Template information

Apakah shalat ghaib bisa menggugurkan kewajiban shalat jenazah?


Soal: Assalamu alaikum, numpang tanya apakah sholat ghoib itu sudah dapat menggugurkan tuntutan kewajiban mensholati mayit,?  Mohon jawabannya, terima kasih.

(Pertanyaan dari: Bintang Timur)

Jawab: Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.

Semua ulama’ yang memperbolehkan shalat ghaib telah bersepakat bahwa shalat ghoib bisa menggugurkan kewajiban menshalati jenazah, kecuali menurut pendapat imam ibnu Al Qathan yang menyatakan bahwa sholat ghoib boleh dikerjakan namun tidak dapat menggugurkan kewajiban menshalati jenazah.

Para ulama' yang menyatakan bahwa kewajiban sholat jenazah telah gugur apabila sholat ghoib telah dilaksanakan memberikan alasan bahwa hukum sholat jenazah adalah fardhu kifayah, sebagaimana diketahui fardhu kifayah adalah kewajiban yang bersifat kolektif dalam arti jika sudah ada yang mengerjakannya maka sudah dianggap cukup, karena itulah jika sudah ada yang melaksanakan sholat ghoib bagi jenazah telah gugur kewajiban mengerjakan sholat jenazah.

Namun ketentuan hukum bahwa sholat ghoib sudah dapat menggugurkan kewajiban sholat jenazah tersebut berlaku apabila memang telah diketahui bahwa sudah ada yang mengerjakan sholat ghoib, dan orang yang melaksanakan sholat ghoib tersebut memang tidak mampu untuk hadir dan melakukan sholat jenazah secara langsung.

Kesimpulannya, menurut pendapat yang mu'tamad (bisa dijadikan pegangan) shalat ghoib sudah dapat menggugurkan kewajiban sholat jenazah. Wallahu a’lam

(dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi:

1. Hasiyah asy-Syarwani 'ala Tuhfatul Muhtaj, juz 3 hal 150

 ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻻ ﺗﺴﻘﻂ ﺇﻟﺦ ( ﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ﻭﺍﻷﺳﻨﻰ ﻭﺍﻟﻤﻐﻨﻲ ﻭﻗﺪ ﺃﺟﻤﻊ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺟﺎﺯ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﺑﺄﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﺴﻘﻂ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺣﻜﻲ  ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻄﺎﻥ ﻭﻇﺎﻫﺮ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺴﻘﻮﻁ ﺑﻬﺎ ﺣﻴﺚ ﻋﻠﻢ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮﻭﻥ ﺍﻫـ . ) ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻇﺎﻫﺮﻩ ( ﺃﻱ ﻇﺎﻫﺮ ﺇﻃﻼﻗﻬﻢ ) ﻗﻮﻟﻪ : ﺑﻨﺎﺀ ﺫﻟﻚ ( ﺃﻱ ﺍﻟﺴﻘﻮﻁ ﻭﻋﺪﻣﻪ ) ﻗﻮﻟﻪ : ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ﺇﻟﺦ ( ﺗﻘﺪﻡ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ﻭﺍﻷﺳﻨﻰ ﻭﺍﻟﻤﻐﻨﻲ ﺍﻋﺘﻤﺎﺩﻩ ) ﻗﻮﻟﻪ : ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺑﺎﻟﺒﻠﺪ ﺇﻟﺦ ( ﺍﻟﻤﺘﺠﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﻭﻋﺪﻣﻬﺎ ﻓﺤﻴﺚ ﺷﻖ ﺍﻟﺤﻀﻮﺭ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﻟﻜﺒﺮﻫﺎ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﺻﺤﺖ ﻭﺣﻴﺚ ﻻ ﻭﻟﻮ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﺴﻮﺭ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﻡ ﺭ ﺍﻫـ ﺳﻢ ﻋﻠﻰ ﺣﺞ ﻭﻗﺪ ﻳﻔﻴﺪﻩ ﻗﻮﻟﻪ : ﻡ ﺭ ﻭﻟﻮ ﺗﻌﺬﺭ ﺇﻟﺦ ﻭﻣﻨﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻳﺴﺘﻔﺎﺩ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻤﺮﻳﺪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻤﺜﻴﻞ ﻟﻠﻌﺬﺭ ﺑﺎﻟﻤﺮﺽ ﻉ ﺵ . ) ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻋﺬﺭ ﺇﻟﺦ ( ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻠﻨﻬﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﻤﻐﻨﻲ ﻋﺒﺎﺭﺗﻬﻤﺎ ﻭﻟﻮ ﺗﻌﺬﺭ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺤﻀﻮﺭ ﺑﺤﺒﺲ ﺃﻭ ﻣﺮﺽ ﻟﻢ ﻳﺒﻌﺪ ﺍﻟﺠﻮﺍﺯ ﻛﻤﺎ ﺑﺤﺜﻪ ﺍﻷﺫﺭﻋﻲ ﻭﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﺒﻮﺱ ﺍﻫـ ﺯﺍﺩ ﺍﻷﻭﻝ : ﻷﻧﻬﻢ ﻗﺪ ﻋﻠﻠﻮﺍ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﺑﺘﻴﺴﺮ ﺍﻟﺬﻫﺎﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﺫﺍ ﻗﺘﻞ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﺑﺒﻠﺪ ﻭﺃﺧﻔﻲ ﻗﺒﺮﻩ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﻓﺘﺄﻣﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﻟﺦ ﻫﻞ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﺃﻱ ﻓﺘﺼﺢ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮ ﺍﻟﻤﻌﺬﻭﺭ ﻓﺘﻜﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﻭﺍﻷﻗﺮﺏ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺩﻓﻦ ﺑﻼ ﺻﻼﺓ ﺃﻥ ﺗﺠﺰﺉ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻄﻌﺎ ﻭﺇﻥ ﻗﻠﻨﺎ ﻻ ﺗﺼﺢ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﺤﺒﻮﺱ ﺑﺎﻟﺒﻠﺪ ﻟﻮﺿﻮﺡ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﺼﺤﺔ ﻳﺆﺩﻱ ﺇﻟﻰ ﺗﻌﻄﻴﻞ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺑﺼﺮﻱ

2. Al-Fatwa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, juz 2 hal.4 Cet. Dar al-Fikr

ﻓﻲ ﻓﺮﻭﻉ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻄﺎﻥ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﺟﺎﺋﺰﺓ ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﺴﻘﻂ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺘﻜﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻫﺬﺍ ﻟﻔﻈﻪ ﻭﻫﻮ ﻛﺎﻟﺼﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﻻ ﺗﺴﻘﻂ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻩ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻟﻜﻦ ﺗﻌﻘﺒﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﻟﻚ ﺃﻥ ﺗﻘﻮﻝ ﺍﻟﻤﺨﺎﻃﺐ ﺑﻔﺮﻭﺽ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﻣﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺴﻘﻂ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺑﺬﻟﻚ ﺍ ﻫـ . ﻭﺟﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺍﻷﻗﺮﺏ ﺳﻘﻮﻁ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻨﻬﻢ ﺃﻱ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻩ ﻟﺤﺼﻮﻝ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺍ ﻫـ . ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺟﺮﻯ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺯﻛﺮﻳﺎ ﺳﻘﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻬﺪﻩ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺍﻷﻭﺟﻪ ﺣﻤﻞ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻄﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻫﻞ ﻣﻮﺿﻌﻪ ﺑﺼﻼﺓ ﺍﻟﻐﻴﺒﺔ ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻤﻮﺍ ﺳﻘﻂ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻨﻬﻢ ﻷﻥ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﺑﻪ ﺑﻌﺾ ﺳﻘﻂ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺎﻗﻴﻦ ﺍ ﻫـ ﻭﺑﺬﻟﻚ ﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﺳﻘﻮﻁ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺑﺼﻼﺓ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﺳﻮﺍﺀ ﺃﻛﺎﻥ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻟﻜﻦ ﺇﺛﻤﻬﻢ ﺑﺘﺄﺧﻴﺮ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺻﻠﻰ ﻋﻨﻪ ﻻ ﻣﺴﻘﻂ ﻟﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻳﺘﻮﺟﻪ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺃﻭﻻ ﻓﺈﺫﺍ ﺗﺒﺎﻃﺌﻮﺍ ﻋﻨﻪ ﺃﺛﻤﻮﺍ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﺘﺒﺎﻃﺆ ﻭﺇﻥ ﻗﺎﻡ ﺑﺎﻟﻔﺮﺽ ﻏﻴﺮﻫﻢ

Cara Menguburkan Jenazah Saat Terjadi banjir

Soal: Assalamualaikum, Bagaimana caranya mengubur mayit jika keadaan sdang banjir?

(Pertanyaan dari: Ayix Juga Faried)

Jawab: Wa'alaaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Jika masih memungkinkan untuk dimakamkan didaerah tersebut, maka pemakaman dilakukan didaerah tersebut, dan apabila dikhawatirkan jenazah yang dimakamkan akan terkena air didalam kuburannya maka solusinya jenazah tersebut dimasukkan kedalam peti saat dimakamkan.

Hal ini dilakukan karena memindahkan pemakaman jenazah kedaerah lain itu tidak diperbolehkan, karena pemindahan tempat pemakaman akan menyebabkan penundaan pemakaman padahal pemakaman jenazah dianjurkan untuk sesegera mungkin dikerjakan, ketetapan hukum ini juga hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abi Malikah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata;

تُوُفِّيَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ بِحُبْشِيٍّ  قَالَ: فَحُمِلَ إِلَى مَكَّةَ، فَدُفِنَ فِيهَا، فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ أَتَتْ قَبْرَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ
وَكُنَّا كَنَدْمَانَيْ جَذِيمَةَ حِقْبَةً ... مِنَ الدَّهْرِ حَتَّى قِيلَ لَنْ يَتَصَدَّعَا
فَلَمَّا تَفَرَّقْنَا كَأَنِّي وَمَالِكًا ... لِطُولِ اجْتِمَاعٍ لَمْ نَبِتْ لَيْلَةً مَعَا
ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ لَوْ حَضَرْتُكَ مَا دُفِنْتَ إِلَّا حَيْثُ مُتَّ، وَلَوْ شَهِدْتُكَ مَا زُرْتُكَ

"Abdurrahman bin Abu Bakar meninggal di Hubsyi. Kemudian dia dibawa ke Makkah dan dikubur di dalamnya. Tatkala Aisyah datang, dia mengunjungi kuburan Abdullah bin Abu Bakar, lalu berkata; "Kami adalah orang yang duduk di suatu raja di Iraq dalam waktu yang lama (empat puluh tahun) sampai dikatakan tidak akan berpisah lagi. Tatkala kami berpisah, seolah saya dan si mayit karena lamanya bersatu, belum pernah sekalipun bermalam bersama." Lalu beliau berkata; "Demi Allah, kalau saja saya hadir pada (kematian) mu, niscaya kamu tidak akan dikubur kecuali di tempat kamu meninggal. Seandainya saya menyaksikanmu, niscaya saya tidak akan mengunjungimu." (Sunan Turmudzi, no.1055).

Sedangkan jika daerah tersebut memang jenazah tersebut tidak mungkin bisa dimakamkan didaerah tersebut, maka pemakamannya dipindahkan kedaerah lain yang tidak kebanjiran.

Syekh Zakariya Al-Anshori menjelaskan bahwa jika tanah yang akan dijadikan tempat pemakaman mayit rusak atau jika dimakamkan ditempat tersebut mayit tersebut akan rusak, maka sebaiknya tidak dilakukan pemakaman ditempat tersebut, bahkan bisa jadi wajib dipindahkan ketempat lain.

Syekh Ad-Dardir, seorang ulama' madzhab Maliki juga menjelaskan tentang kebolehan memindahkan mayit sebelum dimakamkan dari satu tempat ketempat lainnya jika memang terdapat kemaslahatan seperti dikhawatirkan kuburannya tergerus air laut.

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Muh KHolili Aby Fitry, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).

Referensi:
1. Roudlotut Tholibin, juz 2 hal. 143

وأما نقل الميت من بلد إلى بلد قبل دفنه، فقال صاحب (الحاوي) قال الشافعي: لا أحبه إلا أن يكون بقرب مكة أو المدينة، أو بيت المقدس،  فنختار  أن ينقل إليها  لفضل الدفن فيها وقال صاحب (التهذيب) ، والشيخ  أبو نصر  البندنيجي  من العراقيين:  يكره نقله. وقال القاضي  حسين،  وأبو الفرج  الدارمي،  وصاحب  (التتمة) : يحرم  نقله.  قال  القاضي وصاحب (التتمة) : ولو أوصى به، لم تنفذ وصيته، وهذا أصح، فإن  في نقله تأخير دفنه وتعريضه لهتك حرمته من وجوه

2. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, juz 21 hal. 10

وذهب جمهور الشافعية والحنابلة  إلى أنه لا يجوز نقل الميت  قبل الدفن من بلد  إلى آخر إلا لغرض صحيح. وبه قال الأوزاعي وابن المنذر. قال عبد الله بن أبي مليكة: توفي عبد الرحمن بن أبي بكر بالحبشة، فحمل  إلى مكة فدفن،  فلما قدمت  عائشة رضي الله تعالى عنها أتت قبره، ثم قالت: والله  لو حضرتك ما دفنت إلا حيث مت، ولو شهدتك  ما زرتك. ولأن ذلك أخف لمؤنته، وأسلم له من التغيير، وأما إن كان فيه غرض صحيح جاز

3. Mughnil Muhtaj, juz 2 hal. 53

ويكره دفنه في تابوت) بالإجماع؛ لأنه بدعة  (إلا في أرض ندية) بسكون الدال وتخفيف التحتية (أو رخوة) وهي بكسر الراء  أفصح من فتحها: ضد  الشديدة  فلا يكره للمصلحة

4. Asnal Matholib, juz 1 hal. 324

ولو كانت المقبرة مغصوبة أو سبلها ظالم  اشتراها  بمال خبيث أو نحوهما أو كان أهلها أهل بدعة أو فسق أو كانت تربتها فاسدة لملوحة أو نحوها  أو كان نقل الميت إليها يؤدي لانفجاره فالأفضل اجتنابها قلت بل يجب في بعض ذلك

5. Syarah Al-Kabir Ala Mukhtashor Kholil, juz 1 hal. 421

و) جاز (نقل) الميت قبل الدفن وكذا بعده من مكان إلى آخر بشرط أن لا ينفجر حال نقله وأن لا تنتهك حرمته وأن يكون لمصلحة  كأن يخاف عليه أن يأكله البحر أو ترجى بركة الموضع المنقول إليه أو ليدفن بين أهله أو لأجل قرب زيارة أهله

Haruskah Niat Saat Memandikan Jenazah?


Pertanyaan:
Assalamu alaikum..
Para ustadz yang mulia, ditempat saya ada mayit yang di mandikan tapi yang memandikannya lupa tidak niat dan sekarang mayitnya sudah dikubur. Pertanyaannya; sahkah pemandian mayit tersebut? dan kalau tidak sah bagaimana solusinya? Mohon dijawab beserta refrensinya.

(Dari: Bejo Nengrongomahamin)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Niat ketika memandikan jenazah hukumnya diperselisihkan diantara ulama’;
  • Menurut pendapat yang ashoh dalam madzhab syafi’i, sebagaimana ditetapkan oleh Imam Syafi’i  dan diikuti oleh mayoritas ulama’ madzhab, niat memandikan jenazah bukanlah syarat sah memandikan jenazah dan tidak wajib dilakukan, alasannya adalah karena tujuan memandikan jenazah adalah untuk membersihkan (tandhif), karena itulah tidak dip[erlukan adanya niat, sebagaimana tidak diperlukannya niat ketika menyucikan najis. Ini berarti memandikan jenazah sudah dianggap mencukupi dengan tanpa niat.
  • Sedangkan menurut sebagian ulama’ dari kalangan madzhab syafi’i, memandikan jenazah harus dengan niat, mereka beralasan bahwa tujuan dari memandikan jenazah adalah pencucian (tathir) bukan sekedar pembersihan (tandhif), kenyataannya meskipun tak ada kotoran yang dibersihkan tetap saja jenazah dimandikan, karena itu diharuskan adanya niat sebagaimana diwajibkannya niat ketika mandi jinabat. Jika mengacu pada pendapat ini maka memandikan jenazah yang tidak disertai dengan niat belum dianggap sah.

Karena terdapat perbedaan tersebut, para ulama’ menetapkan disunahkannya niat ketika memandikan jenazah dengan tujuan untuk menghindari perselisihan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa jenazah yang yang telah dimandikan namun orang yang memandikan tidak niat sudah  dianggap mencukupi dan sah menurut pendapat yang kuat dan dikuti mayoritas ulama’. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Izal Ya Fahri dan Siroj Munir)

Referensi:
1. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 5 hal. 124-

وهل يجب نية الغسل فيه وجهان أحدهما : لا يجب لأن القصد منه التنظيف فلم يجب فيه النية كإزالة النجاسة والثاني : يجب لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة عين فوجب فيه النية كغسل الجناية
..................................
هل يشترط في صحة غسله أن ينوي الغاسل غسله ؟ واختلف في أصحهما فالأصح عند الأكثرين أنها لا تشترط ولا تجب وهو المنصوص للشافعي في آخر غسل الذمية زوجها المسلم وممن صححه البندنيجي والماوردي هنا والروياني والسرخسي والرافعي وآخرون . وصحح جماعة الاشتراط منهم الماوردي والفوراني والمتولي ، ذكروه في باب نية الوضوء وقطع به المحاملي في المقنع ، والمصنف في التنبيه والصحيح تصحيح الأول

2. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarah Ibnu Qosim, juz 1 hal. 246

ولا تجب نية الغسل لأن القصد به النظافة وهي لا تتوقف على نية لكن تسن خروجا من الخلاف

Hukum Sholat Jenazah Dengan Hanya Satu Kali Salam



Pertanyaan:
Assalamu alaikum, sholat jenazah di masjis nabawi menggunakan satu kali salam. Pertanyaanya shalat jenazah dengan cara seperti itu mengikuti madzhab syafii atau hanbali?

(Dari: Ali Mustofa)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Menurut madzhab hanbali hukum salam kedua dalam sholat jenazah juga sunat. Syaikh Mansur bin Yusuf Al-Bahuti, seorang ulama' madzhab hanbali dalam kitab beliau Kasysyaf al-Qona' 'An Matn al-Iqna' menjelaskan, mengerjakan 2 salam ketika sholat hukumnya wajib kecuali dalam sholat jenazah, karena dalam sholat jenazah cukup melakukan salam satu kali (salam kedua tidak wajib), hanya saja salam yang kedua sunat untuk dikerjakan.

Sedangkan menurut madzhab syafi'i, salam kedua pada sholat jenazah hukumnya juga sunat. Syaikh Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah 'Ala Syarh Ibnu Qosim menjelaskan bahwa salam yang dikerjakan dalam sholat jenazah hukumnya sama dengan salam yang dikerjakan pada sholat-sholat lainnya, baik dalam hal tata cara dan bilangannya, maksudnya salam yang pertama hukumnya wajib sedangkan salam yang kedua hukumnya sunat.

Syaikh al-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa ketentuan hukum ini didasarkan pada satu riwayat;

عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: " ثَلَاثُ خِلَالٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ، تَرَكَهُنَّ النَّاسُ , إِحْدَاهُنَّ: التَّسْلِيمُ عَلَى الْجِنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيمِ فِي الصَّلَاةِ

"Dari Abdullah, beliau berkata: "Ada tiga perkara yang dikerjakan oleh Nabi namun ditinggalkan oleh banyak orang, salah satunya adalah salam pada sholat jenazah yang dikerjakan sebagaimana salam pada sholat (lainnya)". (Sunan Baihaqi, no.6989)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sholat jenazah yang dikerjakan dengan satu salam itu bisa saja dilakukan oleh orang yang bermadzhab syafi'i maupun hanbali, sebab sholat jenazah yang dikerjakan dengan satu salam hukumnya sah baik menurut madzhab syafi'i maupun hanbali, karena salam yang kedua hukumnya sunat. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Imam Al-Bukhori dan Izal Ya Fahri)

Referensi:
1. Hasyiyah Al-Bajuri Ala Syarah Ibnu Qosim, jilid 1 hal. 485

قوله: (والسلام هنا) أي في صلاة الجنازة. وقوله: (في كيفيته) أي كالتفاته في التسليمة الأولى على يمينه وفي الثانية على يساره. وقوله: (وعدده) أي كونه تسليمتين لكن الأولى واجبة والثانية مندوبة كما في صلاة غير الجنازة

2. Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 248

فصل: قال في الأم: يكبر في الرابعة ويسلم وقال في البويطي يقول: اللهم لا تحرمنا أجره ولا تفتنا بعده والتسليم كالتسليم في سائر الصلوات لما روي عن عبد الله أنه قال: ثلاث خلال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعلهن وتركهن الناس: إحداهن التسليم على الجنازة مثل التسليم في الصلاة

3. Kasysyaf al-Qona', jilid 1 hal. 388-389

و) الثالث عشر (التسليمتان) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «وتحليلها التسليم» وقالت عائشة «كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يختم صلاته بالتسليم» وثبت ذلك من غير وجه ولأنهما نطق مشروع في أحد طرفيها فكان ركنا كالطرف الآخر (إلا في صلاة جنازة وسجود تلاوة وشكر) فيخرج منها بتسليمة واحدة، ويأتي في محله. (و) إلا في (نافلة فتجزي) تسليمة (واحدة على ما اختاره جمع منهم المجد) عبد السلام بن تيمية قال (في المغني والشرح: لا خلاف أنه يخرج من النفل بتسليمة واحدة قال القاضي الثانية سنة في الجنازة والنافلة رواية واحدة انتهى

Hukum mendo'akan mayit yang mati dalam keadaan mabuk (Orang fasiq)



Pertanyaan :

Assalamu'alaikum..

Mau numpang tanya nih, bgaimana hukum mendo'akan orang mati yang matinya dalam keadaan mabuk?

( Dari : Ha San )


Jawaban:

Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut pendapat mayoritas ulama’ mendo'akan jenazah yang matinya dalam keadaan maksiat seperti mabuk, berjudi maupun bentuk-bentuk kemaksiatan yang lain itu diperbolehkan. Diperbolehkannya mendoakan orang mati dalam keadaan mabuk itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلُّوا عَلَى مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ".
 
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sholatlah kalian untuk orang yang telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah (beragama islam)” (Sunan Daruqutni, no. 1761 dan Mu’jam kabir, no.13622).

     Hadits diatas oleh para ulama’ dijadikan dalil tentang kebolehan sholat jenazah untuk orang fasiq, selain itu berdasarkan hadits diatas dapat juga ditarik kesimpulan hukum tentang kebolehan mendo’akan orang yang meninggal dalam keadaan fasiq, sebab tujuan dari sholat jenazah adalah mendo’akan jenazah.

     Sedangkan menanggapi hadits yang mengisahkan bahwa nabi tidak ikut mensholati orang fasiq para ulama’ menjelaskan bahwa nabi melakukan hal tersebut sebagai hukuman moral agar orang-orang yang masih hidup jera dan tidak lagi berbuat maksiat ketika melihat bahwa nabi tak ikut mensholati orang yang fasiq.

     Serlain itu para ulama’ telah menetapkan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan nabi tidak bisa langsung diartikan bahwa perbuatan itu terlarang, kenyataannya meskipun nabi tak ikut sholat jenazah para sahabat tetap mensholati orang yang mati dalam keadaan fasiq.

     Jadi kesimpulannya mendo’akan orang yang meninggal dalam keadaan mabuk itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.


( Dijawab oleh : Priyo Jatmiko, Al Murtadho dan Siroj Munir )


Referensi:
1. Nailul Author, Juz : 4  Hal : 58

وذهب مالك والشافعي وأبو حنيفة وجمهور العلماء إلى أنه يصلى على الفاسق. وأجابوا عن حديث جابر بأن النبي - صلى الله عليه وسلم - إنما لم يصل عليه بنفسه زجرا للناس وصلت عليه الصحابة. ويؤيد ذلك ما عند النسائي بلفظ: " أما أنا فلا أصلي عليه " وأيضا مجرد الترك لو فرض أنه لم يصل عليه هو ولا غيره لا يدل على الحرمة المدعاة. ويدل على الصلاة على الفاسق حديث «صلوا على من قال لا إله إلا الله

Hukum sholat jenazah untuk jenazah yang belum ditemukan



Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya solat jenazah tapi mayitnya belum diketemukan karena kecelakaan kapal?

( Dari : Daun Khinanti )


Jawaban :
Sholat jenazah yang diperuntukkan bagi jenazah yang belum diketemukan hukumnya tidak sah, sebab salah syarat diperbolehkannya melakukan sholat jenazah adalah orang tersebut sudah benar-benar meninggal dunia, sedangkan orang yang mengalami kecelakaan itu belum jelas apakah ia sudah meninggal atau belum.

Imam Nawawi dalam kitab “Roudlotut Tholibin” menjelaskan; “Disunatkan untuk menyegerakan pemandian dan pengurusan jenazah jika sudah nyata-byata meninggal dunia, semisal orang tersebut mati karena suatu penyakit, atau nampak tanda-tanda kematiannya semisal kedua telapak kakinya menjadi lunak dan tidak bisa ditegakkan, hidungnya miring, cekung kedua pelipisnya, menjadi panjang kulit wajahnya, kedua telapak tangannya terlepas dari pergelangannya, menyust 2 buah pelirnya keatas bersama kulit. Jadi jika masih diragukan mengenai kematiannya, karena orang tersebut tidak memiliki penyakit dan mungkin saja hanya diam sejenak, atau nampak tanda-tanda terkejut atau yang lainnya, maka pengurusannya harus diakhirkan sampai benar-benardiyakini kematiannya, baik diketahui dengan perubahan baunya atau tanda yang lain”.

Selain itu sholat jenazah harus dilakukan setelah jenazah dimandikan, jika jenazah tersebut belum dimandikan maka tidak boleh disholatkan. Sayyid Abdurrohman Al-Masyhur dalam kitab beliau; “Bughyatul Mustarsyidin” menjelaskan : “Tidak sah sholat untuk orang yang yang sedang ditawan atau hilang atau perahunya tenggelam, meskipun hakim sudah menyatakan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, kecuali jika sudah diyakini bahwa mayit tersebut telah dimandikan”.

Kesimpulannya sholat jenazah yang diperuntukkan bagi orang yang mengalami kecelakaan dan tidak diketahui keadaannya hukumnya tidak sah, karena sholat jenazah hanya boleh dilakukan jika seseorang telah jelas-jelas meninggal dunia dan setelah dimandikan. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Imam Cakep Aja Deeh dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Roudlotut Tholibin, Juz : 2  Hal : 98
2. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 197


Ibarot :
Roudlotut Tholibin, Juz : 2  Hal : 98


يستحب المبادرة إلى غسله وتجهيزه إذا تحقق موته، بأن يموت بعلة، أو تظهر أمارات الموت، بأن يسترخي قدماه، فلا ينتصبا، أو يميل أنفه، أو ينخسف صدغاه، أو تمتد جلدة وجهه، أو ينخلع كفاه من ذراعيه، أو تتقلص خصيتاه إلى فوق مع تدلي الجلدة، فإن شك بأن لا يكون به علة، واحتمل أن يكون به سكتة، أو ظهرت أمارات فزع أو غيره، أخر إلى اليقين بتغيير الرائحة أو غيره

Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 197


لا تصح الصلاة على من أسر أو فقد أو انكسرت به سفينة ، وإن تحقق موته أو حكم به حاكم ، إلا إن علم غسله أو علق النية على غسله ، إذ الأصح أنه لا يكفي غرقه ، ولا يجوّزها تعذر الغسل ، خلافاً للأذرعي وغيره اهـ. قلت : وعبارة الإمداد فعلم أن من مات بنحو هدم وتعذر إخراجه لا يصلى عليه وهو المعتمد كما في الروضة ، وأصلها عن المتولي وأقراه ، وفي المنح لا خلاف فيه ، وجزم به في المنهاج

Hukum memasuki area makam bagi wanita yang sedang haidh



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum..
Mau tanya, saya pernah mendengar wanita yang sedang haid utu dilarang masuk area makam, apa itu benar?
Mohon penjelasannya, terima kasih

( Dari : Ukhtye Jameel )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Hukum seorang wanita yang sedang haidh masuk kearea pemakaman diperinci sebagai berikut :

1. Apabila area pemakamannya berada didalam masjid, maka;

•    Tidak diperbolehkan masuk kearea pemakaman tersebut apabila tujuannya masuk adalah untuk berdiam diri ditempat tersebut, semisal untuk berziaroh, sebab wanita yang sedang haidh diharomkan berdiam diri didalam masjid.
•    Diperbolehkan masuk ke area pemakaman tersebut apabila ia hanya lewat saja, dengan syarat ia benar - benar yakin bahwa darahnya tidak akan keluar dan menetes ke masjid, sebab wanita yang sedang haidh diperbolehkan lewat didalam masjid, namun apabila khawatir akan mengotori masjid, diharamkan masuk masjid meskipun hanya lewat saja.

2. Apabila area pemakamannya diluar masjid maka diperbolehkan baginya untuk memasuki area pemakaman tersebut, namun apabila tujuannya masuk ke area pemakaman tersebut adalah untuk berziaroh, hal yang harus diperhatikan adalah untuk tidak membaca al-qur’an (karena biasanya orang yang sedang ziaroh membaca yasin) dan tidak memegang mushaf al-qur’an, sebab wanita yang sedang haidh diharamkan membaca al-qur’an dan memegang mushaf al-qur’an. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Su Kakov )


Referensi :
Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 79


Ibarot :
Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 79

ما يحرم بالحيض
الصلاة: لأحاديث فاطمة بنت أبي حبيش رضي الله عنها السابقة في الاستحاضة
قراءة القرآن ومس المصحف وحمله لما مر ايضأ فيما يحرم بالجنابة رقم (4، 5
- المكث في المسجد لا العبور فيه: لما مر معك فيما يحرم بالجنابة رقم (2). ومما يدل على أن مجرد العبور لا يحرم، بالإضافة لما سبق: ما رواه مسلم (298) وغيره عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال لي رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: " ناوليني الخمرة من المسجد". فقلت: إني حائض، فقال: " إن حيضتك ليست في يدك".
وعن النسائي (1/ 147) عن ميمونة رضي الله عنها قالت: تقوم إحدانا بالخمرة إلى المسجد فتبسطها وهي حائض. [الخمرة: هي السجدة أو الحصير الذي يضعه المصلي ليصلي عليه أو يسجد -إلى أن قال
ويحرم على الحائض زيادة على ذلك أمور أخرى وهي: عبور المسجد والمرور فيه إذا خافت تلويثه، لأن الدم نجس ويحرم تلويث المسجد بالنجاسة وغيرها من الأقذار، فإذا أمنت التلويث حل لها المرور كما علمت