وَالنَّهْي استدعاء التّرْك بالْقَوْل مِمَّن هُوَ دونه على سَبِيل الْوُجُوب
وَيدل على فَسَاد الْمنْهِي عَنهُ
Nahi (larangan) adalah permintaan untuk meninggalkan sesuatu melalui ucapan terhadap orang yang dibawahnya secara wajib
Dan suatu larang menunjukkan kerusakan perkara yang dilarang
Penjelasan
2. Kalimat yang digunakan untuk melarang adalah; لا تفعل (jangan lakukan). Dan Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu haram untuk dikerjakan, seperti larangan yang terdapat dalam firman Alloh;
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (Q.S. An-Nisa’ : 29)
Semua ulama’ sepakat bahwa larangan bunuh diri pada ayat diatas menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan sesuatu yang haram untuk dilakukan (1).
Namun suatu larangan terkadang juga menunjukkan hukum makruh, seperti larangan yang terdapat dalam hadits;
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melarang laki-laki kencing dalam keadaan berdiri” (Sunan Baihaqi, no.496)
Mayoritas ulama’ menyatakan bahwa larangan kencing sambil berdiri dalam hadits diatas diarahkan pada hukum makruh, bukan harom, sebab dalam satu hadits diriwayatkan;
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا
“Dari Hudzaifah dia berkata, "Aku pernah berjalan bersama Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri” (Shohih Muslim, no.273)
Karena itulah ditetapkan bahwa hukum kencing sambil berdiri adalah makruh (2) (3).
4. Larangan untuk meninggalkan sesuatu secara mutlak menunjukkan bahwa hal tersebut apabila dilakukan maka hukumnya batal/tidak sah, baik dalam hal ibadah atau mu’amalah.
Contoh rusaknya ibadah karena perbuatan tersebut dilarang adalah tidak sahnya sholat yang dilakukan oleh wanita yang sedang haidh, karenba wanita yang sedang haidh dilarang untuk mengerjakan sholat, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ، جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ، إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ. أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ؟ فَقَالَ: «لَا. إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ
“Dari Aisyah dia berkata, "Fathimah binti Abi Hubaisy mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang perempuan berdarah istihadhah, maka aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat? ' Maka beliau bersabda, "Darah tersebut ialah darah penyakit bukan haid, apabila kamu didatangi haid hendaklah kamu meninggalkan shalat.” (Shohih Bukhori, no.306 dan Shohih Muslim, no.333)
Sedangkan contoh dari muamalah yang rusak karena dilarang adalah jual beli janin hewan yang masih berada dalam perut induknya, yang telah dilarang berdasarkan riwayat;
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ؛ أَنَّهُ قَالَ: لاَ رِباً فِي الْحَيَوَانِ. وَإِنَّمَا نُهِيَ مِنَ الْحَيَوَانِ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَضَامِينِ، وَالْمَلاَقِيحِ، وَحَبَلِ حَبَلَةٍ
“Dari Sa'id bin Musayyab berkata; "Tidak ada riba dalam jual beli hewan. Hanya saja ada tiga hal yang dilarang dalam jual beli hewan; madlamiin, malaqiih dan habalul habalah (menjual janin yang masih di dalam perut induknya) . (Muwattho’, no.2411) (4)
Referensi :
1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 6 Hal : 283
2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 34 Hal : 9
3. Ushulul Fiqh Al-islami, Juz : 1 Hal : 233-234
4. Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal : 117-118
Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"
Karya : Imam Haromain
Oleh : Siroj Munir
0 komentar:
Posting Komentar