Template information

Hukum mengkonsumsi telur yang sudah rusak



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum..
Bagaimana hukumya memakan telur yang sudah ada darahnya? Tolong dong.

(Dari: Kabul Ropek).


Jawaban:
Wa alaikum salam..

Hukum dari telur yang sudah darah didalamnya, diperinci sebagai berikut:

- Apabila telurnya belum rusak, sekiranya telur tersebut masih menetas apabila dierami maka hukumnya suci, dan masih boleh dikonsumsi karena masih dihukumi seperti telur pada umumnya.

- Sedangkan apabila telurnya sudah rusak, sekiranya sudah tidak mungkin bisa menetas apabila dierami maka hukumnya najis dan haram dikonsumsi, sebab hukumnya disamakan dengan darah.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Langlang Buana dan Cak Husnan).


Referensi:
1. I'anatut Tholibin, 1/101

قوله: ودم بيضة) أي واستثنوا دم بيضة. وقوله: لم تفسد أي لم تصر مذرة بحيث لا تصلح للتفرخ، فإن فسدت فهو نجس وعبارة النهاية: ولواستحالت البيضة دما وصلح للتخلق فطاهرة، وإلا فلا. وقوله وإلا فلا، قال ع ش: من ذلك: البيض الذي يحصل من الحيوان بلا كبس ذكر، فإنه إذا صار دما كان نجسا لأنه لا يأتي منه حيوان

2. Al-Majmu', 2/556

فرع: البيضة الطاهرة إذا استحالت دما ففي نجاستها وجهان الأصح النجاسة كسائر الدماء
...................................................................................

HUKUM MEMEMOTONG-MOTONG TULANG HEWAN AQIQAH


 

Pertanyaan:
Assalaamualaikum..
Dalam aqiqoh yang sunah tulang-tulang dari kambing tidak dipecah-pecah atau diremuk,tetapi dipotongi pas ruas-ruasanya. tapi suatu saat pernah dengar pengajian dalam selametan, bahwa mengolahnya malah sunnah diremuk, dipotong kecil-kecil, dan memang sesuai dengan masyarakat dan mudah dibagi-bagikan.
Pertanyaan saya, minta tolong kepada dewan asatidz, apa benar demikian dan sekalian ta’birnya? Terimakasih .

(Dari: Sari Similikiti)


Jawaban:
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Hukum memotong-motong tulang hewan aqiqah yang telah disembelih diperselisihkan diantara ulama’;

1. Menurut madzhab syafi’i dan hanbali disunatkan untuk tidak memotong-motong tulang hewan sembelihan aqiqah. Hikmahnya adalah tafa’ulan (sebagai do’a) agar anak yang diaqiqahi kelak tidak menderita patah tulang. Diantara dalilnya adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha;

يُطْبَخُ جُدُولًا، وَلَا يُكْسَرُ مِنْهَا عَظْمٌ

“(Daging aqiqah itu) dimasak sepenggal-penggal, dan tulangnya tidak dipecah”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, No.24263)

Namun, seumpama hal itu dilakukan hukumnya tidak makruh, tapi khilaful aula (menyelisihi yang lebih utama).

2. Menurut madzhab maliki, tulang tersebut boleh dipotong-potong atau dibiarkan utuh. Imam Malik dalam “Al-Muwaththo’” menjelaskan bahwa aqiqoh itu sepertihalnya qurban, karena itu diperbolehkan memotong-motong tulangnya. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Ibnu Hazm, pemuka ulama’ madzhab dhohiri, beliau menjelaskan, tidak ada satu pun hadits yang shahih yang bisa dijadikan dalil mengenai pelarangan hal tersebut, termasuk riwayat dari aisyah diatas.

Kesimpulannya, memang hukum memotong-motong tulang hewan aqiqah itu diperselisihkan oleh ulama’, ada yang menyatakan sunah untuk tidak dipotong-potong dan ada yang menyatakan diperbolehkan dipotong-potong. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir, Octaviant Cheerfull dan Ubaid Bin Aziz Hasanan)


Referensi:
1. Al-Muhadzdzab, 1/439  (Madzhab Syafi’i)

والمستحب أن يفصل أعضاءها ولا يكسر عظمها لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: السنة شاتان مكافئتان عن الغلام وعن الجارية شاة تطبخ جدولاً ولا يكسر عظم

2. Tuhfatul Muhtaj, 9/372

ولا يكسر عظم) تفاؤلا بسلامة أعضاء المولود فإن فعل لم يكره لكنه خلاف الأولى

3. Al-Mughni, 13/172 (Madzhab Hanbali)

ويستحب أن تفصل أعضاؤها ولا تكسر عظامها لما روي عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: السنة شاتان مكافئتان عن الغلام وعن الجارية شاة تطبخ جدولا ولا يكسر عظم

4. At-Taj Wal-Iklil, 4/393 (Madzhab Maliki)

وجاز كسر عظمها) في الموطأ: العقيقة بمنزلة الضحايا وتكسر عظامها

5. Al-Muhallah, 7/523

وَلَا بَأْسَ بِكَسْرِ عِظَامِهَا . . . وَلَمْ يَصِحَّ فِي الْمَنْعِ مِنْ كَسْرِ عِظَامِهَا شَيْءٌ . فَإِنْ قِيلَ : قَدْ رَوَيْتُمْ { عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ وَقَدْ قِيلَ لَهَا فِي الْعَقِيقَةِ بِجَزُورٍ , فَقَالَتْ : لَا , بَلْ السُّنَّةُ أَفْضَلُ , عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ , وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ , وَلْيَكُنْ ذَلِكَ يَوْمَ السَّابِعِ , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ , فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إحْدَى وَعِشْرِينَ } . قُلْنَا : هَذَا لَا يَصِحُّ ; لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ الْعَرْزَمِيِّ

Download Kitab Idhohul Qowa'id Al-Fiqhiyah - Abdulloh Al-Lahji


Judul kitab : Idhohul Qowa'id Al-Fiqhiyah Li Thullabil Madrosah Ash-Shoulatiyah

Penulis : Syekh Abdulloh Al-Lahji

Muhaqqiq : -

Penerbit : Percetakan "Al-Madani"

Cetakan : -

Tahun terbit : 1388 H

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Al-Mantsur Fil Qowa'id - Az-Zarkasi


Judul kitab : Al-Mantsur Fil Qowa'id

Penulis : Imam Badruddin Muhammad bin Bahadur Az-Zarkasi Asy-Syafi'i

Muhaqqiq : Tasir Fa'iq Ahmad

Penerbit : Kementerian Wakaf dan Urusan Agama - Kuwait

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1982

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3

Kajian Kitab Al-Waroqot : ‘Am dan Khash (Bagian 1)

الْعَام وَالْخَاص

وَأما الْعَام فَهُوَ مَا عَم شَيْئَيْنِ فَصَاعِدا
من قَوْله عممت زيدا وعمرا بالعطاء وعممت جَمِيع النَّاس بالعطاء
وألفاظ أَرْبَعَة
الِاسْم الْوَاحِد الْمُعَرّف بِالْألف وَاللَّام
 وَاسم الْجمع الْمُعَرّف بِاللَّامِ
والأسماء المبهمة ك
"من" فِيمَن يعقل
وَ"مَا" فِيمَا لَا يعقل
وَ"أي" فِي الْجَمِيع
وَ"أَيْنَ" فِي الْمَكَان، وَ"مَتى" فِي الزَّمَان، وَ"مَا" فِي الِاسْتِفْهَام وَالْجَزَاء وَغَيره
وَ"لَا" فِي النكرات

‘AM DAN KHASH

Am adalah: Suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tampa terbatas.
Diambil dari perkataan "عممت زيدا وعمرا بالعطاء"  (Aku mengumumkan pemberian bagi zaid dan amr) dan perkataan  "عممت جميع الناس بالعطاء" (Aku mengumumkan pemberian untuk semua orang). 

Bentuk kata umum itu ada empat:
1. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال) 
2. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)
3. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:
- مَنْ; untuk menunjukkan sesuatu yang berakal.
- مَا; untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal.
- أَيّ; untuk menunjukkan kesemuanya.
- أَيْنَ); untuk menunjukkan tempat,
- مَتَى; untuk menunjukkan waktu
- مَا; untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya.
- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum).


Penjelasan:

1. Pengertian Am –sebagaimana dijelaskan diatas- adalah suatu kata yang mencakup dua perkara atau lebih tanpa adanya suatu batasan.

Contohnya adalah firman Allah;

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”. (QS.Al-Baqoroh : 29)

Ayat diatas menggunakan kata جميع yang berarti “semua”, karena itu kalimat seperti ini dikatakan sebagai kalimat yang umum (am). Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil imam suyuthi menyatakan bahwa ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama’; bahwa hokum asal semua benda yang ada dibumi itu halal kecuali jika ada dalal yang menyatakan keharamannya. (1)


2. Sedangkan tambahan kata-kata “tanpa batasan” dalam definisi am, bertujuan untuk mengecualikan isim adad (kata bilangan), sebab meskipun isim adad juga bisa mencakup sesuatu lebih dari dua tetap saja cakupannya terbatas. Contohnya kata مائة yang berarti 100 dan مائة yang berarti 1000, cakupannya memang diatas dua tapi tetap saja terbatas pada angka 100 dan 1000 tidak lebih. (2)

3. Bentuk-bentuk kata yang menunjukkan arti umum adalah sebagai berikut:

a. Isim mufrad (kata tunggal) yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال)  . Contohnya adalah firman Allah;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“Allah telah menghalalkan jual beli”. (QS. Al-Baqoroh : 275)

Pada ayat diatas terdapat isim mufrod, yaitu kata بيع yang artinya jual beli, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi (mencakup semua jenis), maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis jual beli”. Imam Suyuthi menjelaskan, bahwa ayat diatas adalah dalil bahwa hokum asal semua bentuk transaksi jual beli adalah halal, kecuali bentuk-bentuk jual beli yang terdapat dalil mengenai keharamannya. (3)

b. Isim jama’ (kata plural)yang di-ma’rifah-kan dengan alif dan lam (ال). Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa” (QS. Az-Zumar : 53)

Pada ayat diatas terdapat jama’ (jama’ taksir), yaitu kata ذنوب yang berarti beberapa dosa, yang dima’rifatkan dengan ال yang berfaidah istighroqul jinsi, maka setelah ditambah dengan ال artinya menjadi “semua jenis dosa”. Syekh Wahabah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, dari ayat ini bisa diambil ketentuan hukum bahwa Allah bisa saja mengampuni semua dosa yang telah dikerjakan manusia, baik dosa kecil maupun dosa besar, semua itu diserahkan sepenuhnya menurut kehendak Allah subhanahu wata’ala. (4)

c. Isim-Isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk) seperti:

1- مَنْ (siapa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang berakal. Contohnya adalah firman Allah;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (QS. Al-Baqoroh : 185)

Ayat diatas merupakan ayat yang mengganti ketentuan hukum sebelumnya dimana seorang muslim yang menemui bulan ramadhan boleh memilih antara berpuasa atau memberikan makanan pada fakir miskin bagi yang tidak berpuasa, sebagaimana dikisahkan dalam satu hadits;

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: «كُنَّا فِي رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ» ، حَتَّى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Dari Salamah Al Akwa' radliallahu 'anhu, bahwa ia berkata; Dulu, ketika kami memasuki bulan Ramadlan pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam siapa saja yang ingin, maka ia berpuasa dan siapa yang tidak suka, maka ia akan berbuka dengan syarat membayar fidyah, peritstiwa itu terus terjadi hingga turunnya ayat: "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Shahih Muslim, No.1145) (5)

2-  مَا (apa saja); untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal. Contohnya adalah firman Allah;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka (pahalanya) itu untuk kamu sendiri.” (QS. Al-Baqoroh : 272)

Ayat diatas menunjukkan bahwa pada hakekatnya segala bentuk nafkah yang diberikan oleh seseorang itu manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, sebab apa yang ia lakukan tidaklah sia-sia karena akan mendapatkan balasan dari Allah, sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayatnya;

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqoroh : 272) (6)

3- أَيّ (yang mana saja); untuk menunjukkan kesemuanya. Contohnya adalah firman Allah;

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)”. (QS. Al-Isro’ : 110)

Maksud dari ayat diatas adalah kita boleh saja berdo’a atau menyebut Allah dengan menggunakan salah satu dari asma’ul husna, sebab semua nama tersebut yang dituju adalah satau (musamma wahid) yaitu Allah, bukan seperti orang-orang musyrik yang salah memahami dan mengira bahwa nama yang banyak tersebut berarti tuhan juga ada banyak. (7)

4- أَيْنَ (di mana saja); untuk menunjukkan tempat. Contohnya adalah firman Allah;

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh”. (QS. An-Nisa’ : 78)

Maksud dari ayat diatas adalah peringatan bagi kaum muslimin untuk tidak menghindar atau lari dari peperangan karena takut mati, karena toh dimanapun mereka berada pasti akhirnya akan mati juga. (8)

5- مَتَى (kapan?); untuk menunjukkan waktu. Contohnya adalah firman Allah;

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, Padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqoroh : 214)

Ayat diatas mengingatkan semua orang islam bahwa keimanan dan keislaman kita akan diuji dengan berbagai cobaan, Allah berfirman;

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَراتِ، وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqoroh : 155)

Dan hal seperti itu sudah terjadi semenjak dahulu, sampai=sampai para Rasul yang merupakan orang-orang yang paling teguh keimanannya sampai bertanya “kapan akan dating pertolongan dari Allah?”, karena itulah diakhir ayat Allah menguatkan hati orang-orang mukmin dengan menyatakan; “Ketahuilah bahwasanya pertolongan Allah itu dekat”. (9)
 
6- مَا (apa?); untuk menunjukkan suatu pertanyaan, balasan dan lainnya. Contohnya adalah firman Allah;

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." (QS. Al-Baqoroh : 26)

Ayat diatas menjelaskan perbedaan pola pikir orang-orang kafir dan orang yang beriman; orang kafir ketika mengetahui bahwa Allah memberikan beberapa perumpamaan dalam al-qur’an "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dan tidak mau berpikir secara obyektif, jika saja mereka mau bersikap obyektik tentu mereka akan tahu maksud dan hikmah dibalik semua itu. Berbeda dengan orang mukmin yang meyakini bahwa semua yang dating dari Allah itu benar, selain itu ia yakin bahwa perumpamaan-perumpamaan itu bertujuan untuk mennjelaskan suatu kebenaran agar mudah diterima dengan cara menjadikan sesuatu yang berada diruang pikiran ditampakkan kasat mata, atau dengan cara memberikan perincian pada sesuatu yang masih global. (10)

7- لَا yang masuk pada isim nakiroh (kata umum). Contohnya adalah firman Allah;

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada pemaksaan dalam agama”. (QS. Al-Baqoroh : 256)

Kata اكراه adalah isim nakiroh (kata umum) yang didahului oleh “laa naïf” (laa yang bermakna “tidak”) sehingga memberikan faedah keumuman kalimat tersebut. Imam Suyuthi menjelaskan, ayat ini dijadikan dalil bahwa kafir dzimmi (orang-orang kafir yang berada dinegara islam namun membayar pajak kepada negara)  tidak boleh dipaksa untuk masuk islam, dan jika mereka masuk islam karena paksaan maka islamnya tidak dianggap sah. (12)


Referensi:
1. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal:27
2. Tahqiq Syarah Al-Waroqot Lil-Mahalli, Hal: 122
3. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 63
4. Tafsir Al-Munir, 24/41
5. Shahih Muslim, 2/802
6. Tafsir Al-Munir, 3/80
7. Tafsir Al-Munir, 15/194
8. Tafsir At-Thobari, 7/234
9. Tafsir Al-Munir, 2/249
10. Tafsir Al-Maroghi, 1/72
11. Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil, Hal: 61


Kajian Kitab : "Al-Waroqot Fi Ushulil Fiqh"

Kenapa yang diusap ketika tayamum cuma wajah dan tangan?



Perrtanyaan :
Assalamu’alaikum..
Tanya ustadz, Apa  hikmahnya anggota tayamun kok hanya tangan dan muka? Terima kasih...

(Dari Fikri Asim).


Jawaban:
Wa alaikum salam..

Syekh Abdul Qodir As-Sanandaji dalam kitab beliau, Mawahibul Badi' Fi Hikmatit Tasyri' menjelaskan hikmah pengkhususan mengusap kedua anggota badan tersebut ketika tayammum,sebagai berikut:

"Hikmah dikhususkannya kedua tangan dan muka saat bertayamum, dan tidak disyari'atkan mengusap kepala dan kedua kaki sebagaimana dalam wudhu;, sebab meletakkan debu diatas kepala adalah sesuatu yang tidak disukai menurut adat dan dianggap remeh dalam kebiasaan, karena meletakkan debu diatas kepala biasanya dilakukan oleh orang yang sedang tertimpa musibah dan kesusahan karena itulah dalam tayamum tidak disyari'atkan mengusap kepala dengan debu sebab tayamum adalah ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah, bukan suatu musibah.

Sedangkan tidak disyari'atkannya mengusap kedua kaki ketika tayamum sebab kedua kaki sudah biasa terkena debu ketika berjalan, terutama bagi oran arab yang hidup dipadang pasir, karena itulah tidak diperlukan mengusap kedua kaki ketika tayamum."

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)


Referensi:
Mawahib al Badi' fi Hikmah at Tasyri' Hal. 15 - 16

الحكمة فى تخصيصهما دون الرأس والرجلين كما فى الوضوء هو أن وضع التراب على الرؤوس مكروه فى مجرى العادات مستهجن فى العرف مستنكر فى المألوفات لأنه كانت تستعمله العرب عند نزول المصائب وكروء الكوارث والمصاعب فللك لم تشرع فى التيمم لأنه عبادة وقربة لا كارثة ومصيبة

وأما الرجلان فهما منغرسان فيه خصوصا فى أمة العرب التى كانت تمشى فى الصحراء والرمل وتنغرس فيهما بأقدامها لأنها أمة الجد والعمل. لذلك لم يحتج الى استعمال التراب فيهما

BAGIAN TUBUH MANA YANG DIDAHULUKAN SAAT SUJUD, LUTUT ATAU KEDUA TELAPAK TANGAN?



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ...
Mau tanya Ustadz/Ustadzah. Tentang anggota yang mesti didahulukan ketika hendak sujud, apakah kedua telapak tangan atau kedua  lutut? Apa hukum sebenarnya?  Adakah dalil atau ibarat tentang masalah ini?
Mohon penjelasannya. Syukron...

(Dari Bambang Irawan).



Jawaban :
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..

Masalah ini merupakan salah satu masalah yang diperselisihkan diantara ulama’. Berikut ini kami uraikan pendapat-pendapat mengenai masalah ini beserta dalil-dalil atau alas an yang mendasarinya:

Pendapat pertama: anggota tubuh yang didahulukan ketika sujud adalah lutut terlebih dahulu, kemudian kedua tangan.  Ini adalah  pendapat mayoritas fuqoha’,  yaitu pendapat madzhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali dan sekolompok ulama’ salaf, seperti Imam An-Nakho’i, Sufyan Ats-Tsauri, ishaq, Muslim bin Yasar, dan Ibnul Mundzir. Diantara dalilnya adalah hadits Nabi yang diriwayatkan Wa’il bin hajar;

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

“Saya melihat apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”. (Sunan Abu Dawud, No.838)

Dan riwayat dari Sa’ad;

كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ، فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ

“Kami meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk mendahulukan kedua lutut sebelum (meletakkan) kedua tangan”. (Shahih Ibnu Huzaimah, No.628, Sunan Baihaqi, No.2637)

Pendapat kedua: Anggota badan yang didahulukan adalah kedua telapak tangan terlebih dahulu kemudian baru kedua lutut. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, Imam Al-Auza’i dan salah satu riwayat dai Imam Ahmad. Diantara dalil yang mendasari pendapat ini adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (Sunan Abu Dawud, No.840).

Pendapat ketiga: Anggota badan yang didahulukan kedua lutut atau kedua tangan sama saja, alasannya sebab tak ada dalil yang menguatkan pendapat mana yang lebih unggul. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Malik.

Kesimpulannya, sebagian ulama’ menyatakan bahwa yang didahulukan kedua lutut, sebagian lainnya berpendapat bahwa yang didahulukan kedua telapak tangan, dan ada juga yang berpendapat mana saja yang didahulukan sama saja. Meski begitu, masalah ini hanya membahas mana yang lebih utama dilakukan dan disunahkan. Jadi bagian mana saja yang didahulukan tidak berpengaruh pada sah dan tidaknya sholat. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Mahfuzul Ulum, Abdy Manaf El-Muchaveeydzooch, Brandal Loka Jaya, Poetra Sangfajar, Al Murtadho dan Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).


Referensi :
1. Al Mausu’ah al Fiqhiyyah, Jilid: 24  Hal: 205-206

وضع الركبتين قبل اليدين أو عكسه
ذهب جمهور الفقهاء وهم الحنفية والشافعية والحنابلة وجمع من علماء السلف كالنخعي وسفيان الثوري وإسحاق ومسلم بن يسار وابن المنذر إلى أنه من المستحب أن يضع ركبتيه ثم يديه، ثم جبهته وأنفه، فإن وضع يديه قبل ركبتيه أجزأه إلا أنه ترك الاستحباب، لما رواه وائل بن حجر رضي الله عنه قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه
وروى سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه قال: كنا نضع اليدين قبل الركبتين فأمرنا بوضع الركبتين قبل اليدين وقد روى الأثرم عن أبي هريرة: " إذا سجد أحدكم فليبدأ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الجمل
وذهب المالكية والأوزاعي وهو رواية عن أحمد إلى أنه يقدم يديه قبل ركبتيه لما روي عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير، وليضع يديه قبل ركبتيه
وروي عن مالك أن الساجد له أن يقدم أيهما شاء من غير تفضيل بينهما؛ لعدم ظهور ترجيح أحد المذهبين على الآخر

2. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid: 3  Hal: 421-422

قال المصنف رحمه الله
والمستحب أن يضع ركبتيه ثم يديه ثم جبهته وأنفه لما روى وائل بن حجر رضي الله عنه قال " كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه " فإن وضع يديه قبل ركبتيه أجزأ إلا انه ترك هيئة
الشرح: مذهبنا أنه يستحب أن يقدم في السجود الركبتين ثم اليدين ثم الجبهة والأنف قال الترمذي والخطابي وبهذا قال أكثر العلماء وحكاه أيضا القاضي أبو الطيب عن عامة الفقهاء وحكاه ابن المنذر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه والنخعي ومسلم بن بشار وسفيان الثوري واحمد واسحق وأصحاب الرأي قال وبه أقول وقال الأوزاعي ومالك يقدم يديه على ركبتيه وهي رواية عن أحمد وروي عن مالك أنه يقدم أيهما شاء ولا ترجيح واحتج لمن قال بتقديم اليدين بأحاديث ولمن قال بعكسه بأحاديث ولا يظهر ترجيح أحد المذهبين من حيث السنة ولكني أذكر الأحاديث الواردة من الجانبين وما قيل عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال " رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه " رواه أبو داود والترمذي والنسائي وغيرهم قال الترمذي هو حديث حسن وقال الخطابي هو أثبت من حديث تقديم اليدين وهو أرفق بالمصلي وأحسن في الشكل ورأى العين وقال الدارقطني قال ابن أبي داود وضع الركبتين قبل اليدين تفرد به شريك القاضي عن ابن كليب وشريك ليس هو منفردا به وقال البيهقي هذا الحديث يعد من أفراد شريك هكذا ذكره البخاري وغيره من الحفاظ المتقدمين وزاد أبو داود في رواية له " وإذا نهض نهض على ركبتيه واعتمد على فخذه " وهي زيادة ضعيفة من رواية عبد الجبار بن وائل عن أبيه ولم يسمعه وقيل ولد بعده وعن أنس رضي الله عنه قال " رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم كبر وذكر الحديث وقال في السجود سبقت ركبتاه يديه " رواه الدارقطني والبيهقي وأشار إلي تضعيفه عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه " رواه أبو داود والنسائي بإسناد جيد ولم يضعفه أبو داود وعن عبد الله ابن سعيد المقبري عن جده عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " إذا سجد أحدكم فليبدأ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الجمل رواه البيهقي وضعفه وقال عبد الله بن سعيد ضعيف وعن سعد بن أبي وقاص رضي الله تعالى عنه قال " كنا نضع الركبتين قبل اليدين " رواه ابن خزيمة في صحيحه وادعى أنه ناسخ لتقديم اليدين وكذا اعتمده أصحابنا ولكن لا حجة فيه لأنه ضعيف ظاهر التضعيف بين البيهقي وغيره ضعفه وهو من رواية يحيي ابن مسلمة بن كهيل وهو ضعيف باتفاق الحفاظ قال أبو حاتم هو منكر الحديث وقال البخاري في حديثه مناكير والله أعلم

3. Subulus Salam, Jilid:1  Hal: 279-280

[هيئة النزول إلى السجود]
وعن " أبي هريرة " - رضي الله عنه - قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه» أخرجه الثلاثة. وهذا الحديث أخرجه أهل السنن، وعلله البخاري، والترمذي، والدارقطني. قال البخاري: " محمد بن عبد الله بن الحسن " لا يتابع عليه؛ وقال: لا أدري سمع من أبي الزناد أم لا؟ . وقال الترمذي: غريب لا نعرفه من حديث أبي الزناد. وقد أخرجه النسائي من حديث " أبي هريرة " أيضا عنه: [أن النبي - صلى الله عليه وسلم -] ولم يذكر فيه: [وليضع يديه قبل ركبتيه] .
وقد أخرج ابن أبي داود من حديث " أبي هريرة ": «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا سجد بدأ بيديه قبل ركبتيه» ومثله الدراوردي من حديث ابن عمر، وهو الشاهد الذي سيشير المصنف إليه.
وقد أخرج ابن خزيمة في صحيحه  من حديث " مصعب بن سعد بن أبي وقاص " عن أبيه قال: «كنا نضع اليدين قبل الركبتين، فأمرنا بوضع الركبتين قبل اليدين» . والحديث دليل على أنه يقدم المصلي يديه قبل ركبتيه عند الانحطاط إلى السجود، وظاهر الحديث الوجوب لقوله: " لا يبركن "، وهو نهي، وللأمر بقوله: " وليضع " قيل: ولم يقل أحد بوجوبه، فتعين أنه مندوب، وقد اختلف العلماء في ذلك، فذهب الهادوية، ورواية عن مالك، والأوزاعي: إلى العمل بهذا الحديث، حتى قال الأوزاعي: أدركنا الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم: وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث، وذهبت الشافعية، والحنفية، ورواية عن مالك: إلى العمل بحديث " وائل "، وهو قوله [وهو أي حديث " أبي هريرة " هذا [أقوى] في سنده [من حديث " وائل بن حجر "] وهو أنه قال:  «رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم -: إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه» ، أخرجه الأربعة، فإن للأول شاهدا من حديث ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما -، صححه ابن خزيمة، وذكره البخاري معلقا موقوفا. «رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه» أخرجه الأربعة؛ فإن للأول أي حديث أبي هريرة شاهدا من حديث " ابن عمر " صححه ابن خزيمة، تقدم ذكر الشاهد هذا قريبا، وذكره أي الشاهد البخاري معلقا موقوفا، قال: قال " نافع ": كان " ابن عمر " يضع يديه قبل ركبتيه. وحديث " وائل " أخرجه أصحاب السنن الأربعة، وابن خزيمة، وابن السكن في صحيحيهما، من طريق شريك، عن عاصم بن كليب، عن أبيه، قال البخاري؛ والترمذي، وأبو داود، والبيهقي: تفرد به شريك، ولكن له شاهدا عن " عاصم الأحول " عن " أنس " قال: «رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - انحط بالتكبير حتى سبقت ركبتاه يديه» أخرجه الدارقطني والحاكم والبيهقي. وقال الحاكم؛ وهو على شرطهما. وقال البيهقي: تفرد به " العلاء بن العطار "، والعلاء مجهول، هذا حديث " وائل " هو دليل الحنفية والشافعية، وهو مروي عن " عمر "، أخرجه عبد الرزاق، وعن ابن مسعود، أخرجه الطحاوي، وقال به أحمد وإسحاق، وجماعة من العلماء

Download Kitab Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khothib



Judul kitab : Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khothib

Penulis : Syekh Sulaiman Bin Muhammad bin Umar Al-Bujairomi

Muhaqqiq : Syekh Ali Muhammad Mu'awwadh - Syekh Adil Ahmad Abdul Maujud

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1996

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4

Download Kitab Al-Iqna' Syarah Taqrib



Judul kitab : Al-Iqna' Fi Halli Alfadhi Abi Syuja'

Penulis : Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfihani (Abu Syuja')

Muhaqqiq : Syekh Ali Muhammad Mu'awwadh - Syekh Adil Ahmad Abdul Maujud

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Ketiga

Tahun : 2004

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2

Hukum Jual Beli Yang Dilakukan Anak Kecil



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum
Bagaimana hukumnya jual beli yang dilakukan anak yang belum tamyiz, seperti yang sudah umum terjadi di masyarakat?

(Dari : Siroj Munir).

Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh babarokatuh..
Bila menilik aturan syara' pelaku transaksi suatu akad harus memenuhi kriteria sebagai berikut: baligh, berakal, tidak terpaksa, rasyid (cakap). Yang didalam format fiqh disebut mutlaqut tasharuf. Dengan demikian transaksi yang dilakukan oleh anak-anak kecil dan orang orang yang tidak memenuhi kriteria di atas hukumnya tidak sah .

Meski begitu, ada sebagian ulama yang memberi kelonggaran dengan disamakan dengan jual beli mu'athah (jual beli tanpa ijab kabul). Dengan syarat barang–barang tersebut masuk ke dalam kategori barang-barang remeh atau bukan barang-barang maha, seperti jajan atau makanan ringan.

Jadi, apabila kita mengacu pada pendapat tersebut hukum jual belinya anak kecil sah untuk barang–barang yang pada umumnya dianggap remeh dan tidak mahal, apalagi hal seperti ini sudah umum dilakukan oleh masyarakat. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Al Murtadho).

Referensi: 
1. Bughyatul Mustarsyidin, Hal: 124

فائدة: قال في القلائد: نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها، وعليه عمل الناس بغير نكير، ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في ال...كثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه، ويوقف على إجازته، وذاكرت بذلك بعض المفتين فقال: إنما هو في أحكام الدنيا، أما الآخرة إذا اتصل بقدر حقه بلا غبن فلا مطالبة اهـ  

2. Kifayatul Akhyar, 1/240

قلت ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ

.............................................................................

BOLEHKAH ORANG YANG MUKIM BERMAKMUM PADA ORANG YANG SEDANG SHALAT JAMAK QASHAR?



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Saya sedang shalat jamak qashar, tiba-tiba di belakang saya ada yang ikut menjadi makmum.
Apakah shalatnya sah?

(Dari : Si Aga Tegar).


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..
Jika memang orang yang tiba-tiba ikut menjadi makmum tersebut juga orang yang sedang bepergian dan akan mengerjakan sholat jamak qashar tentu saja tidak ada permasalahan, karena shalat keduanya sama.

Sedangkan apabila orang yang tiba-tiba ikut menjadi makmum tersebut adalah orang yang mukim (tidak sedang bepergian) atau orang yang menyempurnakan sholat (tidak sholat jamak atau qashar) maka sholat jama’ahnya juga sah, sebab orang yang sedang tidak sholat jamak qashar diperbolehkan makmum pada orang yang sedang shalat jamak qashar.

Namun, bagi orang yang mengetahui bahwa ada orang yang tidak sedang sholat jamak qashar makmum kepadanya yang sedang mengerjakan shalat jamak qashar, sesudah sholat disunatkan untuk memberitahukan makmum tersebut bahwa shalat yang ia kerjakan adalah shalat jamak atau qashar, dan menyuruhnya untuk menyempurnakan sholatnya. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Ubaid Bin Aziz Hasanan , Muhammad Fawwaz Kurniawan dan Siroj Munir)


Referensi:

1. Al-Majmu’, 4/357

فرع: إذا صلى مسافر بمسافرين ومقيمين جاز ويقصر الامام والمسافرين ويتم المقيمون ويسن للإمام أن يقول عقب سلامه أتموا فإنا قوم سفر
 
2. Kifayatul Akhyar, 1/143

الشرط الرابع أن لا يقتدي بمقيم أو بمتم في جزء من صلاته فإن فعل لزمه الإتمام، ولو صلى الظهر خلف من يصلي الصبح مسافراً كان أو مقيماً لم يجز له القصر على الأصح لأنها صلاة لا تقصر ولو صلى الظهر خلف من يصلي الجمعة فالمذهب أنه لا يجوز له القصر ويلزمه الإتمام وسواء كان إمام الجمعة مسافراً أو مقيماً ولو نوى الظهر مقصورة خلف من يصلي القصر مقصورة جاز والله أعلم

Download Kitab Tausyekh Ala Fathul Qorib


Judul kitab : Qutul Habib Al-Ghorib, Tausyekh Ala Fathul Qorib Al-Mujib

Penulis : Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi

Muhaqqiq : Muhammad Abdul Aziz Al-Kholidi

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1998

Link download (PDF) : Klik disini

......................................................................................................................

Link Terkait :






Download Kitab Fathul Qorib Syarah Taqrib



Judul kitab : Fathul Qorib Al-Mujib Ala  At-Taqrib

Penulis : Syeh Muhammad  bin Qosim bin Muhammad Al-Ghozi


VERSI PERTAMA :


Penerbit : Musthofa Albabi Al-Halabi, Kairo - Mesir

Tahun Terbit : 1343 H

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA :


Muhaqqiq : Yusuf Ar-Rozzaq

Penerbit : Maktabah Al-Husain At-Tijariyah

Link download (PDF) : Muqoddimah  Kitab

................................................................................................


Link Terkait :





Download Kitab Matan Taqrib (Al-Ghoyah Wat Taqrib)


Judul kitab : Al-Ghoyah Wat Taqrib

Penulis : Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfihani (Abu Syuja')


VERSI PERTAMA :

Penerbit : Maktabah Al-Jumhuriyah Al-Arobiyah, Kairo - Mesir

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA :

Muhaqqiq : Majid Al-Hamawi

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1994

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KETIGA :

Muhaqqiq : Muhammad Labib

Penerbit : Darus Shohabah Lit-Turots, Thonto - Mesir

Cetakan : Pertama

Tahun : 1413 H

Link download (PDF) : Klik disini

.........................................................................................


Link Terkait :





Hukum Membatalkan Sholat Sunat Demi Sholat Jama'ah



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Saat kita shalat sunah qabliyah ternyata imam datang dan shalat berjamaah dimulai. Apa yang harus dilakukakan. Apakah kita melanjutkan shalat sunah rawatibnya tapi  ketinggalan takbiratul ihramnya imam atau malah tertinggal rakaat? Ataukah kita mesti memutus shalat sunah dan langsung ikut jamaah? Ataukah shalat sunah kita jadikan satu rakaat kemudian salam ?
Terima kasih atas jawaban dewan Asatidz.

(Dari Sari Similikiti).


Jawaban:
 Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Jawaban dari pertanyaan diatas diperinci sebagai berikut :

-      Disunahkan untuk  memutuskan shalat sunah qabliyahnya jika khawatir kehilangan shalat jama'ah sebab salamnya imam (kalau sholatsholat nya dilanjutkan sholat jama’ahnya sudah selesai).
-      Disunahkan menjadikan shalat qabliyahnya menjadi satu rakaat saja,  kemudian salam. Hal ini dilakukan apabila shalat jamaah dilaksanakan di tengah-tengah shalat qabliyah.
-      Disunahkan untuk menyempurnakan shalat qabliyah jika berharap ada jamaah lain yang akan datang dalam waktu dekat, sementara waktu shalat masih longgar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمُتَنَفِّلُ أَمِيرُ نَفْسِهِ

"Orang yang mengerjakan ibadah sunah itu lebih menguasai atau lebih berhak (amir)  atas dirinya”. (Sunan Turmudzi, No.732)

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid Bin Aziz Hasanan, Muhammad Fawwaz Kurniawan, Brandal Loka Jaya, Farid Muzakki, dan Siroj Munir).


Referensi:
1. Fathul Mu’in,

 وندب لمنفرد رأى جماعة أن يقلب فرضه نفلا ويسلم من ركعتين
ـــــــــــــــــــــــــــــ
 وندب لمنفرد رأى جماعة مشروعة أن يقلب فرضه الحاضر لا الفائت نفلا مطلقا ويسلم من ركعتين إذا لم يقم لثالثة ثم يدخل في الجماعة
 نعم إن خشي فوت الجماعة إن تمم ركعتين استحب له قطع الصلاة واستئنافها جماعة ذكره في المجموع
وبحث البلقيني أنه يسلم ولو من ركعة أما إذا قام لثالثة أتمها ندبا إن لم يخش فوت الجماعة ثم يدخل في الجماعة

2. I’anatut Tholibin, 1/264

تتمة: لو كان يصلي الفائتة وخاف فوت الحاضرة قلبها نفلا وجوبا واشتغل بالحاضرة
ولو كان يصلي في النافلة وخاف فوت الجماعة قطعها ندبا
نعم، إن رجا جماعة غيرها تقام عن قرب، والوقت متسع، فالأولى إتمام نافلته ثم يصلي الفريضة معها

3. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 34/51

أما قطع التطوع بعد الشروع فيه فقد اختلف الفقهاء في حكمه فقال الحنفية والمالكية: لا يجوز قطعه بعد الشروع بلا عذر كالفرض ويجب إتمامه، لأنه عبادة، ويلزم بالشروع فيه، ولا يجوز إبطاله، لأنه عبادة. وقال الشافعية والحنابلة: يجوز قطع التطوع، عدا الحج والعمرة، لحديث المتنفل أمير نفسه

 Baca Juga:

Jumlah bilangan roka'at sholat sunat rowatib (qobliyah dan ba'diyah)

Menggabungkan sholat qobliyah jum'at dan sholat tahiyat masjid

Tata cara dan ketentuan-ketentuan hukum sholat sunat wudhu'

Bolehkah sholat qobliyah dikerjakan sesudah sholat fardhu dan sholat ba'diyah sebelum sholat fardhu ?

Bolehkah sholat tahajjud, tapi belum tidur?

Waktu dan tata cara mengerjakan sholat istikhoroh

Hukum Mengerjakan Sholat Witir Hanya Satu Rakaat

Dalil kesunahan sholat tasbih dan derajat haditsnya

Bacaan fatihah sholat tasbih yang dikerjakan pada malam hari

Perbedaan sholat tasbih dimalam hari dan siang hari

Hukum mengerjakan sholat sunat dirumah

Dalil disunatkannya sholat taubat

Hukum Mengerjakan sholat sunat sebelum dan sesudah sholat hari raya

Mengerjakan sholat sunat saat khutbah sedang berlangsung

Hukum Sholat Sunat Berjama'ah

MENAMBAH KATA “TA’ALA” PADA UCAPAN SALAM



Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya memberikan tambahan kata "ta'ala" pada ucapan salam, sehingga kalimatnya menjadi  “Assalamu'alaikum warahmatullahi ta'ala wabarakaatuh”?
Mohon untuk memberikan refrensinya .  Terima kasih.

(Dari :  Muhammad Fatchurrozi).


Jawaban:
Diperbolehkan menambahkan lafadz “ta’ala” pada salam karena tidak bertentangan dengan tatacara yang diajarkan sunnah bahkan hal tersebut juga dilakukan oleh para sahabat Nabi. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya meriwayatkan :

عَنْ مَيْمُونٍ، أَنَّ رَجُلًا سَلَّمَ عَلَى سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ، فَقَالَ: سَلْمَانُ: «حَسْبُكَ

“Dari Maimun, bahwa seorang lelaki mengucapkan salam pada Salman Al-Farisi dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh, lalu Salman berkata: Cukuplah bagi kamu”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, No.25683).

Syekh Al-Alusi dalam tafsirnya meriwayatkan:

عَنْ سَالِمٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَمِيعًا قَال: كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ زَادَ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ وَطَيِّبُ صَلَوَاتِهِ

“Dari Salim, budak Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum, ia berkata, ketika ada orang member salam pada Ibnu Umar maka ia akan menambah ketika menjawabnya, saya pernah mendatanginya dan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, dia menjawab “Assalamu’alaikum warohmatullohi taala”, lalu dilain waktu aku mendatanginya dengan mengatakan “Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh” dia menjawab “Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh wa thoyyibu sholawatihi”.

Jadi, kesimpulannya menambah kata “ta’ala” setelah kata “Allah” itu boleh-boleh saja. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Al Murtadho, Mbah Pardan Milanistie dan Siroj Munir).

Referensi:
 1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25/158-159

يزيد المحيى إذا جمع المحيي الثلاثة له وهي السلام والرحمة والبركة ، لما روي عن سالم مولى عبد الله بن عمر رضي الله عنهم جميعا قال : كان ابن عمر إذا سلم عليه فرد زاد ، فأتيته فقلت : السلام عليكم ، فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى ، ثم أتيته مرة أخرى فقلت : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته ، فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته وطيب صلواته . ولا يتعين ما ذكر للزيادة لما روي عن معاذ زيادة : ومغفرته

2. Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/243

حدثنا كثير بن هشام، عن جعفر، عن ميمون، أن رجلا سلم على سلمان الفارسي، فقال: السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته، فقال: سلمان: «حسبك» ، ثم رد على الذي قال , ثم أراد أخرى فقال له الرجل: أتعرفني يا أبا عبد الله؟ فقال: «أما روحي فقد عرف روحك

3. Tafsir Ruhul Ma’ani, 5/99

ولان السلام من أسمائه تعالى والبداءة بذكره مما لاريب فى فضله ومزيته أى إذا سلم عليكم من جهة المؤمنين كما قال الحسن وعطاء أو مطلقا كما أخرج ابن أبى شيبة والبخارى فى الادب وغيرهما عن ابن عباس رضى الله تعالى عنهما فحيوا بأحسن منها أى بتحية أحسن من التحية التى حييتم بها بأن تقولوا او عليكم السلام ورحمة الله تعالى إن اقتصر المسلم على الأول وبأن تزيدوا وبركاته إن جمعهما المسلم وهى النهاية فقد أخرج البيهقى عن عروة بن الزبير أن رجلا سلم عليه فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته فقال عروة ماترك لنا فضلا ان السلام قد انتهى الى وبركاته وفى معناه ماأخرجه الامام أحمد والطبرانى عن سلمان الفارسى مرفوعا وذلك لانتظام تلك التحية لجميع فنون المطالب التي هي السلامة عن المضار ونيل المنافع ودوامها ونمائها وقبل : يزيد المحيى إذا حمع المحيى الثلاثة له فقد أخرج البخارى فى الادب المفرد عن سالم مولى عبد الله بن عمر قال : كان ابن عمر إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته فقلت : السلام عليم فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى ثم أتيته مرة أخرى فقلت : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته وطيب صلواته ولايتعين ماذكر للزيادة فقد ورد خبر رواه أبو داؤد والبيهقى عن معاذ زيادة : ومغفرته فما فى الدر من أن المراد لايزيد على وبركاته غير مجمع عليه أوردوها أى حيوا بمثلها و أو للتخيير بين الزيادة وتركها والظاهر أن الأول هو الافضل فى الجواب بل لو زاد المسلم على السلام عليكم كان أفضل فقد أخرج البيهقى عن سهل ابن حنيف قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من قال : السلام عليكم كتب الله تعالى له عشر حسنات فان قال السلام عليكم ورحمة الله تعالى كتب الله تعالى له عشرين حسنة فان السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته كتب الله تعالى له ثلاثين حسنة  

Suami mengajak berhubungan intim dengan berbagai gaya, haruskah istri menurutinya?



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum...
Ada seorang cewek yang inbox, namanya tidak usah disebut.Dia bertanya: Ketika suami mengajak istri untuk berhubungan intim, kan istri tidak boleh menolak kecuali ada udzur syar'i. Nah seumpama suami meminta "berbagai gaya", jika istri menolak dosa atau tidak? Istilah kasarannya "halaah mas mas, kalau mau ya gaya biaya saja, kalau tidak mau ya sudah, nggak usah sekalian".

( Dari : Intan Nur Azizah )


Jawaban :

Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Seorang istri diwajibkan menuruti kemauan suaminya untuk berhubungan intim, selama sang istri mampu dan tidak memiliki udzur yang dibenarkan secara syari’at. Nabi bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para Malaikat sampai subuh." (Shahih Muslim, No.1436)

Sedangkan berhubungan intim dengan berbagai gaya selama tidak melakukan hubungan intim lewat dubur, maka hal tersebut diperbolehkan. Allah berfirman:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." (QS. Al-Baqarah : 223)

‘Abd bin Humaid dalam Tafsirnya menjelaskan, bahwa Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini maksudnya adalah; berhubungan intim dengan cara berdiri, duduk, berhadap-hadapan atau membelakangi selama masih lewat farji.

Sebagai pelengkap, ada satu hadits yang ceritanya hampir mirip dengan cerita diatas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا، وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمُ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ، وَقَالَتْ: إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي، حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}أَيْ: مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

“Sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya, ia telah melakukan suatu kesalahan- Sesungguhnya terdapat sebuah kampong anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampong yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memeliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara, dan hal tersebut lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara yang mereka ingkari, orang-orang Quraisy menggauli mereka dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! Hingga tersebar permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. kemudian Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: "Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat diperolehnya anak (farj).” (Sunan Abu Dawud, No. 2164).

Namun, meski hal itu diperbolehkan hendaknya semua dilakukan dengan cara yang baik, sebab meski istri memiliki kewajiban menuruti suaminya, tapi suami juga memiliki kewajiban untuk menggauli istrinya dengan cara yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para wanita) dengan baik”. (QS. An-Nisa’ : 19)

Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa permintaan suami untuk mengajak sang istri berhubungan intim dengan berbagai gaya bukanlah merupakan udzur yang memperbolehkan istri menolak berhubungan intim, karena hal tersebut tidak dilarang oleh agama, karena itu penolakan atas dasar itu tidak dibenarkan dan istri harus tetap menurutinya selama masih mampu dan tentunya harus dikerjakan dengan cara yang baik (mu’asyaroh bil ma’ruf). . Wallahu a’lam.

( Dijawab oleh :  John Safari, Bani Slagah Al Husaini dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Syarah Shahih Muslim Lin-Nawawi, 10/7-8

وحدثنا محمد بن المثنى، وابن بشار، واللفظ لابن المثنى، قالا: حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا شعبة، قال: سمعت قتادة، يحدث عن زرارة بن أوفى، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: إذا باتت المرأة، هاجرة فراش زوجها، لعنتها الملائكة حتى تصبح
........................................
قوله صلى الله عليه وسلم (إذا باتت المرأة هاجرة فراش زوجها لعنتها الملائكة حتى تصبح وفي رواية حتى ترجع هذا دليل على تحريم امتناعها من فراشه لغير عذر شرعي وليس الحيض بعذر في الامتناع لأن له حقا في الاستمتاع بها فوق الإزار


2. Hasyiyah Asy-Syarbini Ala Tuhfatul Muhtaj, 8/326

قول المتن: بلا عذر) وليس من العذر كثرة جماعه وتكرره وبطء إنزاله حيث لم يحصل لها منه مشقة لا تحتمل عادة اهـ.ع ش (قول المتن يضر معه الوطء) لعل المراد بالضرر هنا مشقة لا تحتمل عادة وإن لم تبح التيمم أخذا مما يأتي له في ركوب البحر اهـ.
سيد عمر ومر آنفا عن ع ش ما يوافقه

3. Al-Wasyah Fi Fawaidin Nikah, Hal : 63

وأخرج عبد بن حميد فى تفسيره: عن ابن عباس فى قوله تعالى: (نسائكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم) قال: قائمة، وقاعدة، ومقبلة، ومدبرة،فى قبلها

4. Sunan Abu Dawud, 2/249

حدثنا عبد العزيز بن يحيى أبو الأصبغ، حدثني محمد يعني ابن سلمة، عن محمد بن إسحاق، عن أبان بن صالح، عن مجاهد، عن ابن عباس، قال: " إن ابن عمر والله يغفر له أوهم إنما كان هذا الحي من الأنصار وهم أهل وثن مع هذا الحي من يهود وهم أهل كتاب وكانوا يرون لهم فضلا عليهم في العلم فكانوا يقتدون بكثير من فعلهم وكان من أمر أهل الكتاب أن لا يأتوا النساء إلا على حرف وذلك أستر ما تكون المرأة فكان هذا الحي من الأنصار قد أخذوا بذلك من فعلهم وكان هذا الحي من قريش يشرحون النساء شرحا منكرا، ويتلذذون منهن مقبلات ومدبرات [ص:250] ومستلقيات فلما قدم المهاجرون المدينة تزوج رجل منهم امرأة من الأنصار فذهب يصنع بها ذلك فأنكرته عليه، وقالت: إنما كنا نؤتى على حرف فاصنع ذلك وإلا فاجتنبني، حتى شري أمرهما فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فأنزل الله عز وجل {نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم} [البقرة:] أي: مقبلات ومدبرات ومستلقيات يعني بذلك موضع الولد

5. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh, 10/336

وعلى الزوجة طاعة زوجها اذا دعاها الى الفراش ، ولو كانت على التنور او على ظهر قتب ، كما رواه احمد وغيره ، مالم يشتغلها عن الفرائض ، او يضرها :لان الضرر ونحوه ليس من المعاشرة بالمعروف . ووجوب طاعتها له لقوله تعالى ( ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف ) –الى ان قال ولأن حق الزوج واجب ، فلا يجوز تركه بما ليس بواجب

Bolehkah mengaqiqahi anak lelaki dengan seekor kambing saja?


Pertanyaan :
Bolehkah mengaqiqahi anak laki-laki  hanya dengan satu  ekor kambing?

(Dari Kalisah Zyta Viana).


Jawaban:
 Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Aqiqoh yang disyari’atkan bagi anak laki-laki Ketentuan hewan yang disembelih untuk aqiqoh adalah satu kambing untuk setiap satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhu ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

"Bahwasannya Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam mengaqiqahi untuk Hasan dan Husain dengan masing-masing satu kambing." (Sunan Abu Dawud, no.2841)

Namun dianjurkan untuk menyembelih 2 kambing bagi satu anak lelaki, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah rodhiyallohu 'anha ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنِ الغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ

"Bahwasanya Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada para sahabat untuk mengaqiqahkan anak laki-lakinya dengan dua kambing yang besar dan untuk anak perempuan cukup satu kambing" (Sunan turmudzi, no.1513)

Jadi, Orang yang hanya mampu menyembelih seekor kambing dengan niat mengaqiqahi anak laki-lakinya karena masalah keuangan sejatinya telah mendapatkan kesunahan aqiqah dan telah gugur tuntutan aqiqah pada dirinya. Wallahu a’lam.

 (Dijawab oleh: Ubaid Bin Aziz Hasanan Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Al Murtadho dan Siroj Munir).


Referensi:
1. Al-Iqna’ Lisy Syarbini, 2/594

ويتأدى أصل السنة عن الغلام بشاة لأنه صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين كبشا    

2. Minhajul Qowim, 1/634

  و) لكن (الأكمل شاتان) متساويتان (للذكر) ويحصل بالواحدة فيه أصل السنة

3. Al-Fiqhul Manhaji, 3/57-58

تتحقق السنة في العقيقة بأن يذبح الولي شاة عن الغلام، وشاة عن الجارية. ودليل ذلك ما رواه الترمذي في [الأضاحي ـ باب ـ ما جاء في العقيقة بشاة، رقم: 1519] عن علي - رضي الله عنه -، قال: عق رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عن الحسن بشاة
ولكن الأفضل أن يذبح الولي عن الصبي شاتين، وعن البنت شاة. ودليل ذلك ما رواه الترمذي في [الأضاحي ـ باب ـ ما جاء في العقيقة، رقم: 1513] وغيره عن عائشة رضي الله عنها، أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: أمرهم: عن الغلام شاتان متكافئتان، وعن الجارية شاة