Template information

Download Kitab Fadho'il Romadhon - Ibnu Abid Dunya



Judul kitab : Fadho'il Romadhon

Penulis : Imam Abu Bakar Abdulloh bin Muhammad bin Abid Dunya

Muhaqqiq : Abdulloh bin Hamd Al-Manshur

Penerbit : Darus Salaf, Riyadh - Arab Saudi

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 1995

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Fadho'il Syahri Romadhon - Al-Ujhuri



Judul kitab : Fadho'il Syahri Romadhon

Penulis : Syaikh Ali bin Muhammad Al-Ujhuri Al-Maliki

Muhaqqiq : Dr. Abdurrohim As-Sayih - Syaikh Abdul Mun'im Farj Darwis

Penerbit : Darul Fadhilah

Cetakan : -

Tahun terbit : 1996

Link download (PDF) : Klik disini

Kumpulan Ibarot Hasil Bahtsul Masail Pondok Pesantren

Bahtsul Masail adalah wahana terbaik dan terunggul sepanjang masa untuk menelisik dan mengupas berbagai permasalahan yang sedang dihadapi khalayak dengan perspektif kitab-kitab para ulama: mufassir, syarih, fuqaha, dan mursyid. Melalui Bahtsul Masail lah, para santri semakin berkembang tingkat keilmuan dan pemahamannya terhadap Islam berbasis madzhab.
Hampir dapat dipastikan, kalangan pesantren ketika berselancar di dunia maya akan sibuk menelusur kumpulan ibarot dan hasil-hasil Bahtsul Masail, baik sebagai referensi atau bacaan atau penambah wawasan.
FK menyadari hal itu dan merasa perlu untuk turut menyebarluaskan hasil-hasil bahtsul masail lengkap dengan ibarotnya. Berikut di antaranya:
https://www.facebook.com/groups/FIQHKONTEMPORER/547466178654109/
https://www.facebook.com/groups/FIQHKONTEMPORER/548975481836512/
https://www.facebook.com/groups/FIQHKONTEMPORER/548982621835798/
Untuk lebih lengkapnya, silakan unduh di link berikut
https://www.facebook.com/groups/FIQHKONTEMPORER/files/
Mungkin ada yang bertanya, kenapa tidak diupload saja di blog ini? Tidak, karena sudah diupload di grup Facebook FK. Jadi sepertinya sudah cukup kalau di-link-kan. Biar blog ini tidak bertambah berat.

Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, Dan Dzulhijjah - Fatwa MUI



بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL,
DAN DZULHIJJAH


Majelis Ulama Indonesia, setelah :
MENIMBANG  : 
a.  bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
b.  bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
c.  bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
d.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT  :  
1.  Firman Allah SWT, antara lain

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…(QS Yunus [10]: 5)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر 94

 “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.(H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).

عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ

“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”. (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah).

3.  Qa’idah fiqh:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani:

وَمَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ فَإِنْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَجَبَ الصَّوْمُ عَلَى الْكَافَّةِ وَلَمْ يُنْقَضْ الْحُكْمُ إجْمَاعًا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي مَجْمُوعِهِ وَهُوَ صَرِيحٌ فِي أَنَّ لِلْقَاضِي أَنْ يَحْكُمَ بِكَوْنِ اللَّيْلَةِ مِنْ رَمَضَانَ

2.  Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
2.  Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari
2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN  :  FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama  :  Fatwa
1.  Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2.  Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
3.  Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama
wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4.  Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua  :  Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusa-hakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-or-mas Islam dan para ahli terkait.

Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424H
24 Januari 2004 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Keutamaan Dan Keistimewaan Hukum Hari Jum’at (Bagian 1)



Berikut ini adalah beberapa keutamaan dan keistimewaan hukum hari jum’at  yang sebagian besar keterangannya kami ambil keterangannya dari kitab “Nurul Lum’ah Fi Khosho’isi Yaumil Jum’ah” karya Imam Suyuthi rahimahullah.

KEISTIMEWAAN - KEISTIMEWAAN HARI JUM’AT

1. Hari jum’at merupakan hari raya umat islam. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ، جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

"Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah Allah jadikan bagi kaum muslimin. Barangsiapa menghadiri shalat jum'at hendaklah mandi, jika mempunyai minyak wangi hendaklah mengoleskannya, dan hendaklah kalian bersiwak. " (Sunan Ibnu Majah, no.1098)

Syaikh Abul Hasan Ubaidillah bin Muhammad Abdussalam Al-Mubarokfuri dalam kitab beliau “Mir’atul Mafatih Syarah Misykatul Mashobih” menjelaskan bahwa hari jum’at adalah hari raya bagi kaum muslimin karena itulah kita dianjurkan untuk membersihkan diri dan memakai wewangian.

Adapun mengenai kesunahan mandi pada hari jum’at, menurut pendapat mayoritas ulama’ kesunahan mandi pada hari ini hanya berlaku bagi orang yang akan merlaksanakan sholat jum’at sebagaimanaketerangan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah diatas. Sedangkan menurut pendapat Syaikh Muhammad, Syaikh Abu YTusuf dan Imam Dawud kesunahan mandi pada hari jum’at mencakup anak-anak, wanita, lelaki dewasa, dan budak, jadi kesunahan ini byukan hanya berlaku bagi orang yang akan melaksanakan sholat jum’at. Setelah menguraikan 2 pendapat ini, beliau menyatakan bahwa, yang dhohir adalah bahwa pada hari jum’at terdapat 2 mandi: pertama; mandi yang dilakukan untuk hari jum’at dan kedua; mandi yang dikerjakan ketika hendak menunaikan hari jum’at. Ini berarti jika ada orang yang mengerjakan mandi sebelum sholat jum’at maka ia mendapatkan 2 keutamaan mandi (mandi hari jum’at dan mandi sebelum sholat jum’at), sedangkan orang yang mandi setelah sholat jum’at hanya mendapatkan satu keutamaan saja, yaitu mandi pada hari jum’at dan tak mendapatkan keutamaan mandi sebelum hari jum’at yang pahalanya besar karena mandi sebelum sholat jum’at hukumnya diperselisihkan dikalangan ulama’ sebagian menyatakan hukumnya sunah mu’akkad dan sebagian lainnya menyatakan hukumnya wajib.

2. Dimakruhkannya puasa pada hari jum’at jika sebelum dan atau sesudahnya tidak melakukan puasa. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ، إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

"Janganlah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum'at kecuali dibarengi dengan satu hari sebelum atau sesudahnya". (Shahih Bukhari, no. 1985, Shahih Muslim, no.1144. Adapun yang tertera disini adalah redaksi Imam Bukhari)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Juwairiyah “ummul mu’minin” (ibunda kaum mukmin, istri Rasulullah) radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ، فَقَالَ: «أَصُمْتِ أَمْسِ؟»، قَالَتْ: لاَ، قَالَ: «تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا؟» قَالَتْ: لاَ، قَالَ: فَأَفْطِرِي

“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya pada hari Jum'at ketika dia sedang berpuasa. Beliau bertanya: "Apakah kemarin kamu juga berpuasa?" Dia menjawab: "Tidak". Beliau bertanya lagi: "Apakah besok kamu berniat berpuasa?" Dia menjawab: "Tidak". Maka Beliau berkata: "Berbukalah (batalkan puasamu)" (Shahih Bukhari, no.1986)

Menurut pendapat yang shohih dalam madzhab syafi’i dan juga pendapat mayoritas ulama’ puasa pada hari jum’at secara tersendiri hukumnya makruh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari dimakruhkannya puasa pada hari jum’at secara tersendiri adalah dikarenakan hari jum’at merupakan hari yang dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah berupa dzikir, do’a, membaca qur’an dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu disunahkan untuk tidak berpuasa pada hari ini agar dapat membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dengan giat tanpa kebosanan. Hal ini seperti halnya anjuran yang diperuntukkan bagi orang haji yang sedang berada di padang arafah, yang lebih utama baginya adalah tidak melakukan puasa karena hikmah yang sama seperti dalam hal kemakruhan puasa jum’at.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari sayyidina Ali karramallahu wajhah;

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَطَوِّعًا مِنَ الشَّهْرِ أَيَّامًا، فَلْيَكُنْ صَوْمُهُ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَلَا يَصُومُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِنَّهُ يَوْمُ طَعَامٍ وَشَرَابٍ، وَذِكْرٍ


“Barangsiapa diantara kalian yang mengerjakan amalan sunah beberapa dari satu bulan, maka hendaklah puasanya dikerjakan pada hari kamis, dan tidak berpuasa pada hari jum’at, karena sesungguhnya hari jum’at adalah hari makan , minum (tidak berpuasa), dan berdzikir”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.9243)

Sedangkan menurut pendapat yang dipilih oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar, hikmah dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah bahwa hari jum’at adalah hari raya kaum muslimin, dan sebagaimana yang dudah diketahui pada hari raya kita dilarang untuk berpuasa. Hal ini dikuatkan dengan hadits marfu’ dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Hakim;

يَوْمُ الْجُمُعَةِ عِيدٌ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Hari jum’at adalah hari raya, maka jangan kalian jadikan hari raya kalian sebagai hari puasa kalian kecuali jika sebelum atau sesudahnya kalian berpuas.” (Al-Mustadrak, no.1595)

Sedangkan menurut pendapat lain yang dipilih oleh Imam Suyuthi, hikmah dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah untuk menyelisihi orang-orang yahudi dimana mereka berpuasa pada hari raya mereka.

3. Dimakruhkannya melakukan ibadah yang khusus pada malam harinya.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

"Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at dengan shalat malam di antara malam-malam yang lain, dan jangan pula dengan puasa, kecuali memang bertepatan dengan hari puasanya." (Shahih Muslim, no.1144)

Dalam kitab Syarah Shohih Muslim imam Nawawi menjelaskan bahwa didalam hadits ini terdapat larangan yang jelas mengenai pelaksanaan sholat yang khusus dilakukan pada malam jum’at, dan kemakruhan ini telah disepakati oleh semua ulama’.

4. Kesunahan membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada sholat shubuh hari jum’at. imam Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ: الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ

“bahwanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat Shubuh pada hari Jum'at, beliau membaca: "ALIF LAAM MIIM TANZIIL" (surat As Sajadah) dan, "HAL ATAA 'ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI" (surat Al Insan). (Shahih Bukhari, no.891, Shahih Muslim, no.879. Yang ditampilkan disini adalah redaksi Imam Muslim).

Dalam riwayat lainnya terdapat tambahan mengenai penempatan bacaan kedua surat ini, seperti yang terdapat dalam shahih Muslim;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ: بِالم تَنْزِيلُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى، وَفِي الثَّانِيَةِ هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا

“Dari Abu Hurairah bahwa dalam shalat Shubuh pada hari Jum'at biasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca "ALIF LAAM MIIM TANZIIL" (surat As Sajadah) pada raka'at pertama, dan pada raka'at kedua, "HAL ATAA 'ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI LAM YAKUN SYAI`AN MADZKUURAA." (surat Al Insan).” (Shahih Muslim, no.880)

Imam Suyuthi menjelaskan; dikatakan bahwa hikmah membaca kedua surat tersebut adalah sebagai isyarat mengenai kandungan 2 surat tersebut yang menjelaskan tentang penciptaan nabi Adam -‘alaihis salam- dan keadaan-keadaan pada hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi pada hari jum’at sebagaimana yang oleh Ibnu Dihyah.

Beliau menambahkan; namun menurut sebagian ulama’ tujuan disunahkannya membaca surat tersebut adalah agar terdapat sujud tambahan dalam sholat subuh pada hari jum’at (maksudnya karena yang dibaca adalah surat As-Sajdah yang didalamnya terdapat ayat yang ketika membacanya disunahkan untuk melakukan sujud tilawah maka akan terdapat sujud tambahan dalam sholat tersebut). Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat Imam Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata:

مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ الْغَدَاةَ، إِلَّا قَرَأَ بِسُورَةٍ فِيهَا سَجْدَةٌ

“Aku tak pernah sholat dibelakang Ibnu Abbas pada pagi hari jum’at (sholat shubuh) kecuali beliau membaca surat yang didalamnya terdapat sujud (sujud tilawah) ” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.5445).

Penggunaan Alat Pengeras Suara Ketika Adzan, Sholat Jama'ah, Khutbah,dl. Bid’ahkah ? - Fatwa Syeikh Isma'il Utsman Zain Al-Yamani



Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji bagi Alloh yang telah menetapkan beberapa hukum bagi kita, dan telah menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad pemimpin umat manusia yang telah bersabda;

مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْراً يُفَقّهْهُ في الدّين

"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya maka Alloh akan memberikan pemahaman agama kepadanya".

Sholawat serta salam semoga terlimpahkan pula kepada keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (tabi'in) dalam menapaki jalan lurus.

Amma ba'du,
Orang yang sangat mengharap pengampunan Alloh, Isma'il Utsman Zain Al-Yamani Al-Makki Asy-Syafi'i -semoga Alloh senantiasa mengasihinya- berkata;

Sebagian orang bertanya tentang hukum menggunakan alat pengeras suara saat adzan, sholat jama'ah, sholat jum'at, khutbah sholat jum'at, dan hal-hal lain yang dianjurkan untuk mengeraskan bacaan dan disengar oleh orang lain, sebab sebagian orang yang menganggap dirinya seorang 'alim mengatakan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dan menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah.

Aku berkata; Ketahuilah bahwasanya setiap permasalahan yang sedang terjadi atau akan terjadi hingga hari kiamat nanti ada hukumnya dalam syari'at kita yang sangat jelas. Baik hal tersebut terdapat dalam nash atau dengan penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama' ahli fiqih yang mengerti dan sudah diakui kebaikannya yang sempurna, dan diakui oleh orang-orang yang pandai dan memiliki keutamaan dalam berpikir. Mereka itu adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Alloh;

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ

“ dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut : 43)

dan firman Alloh;

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri  di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri) (QS. An-Nisa’ : 83)

Selain itu sebagian dari qoidah-qoidah yang telah ditetapkan dan sudah dikenal dikalangan ahli ilmu terutama dikalangan madzhab syafi'i -semoga Alloh merahmati beliau dan para pengikutnya-  adalah; "Lil Wasa'il Hukmul Maqoshid" (Semua perantara memiliki hukum sebagaimana tujuannya). Qoidah ini mencakup kelima hukum islam tergantung dari tujuannya, jadi apabila yang dituju adalah perkara yang wajib maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga wajib, apabila yang dituju adalah perkara yang sunat maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga sunat, apabila yang dituju adalah perkara yang haram maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga haram, apabila yang dituju adalah perkara yang makruh maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga makruh, dan apabila yang dituju adalah perkara yang wajib maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga makruh.

Sebagian contohnya adalah kewajiban bagi khotib untuk memperderngarkan rukun khutbahnya kepada 40 jama'ah sholat jum'at, karena itu apabilahal tersebut tak bisa terlaksana kecuali dengan menggunakan pengeras suara maka penggiunaan pengeras suara tersebut hukumnya adalah wajib, sebab sesuatu yang dapat menyempurnakan perkara yang wajib juga dihukumi wajib, sedangkan apabila hal tersebut sudah bisa terlaksana dengan tanpa menggunakan pengeras suara maka penggunaan pengeras suara tersebut hukumnya sunatuntuk menambahkan faedah (pembacaan khutbah) dan kesempurnaan tujuannya (tujuan khutbah agar bisa didengar semua jama'ah yang hadir).

Begitu pula pemilik syari'at yang bijaksana menganjurkan untuk mengeraskan suara ketika adzandan mennyampaikan suaranya sampai jauh dan menganjurkan untuk menempati tempat yang tinggi seperti menara. Selain itu sianjurkan juga untuk meletakkan 2 jari telunjuk pada kedua telinga dengan tujuan agar suara yang dihasilkan bisa didengar dari jarak yang jauh. Berdasarkan itu semua maka penggunaan pengeras suara ketika adzan hukumya sunat sebab penggunaan alat tersebut dapat membantu agar suara adzan yang dikumandangkan bisa terdengar sampai jauh. 

Disini kami akan sedikit mengemukakan pernyataan para fuqoha' dari kalangan madzhab syafi'i dalam kitab-kitab matan dan syarah mereka yang menunjukkan bahwa mengeraskan suara agar bisa didengar sampai jauh itu dianjurkan dengan tujuan agar menambah penyampaian;

1. Dalam kitab Mughil Muhtaj, jilid 1, halaman 128 dijelaskan;

"Pelaksanaan adzan disunatkan untuk dilakukan oleh orang yang  suaranya paling tinggi. Hal ini didasarkan pada sabda rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Abdullaoh bin Zaid;

أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى مِنْكَ صَوْتًا

"Ajarkanlah kepada Bilal karena sesungguhnya dia lebih kencang suaranya daripada kamu." (Sunan Abu Dawud, no.512, Sunan Baihaqi, no.1873. Hadits ini dishohihkan Ibnu Hibban).

Pada halaman 127 diterangkan;

"Disunatkan untuk mengerjakan adzan ditempat yang tinggi seperti menara atau diatas atap, berdasarkan hadits dalam shohih bukhori dan shohih muslim;

كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai dua orang muadzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum. Dan tidak ada jarak antara keduanya, kecuali waktu Bilal turun (dari sini) dan Ibnu Ummi Maktum naik dari sini " (Shohih Muslim, no.1092)

2. Dalam kitab Fathul Jawad, Juz 1, halaman 104

"Dan dianjurkan untuk mengeraskan suaranya dengan sangat asalkan tidak sampai memayahkan dirinya, sebab rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untyuk mengeraskan suara. Beliau juga menjelaskan alasan (illat) dari perintah itu, yaitu bahwa manusia dan jin yang mendengar suara adzan tersebut kelak akan memberikan saksi pada hari kiamat".

3. Penjelasan dalam kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang diberi nama "Al-Majmu'" karya Imam Nawawi rahimahullah;

"Kedua: Dsisunatkan untuk adzan ditempat yang tinggi, seperti menara atau tempat lainnya, dan hal ini sudah disepakati oleh ulama'. Ashab kita (ashab madzhab syafi'i) mendasarkan kesunatan ini pada dalil yang dikemukakan oleh mushonnif (maksudnya pengarang kitab Muhadzdzab, yaitu Imam Al-Shirozi) dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata;

كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ» قَالَ: وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai dua orang mudzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sesungguhnya Bilal itu adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan." Dan tidaklah jarak antara keduanya, kecuali waktu Bilal turun (dari sini) dan Ibnu Ummi Maktum naik dari sini".(Shohih Muslim, no.1092)

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari riwayat Ibnu Umar dan Aisyah, sedangkan yang dipakai diatas adalah redaksi Imam Muslim.

Kesunatan tersebut juga didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Urwah bin Az-Zubair dari seorang wanita dari Bani Najar, ia berkata;

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

"Rumahku adalah rumah yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang lain di sekitar Masjid, dan Bilal mengumandangkan adzan subuh di atasnya" (Sunan Abu Dawud, no.519)

Dan kini alat pengeras suara sudah dianggap mencukupi dan tak perlu lagi naik ketempat yang tinggi seperti menara atau tempat semisalnya, hal tersebut sudah sangat jelas dan hal tersebut adalah suatu kesunatan yang tak diragukan lagi.

Kesimpulan akhir dari semua yang telah kami paparkan dalam lembaran-lembaran ini adalah bahwa penggunaan alat pengeras suara ketika adzan dan hal-hal lain yang dianjurkan untuk mengeraskan bacaan adalah merupakan perbuatan yang terpuji secara syari'at, dan inilah pendapat yang benar.

Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kita pada jalan yang lurus. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي شرع لنا الأحكام، وبيّن الحلال من الحرام. والصلاة والسلام على سيدنا محمد سيد الأنام القائل: {مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْراً يُفَقّهْهُ في الدّين}. وعلى آله وصحبه والتابعين لهم على النهج القويم والطريق المستقيم

أما بعد: فيقول الفقير إلى عفو الله تعالى إسماعيل عثمان زين اليمني المكي الشافعي، لطف الله به: سألني بعض المحبين عن حكم مكبّرات الصوت أثناء الأذان وصلاة الجماعة والجمعة وخطبتيها وغير ذلك مما يطلب فيه الجهر وإسماع الغير، لأن بعض من يدعي العلم يرى أن ذلك لا يجوز، لأنه بدعة

فأقول وبالله التوفيق: إعلم أنه ما من موضوع كائن أو يكون إلى يوم الدين إلا وله حكم في شرعنا المبين، سواء كان نصا أو استنباطا يستنبطه الفقهاء العارفون المشهود لهم بالخيرية الكاملة، ويعرفه العلماء الأذكياء، ذوو الألباب الفاضلة الذين قال الله تعالى فيهم: وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ. وقال فيهم:  وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

ثم إن من القواعد المقررة المشهورة بين أهل العلم، خصوصا في مذهب إمامنا الشافعي رحمه الله تعالى وأصحابه رضوان الله عليهم أن للوسائل حكم المقاصد. وهذه القاعدة تدخلها الأحكام الخمسة بحسب المقاصد، فمتى كان المقصد واجبا فالوسيلة إليه واجبة، ومتى كان مندوبا فالوسيلة إليه مندوبة، ومتى كان حراما فالوسيلة إليه محرمة، ومتى كان مكروها فالوسيلة إليه مكروهة، ومتى كان مباحا فالوسيلة إليه مباحة

فمن أمثلة ذلك أنه يجب على الخطيب إسماع أربعين من أهل الجمعة أركان الخطبة، فإذا لم يتأتّ ذلك إلا باستعمال المكبر كان استعماله واجبا، لأن ما ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وإن تأتى بدون ذلك فاستعماله حينئذٍ مندوب لمزيد الفائدة وتمام الغَرَض

وإذا كان الشارع الحكيم قد طلب في الأذان رفع الصوت وإبلاغه إلى مدى بعيد ونَدَب الوقوفَ على مكان عالٍ كالمنارة مثلا وندب وضع السبابتين في الأذنين لأنه أندى وأبعد للصوت، فيكون استعمال المكبر فيه مندوبا، لأنه مما يستعان به على إبلاغ صوت المؤذن إلى مدى بعيد
 
وقد بينت السنة النبوية الشريفة فوائد ذلك، وإن منها أنه لا يبلغ مدى صوت المؤذن شيئا، جِنًّا أو إنسا، حيوانا أو جمادا إلا شهد له يوم القيامة كما سيأتى. ومن الفوائد أيضا أن الشيطان يشرد ويهرب عند سماع الأذان فكلما كان المدى بعيدا كانت الفائدة أكثر

ولا ينبغى الإغترار بما يقوم به الآن بعض من يدعى العلم من الإنكار على بعض الأمور التي لها دَخَلٌ في أحكام الدين، ولها به إتصالٌ قويٌّ متين مدّعيا أن ذلك بدعة، لأنه ليس من فعل السلف. وهؤلاء الكثير منهم يلهجون بلفظ السلف ولا يعرفون من هم المستحقون لهذا الوصف، ويلهجون بالدليل وهم لا يعرفون كيفية الإستدلال به، ولا يحسنون الإستفادة من معناه، ولا يعلمون أن الأخذ بالدليل يحتاج إلى أهل لذلك، بحيث يعرفون الصالح للإستدلال وغير الصالح، يعرفون هل هو صحيح أو حسن، ثم يعرفون هل هو محكم أم منسوخ، ثم يعرفون عام أو خاص. وإذا كان عاما ينظرون هل له مخصص أم لا، ويعرفون هو مطلق أم مقيّد، ويعرفون هل هو مما أطبق أهل العلم على العمل بمقتضاه، وإلا فهو شاذ متروك ولو كان في أعلى درجة الصحة

وهاك نصَّ الإمام الشافعي رحمه الله تعالى، وهو من فضلاء السلف وخيارهم. قال رحمه الله تعالى: كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علمٌ به انتهى

فهكذا يكون جواب أهل العلم والإتصاف. ولا عبرة بأهل الجهل والجراءة والإعتساف وإن كثروا، فقد جاء في الأحاديث الصحيحة ـأنه في آخر الزمان يقل العلم ويكثر الجهل، وقد أصبح الكثير الآن يدعى العلم وليس له من عُدّةٍ سوى الجراءة والتمسك بالشواذ والإستدلال بما لا يعرف المقصود منه أو بالنفي للدليل ولا يدرى هذا المسكين أن عدم دليل الفعل ليس دليلا للمنع. فأمثال هؤلاء يعتبر الواحد منهم شخصيةً مؤذيةً وفتنةً تمشى على رجلين آخذٌ بالشاذّ من القول أو بالقول المهجور فَقَاهَتُهُ بالتشهّى ودعواه بلا برهان. والله المستعان

ولنذكر هنا نبذة يسيرة من كلام الفقهاء الشافعية في متونهم وشروحهم الدال على طلب زيادة مدى الصوت لزيادة الإبلاغ

ففي مغنى المحتاج الجزء الأول صفحة 128: "ويسن للأذان مؤذن حر لأنه أكمل من غيره صيِّتٌ أي عالى الصوت لقوله صلى الله عليه وسلم في خبر عبد الله بن زيد {أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى مِنْكَ صَوْتًا} أي أبعد ولزيادة الإبلاغ" انتهى

وفي صغحة 127: "ويسن أن يؤذن على موضع عال كمنارة وسطح لخبر الصحيحين: {كَانَ لِرَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم مُؤَذّنَانِ: بِلاَلٌ وَابْنُ أُمّ مَكْتُومٍ، وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَىَ هَذَا}، ولزيادة الإعلام" انتهى

وفي فتح الجواد الجزء الأول صفحة 104: "ويبالغ في الجهر مالم يُجْهِدْ نفسَهُ، لأمره صلى الله عليه وسلم برفع الصوت، وعلله بأنه لا يسمع مدى صوت المؤذن جنٌّ ولا إنسٌ إلا شهد له يوم القيامة" انتهى

وعبارة شرح المهذب المسمى بالمجموع للإمام النووي رحمه الله تعالى: "الثانية يستحب أن يؤذن على موضع عال، من منارة  أو غيرها. وهذا لا خلاف فيه، واحتج له الأصحاب بما ذكر المصنف، وبحديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: {كَانَ لِرَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم مُؤَذّنَانِ: بِلاَلٌ وَابْنُ أُمّ مَكْتُومٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ، قَالَ: وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَىَ هَذَا} رواه البخاري ومسلم من رواية ابن عمر وعائشة، وهذا لفظ مسلم. وعن عروة بن الزبير عن إمرأة من بني النجار قالت: {كانَ بَيْتِيْ أَطْوَلَ بَيْتٍ حَوْلَ المَسْجِدِ، فَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الفَجْرَ} رواه أبو داود

وقد صارت آلة مكبرات الصوت مُغْنِيَةً عن الصعود على موضع عالٍ كالمنارة وأشباهها، وذلك ظاهر بلا خفاء ومستحب بلا مراء

والحاصل من جميع ما ذكرناه ونقلناه في هذه الوريقات أن استعمال مكبّرات الصوت في الأذان وغيره مما يطلب فيه الجهر أمرٌ محمودٌ شرعًا، وهذا هو الحق والصواب

والله الهادى إلى سواء السبيل. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا. والحمد لله رب العالمين

BIOGRAFI IMAM IZZUDDIN IBNU ABDISSALAM (Bagian kedua)



Karir Intelektual Imam Izzuddin

Setelah imam izzuddin belajar kepada guru-guru tersebut, beliau mulai kehidupan intelektual beliau dengan mengajar, berfatwa dan menjadi khothib. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kegiatan-kegiatan beliau tersebut.

Pertama;  Mengajar

Selama beliau tinggal di Damaskus, beliau mengajar dibeberapa madrasah, diantaranya :

1. Madrasah Al-‘Aziziyah
Imam Izzuddin ditetapkan sebagai staf pengajar dimadrasah ini, yang juga merupakan tempat mengajar guru beliau, Imam Al-Amidi, beliau sudah mulai mengajar ditempat ini saat guru beliau itu juga masih mengajar disana.

2.  Zawiyah Al-Ghozaliyah
Zawiyah Al-Ghozaliyah adalah sebiah tempat kecil yang berada disalah satu sudut masjid jami’ al-umawi (zawiyah artinya pojokan). Tempat ini dinamakan zawiyah al-ghozaliyah karena sering dipakai oleh imam Ghozali sebagai tempat i’tikaf dan juga mengajar murid-muridnya. Tempat ini merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat mengajar oleh beberapa ulama’ besar pada masa itu. Imam Izzuddin ditetapkan oleh Sultan Al-Kamil sebagai pengajar ditempat itu menggantikan Syaikh Jamaluddin bin Muhammad Ad-Daula’i  yang telah wafat.

Kedua; Berfatwa

Pada masa beliau memberikan fatwa bukanlah tugas resmi dimana pemerintah menetapkan seseorang menjadi mufti yang memiliki tugas khusus untuk memberikan fatwa, Berfatwa adalah tanggung jawab moral yang dijalankan oleh seorang ulama’ yang sudah ahli, wira’i dan bertakwa. Jika ada orang yang sudah memenuhi kriteria tersebut maka masyarakat dengan sendirinya akan mendatangi orang tersebut untuk dimintai fatwa mengenai satu permasalahan. Jadi pada masa beliau berfatwa bukanlah tugas dari pemerintah namun murni karena Allah semata.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, imam izzuddin sangat terpengaruh dengan ketegasan guru-gurunya dalam berfatwa dan tak memperdulikan jika pendapat beliau bertentangan dengan penguasa.

Dikisahkan bahwa beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan Sultan Al-Asraf mengenai masalah hakikat al-qur’an, yang pada kurun itu merupakan salah satu masalah yang menyebabkan fitnah yang sangat besar dikalangan kaum muslimin. Beberapa orang yang mengetahui bahwa pendapat beliau berbeda dengan sultan sengaja mengajukan pertanyaan tersebut kepada imam izzuddin, dan nanti jawaban itu akan disampaikan kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap beliau berkata; “permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku, demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang haq”.

Lalu beliau menulis kitab beliau yang masyhur “Milhatul I’tiqod”. Ketika kitab itu dibaca oleh Sultan Asyraf, ia marah dan menuliskan jawaban dari kitab fatwa tersebut, setelah sampai pada imam izzuddin, jawaban sang raja diminta untuk dikembalikan lagi. Hal ini membuat sultan marah besar lalu mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk mendatangi imam izzuddin dan memberitahukan 3 keputusan yang diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, imam izzuddin berkata : “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku patut berucap Alhamdulillah.

Wahai Ghoroz, ketetapan agar aku tetap dirumah merupakan suatu keberuntungan bagiku, karena keadaan itu adalah kesempatan bagiku untuk menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, karena orang yang beruntung adalah orang yang tetap tinggal didalam rumah,  menangisi segala kesalahan yang telah diperbuat dan menyibukkan diri beribadah kepada Allah. Sultan member keputusan itu karena marah sedangkan aku yang menerimanya malah senang.

Demi Allah, wahai Ghoroz, andai saja aku memiliki mahkota yang pantas untukmu akan aku lepas dan kuberikan padamu sebagai imbalan surat yang berisi kabar gembira dari sang raja, ambillah sajadah ini dan pakailah untuk sholat. Setelah beliau menyerahkan sajadah itu Ghoroz kembali keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan imam izzuddin. Mendengar cerita itu sang raja berkata kepada orang-orang yang hadir disityu; “Coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat”.

Keadaan imam izzuddin yang dilarang berfatwa, tidak boleh bertemu siapa siapa dan keluar dari rumah berlangsung selama 3 hari, hingga akhirnya Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Hushoiri, seorang ulama’ pembesar madzhab Hanafi dimasa itu menghadap kepada sultan Al-Asyraf. Syaikh Jamaluddin berkata pada sultan; “Apa yang terjadi antara anda dan Ibnu Abdissalam, orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja ia berada di negeri india atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu”.

Sultan berkata; “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu pertanyaan”. Lalu sang sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut dan membacanya dari awal sampai akhir, setelah membacanya Syaikh Jamaluddin berkata; “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang islam dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah benar”.

Mendengar pernyataan dari Syaikh Jamaluddin sang sultan mengakui kesalahannya lalu berucap; “Kami memohon ampun pada Allah atas segala yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan memberikan hak beliau”. Setelah kejadian itu sultan meminta maaf kepada belimam izzuddin. Semenjak saat itu sang sultan menuruti semua fatwa beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.

Pada saat sang sultan sakit parah dan merasa bahwa ajlnya sudah dekat, sultan memanggil imam izzuddin untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat kepada san imam dan meminta beliau untuk memberikan nasehat. Memenuhi permintaan sultan, imam izzuddin memberikan nasehat untuk membatalkan pengiriman bala tentara yang telah disiapkan untuk memerangi saudara sultan Al-Asyraf yaitu sultan Al-Kamil yang berkuasa di Mesir, dan mengalihkan tentara tersebut untuk memerangi tentara Tartar yang menjadi musuh bersama, kala itu tentara Tartar sudah mulai mulai menguasai bagian timur Negara-negara islam. Sultan Asyraf mematuhi nasehat dan saran dari imam Izzuddin lalu mengirimkan pasukan untuk memerai tentara tartar.

Selain itu imam izzuddin memberikan nasehat kepada sultan agar menindak tegas para pegawainya yang berzina, suka mabuk-mabukan, meminta pungutan liar dari kaum muslimin dan bersikap dholim pada warga, beliau meminta sultan untuk memberantas semua itu. Beliau juga bercerita pada sultan bahwa sebagian dari hal-hal tersebut telah mampu beliau hilangkan dengan usahanya.

Setelah mendengar semua nasehat dari sang imam, sultan Asyraf berkata; “Semoga Allah membalas atas jasa anda pada agama dan atas semua nasehat yang telah anda beikat, dan semoga Allah mengumpulkan aku dengan anda kelak disurga”, lalu sang sultan memberikan uang 1000 dinan mesir namun beliau menolaknya seraya berkata ; “Pertemuan kita ini adalah murni karena Allah, karena itu aku tak akan mengotorinya dengan urusan dunia”.

Setelah meninggalnya Sultan Asyraf, kepemimpinan beralih kepada wakilnya yaitu Sultan Ismail. Maka Sultan Isma’il yang pada akhirnya menjalankan nasehat dari Imam Izzuddin untuk menindak pegawai-pegawai pemerintah yang suka melakukan kemungkaran.

Ketegasan imam izzuddin dalam memberikan fatwa juga ditampakkan pada masa pemerintahan Sultan Isma’il, beliau menentang kebijakan Sultan isma’il yang bersekongkol dengan tentara salib dan meminta bantuan mereka untuk berperang melawan Sultan Najmuddin Ayyub bin Kamil yang berkuasa di Mesir, tentu saja bantuan dari tentara salib itu tidak diberikan dengan cuma-cuma, Sultan Isma’il menyerahkan beberapa benterng yang sebelumnya dikuasai kaum muslimin kepada tentara salib.

Selain itu tentara salib diperkenankan masuk ke Damaskus untuk membeli alat-alat perang yang akan digunakan untuk berperang menyerang mesir. Para pembuat persenjataan perang dan penjualnya datang kepada Imam Izzuddin untuk menanyakan hukum membuat dan menjual alat-alat perang kepada tentara salib yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Maka Imam Izzuddin memberikan fatwa bahwa hal tersebut dilarang, beliau berkata; “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama Islam”. Fatwa inilah yang membuat sang raja marah besar pada beliau, namun Imam Izzuddin tak memperdulikan hal tersebut, karena bagi beliau memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.

Keahlian dan ketegasan beliau dalam berfatwa itulah yang membuat nama beliau dikenal dimana-mana, sampai sampai beberapa orang sengaja datang jauh-jauh menghadap beliau hanya untuk meminta fatwa. Kemasyhuran beliau juga sampai kenegeri Mesir sebelum akhirnya beliau pindah kesana, ini terbukti ketika beliau pindah ke Mesir, ulama’ yang menjadi mufti disana, yaitu Al-Hafidh Al-Mundhiri sudah tak mau lagi memberikan fatwa, Imam Al-Mundhiri memberikan alas an; “Aku memberikan fatwa sebelum Syaikh Izzuddin datang, jika beliau telah datang maka beliau yang lebih pantas untuk menjadi mufti”.

Ketiga; Menjadi Khothib

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam menjadi khothib di masjid jami’ Al-Umawi pada masa pemerintahan Sultan isma’il, beliau mulai ditetapkan sebagai khothib pada bulan robi’ul awwal tahun 637 H. Pada saat menjadi khothib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai perbuatan bid’ah, seperti mengetokkan pedang kemimbar, memakai pakaian hitam, menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam Izzuddin menentang keras kebijakan sultan yang akan memerangi saudaranya sendiri, penguasa mesir dengan meminta bantuan tentara salib, dan beliau memberikan fatwa agar para penjual perlengkapan perang tidak menjualnya kepada tentara salib. Selain memberikan fatwa yang sangat berani, dalam khutbahnya beliau menyindir sang sultan dalam khutbah yang beliau sampaikan di Masjid jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak seperti biasanya, beliau berdo’a;

اللهم أبرم لهذه الأمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن معصيتك

“Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU”.

Ketika beliau menyampaikan khutbah itu sang sultan sedang berada diluar Damaskus, lalu setelang Sang Sultan diberikan kabar akan hal itu ia semakin marah karena do’a itu jelas jelas menyindirnya, karena itulah ia mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan imam izzuddin sebagai khotib dan menghukum beliau dengan hukuman tahanan. Namun setelah sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk melepaskan imam izzuddin. Dan setelah imam izzuddin keluar dari tahanan beliau pergi ke Baitul Maqdis dan berencana untuk pindah ke Mesir.

TAFSIR AYAT AHKAM SURAT AL - FATIHAH



SURAT AL-FATIHAH

1. Firman Allah ta’ala;

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji  bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah : 2)

Ayat ini menetapkan adanya Tuhan, sang pencipta, dan menetapkan bahwa alam semesta ini sifatnya huduts (baru diciptakan, sebelumnya tidak ada).

Sebagian ulama’ menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa kalimat “Alhamdu lillahi robbil ‘alamin” adalah shighot (bentuk) kalimat pemujian yang paling tinggi disbanding bentuk pemujian dengan kalimat selain itu. Hal ini berbeda dengan pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa pemujian dengan jumlah fi’liyah (menggunakan kalimat fi’il, semisal “Nahmadu” artinya kami memuji) itu lebih baik (daripada menggunakan jumlah ismiyah, yaitu dengan kalimat “Alhamdu”).

Imam Al-Bulqini berkata; Bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah menggunakan kalimat “Alhamdulillahi robbil ‘alamin”, sebab kalimat ini yang digunakan dalam surat al-fatihah, selain itu kalimat ini juga merupakan kalimat yang terakhir diucapkan oleh penghuni surga, karena itulah hendaknya kalimat ini yang dipakai dalam urusan kebaikan, karena kalimat ini merupakan kalimat pujian yang paling agung diantara kalimat-kalimat pujian lainnya.

Pendapat ini berbeda dengan keterangan yang ada dalam kitab “Ar-Rodloh” (Roudlotut Tholibin, karya Imam Nawawi) dan juga kitab asalnya (maksudnya kitab Syarhul Kabir, karya Imam Rofi’i) yang meriwayatkan pendapat Imam Al-Mutawawlli yang menyatakan bahwa bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah “Al-Hamdu Lillah Hamdan Yuwafi Ni’amah Wa Yukafi Mazidah”.

2. Firman Allah ta’ala;

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” ( Al-Fatihah : 3)

Ayat ini menetapkan sifat-sifat dzatiyah bagi Allah.

3. Firman Allah ta’ala:

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai  di hari Pembalasan.” (QS. Al-Fatihah : 4)

Ayat ini menetapkan akan adanya hari pembalasan (akhirat).

4. Frman Allah ta’ala;

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)

Ayat ini merupakan isyarat untuk mendahulukan merendahkan diri sebelum meminta hajat.

Abu Tholib Ats-Tsa’labi dalam kitab tafsirnya berkata; Ayai ini mengumpulkan penjelasan yang membatalkan konsep “Al-Jabr” (menganggap bahwa semua yang dilakukan manusia adalah dari Tuhan dan manusia tak memiliki kehendak apa-apa) dan juga konsep “Al-Qodr” (menganggap bahwa semua perbuatan manusi dilakukan atas kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dari Tuhan) sekaligus.

Beliau melanjutkan bahwa dua konsep ituterbantahkan karena dalam ayat ini Allah  memberikan sifat penghambaan bagi manusia, dan ini sekaligus menetapkan adanya “Kasab” (kasab adalah kemampuan manusia untuk melakukan hal-hal yang bersifat ikhtiyariyah, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan kehendaknya sendiri, kebalikan dari ikhtiyariyah adalah “idhthiroriyah”, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan diluar kesadaran dan kontrol manusia) bagi manusia (konsep ini sekaligus meruntuhkan konsep bahwa manusia sama sekali tak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatannya, yaitu konsep “Al-Jabr”). 

Namun disisi lain manusia diajarkan untuk meminta petolongan kepada Allah, dari sini bisa dipahami bahwa manusia tidak mampu melakukan semua hal secara mutlak sesuai kemauannya sebab jika ia mampu melakukan semua hal sendirian tentu Allah tak akan menyuryuhnya meminta bantuan kepada-Nya, dari sinilah terbantahkannya konsep “Al-Qudroh”. Hal ini sebagaimana firman Allah lainnya seperti;

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ

“Dan (sebenarnya) bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS.  Al-Anfal : 17)

Ayat diatas menafikan adanya penciptaan suatu perbuatan dari manusia dan menetapkan adanya “kasab”.

Beliau juga menjelaskan bahwa semua ayat yang ada dalam berbagai surat bertentangan dengan kaedah-kaedah kaum mu’tazilah, karena dimulai dengan basmalah, jika kita artikan makna dari basmalah secara sempurna maka artinya”Atas bantuan Allah segala sesuatu yang ada tercipta pada mulanya” (Huru f ba’ pada ayat basmalah diartikan “isti’anah”, meminta bantuan).  Sebab apabila seorang hamba mampu menciptakan sendiri semua amal perbuatannya tentunya ia tak perlu lagi meminta bantuan Allah,. Selain itu seorang hamba juga memuji Allah (jika Allah tak berperan apa-apa, untuk apa Allah dipuji?), suatu keburukan bagi seseorang untuk memuji sesuatu atas apa yang tidak dikerjakannya. Semua hal itu menjadi dalil bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.

Lalu Allah memerintahkan mereka untuk meminta pertolongan dan hidayah, sedangkan mereka (kaum mu’tazilah) menganggap bahwa tak dibutuhkan lagi hidayah sebab mereka telah diberikan dakwah dan petunjuk mengenai beberapa dalil, sebab mereka menganggap bahwa hidayah bukanlah merupakan penciptaan pengetahuan, maka permulaan dari kitab suci al-qur’an adalah saksi bagi mereka (bahwa apa yang dianggap kaum mu’tazilah tidak benar, sebab manusia disuruh untuk meminta pertolongan dan hidayah, meskipun mereka telah diberikan dakwah dan dalil).

Al-Qodhi Al-Baidhowi menjelaskan bahwa dhomir yang terdapat pada kalimat  “Na’budu” dan “Nasta’in” (ytaitu dhomir “Nun” yang berarti kami) ditujukan bagi orang yang membaca dan semua orang yang mengakui keesaan Allah yang sekaligus mencakup semua  ibadah yang telah mereka lakukan, baik ibadah yang dilipat gandakan pahalanya maupun yang tercampur dengan hajat-hajat mereka. Mereka semua meminta agar amal-amal ibadah tersebut diterima dan dikabulkan, untuk itulah disyari’atkan jama’ah (karena apabila salah satu dari mereka ibadah dan do’anya terkabul maka yang lainnya juga akan ikut terkabul).

5. Firman Allah ta’ala;

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.” (QS. Al-Fatihah : 7)

Ayat ini mengisyaratkan untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang sholih (salafus sholih).



Diterjemahkan dari kitab : “Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil”

Download Kitab Al-Bidayah Wan Nihayah - Ibnu Katsir

Judul kitab : Al-Bidayah Wan Nihayah

Penulis : Imam 'Imaduddin Isma'il bin Umar bin Katsir Al-Qurosyi Asy-Syafi'i


VERSI PERTAMA

Muhaqqiq : Hassan Abdul Mannan

Penerbit : Baitul Afkar Ad-Dauliyah - Arab Saudi

Cetakan : -

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Klik Disini


VERSI KEDUA

Muhaqqiq : -

Penerbit : Maktabah Al-'Ashriyah - Beirut

Cetakan : -

Tahun Terbit : -

Link download (PDF) : Klik Disini

Download Kitab Tarikh Ath-Thabari



Judul kitab : Tarikhur Rusul Wal Muluk

Penulis : Imam Abu Ja'far Muhammad bin jarir Ath-Thobari

Muhaqqiq : Muhammad Abul Fadhl Ibrohim

Penerbit : Darul Ma'arif, Kairo - Mesir

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Cover Muqoddimah  Juz 1  Juz 2  Juz 3  Juz 4  Juz 5  Juz 6  Juz 7  Juz 8  Juz 9  Juz 10  Juz 11

Biografi Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam (Bagian 1)



Nama, Nasab dan Nisbat

Abu Muhammad, Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qosim bin Al-Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulmi Al-Maghrobi Ad-Damasyqi Al-Mishri Asy-Syafi’i, begitulah nama, nasab dan nisbat beliau.

Nama asli Imam Izzuddin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad adalah kunyah beliau, sedangkan “izzuddin”, yang artinya “kebanggaan agama” adalah laqob (julukan/gelar) beliau. Pemberian gelar dengan tambahan “ad-din” (agama) sedang masyhur dikala itu, banyak para ulama’ dan para pemimpin menambahkan kata tersebut dalam gelar mereka, sebut saja semisal Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin Adzdzohir Beibres, Tajuddin Abdul Wahab bin Bintul Al’A’azz, dan lainnya. Namun biasanya penyebutan nama beliau disingkat dengan “Al-‘Izz bin Abdussalam”.

Selain gelar izzuddin, beliau juga diberi gelar “Sulthonul Ulama’” yang artinya sultan/raja  dari para ulama’, gelar ini dipopulerkan oleh murid beliau, Imam Ibnu Daqiq Al-’Id. Kemungkinan gelar ini disematkan pada nama beliau lantaran beliau dikenal sebagai seorang ulama’ yang berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan ajaran agama, dan mendatangi para penguasa untuk menyampaikan hujah-hujah beliau dihadapan mereka.

Adapun nisbat As-Sulmi (huruf sin-nya dibaca dhommah, sebagaimana yang tertera pada lampiran pertama naskah kitab tafsir brliau, dan juga sebagaimana dikemukakan dalam beberapa sumber yang menjelaskan biografi beliau) mengarah pada satu kabi;lah yang bernama Bani Sulaim, salah satu kabilah yang masih dari kabilah-kabilah Mudhor.

Daerah asal nenek moyang beliau adalah daerah Maghrib (Maroko) karena itu terdapat kata “Al-Maghrobi” pada nisbat beliau. Lalu nenek moyang beliau pindah ke Damaskus, dan disitulah beliau dilahirkan, makanya beliau diberi nisbat “Ad-Damasyqi”. Sedangkan nisbat “Al-Mishri” dicantumkan dalam nama beliau sebab beliau pindah ke Negara mesir dan menetap disana. Adapun nisbat “Asy-Syafi’i” sudah maklum kiranya sebab beliau merupakan pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam beberapa hal beliau memiliki pendapat yang berseberangan dengan madzhab syafi’i.

Kelahiran dan Perkembangan

Semua sumber sejarah yang mencantumkan biografi beliau sepakat bahwa beliau dilahirkan di Damaskus, Syiria, hanya saja terdapat dua pendapat berbeda mengenai tahun kelahiran beliau, ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 577 H. dan ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 578 H.

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Izzuddin sangat faqir, karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usiau tua.

Masa-Masa Menuntut Ilmu

Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara berkala mengaji p[ada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam pendidikan karena keadan keluarga beliau yang miskin.

Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa kiuta lihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatuketika guru beliau berkata; “Engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa dariku lagi”, namun Imam Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian kitab yang diajarkan.

Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu lingkunagn dimana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur dalam berbagai ilmu.

Guru - Guru Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam


1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
Al-Qodhi Abdus Shomad bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid bin Al-Harostani Al-Anshori Al-Khozroji Al-Ubadi As-Sa’di Ad-Damasyqi  merupakan seorang qodhi (hakim) yang dikenal adil, zuhud dan wira’i, beliau merupakan salah satu pembesar fuqoha’ madzhab syafi’i, imam izzuddin menceritakan bahwa gurunya ini hafal kitab “Al-Wasith” karya imam ghozali. Tak heran jika Imam Izzuddin begitu kagum pada gurunya tersebut, Imam Izzuddin sampai mengatakan; “Tak pernah aku melihat orang yang ahli fiqih seperti beliau”.

Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani dikenal sebagai seorang hakim yang sangat berani dan tegas dalam memberikan keputusan hukum, Dikisahkan suatu ketika ada dua orang yang mengadukan permasalahan yang menimbulkan pertikaian diantara keduanya, salah satu diantara mereka membawa surat dari sang raja yang ditujukan kepasa sang qodhi yang berisi wasiat kepada qodhi, namun ketika beliau menerima surat itu, beliau tidak membukanya, setelah mendengarkan keterangan dari kedua orang tersebut beliau memberikan keputusan bahwa orang yang membawa surat dari raja itulah yang benar. Setelah memberikan keputusan, sang qodhi baru membuka surat tersebut, lalu membacanya dan mengembalikannya kepada orang yang membawa surat tersebut, seraya berkata; “Kitabulloh (al-qur’an) telah telah memberikan keputusan pada kitab (surat) ini”. Apa yang beliau lakukan akhirnya sampai kepada raja, lalu sang raja berkata; “Dia benar, kitabulloh lebih utama dari kitabku”.

Keberanian gurunya inilah yang sangat membekas dan berpengaruh pada keperibadian imam izzuddin, ini nampak ketika kelak beliau mulai memberikan fatwa, seringkali fatwa beliau berseberangan dengan apa yang dikehendaki oleh para pemimpin-pemimpin daulah Mamalik di Mesir. Imam Izzuddin juga memiliki pendapat yang berseberangan dengan raja Najmuddin Ayyub hingga membuat sang raja marah besar.

2. Syaikh Saifuddin Al-Amidi
Dalam bidang ushul (ilmu tauhid), Imam Izzuddin belajar pada Syaikh Saifuddin Al-Amidi, seorang ulama’ yang dikenal sangat pandai dalam bidang ushul dan diskusi (munadhoroh). Imam Izzuddin sangat terpengaruh dengan Syaikh Al-‘Amidi dan mengagumi gurunya itu, Imam Izzuddin mengatakan; “Tak pernah aku mendengar orang yang menyampaikan pelajaran sebagus beliau”,  Imam Izzuddin juga pernah berkata; “Aku tidak mengetahui kaidah-kaidah berdiskusi kecuali dari beliau”.

3. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
Abu Manshur Abdurrohman bin Muhammad bin Al-Hasan bin Hibatulloh bin Abdulloh bin Al-Husain Ad-Damasyqi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits dan fiqih madzhab syafi’i, seorang ulama’ yang dikenal wira’i dan zuhud. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang sangat berani dalam memberikan fatwa dan tak perduli meskipun keputusannya itu bertentangan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh raja, jika memang menurut beliau keputusan itu salah dan melanggar agama.. Beliau menolak dijadikan sebagai hakim ketika diminta oleh raja, dan mengatakan kepada sang raja; “Cari saja orang lain”.

Ketiga  ulama’ inilah guru-guru yang berpengaruh besar pada akhlak dan pola pemikiran beliau kelak. Selain ketiga ulama’ tersebut, Imam izzuddin juga belajar kepada beberapa ulama’ lainnya, diantaranya ;

4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
Beliau adalah Al-Hafidh Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim boin Asakir.

5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syiuyukh

Beliau adalah Abul Hasan Dhiya’uddin Abdullathif bin Isma’il bin Syaikhus Suyukh Abu Sa’d Al-Baghdadi. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.

6. Syaikh Al-Khusyu’i
Beliau adalah Abu Thohir Barokat bin Ibrohim bin Thohir Al-Khusyu’i. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.

7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
Beliau adalah Abu ‘Ali Hambal bin Abdulloh bin Al-Faroj bin Sa’adah. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.

8. Syaikh Umar bin Thobarzad
Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Yahya, yang lebih dikenal dengan Ibnu Thobarzad Ad-Darqozi.