menjadi amal jariyah, karena website ini telah memiliki pengunjuang 500-750 setiap hari, dan pageview (artikel yang dibaca) mencapai 2000 perhari. Selain itu postingan-postingan di web ini juga dipost di grup fiqh kontemporer yang saat ini telah memiliki anggota 29.000 lebih.

Berikut ini adalah nomor rekening yang dapat digunakan untuk menyalurkan donasi Anda.

BANK RAKYAT INDONESIA

No. Rekening: 618101011335531

Atas Nama: ZAINUL JINAN

Untuk informasi lebih lanjut anda dapat sms ke nomer 0857 9080 5240

Hukum Menyembelih Aqiqah Secara Berangsur


Pertanyaan:
Assalamualaikum, orang awam mau tanya, aqiqoh untuk anak laki-laki dua ekor kambing, lalu bolehkah aqiqoh dicicil? maksudnya menyembelih satu ekor dulu dan dilain waktu menyembelih seekor lagi.

(Dari: Kemuning Senja)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Sebelumnya perlu diketahui bahwasanya ketentuan hewan yang disembelih untuk mengaqiqahi anak laki-laki adalah satu ekor saja,  berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

"Bahwasannya Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam mengaqiqahi untuk Hasan dan Husain dengan masing-masing satu kambing." (Sunan Abu Dawud, no.2841)

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa jika seseorang telah menyembelih satu ekor kambing untuk mengaqiqahi anak lelaki karena kemampuannya hanya menyembelih satu ekor, maka ia sudah melaksanakan aqiqah sesuai ketentuan.

Namun jika dikemudian hari ia memiliki kemampuan untuk menyembelih lagi satu ekor untuk menggenapkan penyembelihan 2 ekor kambing bagi satu anak lelaki, itu malah lebih baik, sebab memang dianjurkan untuk menyembelih 2 ekor kambing untuk mengaqiqahi seorang lelaki, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu 'anha ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنِ الغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada para sahabat untuk mengaqiqahkan anak laki-lakinya dengan dua kambing yang besar dan untuk anak perempuan cukup satu kambing" (Sunan turmudzi, no.1513).

Syaikh Mula Ali Al-Qori ketika membahas tentang hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi hanya menyembelih satu ekor kambing untuk mengaqiqahi Hasan, beliau menjelaskan bahwa hadits ini bisa saja menjelaskan kebolehan dan dianggap cukupnya penyembelihan minimal (hanya satu ekor), atau menunjukkan bahwa penyembelihan 2 ekor kambing untuk seorang anak lelaki tidak harus dilakukan pada hari ketujuh sekaligus, jadi dimungkinkan penyembelihan pertama dilakukan pada hari kelahiran dan penyembelihan kedua dilakukan pada hari ketujuh. Kesimpulan tersebut dihasilkan dari penggabungan beberapa riwayat berbeda mengenai masalah jumlah hewan yang disembelih untuk aqiqah.

Kesimpulannya penyembelihan 2 ekor kambing untuk mengaqiqahi seorang anak lelaki bisa dicicil, menyembelih seekor dulu lalu menyembelih seekor lagi ketika sudah mampu. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Imam Al-Bukhori, Ubaid Bin Aziz Hasanan

dan Siroj Munir) 

Referensi:
1. Mughnil Muhtaj, juz 4 hal. 293

ﻭﻳﺘﺄﺩﻯ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻐﻼﻡ ﺑﺸﺎﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻟﻤﺎ ﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺻﺤﻴﺢ: ﺃﻧﻪ ﺹ ﻋﻖ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﻛﺒﺸﺎ ﻛﺒﺸﺎ

2. Al-Manhajul Qowim, juz 1 hal. 384

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺰﻯﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﻘﺔ ﺷﺎﺓ ﺑﺼﻔﺔ ﺍﻷﺿﺤﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ ﻭ ﻟﻜﻦ ﺍﻷﻛﻤﻞ ﺷﺎﺗﺎﻥ ﻣﺘﺴﺎﻭﻳﺘﺎﻥ ﻟﻠﺬﻛﺮ ﻭﻳﺤﺼﻞ ﺑﺎﻟﻮﺍﺣﺪﺓ ﻓﻴﻪ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻟﻤﺎ ﺻﺢ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻧﻌﻖ ﻋﻦ ﺍﻟﻐﻼﻡ ﺑﺸﺎﺗﻴﻦ ﻣﺘﺴﺎﻭﻳﺘﻴﻦ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﺑﺸﺎﺓ

3. Mirqotul Mafatih Syarah Misykatul Mashobih, juz 7 hal. 2689

والحديث يحتمل أنه لبيان الجواز في الاكتفاء بالأقل، أو دلالة على أنه لا يلزم من ذبح الشاتين أن يكون في يوم السابع، فيمكن أنه ذبح عنه في يوم الولادة كبشا وفي السابع كبشا، وبه يحصل الجمع بين الروايات، أو عق النبي - صلى الله عليه وسلم - من عنده كبشا. وأمر عليا أو فاطمة بكبش آخر، فنسب إليه - صلى الله عليه وسلم - أنه عق كبشا على الحقيقة وكبشين مجازا، والله أعلم

Hukum Tanah Galian Kuburan


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.
Mau tanya apakah tanah galian kuburan itu hukumnya najis ? Karena ada bekas darah dan nanah manusia terima kasih

(Pertanyaan dari Seputih Awan)

Jawaban:
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Status tanah dan debu kuburan hukumnya diperinci sebagai berikut:

  1. Tanah galian kuburan dihukumi suci apabila kuburan tersebut kemungkinan atau diyakini belum dibongkar/digali. Begitu juga tanah tersebut tetap dihukumi suci apabila masih diragukan apakah kuburan tersebut  apakah sudah digali atau belum, sebab hukum asal tanah tersebut adalah suci.
  2. Tanah galian kuburan dihukumi mutanajjis (benda yang terkena najis) apabila kuburan tersebut sudah pernah digali, karena telah bercampur dengan nanah dan darah mayat yang dikubur disitu, hanya saja jika ada sedikit tanah yang menempel di sandal maka dima'fu (diampuni najisnya dan tidak wajib dibersihkan).

Wallahu a’lam

(Dijawab oleh Ubaid Bin Aziz Hasanan, Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi :
1. Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarah Ibn Qoshim, juz 1 hal.91

 ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺗﺮﺍﺏ ﻣﻘﺒﺮﺓ) ﺑﺘﺜﻠﻴﺚ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻟﻢ ﺗﻨﺒﺶ ﺍﻱ ﻭﻟﻮﺍﺣﺘﻤﺎﻻ ﻓﻠﻮ ﺷﻚ ﻓﻲ ﻛﻮﻧﻬﺎ ﻧﺸﺖ ﺃﻭﻻ ﺻﺢ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﺘﺮﺍﺑﻬﺎ ﻷﻥ ﺍﻷﺻل ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺒﺸﺖ ﻳﻘﻴﻨﺎ ﻛﻘﺮﺍﻓﺔ ﻣﺼﺮ ﻓﺈﻥ ﺗﺮﺍﺑﻬﺎ ﻣﺘﻨﺠﺲ ﻻﺧﺘﻼﻃﻪ ﺑﺼﺪﻳﺪ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻟﻜﻦ ﻳﻌﻔﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﺍﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻌﺎﻝ

2. Al Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, juz 2 hal 250

 ﻭﺫﻛﺮ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻫﻨﺎ ﺗﺮﺍﺏ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻭﺣﻜﻤﻪ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻴﻘﻦ ﻧﺒﺸﻬﺎ ﻓﺘﺮﺍﺑﻬﺎ ﻧﺠﺲ ﻭﺇﻥ ﺗﻴﻘﻦ ﻋﺪﻡ ﻧﺒﺸﻬﺎ ﻓﺘﺮﺍﺑﻬﺎ ﻃﺎﻫﺮ ، ﻭﺇﻥ ﺷﻚ ﻓﻄﺎﻫﺮ ﺃﻳﻀﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﺢ ، ﻓﺤﻴﺚ ﻗﻠﻨﺎ : ﻃﺎﻫﺮ ﺟﺎﺯ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﻪ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ . ﺇﻻ ﺃﻧﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﻨﺒﺶ ﺗﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ، ﻟﻜﻮﻧﻬﺎ ﻣﺪﻓﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻭﻻ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﺘﺮﺍﺑﻬﺎ ﻷﻧﻪ ﻃﺎﻫﺮ ﻓﻬﻮ ﻛﻐﻴﺮﻩ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻧﺼﺮ ﻓﻲ ﺍﻻﻧﺘﺨﺎﺏ ﻭﻫﻮ ﻭﺍﺿﺢ ﺣﺴﻦ . ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﻡ : ﻭﻟﻮ ﻭﻗﻊ ﺍﻟﻤﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﻬﺎ ﻷﻥ ﺻﺪﻳﺪ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻗﺎﺋﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﻻ ﻳﺬﻫﺐﻩ ﺍﻟﻤﻄﺮ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺬﻫﺐ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻫﻜﺬﺍ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺧﺘﻠﻂ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺠﺎﺱ ﺑﺎﻟﺘﺮﺍﺏ ﻣﻤﺎ ﻳﺼﻴﺮ ﻛﺎﻟﺘﺮﺍﺏ . ﻭﺫﻛﺮ ﺍﻷﺻﺢﺍﺏ ﻫﻨﺎ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﺎﻷﺭﺽ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺻﺎﺑﺘﻬﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺫﺍﺋﺒﺔ ، ﻓﺰﺍﻝ ﺃﺛﺮﻫﺎ ﺑﺎﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﺮﻳﺢ ﻭﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﻮﻻﻥ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﺍﻥ : ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ ﺃﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﻄﻬﺮ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﻬﺎ ، ﻭﺍﻟﻘﺪﻳﻢ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻄﻬﺮ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺍﻟﺘﻴﻢﻡ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ . ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺘﻠﺨﻴﺺ : ﺇﺫﺍ ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﻘﺪﻳﻢ ، ﻓﻬﻲ ﻃﺎﻫﺮﺓ ﺗﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻬﺎ ، ﻭﻓﻲ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺘﻴﻤﻢ ﺑﺘﺮﺍﺑﻬﺎ ﻗﻮﻻﻥ

Hukum Mempercayai Hari Naas (Hari Sial)


KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3
Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.


58. Mempercayai Hari Naas

Pertanyaan: Bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar?

Jawaban: Muktamar memilih pendapat yang tidak membolehkan.

Keterangan, dalam kitab:
1. Al-Fatawa Al-Haditsiyah, hal. 28

مَنْ يَسْأَلُ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لَا يُجَابُ إِلَّا بِالْإِعْرَاضِ عَنهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ، وَأََنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لَا مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ المتوكلين على خالقهم وبارئهم الَّذين لَا يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الْأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لَا أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ

     Barangsiapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya, dan menjelaskan bahwa semua itu merupakan kebiasaan orang yahudi, bukan petunjuk bagi orang Islam yang bertawakal kepada penciptanya yang tidak pernah menggunakan hisab (perhitungan hari baik dan buruk).

     Sedangkan keterangan menegenai hari-hari apes dan semacamnya yang dinukil dari Ali karramallahu wajhah adalah batil dan merupakan suatu kebohongan yang tidak memiliki dasar, karena itu berhati-hatilah kalian dari hal-hal tersebut.

Tata Cara Sholat Didalam Kendaraan


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum, bolehkah sholat khurmatan lil waqti dalam kendaraan dan bagaimna tata cara sholat khurmatan lil waqti dalam kendaraan kalau memang boleh?

(Dari: Waluyo El Muttaqin Hady)

Jawaban:
Wa'alaikum salam waraahmatullahi wabarakatuh
Ketika waktu sholat fardlu telah masuk sewaktu seseorang sedang berada didalam kendaraan, maka ia harus turun guna melakukan sholat secara sempurna, sebab sholat farhu tidak sah apabila dikerjakan didalam kendaraan yang sedang berjalan, ketentuan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat (sunat) diatas tunggangannya kemanapun menghadapnya, dan jika beliau hendak mengerjakan sholat fardhu beliau turun kemudian (sholat dengan) menghadap kiblat.” (Shahih Bukhari, no.400)

Sedangkan apabila tidak memungkinkan untuk turun, semisal karena takut ketinggalan jika harus turun atau sebab lainnya, maka dalam keadaan demikian ia tetap diwajibkan mengerjakan sholat yang dalam fiqih dikenal dengan istilah sholat li hurmatil waqti (sholat untuk menghormati waktu). Adapun tata cara sholatnya sama dengan sholat pada umumnya hanya saja rukun-rukunnya, seperti rukuk dan sujud dikerjakan semampunya.

Sholat li hurmatil waqti adalah sholat fardhu yang dikerjakan bagi orang yang tidak mampu memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sholat, seperti orang yang tak menemukan air atau debu untuk bersuci atau tidak mampu sholat menghadap kiblat. Sholat yang dilakukan hanya untuk menghormati waktu ini wajib diulangi ketika sudah mampu dilakukan dengan sempurna.

Kesimpulannya, orang yang sedang berada dalam kendaraan yang sedang berjalan tetap wajib mengerjakan sholat li hurmatil waqti, sedangkan caranya adalah seperti sholat pada umumnya dan dikerjakan semampunya, namun sholat tersebut wajib diulangi (qodho') lagi. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir dan Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. Nihayatul Muhtaj, juz 1 hal. 105

ومن لم يجد ماء ولا ترابا لزمه في الجديد أن يصلي الفرض . ويعيد
...........................
ثم شرع في الحكم الثالث ، وهو وجوب القضاء ، فقال ( ومن لم يجد ماء ولا ترابا ) بأن فقدهما حسا كأن حبس في موضع ليس فيه واحد منهما ، أو شرعا كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش ؛ أو وجد ترابا نديا ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار ( لزمه في الجديد أن يصلي الفرض ) المؤدي لحرمة الوقت

2. Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, juz 3 hal.241-242

 الثامنة ) شرط الفريضة المكتوبة أن يكون مصليا مستقبل القبلة مستقرا في جميعها فلا تصح إلى غير القبلة في غير شدة الخوف ولا تصح من الماشي المستقبل ولا من الراكب المخل بقيام أو استقبال بلا خلاف ، فلو استقبل القبلة وأتم الأركان في هودج أو سرير أو نحوهما على ظهر دابة واقفة ففي  صحة فريضته وجهان ( أصحهما ) تصح ، وبه قطع الأكثرون منهم القاضي أبو الطيب والشيخ أبو حامد وأصحاب التتمة والتهذيب والمعتمد والبحر وآخرون ، ونقله القاضي عن الأصحاب ; لأنه كالسفينة ( والثاني ) لا يصح وبه قطع البندنيجي وإمام الحرمين والغزالي فإن كانت الدابة سائرة والصورة كما ذكرنا فوجهان ، حكاهما القاضي حسين والبغوي والشيخ إبراهيم المروزي وغيرهم ( الصحيح ) المنصوص : لا تصح ; لأنها لا تعد قرارا ( والثاني ) تصح كالسفينة وتصح الفريضة في السفينة الواقفة والجارية والزورق المشدود بطرف الساحل بلا خلاف إذا استقبل القبلة وأتم الأركان ، فإن صلى كذلك في سرير يحمله رجال أو أرجوحة مشدودة بالحبال أو الزورق الجاري في حق المقيم ببغداد ونحوه ففي صحة فريضته وجهان ، الأصح : الصحة كالسفينة ، وبه قطع القاضي أبو الطيب فقال في باب موقف الإمام والمأموم ، قال أصحابنا : لو كان يصلي على سرير فحمله رجال وساروا به صحت صلاته -إلى أن قال

فرع ) قال أصحابنا : ولو حضرت الصلاة المكتوبة وهم سائرون ، وخاف لو نزل ليصليها على الأرض إلى القبلة انقطاعا عن رفقته أو خاف على نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها ، بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت ، وتجب الإعادة ; لأنه عذر نادر

3. At-Taqrirot as-Sadidah, hal. 201

ﻭﺍﻣﺎ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺍﻥ ﺗﻌﻴﻨﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﺛﻨﺎﺀ ﺍﻟﺮﺣﻠﺔ, ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺮﺣﻠﺔ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﺑﺎﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻗﺒﻞ ﺻﻌﻮﺩﻫﺎ ﺍﻭ ﺍﻧﻄﻼﻗﻬﺎ ﺍﻭﺑﻌﺪ ﻫﺒﻮﻃﻬﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﻟﻮ ﺗﻘﺪﻳﻤﺎ ﺍﻭﺗﺄﺧﻴﺮﺍ ﻓﻔﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻥ ﻳﺼﻠﻰ لحرمة ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﻓﻴﻬﺎ ﺣﺎﻟﺘﺎﻥ
ﺍﻥ ﺻﻠﻰ ﺑﺎﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﻓﻔﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﺧﻼﻑ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﺳﺘﻘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻄﺎﺋﺮﺓ ﻓﻰ ﺍﻻﺭﺽ ,ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﺍﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ
ﻭﺍﻥ ﺻﻠﻰ ﺑﺪﻭﻥ ﺍﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﺍﻭ ﺑﺪﻭﻥ ﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻣﻊ ﺍﻻﺗﻤﺎﻡ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ

Hukum Wakaf Dari Pemerintah Dan Pengalihan Fungsinya


Pertanyaan:

Assalamu alaikum, Kalau sekarang  ada lahan dibelakang masjid yangg masih nganggur dan status lahan milik masjid yang dahulu kala  wakaf dari pemerintah,kemudian sekarang  diminta masyarakat supaya  dibangun gedung untuk digunakan tempat inventaris umum. Pertanyaannya bolehkah pemerintah mewaqafkan tanah milik kas negara? dan bagaimana hukum status perubahan tanah waqaf tersebut?

(Pertanyaan dari Agus Winarno)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Menurut pendapat ashoh dari madzhab syafi’I  pemerintah diperbolehkan  mewaqafkan tanah yang dimiliki untuk golongan atau individu, semisal mewaqafkan tanah milik pemerintah untuk masjid.

Jadi ketika statusnya sudah menjadi milik masjid, maka tidak boleh digunakan untuk selain kepentingan masjid, dan pemerintah ataupun pihak lain, baik mauquf alaih ataupun nadzhir tidak boleh merubah tanah wakafan tersebut, begitu juga tanah waqafan tersebut tidak boleh dirusak oleh pihak pemerintah yang lain .

Kesimpulannya, pemerintah diperbolehkan mewaqafkan tanah milik sebagai masjid, dan bagi masyarakat ataupun nadzhir masjid tidak boleh  merubah tanah waqaf masjid menjadi gedung  tempat inventaris umum. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Ubaid Bin Aziz Hasanan , Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. Itstmadul 'Ainanin Hamisy Bughyatul Mustarsyidin, hal. 171

ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻘﻒ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺿﻲ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻭﺍﺣﺪ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻬﺐ ﻣﻨﻪ ﻭﻳﻤﻠﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻤﻦ ﺗﻮﻟﻰ ﺑﻌﺪﻩ ﻧﻘﺾ ﺍﻟﺘﻤﻠﻴﻚ

2. Al-Hawi Lil Fatawi, juz 1 hal. 147-148

مسألة : أرض من أراضي مصر بيد جماعة بكرية يستغلونها فسألهم السلطان عن مستندهم فأظهروا محضراً ثابتاً على حاكم شافعي أنها وقف السلطان صلاح الدين بن أيوب عليهم بشهادة جماعة مستندهم السماع وإن لم يصرحوا به وحكم بموجب ذلك فهل يستحقون ذلك ؟ وهل للإمام أن يقف بعض أراضي مصر على مثل هذه الجهة من غير أن يشتريها من بيت المال ؟ وهل للمخالف الذي يرى أن مصر فتحت عنوة وأن أراضيها لا تملك أن يتعرض لإبطال ذلك ؟ .

الجواب : نعم للإمام أن يقف بعض أراضي بيت المال من غير شراء على مثل الجهة المذكورة على الأصح في المذهب فقد نص الشافعي على ما يشهد لذلك وصرح بصحته القاضي حسين وأفتى به ابن أبي عصرون ، وأسعد الميهني ، والشاشى ، وابن الصلاح ، والنووي ، وقال ابن الرفعة في المطلب : انه المذهب وصرح كل منهم بأنه لا يجوز لمن يأتي بعد تغييره ، وأما السبكي فاختار لنفسه أنه لا يجوز للإمام الوقف لكن ما وجدناه موقوفاً لأحد من الأئمة ليس لنا أن نغيره .

فالحاصل أن عدم التغيير متفق عليه . وقد حكى ابن الصلاح في مجاميعه صورة استفتاء في أراضي وقفها الخليفة أو السلطان نائب الخليفة على رجل ثم عقبه هل يصح ؟ وهل يجوز لأحد من الولاة تغييره وصرفه إلى جهة أخرى ؟ فأجاب علماء ذلك العصر من سائر المذاهب أن الوقف صحيح ولا يملك أحد من خلق الله اعتراضه ولا تغييره ، ومن جملة من أفتى في هذه الواقعة ابن أبي عصرون وهو كان عين الشافعية في زمن السلطانين العادلين نور الدين الشهيد ، وصلاح الدين بن أيوب وكان مفتيهما وقاضيهما ، وقد نص العلماء على أنهما ما وقفا الذي وقفاه إلا بإفتائه ، فالحاصل أن وقف هذه الأرض على المذكورين صحيح ، ولا يجوز لأحد تغييره ولا نقله إلى جهة أخرى وثبوت ذلك بالشهادة المستندة إلى الاستفاضة حيث لم يصرحوا بذلك صحيح ، أما في الوقف فأصلاً ، وأما في المستحقين فضمناً كما قاله ابن الصلاح ، وابن الفركاح ، وليس للمخالف الذي يرى أن مصر فتحت عنوة أن يتعرض لذلك بنقض ولا إبطال لأنه إن كان حكم بصحته في الأصل حاكم شافعي فذاك وإلا فمعناه أمران : أحدهما ثبوت الوقف بما ذكر وما ثبت وقفه قديماً لا يتعرض له لأن الظاهر وقوعه مستجمعاً للشرائط ، والثاني حكم الشافعي المتأخر ، وأمر ثالث وهو أن بعض المتأخرين ذكر أن أمر الإمام الأعظم وفعله يرفعان الخلاف كحكم الحاكم تفخيماً لشأنه ، ونص العلماء على أن السلطان صلاح الدين ما وقف الذي وقفه حتى أفتاه بذلك علماء عصره من الشافعية ، والحنفية ، والحنابلة ولولا إرادة الاختصار لسقت عباراتهم في ذلك

Hukum Kotoran Dibawah Kuku Yang Menjadi Penghalang Ketika Wudhu


Pertanyaan:
Assalaamualaikum...
Asatidz, ulama, wa ashaabanaa.. mau tanya, diantara syarat brwudlu ialah harus bersih dari sesuatu yang menghalangi smpainya air, diantaranya adalah tidak boleh ada kotorn dibawah kuku,lalu bagaimana kalau kotoran kukunya sulit dibersihkan, seperti kotoran dibawah kuku jempol kaki, kotorannya menyempil, jadi kalau dibersihkan kaki sakit?

(Dari: Abdul Qodir Jailani)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Pada dasarnya menghilangkan kotoran-kotoran yang menempal dibawah kuku hukumnya wajib, baik itu kuku tangan ataupun kuku kaki, sebab kotoran yang berada dibawah kuku bisa menghalangi sampainya air kekulit.

Hanya saja jika dirasa sulit untuk menghilangkan kotoran tersebut, seperti masih sisa sedikit-sedikit disela-sela kuku maka ini hukumnya dimaafkan, dalam artian wudhunya dihukumi sah meskipun kotoran yang berada dibawah kuku belum bersih. Bahkan ada pendapat dalam Syafiiyyah bahwasanya kotoran-kotoran yang menempat dikuku ini hukumnya dimaafkan secara mutlak, baik sulit dihilangkan ataupun tidak.

Jadi kesimpulannya kotoran yang ada dibawah kuku apabila memang sulit dihilangkan maka tidak mengapa, dan wudhunya tetap dihukumi sah. wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibnu Qosim, juz 1 hal.51

ويجب غسل ما علي اليدين من شعر وسلعة وأصبع زائدة وأظافير ويجب ازالة ما تحتها من وسخ يمنع وصول الماء اليه
..........................................
قوله يجب ازالة ما تحتها ) اي تحت الأظافير وقوله من وسخ بيان لما تحتها ويعفي عن القليل في حق من ابتلي به وعندنا قول بالعفو عنه مطلقا

Download Kitab Al-Mughni - Ibnu Qudamah


Judul Kitab: Al-Mughni

Penulis: Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah

Muhaqqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki - Abdul Fatah Al-Halw

Penerbit: Dar Alamul Kutub

Tahun terbit: 1997

Link Download: Cover  Pendahuluan  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4  Jilid 5  Jilid 6  Jilid 7  Jilid 8  Jilid 9  Jilid 10  Jilid 11  Jilid 12  Jilid 13  Jilid 14  Jilid 15

Download Kitab Al-Inshof - Al-Murodi


Judul Kitab: Al-Inshof Fi Ma'rifatir Rojih Minal Khilaf

Penulis: Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Murodi

Muhaqqiq: Muhammad Hamid Al-Faqi

Penerbit: Mathba'ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah

Tahun terbit: 1956

Link Download: Cover  Pendahuluan  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4  Jilid 5  Jilid 6  Jilid 7  Jilid 8  Jilid 9  Jilid 10  Jilid 11  Jilid 12

Download Kitab Al-Furu' - Ibnu Muflih


Judul Kitab: Al-Furu'

Penulis: Syaikh Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi

Muhaqqiq: Ro'id bin Abi Alfah

Penerbit: Baitul Afkar

Tahun terbit:

Link Download: Klik disini

Hukum Demonstrasi/Unjuk Rasa dan Batasan-batasannya


HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL
ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA
TENTANG MASAIL DINIYAH WAQI’IYYAH
16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M
Di Ponpes QOMARUL HUDA, Bagu, Pringgata Lombok Tengah, NTB

418. Demonstrasi dan Unjuk Rasa

     Akhir-akhir ini terjadi banyak demonstrasi, unjuk rasa, pemogokan dan bahkan pengrusakan fasilitas umum (kerusakan). Motif dan tujuannya beragam, tapi intinya tidak puas atas kebijakan, sikap atau tindakan suatu lembaga/instansi, dan mencari keadilan.

Soal: Bolehkah mencari keadilan melalui demonstrasi? Sampai batas manakah demonstrasi dibenarkan islam?

Jawaban: Demonstrasi dan unjuk rasa yang bermuatan amar ma’ruf nahi munkar untuk mencari kebenaran dan demi tegaknya keadilan itu boleh selama:
1.    Tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar.
2.    Sudah tidak ada jalan lain seperti menempuh musywarah dan lobi.
3.    Apabila ditujukan pada penguasa pemerintah, hanya boleh dilakukan dengan cara ta’rif (menyampaikan penjelasan) dan al-wa’zhu (pemberian nasihat).

Keterangan, dari kitab:
1. Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, h. 337
قد ذكرنا درجات الأمر بالمعروف وأن أوله التعريف وثانيه والوعظ وثالثه التخشين في القول ورابعه المنع بالقهر في الحمل على الحق بالضرب والعقوبة. والجائز من جملة ذلك مع السلاطين الرتبتان الأوليان وهما التعريف والوعظ. وأما المنع بالقهر فليس ذلك لآحاد الرعية مع السلطان فإن ذلك يحرك الفتنة ويهيج الشر ويكون ما يتولد منه من المحذور أكثر وأما التخشين في القول كقوله يا ظالم يا من لا يخاف الله وما يجري مجراه فذلك إن كان يحرك فتنة يتعدى شرها إلى غيره لم يجز وإن كان لا يخاف إلا على نفسه فهو جائز بل مندوب إليه. فلقد كان من عادة السلف التعرض للأخطار والتصريح بالإنكار من غير مبالاة بهلاك المهجة والتعرض لأنواع العذاب لعلمهم بأن ذلك شهادة
2. Al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, Juz 2, h. 156
والنسائي من رأى منكم منكرا فغيره بيده فقد برئ، ومن لم يستطع أن يغيره بيده فغيره بلسانه فقد برئ، ومن لم يستطع أن يغيره بلسانه فغيره بقلبه - أي أنكره - فقد برئ وذلك أضعف الإيمان
3. Al-jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, Juz 2, h. 327
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان. (حم م ٤) عن أبي سعيد (صح

Haruskah Niat Saat Memandikan Jenazah?


Pertanyaan:
Assalamu alaikum..
Para ustadz yang mulia, ditempat saya ada mayit yang di mandikan tapi yang memandikannya lupa tidak niat dan sekarang mayitnya sudah dikubur. Pertanyaannya; sahkah pemandian mayit tersebut? dan kalau tidak sah bagaimana solusinya? Mohon dijawab beserta refrensinya.

(Dari: Bejo Nengrongomahamin)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Niat ketika memandikan jenazah hukumnya diperselisihkan diantara ulama’;
  • Menurut pendapat yang ashoh dalam madzhab syafi’i, sebagaimana ditetapkan oleh Imam Syafi’i  dan diikuti oleh mayoritas ulama’ madzhab, niat memandikan jenazah bukanlah syarat sah memandikan jenazah dan tidak wajib dilakukan, alasannya adalah karena tujuan memandikan jenazah adalah untuk membersihkan (tandhif), karena itulah tidak dip[erlukan adanya niat, sebagaimana tidak diperlukannya niat ketika menyucikan najis. Ini berarti memandikan jenazah sudah dianggap mencukupi dengan tanpa niat.
  • Sedangkan menurut sebagian ulama’ dari kalangan madzhab syafi’i, memandikan jenazah harus dengan niat, mereka beralasan bahwa tujuan dari memandikan jenazah adalah pencucian (tathir) bukan sekedar pembersihan (tandhif), kenyataannya meskipun tak ada kotoran yang dibersihkan tetap saja jenazah dimandikan, karena itu diharuskan adanya niat sebagaimana diwajibkannya niat ketika mandi jinabat. Jika mengacu pada pendapat ini maka memandikan jenazah yang tidak disertai dengan niat belum dianggap sah.

Karena terdapat perbedaan tersebut, para ulama’ menetapkan disunahkannya niat ketika memandikan jenazah dengan tujuan untuk menghindari perselisihan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jenazah yang yang telah dimandikan namun orang yang memandikan tidak niat sudah  dianggap mencukupi dan sah menurut pendapat yang kuat dan dikuti mayoritas ulama’. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Izal Ya Fahri dan Siroj Munir)

Referensi:
1. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 5 hal. 124-

وهل يجب نية الغسل فيه وجهان أحدهما : لا يجب لأن القصد منه التنظيف فلم يجب فيه النية كإزالة النجاسة والثاني : يجب لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة عين فوجب فيه النية كغسل الجناية
..................................
هل يشترط في صحة غسله أن ينوي الغاسل غسله ؟ واختلف في أصحهما فالأصح عند الأكثرين أنها لا تشترط ولا تجب وهو المنصوص للشافعي في آخر غسل الذمية زوجها المسلم وممن صححه البندنيجي والماوردي هنا والروياني والسرخسي والرافعي وآخرون . وصحح جماعة الاشتراط منهم الماوردي والفوراني والمتولي ، ذكروه في باب نية الوضوء وقطع به المحاملي في المقنع ، والمصنف في التنبيه والصحيح تصحيح الأول

2. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarah Ibnu Qosim, juz 1 hal. 246

ولا تجب نية الغسل لأن القصد به النظافة وهي لا تتوقف على نية لكن تسن خروجا من الخلاف

Menyentuh Anak Bibi, Apakah Membatalkan Wudhu?

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Ustadz yang Insya Allah dirahmati Allah SWT.
Teman Saya Pernah Bertanya Kepada Saya Tentang Bagaimana hukumnya berjabat tangan dengan Anak(laki-laki) dari kakaknya Bude (Saudara ibu saya). namun karena keawaman saya. saya tidak berani menjawabnya. > mohon penjelasannya agar saya bisa menyambung lidah jawaban dari Ustadz. Syukron.

(Dari: hakim alayyubi)

Jawaban:

Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..

Anak laki-laki dari saudara ibu (ibnul 'ammah) bukan termasuk mahrom (orang yang tidak boleh dinikahi), karena itu ia termasuk ajnabi (lelaki lain/boleh dinikahi). Maka dari itu menyentuhnya membatalkan wudhu'. Wallahu a'lam.

Referensi:
1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 33 hal. 37

أَمَّا غَيْرُ الْمَحَارِمِ فَبَقِيَّةُ الْقَرَابَاتِ غَيْرُ مَنْ ذُكِرَتْ كَبِنْتِ الْخَالِ وَبِنْتِ الْخَالَةِ وَبِنْتِ الْعَمِّ وَبِنْتِ الْعَمَّةِ وَبَنَاتِ هَؤُلاءِ

"Sedangkan orang-orang yang tidak termasuk mahram yaitu semua kerabat selain yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti anak perempuan paman/bibi dari jalur ayah dan anak perempuan paman/bibi dari jalur ibu."