Template information

Hukum Memperingati Hari Ibu - Fatwa Lembaga Fatwa Mesir


Memperingati Hari Ibu

Nomor Urut : 2268    Tanggal Jawaban : 16/08/2004

    Memperhatikan permohonan fatwa nomor 708 tahun 2004 yang berisi:    Apa hukum memperingati Hari Ibu? Apakah ia termasuk bid'ah?


Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Manusia merupakan makhluk Allah yang istimewa. Allah memuliakannya karena sifat kemanusiaannya itu. Dia telah menciptakan manusia dengan kekuasaan-Nya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam jasadnya. Allah pun memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada manusiadan menjauhkan Iblis dari rahmat-Nya karena menolak melaksanakan perintah sujud tersebut.

    Penghormatan terhadap manusia karena status kemanusiaannya merupakan karakter malaikat yang mejadi pilar bagi tegaknya peradaban Islam. Sebaliknya, menghinakan, merendahkan dan melecehkan manusia merupakan karakter iblis yang menghancurkan berbagai peradaban yangberpijak pada nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Allah berfirman,

فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَاب مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ

   "Lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari." (An-Nahl [16]: 26).

    Dan firman-Nya,

َمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَد خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

   "Dan barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata." (An-Nisâ [4]: 119).

    Firman-Nya juga,

أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُم عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

    "Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim." (Al-Kahfi [18]: 50).

    Di samping memuliakan manusia karena status kemanusiaannya –tanpa melihat ras, kelamin ataupun warna kulitnya—, Islam juga menambahkan pemuliaan lain kepadanya terkait dengan tugas yang dibebankan oleh Allah sesuai dengan tabiat alami masing-masing mereka. Diantara pemuliaan tersebut adalah ketika statusnya menjadi orang tua yang oleh Allah dijadikan sebagai sebab munculnya manusia ke dunia ini. Allah bahkan menyebutkan perintah untuk berterima kasih kepada orang tua setelah perintah bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُر لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

   "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu." (Luqmân [31]: 14).

    Allah juga menyebutkan perintah untuk berbakti kepada orang tua setelah perintah beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَين إِحْسَانًا

    "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (Al-Isrâ` [17]: 23).

    Hal ini tidak lain karena Allah menjadikan kedua orang tua sebagai sebab atau wasilah dalam penciptaan manusia. Tentunya semua ini merupakan penghormatan dan pemuliaan yang istimewa bagi kedua orang tua.

    Nabi saw. menjadikan ibu sebagai sosok yang paling berhak untuk mendapatkan bakti dari seorang anak melebihi ayahnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu, dia berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وآله وسلم- فَقَالَ: مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

"Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan baktiku?" "Ibumu," jawab beliau. "Kemudiansiapa?" lanjutnya. "Ibumu." "Lalu siapa lagi?" tanyanya lagi. "Ibumu." "Kemudian siapa lagi?" "Ayahmu," jawab beliau. (Muttafaq 'alaih).

    Islam juga menetapkan bahwa hubungan seorang anak dengan ibunya adalah hubungan organik yang alami. Sehingga, penisbatan seorang anak kepada ibunya tidak tergantung pada apakah anak itu berasal dari hubungan yang sah (nikah) ataukah tidak (perzinaan). Seorang perempuan adalah ibu dari anak yang ia lahirkan, bagaimanapun cara anak itu diperoleh. Hal ini berbeda dengan penisbatan anak kepada ayahnya yang tidak diakui oleh syarak kecuali jika berasal dari hubungan pernikahan yang sah.

    Bentuk pemuliaan yang lain dari Islam terhadap ibu adalah kewajiban menghormati, berbakti dan berbuat baik kepadanya. Dalam Islam tidak ada larangan untuk mengadakan suatu perayaan guna mengungkapkan rasa cinta dan bakti seorang anak kepada ibunya. Karena, hal itu tidak lebih dari sekedar permasalahan teknis yang tidak ada hubungannya dengan masalah bid'ah sebagaimana yang diklaim oleh banyak orang. Karena bid'ah yang ditolak adalah yang bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

    "Barang siapa yang mengada-adakan suatu perbuatan dalam urusan kami yang bukan termasuk bagian darinya, maka perbuatan itu ditolak." (Muttafaq 'alaih, dari hadits Aisyah).

    Dapat dipahami dari hadits ini bahwa barang siapa yang mengada-adakan suatu perbuatan yang merupakan bagian dari agama Islam, maka perbuatan itu dapat diterima dan tidak ditolak.

    Nabi saw. sendiri membiarkan bangsa Arab mengadakan perayaan untuk mengenang kemenangan-kemenangan bangsa mereka dengan melantunkan bait-bait syair tentang keutamaan suku mereka dan hari-hari kemenangannya. Hal ini sebagaimana disinggung dalam hadits yang
disebutkan dalam Shahîhain dari Aisyah r.a.,

أن النبي  صلى الله عليه وآله وسلم دخل عليها وعندها جاريتان تغنيان بغناء يوم بُعاث

    "bahwa pada suatu hari Nabi saw. mengunjunginya. Ketika itu terdapat dua orang budak perempuan bersama Aisyah yang sedang menyanyikan lagu mengenai Hari Bu'ats (Bu'ats adalah nama sebuah daerah dekat Madinah tempat terjadinya peperangan terakhir antara suku Aus dan Khazraj).

    Dalam hadits lain juga disebutkan juga,

أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- زار قبر أمه السيدة آمنة في أَلْفَيْ مُقَنَّع فما رُؤِيَ أَكْثَرَ بَاكِيًا مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ

    "bahwa Nabi saw. mengunjungi makam ibunya Sayyidah Aminah bersama seribu tentara bersenjata. Beliau tidak pernah terlihat menangis dengan begitu sedih dibandingkan hari itu. (Kisah ini diriwayatkan oleh Hakim –serta dia shahihkan— dan asal riwayatnya terdapat dalam Shahih Muslim).

    Kata "ibu" bagi kaum muslimin mengandung makna yang sangat luhur. Dalam literatur bahasa Arab, kata ini mempunyai makna yang jelas dan bervariasi. Dalam bahasa Arab, kata al-umm (ibu) dapat berarti asal, tempat tinggal, pemimpin serta pelayan bagi suatu kaum yang bertugas menyediakan makanan dan keperluan mereka. Makna terakhir ini dinukil dari Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu yang merupakan salah satu ulama pakar bahasa.

    Ibnu Duraid berkata, "Bangsa Arab menyebut segala sesuatu yang menjadi tempat bertemunya benda-benda lain yang ada di sekitarnya disebut dengan nama ibu." Karena itulah,kota Mekkah disebut juga dengan Ummul Qura (Ibu Perkampungan), karena ia terletak di tengah-tengah dunia dan merupakan kiblat yang menjadi tujuan orang-orang dari berbagai penjuru. Selain itu, Mekah juga merupakan tempat yang mempunyai posisi paling penting.

    Karena bahasa merupakan wadah pemikiran, maka bagi seorang muslim, makna kata ibu berkaitan langsung dengan sosok mulia tersebut. Sosok yang dijadikan Allah sebagai asal-muasal penciptaan manusia. Sosok yang oleh Allah dijadikan sebagai tempat seseorang menemukan ketenangan. Di samping itu, Allah juga mengilhamkan kepada seseorang bagaimana merawat ibunya, serta membuatnya senang untuk melayani dan memenuhi semua kebutuhannya. Ibu, dalam semua proses itu, merupakan sumber kasih dan sayang yang menjadi tempat berlindung bagi anak-anaknya.

    Dalam budaya kita yang diwariskan secara turun temurun, keluhuran makna kata "ibu" pun semakin jelas dalam penggunaan kata silaturahim. Nampak jelas bahwa dalam kata silaturahim salah satu organ tubuh ibu, yaitu ar-rahim atau rahim, dijadikan simbol pengikat antar anggota keluarga yang merupakan pilar tegaknya sebuah masyarakat. Hal itu karena tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk menyandang predikat ini melebihi ibu; sosok yang karenanya kehidupan ini terus berlangsung dan sebuah keluarga dapat terbentuk, serta memancarkan nilai-nilai kasih sayang. Semua ini semakin sempurna dengan adanya makna religi yang indah sebagaimana digambarkan Nabi saw. dalam sabda beliau,

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصََلَه ُاللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ

    "Hubungan kekerabatan (ar-rahim) tergantung di 'Arsy dan berkata, "Barang siapamenyambungkanku, maka Allah akan menyambungkan hubungan kekerabatannya. Dan barang siapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan kekerabatannya." (Muttafaq 'alaih, dari hadits Aisyah).

    Dan disebutkan dalam hadits qudsi,

قَالَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ: أَنَا اللهُ، وَأَنَا الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَشَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِيْ. فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ

    "Allah 'Azza wa Jalla berfirman, "Aku adalah Allah, dan Aku adalah ar-Rahman (Sang Maha Pengasih). Aku menciptakan rahim, dan Aku memberinya nama dari nama-Ku. Maka barang siapa menyambungkannya maka Aku akan menyambungkan hubungan kekerabatannya, dan barang siapa yang memutuskannya maka Aku akan memutus hubungan kekerabatannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi –dan dia menshahihkannya—, dari hadits Abdurrahman bin Auf r.a.).

    Dengan mengetahui makna kata "ibu" yang sangat luhur ini –baik secara terminologi, budaya dan agama—, maka kita dapat mengetahui perbedaan yang jauh antara kita dengan umat lain yang telah kehilangan nilai-nilai ikatan keluarga. Sehingga mereka pun berusaha menemukan nilai-nilai yang hilang tersebut dalam moment-moment seperti hari ibu tersebut dan mereka pun sangat berupaya untuk merayakannya. Oleh karena itu, perayaan-perayaan seperti ini bisa disebut sebagai moment untuk meminta perhatian dari anak-anak agar mengingat jasa para ibu dan agar mereka memberikan hadiah ala kadarnya kepada para ibu mereka sebagai ekspresi rasa terimakasih tersebut.

    Adanya perbedaan budaya antara kita dengan orang-orang Barat – dimana realita mereka menuntut adanya perayaan-perayaan semacam ini—, tidak dapat dijadikan alasan syar'i untuk menolak berpartisipasi merayakan acara hari ibu ini. Justru kami memandang bahwa berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas semacam ini merupakan kesempatan bagi kita untuk menyebarkan ajaran Islam yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbakti kepada orang tua. Pemanfaatan moment semacam ini semakin urgen di saat kedurhakaan menjadi sebuah fenomena yang sangat menyedihkan seperti di zaman ini.

    Rasulullah saw., tauladan terbaik kita, menyukai dan memuji orang yang berakhlak mulia walaupun berlainan agama. Dalam sebuah riwayat disebutkan,

لما أُتِيَ بسبايا طَيئ كانت ابنة حاتم الطائي في السبي فقالت للنبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: يا محمد، إنْ رأيتَ أن تُخَلِّيَ عني ولا تُشْمِت بي أحياء العرب؛ فإني ابنة سيد قومي، وإن أبي كان يحمي الذِّمار، ويَفُك العاني، ويُشبعالجائع، ويكسو العاري، ويَقري الضيف، ويطعم الطعام، ويُفشي السلام، ولم يَرُدّ طالب حاجة قط. وأنا ابنة حاتم طَيئ. فقال النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: يَا جَارِيَةُ، هَذِهِ صِفَةُ المُؤْمِنِينَ حَقًّا، لَوْ كَانَ أَبُوكِ مُؤْمِنًا لَتَرَحَّمْنَا عَلَيْهِ؛ خَلُّوا عَنْهَا فَإِنَّ أَبَاهَا كَانَ يُحِبُّ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ، وَالله تَعَالَى يُحِبب مَكَارِمَ الأخْلاقِ، فقام أبو بُردة ابن نِيار -رضي الله عنه- فقال: يا رسول الله واللهُ يحب مكارم الأخلاق؟ فقال رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم-: وَالَّذِي  نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ أَحَدٌ إِلاَّ بِحُسْن الخُلُقِ

    "bahwa di antara orang-orang suku Thayyi` yang ditawan dan dibawa menghadap Rasulullah saw., terdapat seorang anak perempuan Hatim ath-Tha`iy (pembesar suku Thayyi`). Anak perempuan Hatim Tha`iy itu berkata kepada beliau, "Wahai Muhammad, saya mohon engkau membebaskan saya, sehingga suku-suku Arab tidak bergembira dengan musibah yang menimpa saya ini. Saya adalah anak pembesar suku saya. Ayah saya melindungi orang yang memerlukan perlindungan, memberikan kemudahan kepada orang yang menderita, memberi makan orang lapar, memberi pakaian orang tidak mempunyai pakaian, menjamu tamu, memberi makanan kepada orang-orang, suka mengucapkan salam dan tidak pernah sekalipun menolak permintaan seseorang. Saya adalah anak Hatim ath-Tha`iy." Maka, Nabi saw. pun lalu bersabda, "Wahai gadis kecil, semua itu adalah benar-benar sifat orang-orang yang mukmin. Seandainya saja ayahmu itu adalah seorang mukmin, niscaya kami akan mendoakannya agar mendapatkan rahmat. –Lalu Rasulullah saw. berkata kepada para sahabat--, "Bebaskanlah dia, karena ayahnya menyukai akhlak yang mulia, dan Allah SWT pun menyukai akhlak yang mulia." Abu Burdah bin Niyar r.a. lalu berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, Allah menyukai akhlak yang mulia?" Beliau menjawab, "Demi Zat yang jiwaku berada di kekuasaan-Nya, tidak ada seorang pun yang masuk surga kecuali dengan akhlak yang mulia." (HR. Baihaqi, dari hadits Ali bin Abi Thalib).

    Rasulullah saw. juga bersabda,

لَقَدْ شَهِدْتُ فِيْ دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفاً مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهِ حُمُرَ النِّعَمِ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي اْلإِسْلاَمِ لَأَجَبْتُ

     "Saya telah menghadiri suatu kesepakatan di rumah Abdullah bin Jud'an yang lebih saya sukai dari pada memiliki onta-onta yang bagus. Seandainya saya diajak untuk melakukannya lagi dalam Islam, niscaya akan saya penuhi ajakan itu." (HR. Baihaqi, dari hadits Thalhahbin Abdullah bin Auf).

Dengan demikian, merayakan peringatan Hari Ibu adalah dibolehkan. Adapun bid'ah yang ditolak adalah bid'ah yang bertentangan dengan syariat. Sedangkan sesuatu yang hukum asalnya diakui oleh syariah tidaklah ditolak dan pelakunya tidak berdosa.

     Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


Teks asli fatwa:


    حكم الاحتفال بيوم الأم

الرقـم المسلسل : 2268    تاريخ الإجابة : 16/08/2004

     اطلعنا على الطلب المقيد برقم 538 لسنة 2005م المتضمن: السؤال عن حكم
الاحتفال بيوم الأم، وهل هو بدعة؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

الإنسان بنيان الرب، كرمه الله تعالى لآدميته؛ فصنعه بيديه، ونفخ فيه من روحه، وأسجد له ملائكته، وطرد إبليس من رحمته لأنه استكبر عن طاعة أمر الله بالسجود له

فكان احترام الآدمية صفة ملائكية قامت حضارة المسلمين عليها، وكانت إهانة الإنسان وإذلاله واحتقاره نزعة شيطانية إبليسية زلزلت كيان الحضارات التي بنيت عليها، ﴿فَخَرَّ عَلَيْهِمُ السَّقْفُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَأَتَاهُمُ الْعَذَاب مِنْ حَيْثُ لَا

يَشْعُرُونَ﴾ ، ﴿وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَد خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا﴾ ﴿أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُم عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا  

وكما جاء الإسلام بتكريم الإنسان من حيث هو إنسان بِغَضِّ النظر عن نوعه أو جنسه أو لونه فإنه أضاف إلى ذلك تكريمًا آخر يتعلق بالوظائف التي أقامه الله فيها طبقًا للخصائص التي خلـقه الله عليها، فكان من ذلك تكريم الوالدين

اللذين جعلهما الله تعالى سببًا في الوجود، وقرن شكرهما بشكره؛ فقال تعالى ﴿وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُر لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

وجعل الأمر بالإحسان إليهما بعد الأمر بعبادته سبحانه وتعالى فقال: ﴿وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَين إِحْسَانًا

وكان ذلك لأن الله جعلهما السبب الظاهر في الإيجاد فكانا أعظم مظهر كوني تجلت فيه صفة الخلق، وناهيك بذلك شرفًا على شرف وتكريمًا على تكريم

 والنبي -صلى الله عليه وآله وسلم- يجعل الأم أولى الناس بحسن الصحبة بل ويجعلها مقدمة على الأب في ذلك؛ فعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه- قَالَ (جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وآله وسلم-

فَقَالَ: مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ) متفق عليه

ويقرر الشرع الإسلامي أن العلاقة بين الولد وأمه علاقة عضوية طبعية؛ فلا تتوقف نسبته إليها على كونها أتت به من نكاح أو سفاح، بل هي أمه على كل حال، بخلاف الأبوة التي لا تثبت إلا من طريق شرعي

ومن مظاهر تكريم الأم الاحتفاء بها وحسن برها والإحسان إليها، وليس في الشرع ما يمنع من أن تكون هناك مناسبة لذلك يعبر فيها الأبناء عن برهم بأمهاتهم؛ فإن هذا أمر تنظيمي لا حرج فيه، ولا صلة له بمسألة البدعة التي يدندن

حولها كثير من الناس؛ فإن البدعة المردودة هي ما أُحدث على خلاف الشرع؛ لقوله صلى الله عليه وآله وسلم: ((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)) متفق عليه من حديث أم المؤمنين عائشة -رضي الله

عنها-، ومفهومه أن من أَحدث فيه ما هو منه فهو مقبول غير مردود

وقد أقر النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- العرب على احتفالاتهم بذكرياتهم الوطنية وانتصاراتهم القومية التي كانوا يَتَغَنَّوْنَ فيها بمآثر قبائلهم وأيام انتصاراتهم، كما في حديث الصحيحين عن عائشة -رضي الله عنها (أن النبي

 صلى الله عليه وآله وسلم دخل عليها وعندها جاريتان تغنيان بغناء يوم بُعاث)، وجاء في السنة (أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- زار قبر أمه السيدة آمنة في أَلْفَيْ مُقَنَّع فما رُؤِيَ أَكْثَرَ بَاكِيًا مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ) رواه

الحاكم وصححه وأصله في مسلم

إن معنى الأمومة عند المسلمين هو معنًى رفيع، له دلالته الواضحة في تراثهم اللغوي؛ فالأم في اللغة العربية تُطلق على الأصل، وعلى المسكن، وعلى الرئيس وعلى خادم القوم الذي يلي طعامهم وخدمتهم, -وهذا المعنى الأخير

مَرْوِيٌّ عن الإمام الشافعي -رضي الله عنه- وهو من أهل اللغة

قال ابن دُرَيد: وكل شيء انضمت إليه أشياء من سائر ما يليه فإن العرب تسمي ذلك الشيء "أُمًّا". ولذلك سميت مكة "أم القرى"؛ لأنها توسطت الأرض، ولأنها قبلة يؤمها الناس، ولأنها أعظم القرى شأنًا

ولما كانت اللغة هي وعاء الفكر فإن مردود هذه الكلمة عند المسلم ارتبط بذلك الإنسان الكريم الذي جعل الله فيه أصل تكوين المخلوق البشري، ثم وطَّنه مسكنًا له، ثم ألهمه سياسته وتربيته، وحبب إليه خدمته والقيام على شؤونه

فالأم في ذلك كله هي موضع الحنان والرحمة الذي يأوي إليه أبناؤها

كما كان هذا المعنى واضحًا في أصل الوضع اللغوي والاشتقاق من جذر الكلمة في اللغة؛ فإن موروثنا الثقافي يزيده نصاعةً ووضوحًا وذلك في الاستعمال التركيبي "لصلة الرحم" حيث جُعِلَت هذه الصفة العضوية في الأم

رمزًا للتواصل العائلي الذي كانت لَبِنَاتُه أساسًا للاجتماع البشري؛ إذ ليس أحدٌ أحق وأولى بهذه النسبة من الأم التي يستمر بها معنى الحياة وتتكون بها الأسرة وتتجلى فيها معاني الرحمة. ويبلغ الأمر تمامه وكماله بذلك المعنى

الديني البديع الذي يصوره النبي المصطفى والحبيب المجتبى -صلى الله عليه وآله وسلم- بقوله: ((الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُولُ: مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ)) متفق عليه من حديث أم المؤمنين

عائشة رضي الله عنها

وفي الحديث القدسي: ((قَالَ اللَّهُ عز وجل: أَنَا اللَّهُ، وَأَنَا الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِم وَشَقَقْتُ لَهَا مِنَ اسْمِي؛ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ)) رواه أبو داود والترمذي وصححه من حديث عبد الرحمن بن عوف رضي

الله عنه

وبتجلي هذا المعنى الرفيع للأمومة عندنا مدلولا لغويًّا وموروثًا ثقافيّا ومكانةً دينية يمكننا أن ندرك مدى الهوة الواسعة والمفارقة البعيدة بيننا وبين الآخر الذي ذابت لديه قيمة الأسرة وتفككت في واقعه أوصالُها، فأصبح
يلهث وراء هذه المناسبات ويتعطش إلى إقامتها ليستجدي بها شيئًا من هذه المعاني المفقودة لديه، وصارت مثل هذه الأيام أقرب عندهم إلى ما يمكن أن نسميه "بالتسول العاطفي" من الأبناء الذين يُنَبَّهون فيها إلى ضرورة تذكر

أمهاتهم بشيء من الهدايا الرمزية أثناء لهاثهم في تيار الحياة الذي ينظر أمامه ولا ينظر خلفه

ومع هذا الاختلاف والتباين بيننا وبين ثقافة الآخر التي أفرز واقعها مثل هذه المناسبات إلا أن ذلك لا يشكل مانعًا شرعيًّا من الاحتفال بها، بل نرى في المشاركة فيها نشرًا لقيمة البر بالوالدين في عصر أصبح فيه العقوق ظاهرة تبعث

على الأسى والأسف

ولنا في رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم الأسوة الحسنة؛ حيث كان يحب محاسن الأخلاق ويمدحها من كل أحد حتى ولو كان على غير دينه؛ فـ((لما أُتِيَ بسبايا طَيئ كانت ابنة حاتم الطائي في السبي فقالت للنبي -صلى

الله عليه وآله وسلم-: يا محمد، إنْ رأيتَ أن تُخَلِّيَ عني ولا تُشْمِت بي أحياء العرب؛ فإني ابنة سيد قومي، وإن أبي كان يحمي الذِّمار، ويَفُك العاني، ويُشبع الجائع، ويكسو العاري، ويَقري الضيف، ويطعم الطعام، ويُفشي السلام،

ولم يَرُدّ طالب حاجة قط. وأنا ابنة حاتم طَيئ. فقال النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: يَا جَارِيَةُ، هَذِهِ صِفَةُ المُؤْمِنِينَ حَقًّا، لَوْ كَانَ أَبُوكِ مُؤْمِنًا لَتَرَحَّمْنَا عَلَيْهِ؛ خَلُّوا عَنْهَا فَإِنَّ أَبَاهَا كَانَ يُحِبُّ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ، وَالله تَعَالَى

يُحِبب مَكَارِمَ الأخْلاقِ، فقام أبو بُردة ابن نِيار -رضي الله عنه- فقال: يا رسول الله واللهُ يحب مكارم الأخلاق؟ فقال رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم-: وَالَّذِي  نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ أَحَدٌ إِلاَّ بِحُسْن

الخُلُقِ). أخرجه البيهقي من حديث علي بن أبي طالب كرم الله وجهه

وقال عليه الصلاة والسلام: ((لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَار عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلاَم لأَجَبْتُ)) أخرجه البيهقي عن طلحة بن عبد الله بن عوف، وعليه فإن الاحتفال بيوم الأم

أمر جائز شرعًا لا مانع منه ولا حرج فيه، والبدعة المردودة إنما هي ما أُحدث على خلاف الشرع، أما ما شهد الشرع لأصله فإنه لا يكون مردودًا ولا إثم على فاعله. والله سبحانه وتعالى أعلم

Sumber: http://www.dar-alifta.org/viewfatwa.aspx?id=2268&mu&Home=1&LangID=1

Hukum Membaca Al-Qur’an Sebelum Khutbah Sholat Jum’at - Lembaga Fatwa Mesir



Membaca Alquran Sebelum Sholat Jum'at

Nomor Urut : 577    Tanggal Jawaban : 18/10/2004

Memperhatikan permintaan fatwa No. 2163 tahun 2004 yang berisi: Bagaimana hukumnya membaca Alquran pada hari Jum'at, pada tiap minggu sebelum dilaksanakannya sholat jum’at dan khutbah? Apakah hal ini dibolehkan atau tidak ?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Allah SWT memberikan para pembaca Alquran tempat yang sangat tinggi dan mulia. Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk membacanya dan mentadaburi (merenungi) makna-makna yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman,

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alqur'an dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Muzammil: 20).

Nabi saw. juga bersabda,

اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ، اِقْرَءُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافٍّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اِقْرَءُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ

"Bacalah Alquran, karena pada hari Kiamat ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Bacalah az-Zahrawain, yaitu surat al-Baqarah dan surat Ali 'Imrân, karena pada hari Kiamat pahala dari membaca keduanya akan datang seperti dua awan yang menaungi. Atau, pahala keduanya akan datang bagaikan sekumpulan burung yang berbaris untuk membela orang yang membacanya. Bacalah surat al-Baqarah, karena dengan senantiasa membacanya akan mendatangkan keberkahan, sedangkan meninggalkannya adalah kerugian, dan para penyihir tidak akan mampu membacanya." (HR. Muslim dan Ahmad).

Dan beliau juga bersabda,

اِقْرَءُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ قَلْباً وَعَى الْقُرْآنَ

"Bacalah Alquran, karena Allah tidak akan mengazab hati yang memahami Alquran." (HR. Tamam dari Abi Umamah r.a).

    Bahkan, Allah SWT menjadikan perbuatan mendengarkan Alquran sebagai suatu ibadah dan memberikan pahala yang besar baginya. Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-Musnad dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى كُتِبَ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلاَهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang mendengarkan satu ayat dari Kitabullah maka diberikan baginya sebuah pahala yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya maka ayat itu akan menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat."

    Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membaca Alquran setiap hari, terutama pada hari Jum'at dengan membaca surat al-Kahfi. Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ النٌّوْرُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum'at niscaya cahaya akan meneranginya antara dirinya dan Baitul 'Atiq (Ka'bah)." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Îmân).

    Membaca Alquran dengan suara yang indah dan ucapan yang fasih adalah dianjurkan. Rasulullah saw. bersabda,

زِيْنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَناً

"Hiasilah Alquran dengan suaramu, karena suara yang indah menambah keindahan Alquran." (HR. Hakim).

    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak apa-apa membaca Alquran di masjid sebelum khutbah Jum'at, karena hal itu adalah perbuatan baik dan dapat membuat para hadirin berkonsentrasi pada bacaan Alquran tersebut serta mempersiapkan mereka untuk melaksanakan rangkaian ibadah salat Jum'at.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


تلاوة القرآن قبل صلاة الجمعة

الرقـم المسلسل : 577    تاريخ الإجابة : 18/10/2004

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 2163 لسنـة 2004م المتضمن السؤال عما يلي: حكم قراءة سورة من القرآن الكريم يوم الجمعة من كل أسبوع قبل صلاة الجمعة والخطبة. وهل هذا الفعل جائز أم لا؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    جعل الله تعالى لقارئ القرآن منزلة عالية ودرجة رفيعة وندب المسلمين لقراءته وتدبر معانيه قال عز وجل: ﴿إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [المزمل: 20

    وقال سيدنا محمد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَؤُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا يَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ يُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَؤُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةً وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ» أخرجه الإمام أحمد في مسنده والإمام مسلم في صحيحه،

وقوله صلى الله عليه وسلم: «اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُعَذِّبُ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ» تمام عن أبي أمامة

بل جعل الله تعالى الاستماع إلى القرآن الكريم عبادة وأعد له الأجر العظيم
    أخرج الإمام أحمد في مسنده عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ، وَمَنْ تَلَا آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»،

وندب الإسلام قراءة القرآن في كل الأيام وخاصة يوم الجمعة بقراءة سورة الكهف، فلقد قال سيدنا محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ النُّورُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ» البيهقي في شعب الإيمان

وقراءة القرآن بالصوت الحسن واللسان الفصيح مستحبة، قال صلى الله عليه وسلم: «زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا» الحاكم في المستدرك

    وعليه وفي واقعة السؤال: فإنه لا حرج في قراءة القرآن في المساجد يوم الجمعة قبل الجمعة فإنه أمر حسن يجمع الناس على كتاب الله تعالى ويهيؤهم لأداء شعائر الجمعة

والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=577

Hukum Mengeluarkan Zakat Mal Dalam Bentuk Barang - Lembaga Fatwa Mesir



Mengeluarkan Zakat Mal Dalam Bentuk Barang

Nomor Urut : 2661    Tanggal Jawaban : 16/02/2004

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 159 tahun 2004 yang berisi:  Apakah boleh mengeluarkan sebagian zakat dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, gula, minyak dan sebagainya?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

Pada dasarnya, zakat dikeluarkan dalam bentuk benda yang wajib dizakati. Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim –dan dia menshahihkannya— meriwayatkan bahwa Nabi –shallallâhu 'alaihi wasallam— bersabda kepada Mu'adz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيْرَ مِنَ الإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ

"Ambillah biji-bijian dari biji-bijian, kambing dari kambing, onta dari onta dan sapi dari sapi".

Menurut para ulama’ ahli fikih dalam mazhab Hanafi dan yang lainnya, diperboplehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk nilai sebagai ganti dari barang yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun penyebutan bentuk benda yang wajib dikeluarkan sebagai zakat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, adalah bertujuan untuk memberi kemudahan kepada para pemilik harta. Karena, bagi para pemilik suatu jenis harta, akan lebih mudah mengeluarkan zakatnya dalam bentuk jenis harta yang dia miliki. Jadi penyebutan benda-benda tersebut bukan untuk mewajibkan pengeluaran zakat dalam bentuk benda-benda tersebut.

Pendapat ini berdasarkan pada beberapa dalil, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (secara mu'allaq) dan al-Baihaqi dari Thawus, dia berkata,

قَالَ مُعَاذٌ -رضي الله عنه- لأهْلِ الْيَمَنِ: ائْتُونِي بِعَرْضٍ: ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ في الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لأصْحَابِ النَّبِي -صلى الله عليه وآله وسلم- بِالْمَدِينَ

"Muadz bin Jabal berkata kepada para penduduk Yaman, "Bawalah kemari barang-barang berupa khamîsh (nama pakaian) atau pakaian lainnya sebagai zakat untuk menggantikan gandum dan jagung. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Rasulullah saw. di Madinah."

Thawus meskipun tidak pernah bertemu Muadz tapi dia mengetahui perihal Muadz, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi'i. Muadz berpijak pada kemaslahatan fakir miskin dalam menentukan cara pembayaran zakat. Karena, memberikan barang lebih mudah bagi para pemilik harta. Muadz mengambil pilihan lain ketika melihat adanya kemaslahatan bagi masyarakat di dalamnya. Pendapat Muadz itu didasarkan pada kenyataan bahwa ketika itu penduduk Yaman terkenal dengan produksi tekstilnya, sehingga memberikan hasil produk tersebut lebih mudah bagi mereka. Dan dalam satu waktu, produk yang mereka hasilkan dibutuhkan oleh penduduk Madinah.

Hal yang sama pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab. Said bin Manshur, dalam kitab as-Sunan, meriwayatkan dari Atha`, dia berkata,

: كان عمر بن الخطاب يأخذ العروض في الصدقة من الدراهم

"Dalam zakat harta, Umar bin Khattab lebih memilih mengambil barang daripada uang dirham."

Pendapat inilah yang kami pilih, karena tujuan terbesar dari zakat adalah memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sehingga, setiap kali zakat yang dikeluarkan lebih dekat dengan kebutuhan orang-orang miskin dan lebih bermanfaat bagi mereka, maka hal itu lebih dapat merealisasikan tujuan zakat dalam Islam.

Dengan demikian dibolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk makanan yang sesuai dengan kebutuhan fakir miskin.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


حكم إخراج زكاة المال في صورة عينية

الرقـم المسلسل : 2661    تاريخ الإجابة : 16/02/2004

 اطلعنا على الطلب المقيد برقم 159 لسنة 2004م والمتضمن: عن جواز إخراج جزء من الزكاة على هيئة مواد تموينية يحتاجها أي بيت كالأرز والسكر والزيت وخلافه

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

 الأصل في الزكاة أن تكون من جنس المال الذي تجب فيه، فقد روى أبو داود وابن ماجه والحاكم وصححه: أن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- قال لمعاذ -رضي الله عنه- حين بعثه إلى اليمن: ((خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيرَ مِنَ الإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ)

وعند فقهاء الحنفية وغيرهم أنه يجوز إخراج القيمة بدلا عن العين، وأن تعيين الأجناس في الزكاة إنما كان تسهيلا على أرباب الأموال حيث يسهل على صاحب المال إخراج زكاته من جنس ماله لا أن ذلك إلزام بأخذ الزكاة من جنس المال

واستدلوا على ذلك بما رواه البخاري معلقًا والبيهقي بسنده عن طاوس قال: قَالَ مُعَاذٌ -رضي الله عنه- لأهْلِ الْيَمَنِ: "ائْتُونِي بِعَرْضٍ: ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ في الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لأصْحَابِ النَّبِي -صلى الله عليه وآله وسلم- بِالْمَدِينَة"

وطاوس وإن لم يلق معاذًا فهو عالم بأمر معاذ، -كما قال الإمام الشافعي رضي الله عنه-؛ حيث لم يفهم معاذ -رضي الله عنه- الأمر إلا على جهة المصلحة من باب أن ذلك أيسر على أصحاب الأموال، فعدل عن ذلك عندما رأى المصلحة في غيره، حيث كان أهل اليمن مشهورين بصناعة الثياب ونسجها، وكان دفعها أيسر عليهم مع حاجة أهل المدينة إليها

وكذلك كان يفعل عمر بن الخطاب -رضي الله عنه-؛ فقد روى سعيد بن منصور في سننه عن عطاء قال: كان عمر بن الخطاب يأخذ العروض في الصدقة من الدراهم

وهذا الذي نرجحه؛ فإن المقصود الأعظم من الزكاة هو سد حاجة الفقراء والمحتاجين، وكلما كان جنس المخرج من الزكاة أوفق لحاجة المساكين وأنفع لهم كان ذلك أقرب إلى تحقيق مقصود الزكاة في الإسلام

وبناء على ذلك وفي واقعة السؤال: فإنه يجوز إخراج جزء من الزكاة على هيئة مواد تموينية مناسبة لاحتياج الفقراء والمساكين. والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=2661

Catatan : Mengeluarkan zakat mal berupa barang diperbolehkan apabila dipandang bahwa pemberian barang dianggap lebih bermanfaat. Dan pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan penerima zakat.

Aqidah Asy’ari, Memanjangkan jenggot, Memakai Celana cingkrang dan Qunut Sholat Subuh - Lembaga Fatwa Mesir



Pelecehan Kelompok-kelompok Ahlu Bid'ah terhadap Manhaj, Akidah dan Para Ulama Azhar


Nomor Urut : 261    Tanggal Jawaban : 19/11/2005

Memperhatikan permohonan fatwa No. 2908 tahun 2005 yang berisi: Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama salaf saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh orang-orang yang berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing, orang kafir dan zindik. Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari tuduhan mereka. Mereka menyerang akidah para ulama Azhar dan menuduh para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah. Selain itu, mereka juga mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat Subuh sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Para pemuda muslim, terutama para penuntut ilmu, hendaknya berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bukan sebaliknya, menyebar perpecahan dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan tidak berselisih dalam urusan agama. Allah berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Âli 'Imrân [3]: 103).

Dan Allah berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfâl [8]: 46).

    Allah juga memerintahkan kita untuk berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Al-Baqarah [2]: 83).

     Rasulullah saw. juga memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan umat, hingga beliau menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya adalah sedekah.

    Para pemuda juga wajib menjauhkan diri dari manhaj-manhaj pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang banyak tersebar di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus bersikap bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh. Kelompok manapun yang menggunakan nama "Salafus saleh" sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfiman,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 42).

    Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar adalah akidah Asy'ariah yang merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama Asy'ariah –semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka diridai—merupakan jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang menjawab semua syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan lainnya. Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan mereka, maka orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.

    Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyîn Kadzb al-Muftarî fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abi al-Hasan al-Asy'arî berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk mendapatkan keridaan-Nya serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya— bahwa daging para ulama adalah beracun. Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan para ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia meninggal dunia."

    Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan menara ilmu dan agama sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk sebuah lembaga ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam yang istimewa. Dengan lembaga ini Allah telah menjaga agama-Nya dari setiap penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba mencari-cari kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada dalam bahaya yang besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte Khawarij yang disinggung oleh Allah dalam firman-Nya,

لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar." (Al-Ahzâb [33]: 60).

    Berkaitan dengan masalah jenggot, maka memeliharanya dan tidak mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.

    Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram. Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.

    Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.

    Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,

عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

"Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air." 

Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur."

    Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama Syafi'iyah— berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) --yang merubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran— tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.

    Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ

"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).

    Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ

"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka." (HR. Bukhari).

Nabi saw. juga bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ - قالها ثلاثا-، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih". Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).

    Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi saw. bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."

    Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.

    Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a,

أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ

 Bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah saw. bersabda; "Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."

    Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata,

خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا

"Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata, Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali."

   Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.

    Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).

    Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.

    Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah,

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

"Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR. Bukhari dan lainnya).

Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

"Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka." (HR. Muslim).

    Adapun membaca doa qunut dalam shalat Shubuh maka hal itu adalah sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar kalangan Salaf salih dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

"Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut selama satu bulan guna melaknat mereka (suku Ra'l, Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya. Sedangkan dalam shalat Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal dunia."

Ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa orang hufâzh dan mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat mengenai penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya dengan mengatakan bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum tertentu dengan keburukan (melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.

    Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi bencana-bencana yang menimpa kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak terjadi bencana yang menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.

    Dengan demikian, jika terjadi suatu bencana yang menimpa kaum muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai anjuran membaca qunut dalam shalat Shubuh. Dalm hal ini yang masih diperdebatkan adalah membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian ulama, seperti para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut ketika terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada shalat Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab Hanafi, berpendapat bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr (shalat yang bacaannya dibaca dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah, dalam pendapat yang shahih, berpendapat bahwa qunut dibaca di seluruh shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana ini dengan wabah penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak perkampungan dan tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.

    Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para ulama dalam masalah membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada kondisi ketika tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para ulama sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh, sedangkan dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.

    Dengan demikian, kritikan terhadap pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak benar, adalah kritikan yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam yang sedang ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah kita yang dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan kemenangan umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas. Hal ini jika kita melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan dan tidak pernah berkesudahan.

    Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu bencana hanya terbatas pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau empat puluh hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang membaca qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk diikuti sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl [16]: 43).

    Barang siapa yang mentaklid imam lain yang pendapatnya menurutnya benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh mengingkari orang yang membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: Lâ yunkaru al-mukhtalaf fîh (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: Lâ yunqaqhu al-ijtihâd bil ijtihâd (Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


التهجم على منهج الأزهر وعقيدته وعلمائه من قبل بعض طوائف المبتدعة


الرقـم المسلسل : 261    تاريخ الإجابة : 19/11/2005

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 2908 لسنة 2005م المتضمن ينتمي كثير من الشباب إلى فرقة تقول بأنها الوحيدة التي تسير على نهج السلف الصالح وعلى الطريق المستقيم، وترمي كل من يخالفهم بالعمالة والكفر والزندقة، حتى العلماء لم يسلموا منهم؛ حيث يتهجمون على عقيدة الأزهر وعلمائه ويرمون الأشعرية بالابتداع، فما رأيكم في هذه الجماعة وفيما يقولونه: من إطلاق اللحية، وتقصير الثياب، وتبديع القنوت في الفجر وغير ذلك؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    إنه يجب على الشباب المسلم -خاصة طلبة العلم- أن يعملوا على توحيد كلمة المسلمين، وألا يسعَوْا بينهم بالفرقة والنزاع والخصام؛ حيث أمرنا الله تعالى أن نعتصـم جميعًا بحبـله المتين وألا نتفرق في الدين، قال تعالى: ﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ [آل عمران: 103]، وقال سبحانه: ﴿وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ﴾ [الأنفال: 46]، وأن نقول للناس الحسن من الكلام، قال عز من قائل: ﴿وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ﴾ [البقرة: 83]، وأمرنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بكل ما يؤدي إلى الوَحدة، حتى جعل التبسم في وجه الأخ صدقة

   كما يجب على الشباب أن ينأوا بأنفسهم عن مناهج التكفير وتيارات التبديع والتفسيق والتضليل التي انتشرت بين المتعالمين في هذا الزمان، وأن يلتزموا بحسن الأدب مع الأكابر من علماء الأمة وصالحيها، وأي جماعة تتخذ من اسم "السلف الصالح" ستارًا لتفرقة المسلمين وسببًا للشقاق والنزاع تكون قد لبَّست الحق بالباطل؛ قال تعالى: ﴿وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [البقرة: 42
   
المعلوم أن عقيدة الأزهر الشريف هي العقيدة الأشعرية وهي عقيدة أهل السنة والجماعة، والسادة الأشاعرة رضي الله تعالى عنهم وأرضاهم هم جمهور العلماء من الأمة، وهم الذين صَدُّوا الشبهات أمام المَلاحِدَةِ وغيرهم، وهم الذين التزموا بكتاب الله وسنة سيـدنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم عبر التاريخ، ومَنْ كفّرهم أو فسّقهم يُخْشَى عليه في دينه، قال الحافظ ابن عساكر رحمه الله في كتابه "تبيين كذب المفتري، فيما نسب إلى الإمام أبي الحسن الأشعري": "اعلم وفقني الله وإياك لمرضاته، وجعلنا ممن يتقيه حق تقاته، أن لحوم العلماء مسمومة، وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة، وأن من أطلق عليهم لسانه بالثلب، ابتلاه الله قبل موته بموت القلب" ا هـ

     والأزهر الشريف هو منارة العلم والدين عبر التاريخ الإسلامي، وقد كوَّن هذا الصرحُ الشامخُ أعظم حوزة علمية عرفتها الأمة بعد القرون الأولى المُفَضَّلة، وحفظ الله تعالى به دينه ضد كل معاند ومشكك؛ فالخائض في عقيدته على خطر عظيم، ويُخْشَى أن يكون من الخوارج والمرجفين الـذين قال الله تعالى فيهم: ﴿لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا﴾ [الأحزاب: 60
   
أما بالنسبة لحلق اللحية فإن من المقرر شرعًا أن إعفاء اللحية وعدم حلقها مأثور عن النبي صلى الله عليـه وآله وسلم، وقد كان يهذبها ويأخذ من أطرافها وأعلاها بما يحسنها بحيث تكون متناسبة مع تقاسيم الوجه والهيئة العامة. وقد كان يعتني بتنظيفها بغسلها بالماء وتخليلها وتمشيطها. وقد تابع الصحابة رضوان الله عليهم الرسول عليه الصلاة والسلام فيما كان يفعله وما يختاره

    وقد وردت أحاديث نبوية شريفة ترغب في الإبقاء على اللحية والعناية بنظافتها، كالأحاديث المرغبة في السواك وقص الأظافر والشارب: فحمل بعض الفقهاء هذه الأحاديث على الوجوب وعليه يكون حلق اللحية حرامًا، بينما ذهب بعضهم الآخر إلى أن الأمر الوارد في الأحاديث ليس للوجوب بل هو للندب وعليه يكون إعفاء اللحية سنة يُثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها. أما دليل من قال بأن حلق اللحية حرام فهو الأحاديث الخاصة بالأمر بإعفاء اللحية مخالفة للمجوس والمشركين، وروى الإمام مسلم عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: «عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ» قَالَ بعض الرواة: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

    ويقول أصحاب الرأي الآخر وهم الشافعية: إن الأوامر المتعلقة بالعادات والأكل والشرب واللبس والجلوس والهيئة .. إلخ تُحْمَل على الندب لقرينة تعلقها بهذه الجهات، ومثلوا ذلك بالأمر بالخضاب والصلاة في النعلين ونحو ذلك . كما أفاد ابن حجر العسقلاني في فتح الباري

    وبناء على ما سبق فهناك اختلاف بين الفقهاء بين الجواز وعدمه في مسألة حلق اللحية، والخروج من الخلاف مستحب، ومن ابتلي بشيء من الخلاف وتعذر عليه الخروج منه فليقلد من أجاز. وأما بالنسبة لتقصير الثياب فـإن الأصل في لبس الثياب الإباحة بشرط ألا يكون فيها إسراف ولا كبر؛ لحديث عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ» رواه أحمد والنسائي وابن ماجه وصححه الحاكم، وعلى ذلك تحمل أحاديث النهي عن الإسبال كقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ» رواه البخاري، وقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ -قَالَهَا ثلاثًا-، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَـالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ» رواه مسلم؛ فإن ذلك محمول على من فعل ذلك اختيالًا وتكبرًا كما صرّح بذلك في أحاديث أخرى كحديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما المروي في الصحيحين أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ»؛ فالمطلق منها يجب تقييده بالإسبال للخيلاء كما قال الإمام النووي، وقد نص الإمام الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء، وعقد الإمام البخاري في صحيحه بابًا لذلك سماه "باب من جر إزاره من غير خيلاء" وأورد فيه حديثَ ابنِ عمر رضي الله عنهما أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ»، وحديث أبي بكرة رضي الله عنه قَالَ: «خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا» اهـ . وهذان الحديثان صريحان في أن الإسبال المحرم إنما هو ما كان على جهة الكبر والخيلاء، وما لم يكن كذلك فليس حرامًا؛ لأن الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا

    وقد جعل الشرع الشريف للعرف مدخلا في اللبس والهيئة، ونهى النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن ثوب الشهرة الذي يلبسه صاحبه مخالفًا به عادات الناس فقال: «مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» رواه أبو داود وابن ماجه من حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما وحسنه الحافظ المنذري، ولما دخلت الصحابة فارس صلّوا في سراويلها، وتحدث العلماء عما إذا حدث للناس اصطلاح بتطويل بعض أنواع الثياب وصار لكل نوع من الناس شعار يُعرَفون به وأن ما كان من ذلك على طريق العادة فلا تحريم فيه، وإنما المحرم منه ما كان على سبيل الخيلاء

    وينبغي للمسلم المحب للسنة أن يكون مدركًا لشأنه عالمًا بزمانه وأن يحسن تطبيقها بطريقة ترغب الناس وتحببهم فيها فلا يكون فتنة يصدهم عن دينهم، وأن يفرق فيها بين السنن الجبلية وسنن الهيئـات التي تختلف باختلاف الأعراف والعادات وغيرها من السنن، وأن يعتني بترتيب الأولويات في ذلك فلا يقدم المندوب على الواجب ولا يكون اعتناؤه بالهَدْي الظاهر على حساب الهَدْي الباطن وحسن المعاملة مع الخلق وأن يأخذ من ذلك بما يفهمه الناس وتسعه عقولهم وعاداتهم حتى لا يكون ذريعة للنيل من السنة والتكذيب بها كما قال سيدنا علي كرم الله وجهه: "حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ!" رواه البخاري وغيره، وقال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: "مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً" رواه مسلم

    وأمـا بالنسبة لقنوت الفجر فإن القنوت في صلاة الفجر سنة نبوية ماضية قال بها أكثر السلف الصالح من الصحابة والتابعين فمن بعدهم من علماء الأمصار، وجاء فيه حديث أنس بن مالك رضي الله عنه: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا»، وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه كما قال الإمام النووي وغيره، وبه أخذ الشافعية والمالكية في المشهور عنهم؛ فيستحب عندهم القنوت في الفجر مطلقًا، وحملوا ما رُوي في نسخ القنوت أو النهي عنه على أن المتروك منه هو الدعاء على أقوام بأعيانهم لا مطلق القنوت

    والفريق الآخر من العلماء يرى أن القنوت في صلاة الفجر إنما يكون في النوازل التي تقع بالمسلمين، فإذا لم تكن هناك نازلة تستدعي القنوت فإنه لا يكون حينئذٍ مشروعًا، وهذا مذهب الحنفية والحنابلة. فإذا أَلَمَّتْ بالمسلمين نازلة فلا خلاف في مشروعية القنوت في الفجر، وإنما الخلاف في غير الفجر من الصلوات المكتوبة؛ فمن العلماء من رأى الاقتصار في القنوت على صلاة الفجر كالمالكية، ومنهم من عَدَّى ذلك إلى بقية الصلوات الجهرية وهم الحنفية، والصحيح عند الشافعية تعميم القنوت حينئذٍ في جميع الصلوات المكتوبة، ومثَّلوا النازلة بوباءٍ أو قحطٍ أو مطرٍ يَضُرُّ بالعمران أو الزرع أو خوف عدوٍّ أو أَسْرِ عالِمٍ

    فالحاصل أن العلماء إنما اختلفوا في مشروعية القنوت في صلاة الفجر في غير النوازل، أما في النوازل فقد اتفق العلماء على مشروعية القنوت واستحبابه في صلاة الفجر واختلفوا في غيرها من الصلوات المكتوبة، وعليه فإن الاعتراض على قنوت صلاة الفجر بحجة أنه بدعة اعتراض غير صحيح؛ بالنظر إلى ما تعيشه الأمة الإسلامية من النوازل والنكبات والأوبئة وتداعي الأمم عليها من كل جانب وما يستوجبه ذلك من كثرة الدعاء والتضرع إلى الله تعالى عسى الله أن يرفع أيدي الأمم عنَّا ويرد علينا أرضنا وأن يُقِرَّ عين نبيه المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم نصر أمته ورد مقدساتها؛ إنه قريب مجيب

     هذا إذا أخذنا في الاعتبار تواصل النوازل وعدم محدوديتها، وأما من قال بمحدودية النازلة ووقّتها بما لا يزيد عن شهر أو أربعين يومًا، فالأمر مبني على أن من قنت فقد قلّد مذهب أحد الأئمة المجتهدين المتبوعين الذين أُمرنا باتباعهم في قوله تعالى: ﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾[النحل: 43]، ومن كان مقلدًا لمذهب إمام آخر يرى صوابه في هذه المسألة فلا يحق له الإنكار على من يقنت؛ لأنه لا يُنكَر المختلف فيه، ولأنه لا يُنقَض الاجتهاد بالاجتهاد .والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=261

Hukum perempuan mengajar lelaki - Lembaga Fatwa Mesir




Perempuan Mengajar Lelaki

Nomor Urut : 445    Tanggal Jawaban : 01/04/2008

Memperhatikan permohonan fatwa No. 559 tahun 2008 yang berisi: Apakah seorang perempuan boleh mengajar Alquran yang mencakup cara membaca Alquran, ilmu Rasm Mushaf, matan-matan ilmu dan lain sebagainya, kepada kaum lelaki dikarenakan tidak adanya guru laki-laki yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada mereka?

Jawaban :

Hukum seorang perempuan belajar dari guru lelaki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah jika lelaki dan perempuannya saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat. 

Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi radhiyallahu ‘anhu., ia berkata;

لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ

"Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi pernikahan, dia mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid."

Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: "Bab Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung."

Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya, "Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata; "Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi pernikahannya."

Dalam Syarah Al-Bukhari, Ibnu Baththol berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran;

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri, "Hadits ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga auratnya dalam keadaan tertutup. Hadits ini juga menunjukkan kebolehan seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."

Dalam kitab Shahîh Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa keduanya berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama sekali, sehingga mereka berdua pun tidur dengan perut kosong tanpa makan malam terlebih dahulu.

Dalam kitab Qirâ adh-Dhoif, Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata kepada istrinya; "Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu." Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan." Dhohir kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepada mereka;

قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ

"Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam."

Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka;

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Al-Hasyr: 9).

Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ، وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا.... إلى أخر الحديث

"Nabi sshallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda`. Ia bertemu dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia." Sebentar kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan", dan seterusnya.

Al-Hafiيh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain] kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang sesuatu yang mendatangkan maslahat."

Adapun berkaitan dengan perempuan mengajar ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana diketahui dalam Sunnah bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan hadis yang diriwayatkan dari mereka, bahkan dari para perawi wanita setelah mereka. Dalam kitab al-Ishobah fî Tamyîz ash-Shohâbah, Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus empat puluh tiga (1543) perowi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama hadis dan sastrawan.

Dahulu, para wanita muslimah selalu berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi penanggung jawab hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr –dengan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, "Saya melihat Samra` binti Nuhaik –seorang perempuan yang pernah bertemu dengan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam— memakai pakaian perang dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."

Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Sunnah Nabawiyah dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi kebenaran agama dan syariat. Ajaran agama berada pada tingkat tertinggi dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara' dengan lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


تعليم النساء للرجال

تاريخ الإجابة : 01/04/2008          الرقـم المسلسل : 445

    اطلعنا على الطلب المقيد برقم 559 لسنة 2008م المتضمن: هل يجوز لامرأة أن تعلم الرجال علم القراءات القرآنية من تلاوة ورسم مصحف ومتون وغير ذلك؛ لعدم وجود مختصين من الرجال في هذا العلم في ذلك المكان؟

الـجـــواب

كون الرجال يتعلمون من المرأة وكون النساء يتعلمن من الرجل مما لا مانع منه شرعًا، فالذي عليه عمل المسلمين سلفًا وخلفًا أن مجرد وجود النساء مع الرجال في مكان واحد ليس حرامًا في ذاته، وأن الحرمة إنما هي في الهيئة الاجتماعية إذا كانت مخالفة للشرع الشريف؛ كأن يُظهر النساءُ ما لا يحل لهن إظهاره شرعًا، أو يكون الاجتماع على منكر أو لمنكر، أو يكون فيه خلوة محرَّمة

    ونص أهل العلم على أن الاختلاط المحرم في ذاته إنما هو التلاصق والتلامس لا مجرد اجتماع الرجال مع النساء في مكان واحد. وعلى ذلك دلت السنة النبوية الشريفة: ففي الصحيحين عن سهل بن سعد الساعدي -رضي الله عنه- قال: ((لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ))، وترجم له البخاري بقوله: "باب قيام المرأة على الرجال في العرس وخدمتهم بالنفس". اهـ. قال القرطبي في التفسير: "قال علماؤنا: فيه جواز خدمة العروسِ زوجَها وأصحابَه في عرسها". اهـ. وقال ابن بطال في شرحه على البخاري: "وفيه أن الحجاب -أي انفصال النساء عن الرجال في المكان أو في التعامل المباشر- ليس بفرض على نساء المؤمنين، وإنما هو خاص لأزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-، كذلك ذكره الله في كتابه بقوله : ﴿وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾". ا هـ

    وقال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي الحديث جواز خدمة المرأة زوجها ومن يدعوه، ولا يخفى أن محل ذلك عند أمن الفتنة ومراعاة ما يجب عليها من الستر، وجواز استخدام الرجل امرأته في مثل ذلك". اهـ.
    وفي الصحيحين أيضًا عن أبي هريرة -رضي الله عنه- في قصة أبي طلحة الأنصاري في إطعامه الضيف: أنهما جعلا يُرِيانِه أنهما يأكلان، فباتا طاويَين، وفي رواية ابن أبي الدنيا في "قِرى الضيف" من حديث أنس -رضي الله عنه-: ((أن الرجل قال لزوجته: أثردي هذا القرص وآدِمِيه بسمنٍ ثم قَرِّبيه، وأمري الخادم يطفئ السراج، وجعلت تَتَلَمَّظُ هي وهو حتى رأى الضيفُ أنهما يأكلان)). اهـ

    وظاهره أنهم اجتمعوا على طبق واحد. وقد قال له النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: ((قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ)). ونزل فيهما قولُه تعالى: ﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾. [الحشر: 9].
    وفي صحيح البخاري عن أبي جحيفة -رضي الله عنه- قال: ((آخَى النبي - صلى الله عليه وآله وسلم- بين سَلمانَ وأبي الدرداء، فزار سلمانُ أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء مُتَبَذِّلةً، فقال لها: ما شأنُكِ؟ قالت: أخوكَ أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا. فجاء أبو الدرداء فصنع له طعامًا... إلى آخر الحديث)). قال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي هذا الحديث من الفوائد جواز مخاطبة الأجنبية والسؤال عما يترتب عليه المصلحة". اهـ

    وأما بخصوص تلقي الرجال للعلم الشرعي والموعظة من المرأة العالمة فقد كان أزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- يبلغن العلم وينشرن الدين، وهذه دواوين السنة في الرواية عنهن، بل وعن الطبقات من النساء بعدهن ممن روى عنهن الرجال وحملوا عنهن العلم، وقد ترجم الحافظ ابن حجر العسقلاني في كتابه "الإصابة في تمييز الصحابة" وحده لثلاث وأربعين وخمسمائة وألف 1543 امرأة منهن الفقيهات والمحدِّثات والأديبات.
    وكانت المرأة المسلمة تشارك الرجال في الحياة الاجتماعية العامة مع التزامها بلبسها الشرعي ومحافظتها على حدود الإسلام وآدابه، حتى إن من النساء الصحابيات من تولت الحسبة، ومن ذلك ما رواه الطبراني في "المعجم الكبير" بسندٍ رجالُه ثقات عن أبي بلج يحيى بن أبي سليم قال: "رأيت سمراء بنت نُهَيْك -وكانت قد أدركت النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- عليها درع غليظ وخمار غليظ بيدها سوط تؤدب الناس وتأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر

    وعلى ذلك فلا يسع أحدًا أن ينكر هذا الواقع الثابت في السنة النبوية الشريفة والتاريخ الإسلامي، ولا يصح جعل التقاليد والعادات الموروثة في زمان أو مكان معين حاكمةً على الدين والشرع، بل الشرع يعلو ولا يُعلَى عليه، ولا يجوز لمن سلك طريقة في الورع أن يُلزِم الناس بها أو يحملهم عليها أو يشدد ويضيِّق فيما جعل الله لهم فيه يُسرًا وسعة
والله سبحانه وتعالى أعلم

Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=445