Template information

Home » » Maksud Hadits Nabi "Mintalah Fatwa Pada Hatimu Sendiri"

Maksud Hadits Nabi "Mintalah Fatwa Pada Hatimu Sendiri"


Pertanyaan:
Assalamu alaikum ..
Ada teman yang mengatakan, ada hadits yang bunyinya "Mintalah fatwa  (keterangan hukum) kepada hati dan jiwamu, kebajikan ialah apa yang menyebabkan jiwa dan hati tentram kepadanya, sedangkan dosa ialah yang merisaukan jiwa dan menyebabkan ganjalan dalam dada walaupun orang-orang meminta/memberi fatwa kepadamu (HR. Muslim). Katanya, apa hadits itu bisa digunakan dalil untuk tidak mengikuti fatwa MUI? mohon penjelasannya..

(Dari: 0896 9136 XXXX)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Pertama, Perlu dikoreksi bahwa hadits dengan redaksi seperti itu tidak diriwayatkan oleh imam muslim, namun diriwayatkan oleh beberapa ulama' lain seperti Imam Ahmad, Imam Mundzir, dll. Redaksi aslinya sebagai berikut:

عَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَدَعَ شَيْئًا مِنَ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ إِلَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ، وَإِذَا عِنْدَهُ جَمْعٌ، فَذَهَبْتُ أَتَخَطَّى النَّاسَ، فَقَالُوا: إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ، فَقُلْتُ: أَنَا وَابِصَةُ، دَعُونِي أَدْنُو مِنْهُ  ، فَإِنَّهُ مِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ أَنْ أَدْنُوَ مِنْهُ، فَقَالَ لِي: ادْنُ يَا وَابِصَةُ، ادْنُ يَا وَابِصَةُ "، فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى مَسَّتْ رُكْبَتِي رُكْبَتَهُ، فَقَالَ: يَا وَابِصَةُ أُخْبِرُكَ مَا جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنْهُ، أَوْ تَسْأَلُنِي؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فَأَخْبِرْنِي، قَالَ: ِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فَجَمَعَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهَا فِي صَدْرِي، وَيَقُولُ: يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ

"Dari Wabishoh bin Ma'bad ia berkata, "Saya datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan saya ingin agar tidak ada sesuatu baik berupa kebaikan atau keburukan kecuali aku telah menanyakannya pada beliau. Saat itu di sisi beliau terdapat sekelompok sahabat, maka saya pun melangkahi mereka hingga mereka berkata, "Wahai Wabishoh, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menjauhlah wahai Wabishah!" Saya berkata, "Saya adalah Wabishah, biarkan aku mendekat padanya, karena ia adalah orang yang paling aku cintai untuk berdekatan dengannya." Maka beliau pun bersabda: "Mendekatlah wahai Wabishah, mendekatlah wahai Wabishah." Saya mendekat ke arahnya sehingga lututku menyentuh lutut beliau, kemudian beliau bersabda: "Wahai Wabishah, aku akan memberitahukan (jawaban) kepadamu sesuatu yang menjadikanmu datang kemari." Saya berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah padaku." Maka beliau pun bersabda: "Kamu datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa)." Saya berkata, "Benar." Beliau lalu menyatukan ketiga jarinya dan menepukkannya ke dadaku seraya bersabda: "Wahai Wabishah, mintalah petunjuk dari jiwamu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu dan manusia memberimu fatwa (membenarkan)." (Musnad Ahmad, no.180001)

Sedangkan redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah sebagai berikut:

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

"Dari An Nawwas bin Mis'an Al Anshari dia berkata; "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang arti kebajikan dan dosa. Sabda beliau: "Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah perbuatan atau tindakan yang menyesakkan dada, dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain." (Shahih Muslim, no.2553)

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Wabishoh diatas perlu dipahami secara benar dan tidak hanya mengikuti hawa nafsu, untuk lebih jelasnya mari kita cermati keterangan para ulama' mengenai hadits diatas:

1. Imam Munawi dalam kitab "Faidhul Qodir Syarah Al-Jami'us Shoghir" menjelaskan: "Hati/jiwa yang dimaksud dalam hadits ini adalah hati/jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthma'innah), jiwa yang memiliki nur (cahaya) sehingga dapat membedakan antara perkara yang benar dan salah, perkara yang jujur dan yang bohong, sebab orang yang diajak bicara adalah Wabishoh, beliau adalah orang yang memiliki yang memiliki jiwa seperti itu.

Perintah untuk meminta petunjuk kepada hat nurani tersebut dikarenakan jiwa yang bersih memiliki perasaan yang dapat membedakan antara perkara yang terpuji dan tercela, karena itulah petunjuk yang datangnya dari jiwa seseorang lebih didahulukan meskipun petunjuk tersebut tidak sama dengan fatwa yang dikeluarkan banyak orang yang hanya berdasarkan apa yang nampak saja.

Hujjatul Islam mengatakan, hal itu bukan berarti semua orang dianjurkan untuk mengikuti petunjuk dari jiwanya masing-masing, sebab petunjuk dari Rasulullah tersebut hanya ditujukan kepada wabishoh dalam satu kejadian tertentu.

Sebagian ulama' lainnya menjelaskan, andaikata hadits itu berlaku secara umum pun, anjuran itu berlaku bagi orang-orang yang hatinya telah tercerahkan dengan nurul yaqin (cahaya keyakinan) pada saat ada orang yang memberikan fatwa yang hanya berdasarkan perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan saja tanpa adanya dalil syari'at yang kuat, jadi jika dasar fatwa yang digunakan sudah kuat maka tak ada lagi alasan untuk tidak mengikutinya, meskipun hatinya sulit menerima fatwa tersebut."

2. Imam Ibnu Rojab dalam "Jami'ul Ulum Wal Hikam" menjelaskan: "Kesimpulannya, tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali taat pada hukum Allah dan rasul-Nya jika perkara tersebut telah ada ketentuan hukumnya, sebagaimana firman Allah:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (QS. Al-Ahzab : 36)

Dan semua ketentuan hukum agama harus diterima dengan lapang dada dan kerelaan hati, sebab semua syari'at yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya wajib diimani dan diterima dengan kerelaan hati, sebagaimana firman Allah:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa' : 65)

Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan bahwa hadits diatas tidak dapat dijadikan dalih bagi seseorang untuk tidak mengikuti fatwa yang memiliki dasar hukum yang kuat, sedangkan anjuran untuk bertanya pada drinya sendiri itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki jiwa yang tenang dan hati yang tercerahkan dengan nurul yaqin, dan tidak semua orang memiliki jiwa dan hati seperti ini, bahkan hal itupun hanya berlaku dalam hal-hal tertentu saja. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)

Referensi:
1. Jami'ul Ulum Wal-Hikam, jilid 2 hal. 93-94

الحديث السابع والعشرون
عن النواس بن سمعان الأنصاري قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن البر والإثم، فقال: البر حسن الخلق، والإثم ما حاك في صدرك وكرهت أن يطلع عليه الناس رواه مسلم
وعن وابصة بن معبد قال: أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: جئت تسأل عن البر والإثم؟ قلت: نعم، قال: استفت قلبك، البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما حاك في النفس، وتردد في الصدر، وإن أفتاك الناس وأفتوك
........................
أما حديث النواس بن سمعان، فخرجه مسلم من رواية معاوية بن صالح عن عبد الرحمن بن جبير بن نفير عن أبيه عن النواس، ومعاوية وعبد الرحمن، وأبوه تفرد بتخريج حديثهم مسلم دون البخاري
وأما حديث وابصة فخرجه الإمام أحمد من طريق حماد بن سلمة، عن الزبير بن عبد السلام، عن أيوب بن عبد الله بن مكرز، «عن وابصة بن معبد، قال: أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أريد أن لا أدع شيئا من البر والإثم إلا سألت عنه، فقال لي: ادن يا وابصة، فدنوت منه، حتى مست ركبتي ركبته، فقال: يا وابصة أخبرك ما جئت تسأل عنه أو تسألني؟ قلت: يا رسول الله أخبرني، قال: جئت تسألني عن البر والإثم قلت: نعم، فجمع أصابعه الثلاث، فجعل ينكت بها في صدري، ويقول: يا وابصة، استفت نفسك، البر ما اطمأن إليه القلب واطمأنت إليه النفس، والإثم: ما حاك في القلب، وتردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك

2. Faidhul Qodir Syarah Al-Jami'us Shoghir, jilid 1 hal. 495

استفت نفسك) المطمئنة الموهوبة نورا يفرق بين الحق والباطل والصدق والكذب إذ الخطاب لوابصة وهو يتصف بذلك وفي رواية قلبك أي عول على ما فيه لأن للنفس شعورا بما تحمد عاقبته أو تذم (وإن) غاية لمقدر دل عليه ما قبله أي فالتزم العمل بما في نفسك ولو (أفتاك المفتون) بخلافه لأنهم إنما يطلعون على الظواهر وهم بضم الميم جمع مفتي وفي بعض الحواشي بالفتح من الفتنة بمعنى الاختبار والضلال لكن كل من رأيناه شرح الحديث إنما يبني كلامه على معنى الضم وعليه قال حجة الإسلام: ولم يرد كل أحد لفتوى نفسه وإنما ذلك لوابصة في واقعة تخصه انتهى قال البعض: وبفرض العموم فالكلام فيمن شرح الله صدره بنور اليقين فأفتاه غيره بمجرد حدس أو ميل من غير دليل شرعي وإلا لزمه اتباعه وإن لم ينشرح له صدره انتهى -الى أن قال- (تخ عن وابصة) بكسر الموحدة وفتح المهملة بن معبد الأزدي وفد سنة تسع وكان بكاءا وقبره بالرقة ورمز المصنف لحسنه ورواه الإمام أحمد والدارمي في مسنديهما قال النووي في رياضه إسناده حسن

3. Jami'ul Ulum Wal-Hikam, jilid 2 hal. 102-103

وفي الجملة، فما ورد النص به، فليس للمؤمن إلا طاعة الله ورسوله، كما قال تعالى: وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم. وينبغي أن يتلقى ذلك بانشراح الصدر والرضا، فإن ما شرعه الله ورسوله يجب الإيمان والرضا به، والتسليم له، كما قال تعالى: فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

1 komentar:

  1. Sanad hadits Ahmad dalam al-Musnad, (no. 18801) adalah dha'if jiddan dan tidak bisa dijadikan dasar sebagai hujjah atau alasan apapun.

    BalasHapus