KEPUTUSAN KOMISI BAHTSUL MASAIL AD-DINIYAH AL-MAUDHU’IYYAH
MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA
di Asrama Haji Sudiang Makassar
Tanggal 06-13 rabiul Akhir 1431 H/22-29 Maret 2010
26. Format Penetapan Bahtsul Masail
MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA
di Asrama Haji Sudiang Makassar
Tanggal 06-13 rabiul Akhir 1431 H/22-29 Maret 2010
26. Format Penetapan Bahtsul Masail
A. Deskripsi masalah
Itsbath al-ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Itsbat al-ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara mentathbiq-kan (mencocokkan/menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ‘ibarah terutama dalam kutub mu’tabarah di lingkungan madzhab Imam Syafi’i.
Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbat al-ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.
Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail. Tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail NU sebelumnya. Disamping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
B. Pertanyaan
Itsbath al-ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Itsbat al-ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara mentathbiq-kan (mencocokkan/menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ‘ibarah terutama dalam kutub mu’tabarah di lingkungan madzhab Imam Syafi’i.
Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbat al-ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.
Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail. Tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail NU sebelumnya. Disamping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
B. Pertanyaan
- Apakah perlu mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam bahtsul masail NU?
- Jika memang diperlukan mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai tingkat kekuatannya, yaitu al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya kemudian aqwal al-ulama, ataukah aqwal al-ulama baru kemudian ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya?
- Sejauh mana muqaranah al-madzahib diperlukan dalam bahtsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya?
- Pencantuman ayat al-Quran, al-hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya, dengan ketentuan bahwa ayat al-Qur’an, al-Hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya tersebut merupakan bagian dari pendapat Ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah. Hal ini karena Ulama NU menyadari, bahwa yang mampu berijtihad langsung dari al-Qur’an, al-hadits dan dalil-dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab, diantaranya Tarsyih al-Mustafidin.
- Aqwal al-ulama didahulukan, baru kemudian dilengapi dengan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarhnya, dan dalil-dalil syara’ lainnya. Karena al-Qur’an dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam pandangan Ulama NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari ijtihad ulama.
- Muqaranah al-Madzahib dalam madzhab empat diperlukan untuk memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap berpegang pada prinsip عَدَمُ تَتَبُّعِ الرُّخَصِ (tidak ada maksud mencari kemudahan) sejalan dengan AD NU tentang prinsip bermadzhab.
0 komentar:
Posting Komentar