Template information

Sumbangan dan Hadiah Yang Diberikan Waktu Khitanan, Milik Orang Tua Atau Anak yang Dikhitan?


Pertamyaan:
Asalamualaikum.. mau tanya apa, bila seorang anak di khitan biasanya ia di beri uang oleh orang yang hadir atau kondangan yang jadi pertanyaan uang tersebut milik ayahnya atau anaknya.

(Pertanyaan dari Opick Syahreza)

Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
Status hukum sumbangan atau hadiah yang yang diberikan pada saat acara khitanan diperinci sebagai berikut:

1. Apabila pemberinya secara jelas menentukan untuk siapa sumbangan/hadiah tersebut, maka sumbangan/hadiah menjadi milik orang yang dituju, baik yang menerima orang tua atau anaknya.

2. Apabila pemberinya tidak menentukan penerimanya, maka hukumnya diprselisihkan diantara ulama';

- Menurut Imam Nawawi sumbangan/hadiah tersebut menjadi milik orang tua anak yang dikhitan, karena secara umum sumbangan/hadiah yang diberikan pada acara seperti itu ditujukan untuk orang tuanya bukan anaknya. Sebagaimana yang telah berlaku dimasyarakat ketika seseorang menyumbang untuk suatu hajatan yang dituju adalah orang tuanya dengan harapan nantinya kalau dia nanti juga mempunyai hajat, dia akan disumbang balik oleh orang yang pernah dia sumbang. Sehingga ada ulama yang mengatakan bahwasanya uang sumbangan itu hukumnya sama dengan hutang yang harus dikembalikan lagi.

- Menurut Qodhi Husain, barang sumbangan/hadiah tersebut milik anaknya.

- Menurut pendapat imam Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar, hukumnya diperinci; apabila sumbangan/hadiah tersebut berupa barang yang biasanya diperuntukkan kepada anak kecil, seperti pakaian yang berukuran kecil, maka hadiah tersebut adalah milik anaknya, sedangkan apabila berupa barang yang biasanya diperuntukkan bagi orang dewasa, maka barang tersebut milik orang tuanya.

Wallahu a’lam

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi:
1. I'anatut Tholibin, juz 4 hal.154

(( ﻓﺮﻉ )) ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﻟﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﻣﻠﻚ ﻟﻸﺏ ﻭﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻟﻺﺑﻦ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻷﺏ ﻗﺒﻮﻟﻬﺎ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺍﺫﺍ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﻓﻠم ﻳﻘﺼﺪ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﺍﻻ ﻓﻬﻲ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ  ((ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻻ )) ﻭﺍﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﺑﺄﻥ ﻭﺟﺪ ﻣﻨﻪ ﻗﺼﺪ ((ﻗﻮﻟﻪ ﻓﻬﻲ )) ﺃﻱ ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺃﻱ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ ﺍﻭ ﻣﻦ ﺍﻹﺑﻦ ﺍﻭ ﻣﻨﻬﻤﺎ

2. Tuhfatul Muhtaj, juz 6 hal.317

ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺎ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﻟﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﻣﻠﻚ ﻟﻸﺏ ﻭﻗﺎﻝ ﺟﻤﻊ ﻟﻼﺑﻦ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻷﺏ ﻗﺒﻮﻟﻬﺎ ﺃﻱ : ﺣﻴﺚ ﻻ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ ﻭﻣﻨﻪ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﻟﻸﺏ ﻭﻫﻮ ﻧﺤﻮ ﻗﺎﺽ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺍﻟﻘﺒﻮﻝ ﻛﻤﺎ ﺑﺤﺜﻪ ﺷﺎﺭﺡ ﻭﻫﻮ ﻣﺘﺠﻪ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﺨﻼﻑ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﻠﻖ ﺍﻟﻤﻬﺪﻱ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﺺﺩ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﻬﻲ ﻟﻤﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ ﻭﻳﺠﺮﻱ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻌﻄﺎﻩ ﺧﺎﺩﻡ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﻓﻬﻮ ﻟﻪ ﻓﻘﻂ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﻃﻼﻕ ، ﺃﻭ ﻗﺼﺪﻩ ﻭﻟﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﻗﺼﺪﻫﻢ ﻭﻟﻪ ﻭﻟﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﻗﺼﺪﻫﻤﺎ ﺃﻱ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﺃﺧﺬﺍ ﻣﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺻﻲﺓ ﻟﺰﻳﺪ ﺍﻟﻜﺎﺗﺐ ، ﻭﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﻣﺜﻼ ﻭﻗﻀﻴﺔ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺍﻋﺘﻴﺪ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﻮﺍﺣﻲ ﻣﻦ ﻭﺿﻊ ﻃﺎﺳﺔ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻒﺭﺡ ﻟﻴﻀﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻬﺎ ﺩﺭﺍﻫﻢ ، ﺛﻢ ﺗﻘﺴﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺎﻟﻖ ﺃﻭ ﺍﻟﺨﺎﺗﻦ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻳﺠﺮﻱ ﻓﻴﻪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ ﻓﺈﻥ ﻗﺼﺪ ﺫﺍﻙ ﻭﺡﺩﻩ ، ﺃﻭ ﻣﻊ ﻧﻈﺮﺍﺋﻪ ﺍﻟﻤﻌﺎﻭﻧﻴﻦ ﻟﻪ ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻟﻘﺼﺪ ﻭﺇﻥ ﺃﻃﻠﻖ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻜﺎ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻳﻌﻄﻴﻪ ﻟﻤﻦ ﺷﺎﺀ ﻭﺑﻬﺬﺍ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻧﻈﺮ ﻫﻨﺎ ﻟﻠﻌﺮﻑ ، ﺃﻣﺎ ﻣﻊ ﻗﺼﺪ ﺧﻼﻓﻪ ﻓﻮﺍﺿﺢ ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻊ ﺍﻹﻃﻼﻕ ﻓﻸﻥ ﺣﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ ﻭﺍﻝﺧﺎﺩﻡ ﻭﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻧﻈﺮﺍ ﻟﻠﻐﺎﻟﺐ ﺃﻥ ﻛﻼ ﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻫﻮ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻴﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﺍﻟﻤﺨﺎﻟﻒ ﻝﻩ ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺸﺮﻉ ﻓﻴﻪ ﻋﺮﻑ ﻓﺈﻧﻪ ﺗﺤﻜﻢ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻟﻮ ﻧﺬﺭ ﻟﻮﻟﻲ ﻣﻴﺖ ﺑﻤﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻗﺼﺪ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻠﻜﻪ ﻟﻐﺎ ﻭﺇﻥ ﺃﻃﻠﻖ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻗﺒﺮﻩ ﻣﺎ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﻟﻠﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻟﺤﻪ ﺻﺮﻑ ﻟﻬﺎ ﻭﺇﻻ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻉﻧﺪﻩ ﻗﻮﻡ ﺍﻋﺘﻴﺪ ﻗﺼﺪﻫﻢ ﺑﺎﻟﻨﺬﺭ ﻟﻠﻮﻟﻲ ﺻﺮﻑ ﻟﻬﻢ

3. Kifayatul akhyar, juz 1 hal 324

 وقال الحصني في كفاية الآخيار فرع اذا ختن شخص ولده وعمل وليمة فحملت اليه هدايا ولم يسم آصحابه الآب ولا الإبن فهل هي للآب او للإبن وجهان صحح النووي آنها للآب وآجاب القاضي حسين آنها للإبن ويقبل الآب قلت ينبغي آمر ثالث وهو انه ان كان المهدي مما يصلح للصبي دون ابيه كشيئ من ملبوس الصغار فهو للصبي وان كان لايصلح للصغير فهو للآب وان كان إحتملهما فهو موضع التردد لعدم القرينة المرجحة والله اعلم انتهي

cabang bila seseorang mengkhitan anaknya dan mengadakan acara walimah khitan dan memuat dalam acara walimah khitan tersebut adanya hadiah dari orang yg mengundang dan orang yg mempunyai hadiah (orang yg diundang) itu tidak menyebut hadiahnya itu untuk bapak ataupun anaknya maka apakah hadiah tersebut itu milik bapak ataupun anaknya dalam ini ada dua pendapat. imam nawawi menshahihkan hadiah tersebut milik bapaknya dan al qodhi husain menjawab bahwa hadiah tersebut itu milik anaknya dan status bapaknya hanya menerima hadiah saja (dari pihak yg diundang) saya berkata ( imam taqiyyuddin abi bakar muhammad al khisni seyogyanya ada perkara (pendapat ) tiga adapun perkara tiga itu bila hadiah itu pantas (patut) bagi anaknya bukan bapaknya seperti pakaian anak-anak maka hadiah tersebut milik anaknya ,dan bila hadiah itu tidak pantas bagi anaknya ( contoh pakaian ukuran dewasa dll) maka hadiah tersebut milik bapaknya dan bila hadiah tersebut masih ikhtimal maka hadiah yg masih ikhtimal itu tempat kebimbangan karna tidak ada qorinah (tanda-tanda) yg diunggulkan antaranya

Hukum Merayakan Ulang Tahun


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum akhi wa ukhti..
Saya mau tanya, bagaimanakah islam memandang hukum perayaan ultah?
Terimakasih...

(Dari: HusainBianconerri Juventini)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Merayakan hari ulang tahun adalah suatu kebiasaan yang dikerjakan oleh masyarakat yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, didaerah perkotaan biasanya perayaan hari ulang tahun dilakukan dengan berpesta yang seringkali menghabiskan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Sedangkan didesa, khususnya masyarakat jawa pada waktu-waktu tertentu merayakan kelahiran (tironan) dengan cara membuat makanan yang dibagi-bagikan kepada tetangga dan kerabat, atau dengan mengundang mereka untuk ikut dalam acara do'a bersama untuk mendo'akan orang yang sedang berulang tahun.

Dalam khazanah ilmu fiqih terdapat satu qoidah yang cukup populer berbunyi: "Al-Ashlu Fil 'Adat Al-Ibahah" (hukum asal dari semua adat adalah mubah). Yang dimaksud dengan adat disini adalah setiap perkara yang sudah biasa dikerjakan oleh masyarakat, sedangkan maksud dari mubah adalah bahwa perkara tersebut boleh dikerjakan dan juga ditinggalkan, dengan batasan selama tidak bertentangan dengan aturan agama.

Berdasarkan qoidah ni para ulama' menetapkan bahwa setiap perkara yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya dan juga dalam pergaulan bermasyarakat, baik itu yang berkaitan dengan makanan, perkumpulan-perkumpulan, perayaan-perayaan, dan lainnya, hukum asalnya adalah mubah asalkan tidak menyalahi syari'at islam.

Setelah kita mengetahui gambaran mengenai kebiasaan masyarakat dalam merayakan ulang tahun dan pandangan ulama' dalam menanggapi kebiasaan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa hukum merayakan hari ulang tahun pada dasarnya adalah boleh, selama tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar agama, seperti berlebih-lebihan (isrof), terjadinya percampuran antara lawan jenis (ikhthilath) yang diharamkan, dan hal-hal lain yang dilarang agama. Jadi hendaknya perayaan ulang tahun dilakukan dengan hal-hal yang baik, semisal merenungkan keadaan dirinya (muhasabatun nafsi), berdo'a agar menjadi pribadi yang lebih baik, bersedekah kepada fakir miskin, anak yatim, dan amal-amal kebajikan lainnya. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho dan Siroj Munir)


Referensi:
1. Al-Qowa'id al-Fiqhiyyah Wa Tathbiquha Fil Madzahib al-Arba'ah, jilid 2, hal. 769-770

الأصل في العادات الإباحة
التوضيح: -إلى أن قال- والإباحة هي الإطلاق والإذن، وشرعاً: تخيير المكلف: بين الفعل والترك
والعادة: هي الاستمرار على شيء مقبول للطبع السليم، والمعاودة إليه مرة بعد أخرى، وتصبح بتكرارها ومعاودتها معروفة مستقرة في النفوس والعقول، ومتلقاة بالقبول، ويعتبر الأصل في العادات الإباحة إلا إذا خالفت نصاً، أو ورد عليها الحظر والمنع والإبطال، فتلغى
التطبيقات: -إلى أن قال- 2 - الأمور التي يعتادها الناس لتأمين مصالحهم وحاجاتهم وعلاقاتهم الاجتماعية، مما لا يتعارض مع الشرع، ويعتادون عليها، فالأصل فيها الإباحة، كعادات الطعام، والاحتفالات، والاجتماعات، والأفراح، والحفلات، والزيارات، وغيرها، وتصبح عادة خاصة، أو عرفاً عاماً، أو تعارفاً خاصاً في بلدة، أو فئة، أو تخصص

2. Syarah al-Yaqut an-Nafis, hal. 170

وهناك أعياد ميلاد قد يفرح الإنسان ويتذكر ميلاده إنما علي المسلم أن يجعل ميلاده مناسبة لمحاسبة نفسه ويعمل مقارنة بين عام وعام هل ازداد وتقدم ام نقص وتأخر؟ هذا شيء جميل ولا يكون ذلك لمجرد التقليد ولا للسرف والأعياد المجازية والتقليدية كثيرة وكل فرد يتمني عليه العيد في خير وعافية ولطف وسعادة وإلي زيادة نسأل الله أن يعيد علينا عوائده الجميلة

MENAMBAH KATA “TA’ALA” PADA UCAPAN SALAM



Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya memberikan tambahan kata "ta'ala" pada ucapan salam, sehingga kalimatnya menjadi  “Assalamu'alaikum warahmatullahi ta'ala wabarakaatuh”?
Mohon untuk memberikan refrensinya .  Terima kasih.

(Dari :  Muhammad Fatchurrozi).


Jawaban:
Diperbolehkan menambahkan lafadz “ta’ala” pada salam karena tidak bertentangan dengan tatacara yang diajarkan sunnah bahkan hal tersebut juga dilakukan oleh para sahabat Nabi. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya meriwayatkan :

عَنْ مَيْمُونٍ، أَنَّ رَجُلًا سَلَّمَ عَلَى سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ، فَقَالَ: سَلْمَانُ: «حَسْبُكَ

“Dari Maimun, bahwa seorang lelaki mengucapkan salam pada Salman Al-Farisi dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh, lalu Salman berkata: Cukuplah bagi kamu”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, No.25683).

Syekh Al-Alusi dalam tafsirnya meriwayatkan:

عَنْ سَالِمٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَمِيعًا قَال: كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ فَرَدَّ زَادَ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى، ثُمَّ أَتَيْتُهُ مَرَّةً أُخْرَى فَقُلْتُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ، فَقَال: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهُ وَطَيِّبُ صَلَوَاتِهِ

“Dari Salim, budak Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum, ia berkata, ketika ada orang member salam pada Ibnu Umar maka ia akan menambah ketika menjawabnya, saya pernah mendatanginya dan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, dia menjawab “Assalamu’alaikum warohmatullohi taala”, lalu dilain waktu aku mendatanginya dengan mengatakan “Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh” dia menjawab “Assalamu’alaikum warohmatullohi ta’ala wabarokatuh wa thoyyibu sholawatihi”.

Jadi, kesimpulannya menambah kata “ta’ala” setelah kata “Allah” itu boleh-boleh saja. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Al Murtadho, Mbah Pardan Milanistie dan Siroj Munir).

Referensi:
 1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25/158-159

يزيد المحيى إذا جمع المحيي الثلاثة له وهي السلام والرحمة والبركة ، لما روي عن سالم مولى عبد الله بن عمر رضي الله عنهم جميعا قال : كان ابن عمر إذا سلم عليه فرد زاد ، فأتيته فقلت : السلام عليكم ، فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى ، ثم أتيته مرة أخرى فقلت : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته ، فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته وطيب صلواته . ولا يتعين ما ذكر للزيادة لما روي عن معاذ زيادة : ومغفرته

2. Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/243

حدثنا كثير بن هشام، عن جعفر، عن ميمون، أن رجلا سلم على سلمان الفارسي، فقال: السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته، فقال: سلمان: «حسبك» ، ثم رد على الذي قال , ثم أراد أخرى فقال له الرجل: أتعرفني يا أبا عبد الله؟ فقال: «أما روحي فقد عرف روحك

3. Tafsir Ruhul Ma’ani, 5/99

ولان السلام من أسمائه تعالى والبداءة بذكره مما لاريب فى فضله ومزيته أى إذا سلم عليكم من جهة المؤمنين كما قال الحسن وعطاء أو مطلقا كما أخرج ابن أبى شيبة والبخارى فى الادب وغيرهما عن ابن عباس رضى الله تعالى عنهما فحيوا بأحسن منها أى بتحية أحسن من التحية التى حييتم بها بأن تقولوا او عليكم السلام ورحمة الله تعالى إن اقتصر المسلم على الأول وبأن تزيدوا وبركاته إن جمعهما المسلم وهى النهاية فقد أخرج البيهقى عن عروة بن الزبير أن رجلا سلم عليه فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته فقال عروة ماترك لنا فضلا ان السلام قد انتهى الى وبركاته وفى معناه ماأخرجه الامام أحمد والطبرانى عن سلمان الفارسى مرفوعا وذلك لانتظام تلك التحية لجميع فنون المطالب التي هي السلامة عن المضار ونيل المنافع ودوامها ونمائها وقبل : يزيد المحيى إذا حمع المحيى الثلاثة له فقد أخرج البخارى فى الادب المفرد عن سالم مولى عبد الله بن عمر قال : كان ابن عمر إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته فقلت : السلام عليم فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى ثم أتيته مرة أخرى فقلت : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته فقال : السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته وطيب صلواته ولايتعين ماذكر للزيادة فقد ورد خبر رواه أبو داؤد والبيهقى عن معاذ زيادة : ومغفرته فما فى الدر من أن المراد لايزيد على وبركاته غير مجمع عليه أوردوها أى حيوا بمثلها و أو للتخيير بين الزيادة وتركها والظاهر أن الأول هو الافضل فى الجواب بل لو زاد المسلم على السلام عليكم كان أفضل فقد أخرج البيهقى عن سهل ابن حنيف قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من قال : السلام عليكم كتب الله تعالى له عشر حسنات فان قال السلام عليكم ورحمة الله تعالى كتب الله تعالى له عشرين حسنة فان السلام عليكم ورحمة الله تعالى وبركاته كتب الله تعالى له ثلاثين حسنة  

Hukum menjawab salam non muslim



Pertanyaan :
Assalamualaikum...
Saya prnah dengar kalau ada non muslim mengucapkan 'assalamualaikum' kpd kita, kita tidak boleh mnjwbnya ya? kalau benar, refrensinya dimana ya...

( Dari : Sangga Bumi )


Jawaban :

Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut pendapat madzhab syafi’i dan juga pendapat mayoritas ulama’ seorang muslim diharamkan mengucapkan salam bagi orang kafir, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah kalian memulai ucapan salam pada orang yahudi dan nasrani”. (Shahih Muslim, no.2167)

Sedangkan apabila orang kafir mengucapkan salam pada orang muslim maka diwajibkan menjawabnya, namun dengan hanya mengucapkan “wa’alaikum” (dan semoga bagi kalian). Hukum ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Apabila orang ahlu kitab mengucapkan salam bagi kalian, maka jawablah “wa’alaikum”. (Shahih Bukhari, no.6258 dan Shahih Muslim, no.2163)

Maksud dari jawaban tersebut sesuai dengan tujuan orang kafir tersebut;
- Apabila ia mengucapkan salam dengan maksud agar orang islam tersebut mendapatkan keselamatan, maka maksud jawaban dari muslim tersebut adalah “semoga orang kafir tersebut masuk islam”, sebab hanya dengan masuk islam ia mendapatkan keselamatan.
- Apabila ucapannya itu niatnya menyindir atau meledek seorang muslim, maka maksud dari jawaban tersebut adalah kami juga mendo’akan hal yang sama kepadamu seperti yang kamu maksud.

Alasan dilarangnya seorang muslim mengucapkan salam kepada orang kafir adalah karena orang kafir tidak akan mendapatkan keselamatan, baik didunia maupun diakhirat jika ia tetap dalam kekafirannya. Didunia ia boleh diperangi jika termasuk kategori kafir harbi, dan diakhirat kelak ia akan disiksa selama lamanya. Wallahu a’lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ungu Kencana dan Siroj Munir )
 

Referensi :
1. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 14  Hal : 145
2. Faidhul Qodir, Juz : 1  Hal : 376


Ibarot :
Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 14  Hal : 145

واختلف العلماء في رد السلام على الكفار وابتدائهم به فمذهبنا تحريم ابتدائهم به ووجوب رده عليهم بأن يقول وعليكم أو عليكم فقط ودليلنا في الابتداء قوله صلى الله عليه وسلم لاتبدأوا اليهود ولاالنصارى بالسلام وفي الرد قوله صلى الله عليه وسلم فقولوا وعليكم وبهذا الذي ذكرناه عن مذهبنا قال أكثر العلماء وعامة السلف


Faidhul Qodir, Juz : 1  Hal : 376

إذا سلم عليكم) أيها المسلمون (أحد من أهل الكتاب) اليهود والنصارى ولفظ أهل الكتاب وإن كان أعم بحسب المفهوم من التوراة والإنجيل لكنه خص استعمال الشرع بهما لأن غير اليهود والنصارى لم يوجد زمان البعثة (فقولوا) وجوبا في الرد عليهم (وعليكم) فقط روي بالواو وبدونها. قال القرطبي: وحذفها أوضح معنى وأحسن وإثباتها أصح رواية وأشهر. قال الزركشي: الرواية الصحيحة عن مالك وابن عيينة بغير واو وهي أصوب وقال النووي إثباتها أجود فمعناه بدونها: عليكم ما تستحقونه وبها: أنهم إن لم يقصدوا دعاء علينا فهو دعاء لهم بالإسلام فإنه مناط السلامة في الدارين وإن قصدوا التعريض بالدعاء علينا فمعناه ونقول لكم وعليكم ما تريدون بها أو تستحقونه أو ندعو عليكم بما دعوتم به علينا ولا يكون عليكم عطفا على عليكم في كلامهم وإلا فتضمن ذلك تقرير دعائهم علينا وإنما اختار هذه الصيغة ليكون أبعد من الإيحاش وأقرب إلى الرفق المأمور به. قال النووي: اتفقوا على الرد على أهل الكتاب بما ذكر إذا سلموا وقال غيره: فيه أنه لا يشرع ابتداء الكافر بالسلام لأنه بين حكم الجواب ولم يذكر حكم الابتداء وأن هذا الرد خاص بالكفار فلا يجزي في الرد على مسلم لاشتهار الصيغة في الرد على غيره. وقيل بإجزائها في أصل الرد وإنما امتنع السلام على الكافر لأنه لا سلامة له إذ هو مخزي في الدنيا بالحرب والقتل والسبي وفي الآخرة بالعذاب الأبدي

Penggunaan Alat Pengeras Suara Ketika Adzan, Sholat Jama'ah, Khutbah,dl. Bid’ahkah ? - Fatwa Syeikh Isma'il Utsman Zain Al-Yamani



Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji bagi Alloh yang telah menetapkan beberapa hukum bagi kita, dan telah menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad pemimpin umat manusia yang telah bersabda;

مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْراً يُفَقّهْهُ في الدّين

"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepadanya maka Alloh akan memberikan pemahaman agama kepadanya".

Sholawat serta salam semoga terlimpahkan pula kepada keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (tabi'in) dalam menapaki jalan lurus.

Amma ba'du,
Orang yang sangat mengharap pengampunan Alloh, Isma'il Utsman Zain Al-Yamani Al-Makki Asy-Syafi'i -semoga Alloh senantiasa mengasihinya- berkata;

Sebagian orang bertanya tentang hukum menggunakan alat pengeras suara saat adzan, sholat jama'ah, sholat jum'at, khutbah sholat jum'at, dan hal-hal lain yang dianjurkan untuk mengeraskan bacaan dan disengar oleh orang lain, sebab sebagian orang yang menganggap dirinya seorang 'alim mengatakan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dan menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah.

Aku berkata; Ketahuilah bahwasanya setiap permasalahan yang sedang terjadi atau akan terjadi hingga hari kiamat nanti ada hukumnya dalam syari'at kita yang sangat jelas. Baik hal tersebut terdapat dalam nash atau dengan penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama' ahli fiqih yang mengerti dan sudah diakui kebaikannya yang sempurna, dan diakui oleh orang-orang yang pandai dan memiliki keutamaan dalam berpikir. Mereka itu adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Alloh;

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ

“ dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut : 43)

dan firman Alloh;

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri  di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri) (QS. An-Nisa’ : 83)

Selain itu sebagian dari qoidah-qoidah yang telah ditetapkan dan sudah dikenal dikalangan ahli ilmu terutama dikalangan madzhab syafi'i -semoga Alloh merahmati beliau dan para pengikutnya-  adalah; "Lil Wasa'il Hukmul Maqoshid" (Semua perantara memiliki hukum sebagaimana tujuannya). Qoidah ini mencakup kelima hukum islam tergantung dari tujuannya, jadi apabila yang dituju adalah perkara yang wajib maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga wajib, apabila yang dituju adalah perkara yang sunat maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga sunat, apabila yang dituju adalah perkara yang haram maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga haram, apabila yang dituju adalah perkara yang makruh maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga makruh, dan apabila yang dituju adalah perkara yang wajib maka perantara kepada perkara tersebut hukumnya juga makruh.

Sebagian contohnya adalah kewajiban bagi khotib untuk memperderngarkan rukun khutbahnya kepada 40 jama'ah sholat jum'at, karena itu apabilahal tersebut tak bisa terlaksana kecuali dengan menggunakan pengeras suara maka penggiunaan pengeras suara tersebut hukumnya adalah wajib, sebab sesuatu yang dapat menyempurnakan perkara yang wajib juga dihukumi wajib, sedangkan apabila hal tersebut sudah bisa terlaksana dengan tanpa menggunakan pengeras suara maka penggunaan pengeras suara tersebut hukumnya sunatuntuk menambahkan faedah (pembacaan khutbah) dan kesempurnaan tujuannya (tujuan khutbah agar bisa didengar semua jama'ah yang hadir).

Begitu pula pemilik syari'at yang bijaksana menganjurkan untuk mengeraskan suara ketika adzandan mennyampaikan suaranya sampai jauh dan menganjurkan untuk menempati tempat yang tinggi seperti menara. Selain itu sianjurkan juga untuk meletakkan 2 jari telunjuk pada kedua telinga dengan tujuan agar suara yang dihasilkan bisa didengar dari jarak yang jauh. Berdasarkan itu semua maka penggunaan pengeras suara ketika adzan hukumya sunat sebab penggunaan alat tersebut dapat membantu agar suara adzan yang dikumandangkan bisa terdengar sampai jauh. 

Disini kami akan sedikit mengemukakan pernyataan para fuqoha' dari kalangan madzhab syafi'i dalam kitab-kitab matan dan syarah mereka yang menunjukkan bahwa mengeraskan suara agar bisa didengar sampai jauh itu dianjurkan dengan tujuan agar menambah penyampaian;

1. Dalam kitab Mughil Muhtaj, jilid 1, halaman 128 dijelaskan;

"Pelaksanaan adzan disunatkan untuk dilakukan oleh orang yang  suaranya paling tinggi. Hal ini didasarkan pada sabda rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Abdullaoh bin Zaid;

أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى مِنْكَ صَوْتًا

"Ajarkanlah kepada Bilal karena sesungguhnya dia lebih kencang suaranya daripada kamu." (Sunan Abu Dawud, no.512, Sunan Baihaqi, no.1873. Hadits ini dishohihkan Ibnu Hibban).

Pada halaman 127 diterangkan;

"Disunatkan untuk mengerjakan adzan ditempat yang tinggi seperti menara atau diatas atap, berdasarkan hadits dalam shohih bukhori dan shohih muslim;

كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai dua orang muadzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum. Dan tidak ada jarak antara keduanya, kecuali waktu Bilal turun (dari sini) dan Ibnu Ummi Maktum naik dari sini " (Shohih Muslim, no.1092)

2. Dalam kitab Fathul Jawad, Juz 1, halaman 104

"Dan dianjurkan untuk mengeraskan suaranya dengan sangat asalkan tidak sampai memayahkan dirinya, sebab rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untyuk mengeraskan suara. Beliau juga menjelaskan alasan (illat) dari perintah itu, yaitu bahwa manusia dan jin yang mendengar suara adzan tersebut kelak akan memberikan saksi pada hari kiamat".

3. Penjelasan dalam kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang diberi nama "Al-Majmu'" karya Imam Nawawi rahimahullah;

"Kedua: Dsisunatkan untuk adzan ditempat yang tinggi, seperti menara atau tempat lainnya, dan hal ini sudah disepakati oleh ulama'. Ashab kita (ashab madzhab syafi'i) mendasarkan kesunatan ini pada dalil yang dikemukakan oleh mushonnif (maksudnya pengarang kitab Muhadzdzab, yaitu Imam Al-Shirozi) dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata;

كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤَذِّنَانِ بِلَالٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ» قَالَ: وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai dua orang mudzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sesungguhnya Bilal itu adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan." Dan tidaklah jarak antara keduanya, kecuali waktu Bilal turun (dari sini) dan Ibnu Ummi Maktum naik dari sini".(Shohih Muslim, no.1092)

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari riwayat Ibnu Umar dan Aisyah, sedangkan yang dipakai diatas adalah redaksi Imam Muslim.

Kesunatan tersebut juga didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Urwah bin Az-Zubair dari seorang wanita dari Bani Najar, ia berkata;

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

"Rumahku adalah rumah yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang lain di sekitar Masjid, dan Bilal mengumandangkan adzan subuh di atasnya" (Sunan Abu Dawud, no.519)

Dan kini alat pengeras suara sudah dianggap mencukupi dan tak perlu lagi naik ketempat yang tinggi seperti menara atau tempat semisalnya, hal tersebut sudah sangat jelas dan hal tersebut adalah suatu kesunatan yang tak diragukan lagi.

Kesimpulan akhir dari semua yang telah kami paparkan dalam lembaran-lembaran ini adalah bahwa penggunaan alat pengeras suara ketika adzan dan hal-hal lain yang dianjurkan untuk mengeraskan bacaan adalah merupakan perbuatan yang terpuji secara syari'at, dan inilah pendapat yang benar.

Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kita pada jalan yang lurus. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga beliau dan para sahabatnya, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي شرع لنا الأحكام، وبيّن الحلال من الحرام. والصلاة والسلام على سيدنا محمد سيد الأنام القائل: {مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْراً يُفَقّهْهُ في الدّين}. وعلى آله وصحبه والتابعين لهم على النهج القويم والطريق المستقيم

أما بعد: فيقول الفقير إلى عفو الله تعالى إسماعيل عثمان زين اليمني المكي الشافعي، لطف الله به: سألني بعض المحبين عن حكم مكبّرات الصوت أثناء الأذان وصلاة الجماعة والجمعة وخطبتيها وغير ذلك مما يطلب فيه الجهر وإسماع الغير، لأن بعض من يدعي العلم يرى أن ذلك لا يجوز، لأنه بدعة

فأقول وبالله التوفيق: إعلم أنه ما من موضوع كائن أو يكون إلى يوم الدين إلا وله حكم في شرعنا المبين، سواء كان نصا أو استنباطا يستنبطه الفقهاء العارفون المشهود لهم بالخيرية الكاملة، ويعرفه العلماء الأذكياء، ذوو الألباب الفاضلة الذين قال الله تعالى فيهم: وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُونَ. وقال فيهم:  وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

ثم إن من القواعد المقررة المشهورة بين أهل العلم، خصوصا في مذهب إمامنا الشافعي رحمه الله تعالى وأصحابه رضوان الله عليهم أن للوسائل حكم المقاصد. وهذه القاعدة تدخلها الأحكام الخمسة بحسب المقاصد، فمتى كان المقصد واجبا فالوسيلة إليه واجبة، ومتى كان مندوبا فالوسيلة إليه مندوبة، ومتى كان حراما فالوسيلة إليه محرمة، ومتى كان مكروها فالوسيلة إليه مكروهة، ومتى كان مباحا فالوسيلة إليه مباحة

فمن أمثلة ذلك أنه يجب على الخطيب إسماع أربعين من أهل الجمعة أركان الخطبة، فإذا لم يتأتّ ذلك إلا باستعمال المكبر كان استعماله واجبا، لأن ما ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وإن تأتى بدون ذلك فاستعماله حينئذٍ مندوب لمزيد الفائدة وتمام الغَرَض

وإذا كان الشارع الحكيم قد طلب في الأذان رفع الصوت وإبلاغه إلى مدى بعيد ونَدَب الوقوفَ على مكان عالٍ كالمنارة مثلا وندب وضع السبابتين في الأذنين لأنه أندى وأبعد للصوت، فيكون استعمال المكبر فيه مندوبا، لأنه مما يستعان به على إبلاغ صوت المؤذن إلى مدى بعيد
 
وقد بينت السنة النبوية الشريفة فوائد ذلك، وإن منها أنه لا يبلغ مدى صوت المؤذن شيئا، جِنًّا أو إنسا، حيوانا أو جمادا إلا شهد له يوم القيامة كما سيأتى. ومن الفوائد أيضا أن الشيطان يشرد ويهرب عند سماع الأذان فكلما كان المدى بعيدا كانت الفائدة أكثر

ولا ينبغى الإغترار بما يقوم به الآن بعض من يدعى العلم من الإنكار على بعض الأمور التي لها دَخَلٌ في أحكام الدين، ولها به إتصالٌ قويٌّ متين مدّعيا أن ذلك بدعة، لأنه ليس من فعل السلف. وهؤلاء الكثير منهم يلهجون بلفظ السلف ولا يعرفون من هم المستحقون لهذا الوصف، ويلهجون بالدليل وهم لا يعرفون كيفية الإستدلال به، ولا يحسنون الإستفادة من معناه، ولا يعلمون أن الأخذ بالدليل يحتاج إلى أهل لذلك، بحيث يعرفون الصالح للإستدلال وغير الصالح، يعرفون هل هو صحيح أو حسن، ثم يعرفون هل هو محكم أم منسوخ، ثم يعرفون عام أو خاص. وإذا كان عاما ينظرون هل له مخصص أم لا، ويعرفون هو مطلق أم مقيّد، ويعرفون هل هو مما أطبق أهل العلم على العمل بمقتضاه، وإلا فهو شاذ متروك ولو كان في أعلى درجة الصحة

وهاك نصَّ الإمام الشافعي رحمه الله تعالى، وهو من فضلاء السلف وخيارهم. قال رحمه الله تعالى: كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علمٌ به انتهى

فهكذا يكون جواب أهل العلم والإتصاف. ولا عبرة بأهل الجهل والجراءة والإعتساف وإن كثروا، فقد جاء في الأحاديث الصحيحة ـأنه في آخر الزمان يقل العلم ويكثر الجهل، وقد أصبح الكثير الآن يدعى العلم وليس له من عُدّةٍ سوى الجراءة والتمسك بالشواذ والإستدلال بما لا يعرف المقصود منه أو بالنفي للدليل ولا يدرى هذا المسكين أن عدم دليل الفعل ليس دليلا للمنع. فأمثال هؤلاء يعتبر الواحد منهم شخصيةً مؤذيةً وفتنةً تمشى على رجلين آخذٌ بالشاذّ من القول أو بالقول المهجور فَقَاهَتُهُ بالتشهّى ودعواه بلا برهان. والله المستعان

ولنذكر هنا نبذة يسيرة من كلام الفقهاء الشافعية في متونهم وشروحهم الدال على طلب زيادة مدى الصوت لزيادة الإبلاغ

ففي مغنى المحتاج الجزء الأول صفحة 128: "ويسن للأذان مؤذن حر لأنه أكمل من غيره صيِّتٌ أي عالى الصوت لقوله صلى الله عليه وسلم في خبر عبد الله بن زيد {أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى مِنْكَ صَوْتًا} أي أبعد ولزيادة الإبلاغ" انتهى

وفي صغحة 127: "ويسن أن يؤذن على موضع عال كمنارة وسطح لخبر الصحيحين: {كَانَ لِرَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم مُؤَذّنَانِ: بِلاَلٌ وَابْنُ أُمّ مَكْتُومٍ، وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَىَ هَذَا}، ولزيادة الإعلام" انتهى

وفي فتح الجواد الجزء الأول صفحة 104: "ويبالغ في الجهر مالم يُجْهِدْ نفسَهُ، لأمره صلى الله عليه وسلم برفع الصوت، وعلله بأنه لا يسمع مدى صوت المؤذن جنٌّ ولا إنسٌ إلا شهد له يوم القيامة" انتهى

وعبارة شرح المهذب المسمى بالمجموع للإمام النووي رحمه الله تعالى: "الثانية يستحب أن يؤذن على موضع عال، من منارة  أو غيرها. وهذا لا خلاف فيه، واحتج له الأصحاب بما ذكر المصنف، وبحديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: {كَانَ لِرَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم مُؤَذّنَانِ: بِلاَلٌ وَابْنُ أُمّ مَكْتُومٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ، قَالَ: وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلا أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَىَ هَذَا} رواه البخاري ومسلم من رواية ابن عمر وعائشة، وهذا لفظ مسلم. وعن عروة بن الزبير عن إمرأة من بني النجار قالت: {كانَ بَيْتِيْ أَطْوَلَ بَيْتٍ حَوْلَ المَسْجِدِ، فَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الفَجْرَ} رواه أبو داود

وقد صارت آلة مكبرات الصوت مُغْنِيَةً عن الصعود على موضع عالٍ كالمنارة وأشباهها، وذلك ظاهر بلا خفاء ومستحب بلا مراء

والحاصل من جميع ما ذكرناه ونقلناه في هذه الوريقات أن استعمال مكبّرات الصوت في الأذان وغيره مما يطلب فيه الجهر أمرٌ محمودٌ شرعًا، وهذا هو الحق والصواب

والله الهادى إلى سواء السبيل. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا. والحمد لله رب العالمين

Meninggalkan Sunah Nabi Lantaran Ahlu Bid’ah - Fatwa Izzuddin Ibnu Abdissalam



Permasalahan :
Apabila terdapat sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah tetap, apakah diperbolehkan meninggalkannya dikarenakan orang yang melakukan bid’ah (mubtadi’) juga mengerjakannya ?

Jawaban :
Tidak diperbolehkan meninggalkan sunnah Nabi hanya gara-gara orang-orang yang melakukan bid’ah (mubtadi’in) juga mengerjakan amalan sunah tersebut, sebab perkara yang benar (al-haq) tidak boleh ditinggalkan dikarenakan perbuatan yang bathil. Para ulama’ dan orang-orang yang saleh juga senantiasa mengejakan sunah-sunah nabi meskipun mereka tahu bahwa kesunahan-kesunahan tersebut juga dikerjakan orang-orang yang melakukan bid’ah.

Jika perkarayang haq tidak boleh ditinggalkan lantaran suatu kebathilan, lalu bagaimana mungkin perkara yang haq sitinggalkan hanya lantaran orang-orang yang melakukan bid’ah juga mengejakannya.

Andai hal itu diperbolehkan, maka adzan, iqomat, sholat-sholat sunat rowatib, sholat hari raya, menjenguk orang sakit, salam, mendo’akan orang yang bersin, sedekah, menjamu tamu dan semua amal kebajikan lain yang sifatnya sunah akan ditinggalkan.

Wallahu a’lam.


مسئلة : إذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم سنة، هل يجوز تركها لكون المبتدع يفعلها أم لا ؟

الجواب : لا يجوز ترك السنة لمشاركة المبتدعين فيها، إذ لا يترك الحق لأجل الباطل. وما زال العلماء والصالحون يقيمون السنن مع العلم بمشاركة المبتدعين، وإذا لم يترك الحق لأجل الباطل فكيف يترك الحق لأجل المشاركة ؟، ولو شاغ ذلك لترك الأذان، والإقامة، والسنن الراتبة، وصلاة الأعياد، وعيادة المرضى، والتسليم، وتشميت العاطس، والصدقات، والضيافات، وجميع المبرات المندوبات. والله أعلم


Referensi : Fatawa Al-Mishriyah Li Izzuddin Ibnu Abdissalam, Hal : 37

Menghindari Vonis Kafir Secara Membabi Buta - Penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki



MENGHINDARI MENJATUHKAN VONIS KAFUR (TAKFIR)
SECARA MEMBABI BUTA

Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” 

Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Sedangkan penggunaan cara yang buruk dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan bodoh.

Apabila anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu anda menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan dengan anda maka sungguh anda telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.

Al-Allamah Al-Imam As-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan,

وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا، أو شرك  جلي لا يحتمل التأويل، أو إنكار النبوة، أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو   إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين

“ Para ulama’ telah sepakat untuk melarang vonis kufur yang ditujukan kepada ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur tidak mengakui keberadaan Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah disepakati oleh semua ulama dan wajib diketahui semua umat Islam”.

Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :

1.    Tinjauan sanad hadits, contohnya seperti hadits :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka”.

2.    Tinjauan tingkatan kelompok perawinya. Seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya diakui di seluruh muka bumi ini dari mulai wilayah barat sampai wilayah timur, dari segi  kajian, pembacaan dan penghapalan serta beralih dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan sanad.

3.    Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari tinjauan praktek dan turun-temurunnya (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang,

4.    Mutawatir dari tinjauan berita yang diberikan (Tawaturu ‘ilmin). Seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.

Memvonis  kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya, “ Hai orang kafir”, maka vonis kufur bisa jatuh pada salah satu dari keduanya”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.

Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ: الْكَفُّ عَمَّنْ، قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ، وَلَا نُخْرِجُهُ مِنَ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ، وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ، وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ

“Tiga hal yang merupakan pokok iman, yaitu; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Dawud)

Imam Al-Haramain pernah berkata,

لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق

“ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit  yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.

Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar point-point yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.

Hanya Allah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.


التحذير من المجازفة بالتكفير

     يخطئ كثير من الناس – أصلحهم الله – في فهم حقيقة الأسباب التي تخرج صاحبها عن دائرة الإسلام وتوجب عليه الحكم بالكفر ، فتراهم يسارعون إلى الحكم على المسلم بالكفر لمجرد المخالفة حتى لم يبق من المسلمين على وجه الأرض إلا القليل ، ونحن نلتمس لهؤلاء العذر تحسيناً للظن ، ونقول لعل نيتهم حسنة من دافع واجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولكن فاتهم أن واجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لابد في أدائه من الحكمة والموعظة الحسنة وإذ اقتضى الأمر المجادلة يجب أن تكون بالتي هي أحسن كما قال تعالى : ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

     وذلك أدعى إلى القبول وأقرب للحصول على المأمول ومخالفته خطأ وحماقة

     فإذا دعوت مسلماً يصلي ، ويؤدي فرائض الله ، ويجتنب محارمه وينشر دعوته ، ويشيد مساجده ، ويقيم معاهده ، إلى أمر تراه حقاً ويراه هو على خلافك والرأي فيه بين العلماء مختلف قديماً إقراراً وإنكاراً فلم يطاوعك في رأيك فرميته بالكفر لمجرد مخالفته لرأيك فقد قارفت عظيمة نكراء ، وأتيت أمراً إدّاً نهاك عنه الله ودعاك إلى الأخذ فيه بالحكمة والحسنى

     قال العلامة الإمام السيد أحمد مشهور الحداد : وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا أو شرك جلي لا يحتمل التأويل أو إنكار النبوة أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين

     والمعلوم من الدين ضرورة كالتوحيد والنبوات وختم الرسالة بمحمد صلى الله عليه وسلم والبعث في اليوم الآخر والحساب والجزاء والجنة والنار يكفر جاحده ، ولا يعذر أحد من المسلمين بالجهل به إلا من كان حديث عهد في الإسلام فإنه يعذر إلى أن يتعلمه فإنه لا يعذر بعده

     والمتواتر الخبر الذي يرويه جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب عن جمع مثلهم إما من حيث الإسناد كحديث : (( من كذب عليَّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار )) .. وإما من حيث الطبقة كتواتر القرآن فإنه تواتر على البسيطة شرقاً وغرباً درساً وتلاوة وحفظاً وتلقاه الكافة عن الكافة طبقة عن طبقة فلا يحتاج إلى إسناد. وقد يكون تواتر عمل وتوارث كتواتر العمل على شيء من عصر النبوة إلى الآن ، أو تواتر علم كتواتر المعجزات فإن مفرداتها وإن كان بعضها آحاداً لكن القدر المشترك منها متواتر قطعاً في علم كل إنسان مسلم

     وإن الحكم على المسلم بالكفر في غير هذه المواطن التي بيناها أمر خطير ، وفي الحديث (إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما) . رواه البخاري عن أبي هريرة

     ولا يصح صدوره إلا ممن عرف بنور الشريعة مداخل الكفر ومخارجه والحدود الفاصلة بين الكفر والإيمان في حكم الشريعة الغراء

     فلا يجوز لأي إنسان الركض في هذا الميدان والتكفير بالأوهام والمظان دون تثبت ويقين وعلم متين وإلا اختلط سيلها بالأبطح ولم يبق مسلم على وجه الأرض إلا القليل

     كما لا يجوز التكفير بارتكاب المعاصي مع الإيمان والإقرار بالشهادتين ، وفي الحديث عن أنس رضي الله عنه قال صلى الله عليه وسلم :  (( ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل ، والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل والإيمان بالأقدار )) أخرجه أبو داود

     وكان إمام الحرمين يقول : لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق

    لذلك نحذر كل التحذير من المجازفة بالتكفير في غير المواطن السابق بيانها لأنه جد خطير والله الهادي إلى سواء السبيل وإليه المصير


Referensi : “Mafahim Yajibu ‘An Tushohhah” karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyah, Hal : 79 - 81

Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama - Fatwa MUI




PLURALISME, LIBERALISME, DAN
SEKULARISMEAGAMA


بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA


Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :

Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;

2.  bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;

3.  bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

Mengingat :

1.  Firman Allah SWT :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”.
(QS. Ali Imran [3]: 19)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. al-Kafirun [109] : 6).

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.(QS. al-Ahzab [33]: 36).

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.(QS. al-Mu’minun [23]: 71).

2.  Hadis Nabi saw.:

a.  Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”.(H.R. Muslim)

b.  Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).

c.  Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Memperhatikan :
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME,LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :

1.  Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

2.  Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

3.  Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4.  Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua :   Ketentuan Hukum

1.  Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

2.  Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.

3.  Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4.  Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin


Sumber : Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia
http://www.mui.or.id/

Aqidah Asy’ari, Memanjangkan jenggot, Memakai Celana cingkrang dan Qunut Sholat Subuh - Lembaga Fatwa Mesir



Pelecehan Kelompok-kelompok Ahlu Bid'ah terhadap Manhaj, Akidah dan Para Ulama Azhar


Nomor Urut : 261    Tanggal Jawaban : 19/11/2005

Memperhatikan permohonan fatwa No. 2908 tahun 2005 yang berisi: Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama salaf saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh orang-orang yang berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing, orang kafir dan zindik. Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari tuduhan mereka. Mereka menyerang akidah para ulama Azhar dan menuduh para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah. Selain itu, mereka juga mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat Subuh sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Para pemuda muslim, terutama para penuntut ilmu, hendaknya berusaha untuk menyatukan kaum muslimin, bukan sebaliknya, menyebar perpecahan dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan tidak berselisih dalam urusan agama. Allah berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Âli 'Imrân [3]: 103).

Dan Allah berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfâl [8]: 46).

    Allah juga memerintahkan kita untuk berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Al-Baqarah [2]: 83).

     Rasulullah saw. juga memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan umat, hingga beliau menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya adalah sedekah.

    Para pemuda juga wajib menjauhkan diri dari manhaj-manhaj pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang banyak tersebar di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus bersikap bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh. Kelompok manapun yang menggunakan nama "Salafus saleh" sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah berfiman,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 42).

    Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar adalah akidah Asy'ariah yang merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama Asy'ariah –semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka diridai—merupakan jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang menjawab semua syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan lainnya. Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan mereka, maka orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.

    Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyîn Kadzb al-Muftarî fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abi al-Hasan al-Asy'arî berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk mendapatkan keridaan-Nya serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya— bahwa daging para ulama adalah beracun. Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan para ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia meninggal dunia."

    Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan menara ilmu dan agama sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk sebuah lembaga ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam yang istimewa. Dengan lembaga ini Allah telah menjaga agama-Nya dari setiap penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba mencari-cari kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada dalam bahaya yang besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte Khawarij yang disinggung oleh Allah dalam firman-Nya,

لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar." (Al-Ahzâb [33]: 60).

    Berkaitan dengan masalah jenggot, maka memeliharanya dan tidak mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.

    Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram. Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.

    Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.

    Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,

عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

"Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air." 

Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur."

    Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama Syafi'iyah— berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) --yang merubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran— tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.

    Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةٍ

"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).

    Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ

"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka." (HR. Bukhari).

Nabi saw. juga bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ - قالها ثلاثا-، ، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih". Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).

    Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi saw. bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."

    Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.

    Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a,

أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ

 Bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah saw. bersabda; "Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."

    Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata,

خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا

"Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata, Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali."

   Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.

    Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).

    Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.

    Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat. Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah,

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

"Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR. Bukhari dan lainnya).

Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً

"Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka." (HR. Muslim).

    Adapun membaca doa qunut dalam shalat Shubuh maka hal itu adalah sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar kalangan Salaf salih dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

"Sesungguhnya Nabi saw. membaca qunut selama satu bulan guna melaknat mereka (suku Ra'l, Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya. Sedangkan dalam shalat Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal dunia."

Ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa orang hufâzh dan mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan Malikiyah dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat mengenai penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya dengan mengatakan bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum tertentu dengan keburukan (melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.

    Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi bencana-bencana yang menimpa kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak terjadi bencana yang menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.

    Dengan demikian, jika terjadi suatu bencana yang menimpa kaum muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai anjuran membaca qunut dalam shalat Shubuh. Dalm hal ini yang masih diperdebatkan adalah membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian ulama, seperti para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut ketika terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada shalat Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab Hanafi, berpendapat bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr (shalat yang bacaannya dibaca dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah, dalam pendapat yang shahih, berpendapat bahwa qunut dibaca di seluruh shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana ini dengan wabah penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak perkampungan dan tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.

    Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para ulama dalam masalah membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada kondisi ketika tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para ulama sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh, sedangkan dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.

    Dengan demikian, kritikan terhadap pembacaan doa qunut dalam shalat Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak benar, adalah kritikan yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam yang sedang ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah kita yang dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan kemenangan umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas. Hal ini jika kita melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan dan tidak pernah berkesudahan.

    Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu bencana hanya terbatas pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau empat puluh hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang membaca qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk diikuti sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl [16]: 43).

    Barang siapa yang mentaklid imam lain yang pendapatnya menurutnya benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh mengingkari orang yang membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: Lâ yunkaru al-mukhtalaf fîh (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: Lâ yunqaqhu al-ijtihâd bil ijtihâd (Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


التهجم على منهج الأزهر وعقيدته وعلمائه من قبل بعض طوائف المبتدعة


الرقـم المسلسل : 261    تاريخ الإجابة : 19/11/2005

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 2908 لسنة 2005م المتضمن ينتمي كثير من الشباب إلى فرقة تقول بأنها الوحيدة التي تسير على نهج السلف الصالح وعلى الطريق المستقيم، وترمي كل من يخالفهم بالعمالة والكفر والزندقة، حتى العلماء لم يسلموا منهم؛ حيث يتهجمون على عقيدة الأزهر وعلمائه ويرمون الأشعرية بالابتداع، فما رأيكم في هذه الجماعة وفيما يقولونه: من إطلاق اللحية، وتقصير الثياب، وتبديع القنوت في الفجر وغير ذلك؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    إنه يجب على الشباب المسلم -خاصة طلبة العلم- أن يعملوا على توحيد كلمة المسلمين، وألا يسعَوْا بينهم بالفرقة والنزاع والخصام؛ حيث أمرنا الله تعالى أن نعتصـم جميعًا بحبـله المتين وألا نتفرق في الدين، قال تعالى: ﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا﴾ [آل عمران: 103]، وقال سبحانه: ﴿وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ﴾ [الأنفال: 46]، وأن نقول للناس الحسن من الكلام، قال عز من قائل: ﴿وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ﴾ [البقرة: 83]، وأمرنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بكل ما يؤدي إلى الوَحدة، حتى جعل التبسم في وجه الأخ صدقة

   كما يجب على الشباب أن ينأوا بأنفسهم عن مناهج التكفير وتيارات التبديع والتفسيق والتضليل التي انتشرت بين المتعالمين في هذا الزمان، وأن يلتزموا بحسن الأدب مع الأكابر من علماء الأمة وصالحيها، وأي جماعة تتخذ من اسم "السلف الصالح" ستارًا لتفرقة المسلمين وسببًا للشقاق والنزاع تكون قد لبَّست الحق بالباطل؛ قال تعالى: ﴿وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [البقرة: 42
   
المعلوم أن عقيدة الأزهر الشريف هي العقيدة الأشعرية وهي عقيدة أهل السنة والجماعة، والسادة الأشاعرة رضي الله تعالى عنهم وأرضاهم هم جمهور العلماء من الأمة، وهم الذين صَدُّوا الشبهات أمام المَلاحِدَةِ وغيرهم، وهم الذين التزموا بكتاب الله وسنة سيـدنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم عبر التاريخ، ومَنْ كفّرهم أو فسّقهم يُخْشَى عليه في دينه، قال الحافظ ابن عساكر رحمه الله في كتابه "تبيين كذب المفتري، فيما نسب إلى الإمام أبي الحسن الأشعري": "اعلم وفقني الله وإياك لمرضاته، وجعلنا ممن يتقيه حق تقاته، أن لحوم العلماء مسمومة، وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم معلومة، وأن من أطلق عليهم لسانه بالثلب، ابتلاه الله قبل موته بموت القلب" ا هـ

     والأزهر الشريف هو منارة العلم والدين عبر التاريخ الإسلامي، وقد كوَّن هذا الصرحُ الشامخُ أعظم حوزة علمية عرفتها الأمة بعد القرون الأولى المُفَضَّلة، وحفظ الله تعالى به دينه ضد كل معاند ومشكك؛ فالخائض في عقيدته على خطر عظيم، ويُخْشَى أن يكون من الخوارج والمرجفين الـذين قال الله تعالى فيهم: ﴿لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا﴾ [الأحزاب: 60
   
أما بالنسبة لحلق اللحية فإن من المقرر شرعًا أن إعفاء اللحية وعدم حلقها مأثور عن النبي صلى الله عليـه وآله وسلم، وقد كان يهذبها ويأخذ من أطرافها وأعلاها بما يحسنها بحيث تكون متناسبة مع تقاسيم الوجه والهيئة العامة. وقد كان يعتني بتنظيفها بغسلها بالماء وتخليلها وتمشيطها. وقد تابع الصحابة رضوان الله عليهم الرسول عليه الصلاة والسلام فيما كان يفعله وما يختاره

    وقد وردت أحاديث نبوية شريفة ترغب في الإبقاء على اللحية والعناية بنظافتها، كالأحاديث المرغبة في السواك وقص الأظافر والشارب: فحمل بعض الفقهاء هذه الأحاديث على الوجوب وعليه يكون حلق اللحية حرامًا، بينما ذهب بعضهم الآخر إلى أن الأمر الوارد في الأحاديث ليس للوجوب بل هو للندب وعليه يكون إعفاء اللحية سنة يُثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها. أما دليل من قال بأن حلق اللحية حرام فهو الأحاديث الخاصة بالأمر بإعفاء اللحية مخالفة للمجوس والمشركين، وروى الإمام مسلم عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: «عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ» قَالَ بعض الرواة: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

    ويقول أصحاب الرأي الآخر وهم الشافعية: إن الأوامر المتعلقة بالعادات والأكل والشرب واللبس والجلوس والهيئة .. إلخ تُحْمَل على الندب لقرينة تعلقها بهذه الجهات، ومثلوا ذلك بالأمر بالخضاب والصلاة في النعلين ونحو ذلك . كما أفاد ابن حجر العسقلاني في فتح الباري

    وبناء على ما سبق فهناك اختلاف بين الفقهاء بين الجواز وعدمه في مسألة حلق اللحية، والخروج من الخلاف مستحب، ومن ابتلي بشيء من الخلاف وتعذر عليه الخروج منه فليقلد من أجاز. وأما بالنسبة لتقصير الثياب فـإن الأصل في لبس الثياب الإباحة بشرط ألا يكون فيها إسراف ولا كبر؛ لحديث عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ» رواه أحمد والنسائي وابن ماجه وصححه الحاكم، وعلى ذلك تحمل أحاديث النهي عن الإسبال كقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ» رواه البخاري، وقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ -قَالَهَا ثلاثًا-، قَالَ أَبُو ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَـالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ» رواه مسلم؛ فإن ذلك محمول على من فعل ذلك اختيالًا وتكبرًا كما صرّح بذلك في أحاديث أخرى كحديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما المروي في الصحيحين أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ»؛ فالمطلق منها يجب تقييده بالإسبال للخيلاء كما قال الإمام النووي، وقد نص الإمام الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء، وعقد الإمام البخاري في صحيحه بابًا لذلك سماه "باب من جر إزاره من غير خيلاء" وأورد فيه حديثَ ابنِ عمر رضي الله عنهما أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال: يا رسول الله إن أحد شقي إزاري يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه، فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: «لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ»، وحديث أبي بكرة رضي الله عنه قَالَ: «خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ، وَثَابَ النَّاسُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَجُـلِّيَ عَنْهَا، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَـالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا» اهـ . وهذان الحديثان صريحان في أن الإسبال المحرم إنما هو ما كان على جهة الكبر والخيلاء، وما لم يكن كذلك فليس حرامًا؛ لأن الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا

    وقد جعل الشرع الشريف للعرف مدخلا في اللبس والهيئة، ونهى النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن ثوب الشهرة الذي يلبسه صاحبه مخالفًا به عادات الناس فقال: «مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» رواه أبو داود وابن ماجه من حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما وحسنه الحافظ المنذري، ولما دخلت الصحابة فارس صلّوا في سراويلها، وتحدث العلماء عما إذا حدث للناس اصطلاح بتطويل بعض أنواع الثياب وصار لكل نوع من الناس شعار يُعرَفون به وأن ما كان من ذلك على طريق العادة فلا تحريم فيه، وإنما المحرم منه ما كان على سبيل الخيلاء

    وينبغي للمسلم المحب للسنة أن يكون مدركًا لشأنه عالمًا بزمانه وأن يحسن تطبيقها بطريقة ترغب الناس وتحببهم فيها فلا يكون فتنة يصدهم عن دينهم، وأن يفرق فيها بين السنن الجبلية وسنن الهيئـات التي تختلف باختلاف الأعراف والعادات وغيرها من السنن، وأن يعتني بترتيب الأولويات في ذلك فلا يقدم المندوب على الواجب ولا يكون اعتناؤه بالهَدْي الظاهر على حساب الهَدْي الباطن وحسن المعاملة مع الخلق وأن يأخذ من ذلك بما يفهمه الناس وتسعه عقولهم وعاداتهم حتى لا يكون ذريعة للنيل من السنة والتكذيب بها كما قال سيدنا علي كرم الله وجهه: "حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ وَدَعُوا مَا يُنْكِرُونَ؛ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ!" رواه البخاري وغيره، وقال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: "مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً" رواه مسلم

    وأمـا بالنسبة لقنوت الفجر فإن القنوت في صلاة الفجر سنة نبوية ماضية قال بها أكثر السلف الصالح من الصحابة والتابعين فمن بعدهم من علماء الأمصار، وجاء فيه حديث أنس بن مالك رضي الله عنه: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ، وَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا»، وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه كما قال الإمام النووي وغيره، وبه أخذ الشافعية والمالكية في المشهور عنهم؛ فيستحب عندهم القنوت في الفجر مطلقًا، وحملوا ما رُوي في نسخ القنوت أو النهي عنه على أن المتروك منه هو الدعاء على أقوام بأعيانهم لا مطلق القنوت

    والفريق الآخر من العلماء يرى أن القنوت في صلاة الفجر إنما يكون في النوازل التي تقع بالمسلمين، فإذا لم تكن هناك نازلة تستدعي القنوت فإنه لا يكون حينئذٍ مشروعًا، وهذا مذهب الحنفية والحنابلة. فإذا أَلَمَّتْ بالمسلمين نازلة فلا خلاف في مشروعية القنوت في الفجر، وإنما الخلاف في غير الفجر من الصلوات المكتوبة؛ فمن العلماء من رأى الاقتصار في القنوت على صلاة الفجر كالمالكية، ومنهم من عَدَّى ذلك إلى بقية الصلوات الجهرية وهم الحنفية، والصحيح عند الشافعية تعميم القنوت حينئذٍ في جميع الصلوات المكتوبة، ومثَّلوا النازلة بوباءٍ أو قحطٍ أو مطرٍ يَضُرُّ بالعمران أو الزرع أو خوف عدوٍّ أو أَسْرِ عالِمٍ

    فالحاصل أن العلماء إنما اختلفوا في مشروعية القنوت في صلاة الفجر في غير النوازل، أما في النوازل فقد اتفق العلماء على مشروعية القنوت واستحبابه في صلاة الفجر واختلفوا في غيرها من الصلوات المكتوبة، وعليه فإن الاعتراض على قنوت صلاة الفجر بحجة أنه بدعة اعتراض غير صحيح؛ بالنظر إلى ما تعيشه الأمة الإسلامية من النوازل والنكبات والأوبئة وتداعي الأمم عليها من كل جانب وما يستوجبه ذلك من كثرة الدعاء والتضرع إلى الله تعالى عسى الله أن يرفع أيدي الأمم عنَّا ويرد علينا أرضنا وأن يُقِرَّ عين نبيه المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم نصر أمته ورد مقدساتها؛ إنه قريب مجيب

     هذا إذا أخذنا في الاعتبار تواصل النوازل وعدم محدوديتها، وأما من قال بمحدودية النازلة ووقّتها بما لا يزيد عن شهر أو أربعين يومًا، فالأمر مبني على أن من قنت فقد قلّد مذهب أحد الأئمة المجتهدين المتبوعين الذين أُمرنا باتباعهم في قوله تعالى: ﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾[النحل: 43]، ومن كان مقلدًا لمذهب إمام آخر يرى صوابه في هذه المسألة فلا يحق له الإنكار على من يقنت؛ لأنه لا يُنكَر المختلف فيه، ولأنه لا يُنقَض الاجتهاد بالاجتهاد .والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=261