Template information

Hukum Penyembelihan Dengan Metode Stunning (Pemingsanan) - Fatwa MUI


PENYEMBELIHAN HEWAN SECARA MEKANIS

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya pada hari Senin, tanggal 24 Syawa11396 H/18 Oktober 1976 setelah :

Mendengar :

1. Penjelasan lisan dan kemudian disusul dengan tertulis (lampiran II) dari Pimpinan PD Dharma Jaya tentang cara-cara penyembelihan hewan dengan sistem mekanisasi pemigsanan yang menggambarkan :

  • Bahwa penggunaan mesin untuk pemingsanan dimaksudkan mempermudah roboh dan jatuhnya hewan yang akan disembelih di tempat pemotongan dan untuk meringankan rasa sakit hewan dan penyembelihannya dilakukan dengan pisau yang tajam memutuskan hulqum (tempat berjalan nafas), mari' (tempat berjalan makanan), dan wadajaain (dua urat nadi) hewan yang disembelih oleh juru sembelih Islam, denganterlebih dahulu membaca basmalah.
  • Bahwa hewan yang roboh dipingsankan di tempat penyembelihan apabila tidak disembelih akan bangun sendiri lagi segar seperti semula keadaanya, dan
  • Bahwa penyemelihan dengan sistem ini tidak mengurangi keluarnya darah mengalir, bahkan akan lebih  banyak dan lebih lancar sehingga dagingnya lebih bersih.

Mengingat :

1. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi penyembelihan hewan menurut Islam, menurut empat mazhab dan madzhab para sahabat, dan

2. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Syaddad bin Aus tentang ketetapan berbuat ihsan dalam segala tindakan (lampiran I).

MEMUTUSKAN

Menetapkan / memfatwakan bhwa penyembelihan hewan secara mekanis pemingsanan merupakan modernisasi berbuat ihsan kepada hewan yang disembelih sesuai dengan ajaran Nabi dan memenuhi persyaratan ketentuan syar'i dan hukumnya sah clan halal, dan oleh karenanya, diharapkan supaya kaum Muslimin tidak meragukannya.

Jakarta 24 Syawal 1396H
18 Oktober 1976 M

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

                                         Ketua,                                           

                                K.H.M. SYUKRI GHOZALI                                

Sekretaris,

H. AMIRUDDIN SIREGAR


Lampiran I

4. Yang dimaksud dengan hewan dalam fatwa ini adalah hewan yang hidup dan halal seperti sapi, kerbau, kambing dan lain-lainnya.
5. Hadits Nabi Riwayat Muslim dari Syaddad bin Aus selengkapnya :
"Bahwanya Allah menetapkan ihsan (berbuat baik) atas tiap-tiap sesuai (tindakan). Apabila kamu ditugaskan membunuh maka dengan cara baiklah kamu membunuh dan apabila engkau hendak menyemelih maka sembelihlah dengan cara baik. Dan hendaklah mempertajam salah seorang kaum akan pisaunya dan memberikan kesenangan kepada yang disembelinya (yaitu tidak disiksa dalam penyembelihannya). "

Penggunaan pil anti haid agar bisa melaksanakan Haji dan puasa - Fatwa MUI




PIL ANTI HAID

Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 12 Januari 1979 telah mengambil keputusan : 

1.  Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.

2.  Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan seblum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanit yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.

3.  Penggunaan  Pil  Anti  Haid  selain  dari  dua  hal  tersebut  di  atas, hukumnya  tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.

Jakarta, 12 Januari 1979 


KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

                                     Ketua                                   

                                     ttd                                      

                      K.H. M. Syukri Ghozali                    

Sekretaris

ttd

H. Musytari Yusuf, LA

Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, Dan Dzulhijjah - Fatwa MUI



بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL,
DAN DZULHIJJAH


Majelis Ulama Indonesia, setelah :
MENIMBANG  : 
a.  bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
b.  bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
c.  bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
d.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT  :  
1.  Firman Allah SWT, antara lain

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…(QS Yunus [10]: 5)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر 94

 “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.(H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).

عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ

“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”. (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah).

3.  Qa’idah fiqh:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani:

وَمَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ فَإِنْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَجَبَ الصَّوْمُ عَلَى الْكَافَّةِ وَلَمْ يُنْقَضْ الْحُكْمُ إجْمَاعًا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي مَجْمُوعِهِ وَهُوَ صَرِيحٌ فِي أَنَّ لِلْقَاضِي أَنْ يَحْكُمَ بِكَوْنِ اللَّيْلَةِ مِنْ رَمَضَانَ

2.  Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
2.  Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari
2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN  :  FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama  :  Fatwa
1.  Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2.  Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
3.  Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama
wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4.  Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua  :  Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusa-hakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-or-mas Islam dan para ahli terkait.

Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424H
24 Januari 2004 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Hukum Vaksin Polio - Fatwa MUI



Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tentang
Vaksin Polio Khusus

Menimbang :
1.  bahwa anak bangsa, khususnya Balita, perlu diupayakan agar terhindar dari penyakit Polio, antara lain melalui pemberian vaksin imunisasi; 

2.  bahwa dalam program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2002 ini terdapat sejumlah anak Balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV); 

3.  Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi, dan belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut; 

4.  bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum penggunaan IPV tersebut, sebagai pedoman bagi pemerintah, umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Mengingat :
1.  Hadis-hadis Nabi. antara lain:

"Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun" (HR. Abu Daud dari Usamah bin Syarik).

"Allah telah menurunkan pen yakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; maka, berobatlah dan jariganlah hero hat dengan berzda yang haram "(HR. Abu Daud dari Abu Darda ).

"Sekelompok orang dari sukcu 'Ukl atau 'Urainah datang dan tidak cocok dengan udara Madinah (sehingga mereka jatuh sakit); maka Nabi s.a.w. memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dari unta tersebut" (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik).

"Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya" (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi s.a.w. yang melarang penggunaan benda yang terkena najis sebagaimana diungkapkan dalam hadis tentang tikus yang jatuh dan mati (najis) dalam keju : 

"Jika keju itu ker°as (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju tersebirt: namun jika keju itu cair, tumpahkanlah” (HR alBukhari, Ahmad, dan Nasa'i dari Maimunah isteri Nabis.a.w.)

2.  . Kaidah-kaidah fiqh :

"Dharar (bahaya) harus dicegah sedapat mungkin. "

"Dharar (bahaya) harus dihilangkan. "

"Kondisi hajah menempati kondisi darurat. "

"Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. "

"Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya. "

3.  Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI periode 2000-2005.

4.  Pedoman Penetapan Fatwa MUI.

Memperhatikan :
1.  Pendapat para ulama; antara lain : ”Imam Zuhri (w. 124 H) berkata , ”Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita , sebab itu adalah najis ; Allah berfirman :’...Dihalalkan bagimu yang baik-baik (suci)......’ (QS. Al-Matidah [5]: S)”;

dan Ibnu Mas’ud (w 32 H) berkata tentang sakar (minuman keras) , Allah tidak menjadikan obatmusesuatu yang diharamkan atasmu ” (Riwaayat Imam al-Bukhori)

2.  Surat Menteri Kesehatan RI nomor: 11 92/MENKES/ IX/2002, tangga124 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP. POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya'ban 1423/8 Oktober 2002; antara lain :

1. Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit Polio dari masyarakat secara serentak di seluruh wilayah tanah air melalui program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).

2.  Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.

3.  Terdapat sejumlah anak Balitayang menderita immunocompromise (kelainan sistim kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik, IPV).

4.  Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi, mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.

5.  Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.

6.  Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri, diperlukan investasi (biaya, modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.

3.  Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa d tersebut; antara lain:
Sejumlah argumen keagamaan (adillah diniyyah: al-Qur'an, hadits, dan qawa'id fiqhiyyah) dan pendapat para ulama mengaj arkan; antara lain :
4.  setiap penyakit dan kecacatan yang diakibat-kan penyakit adalah dharar (bahaya) yang harus dihindarkan (dicegah) dan dihilangkan (melaluipengobatan) dengan cara yang tidak melanggar syari'ah dan dengan obat yang suci dan halal;

5.  setiap ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama keluar (colostrum, al-liba'-- kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI sampai dengan usia duatahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat memberi-kan kekebalan (imun) pada anak;

5.  Dalam proses pembuatan vaksin tersebut telah terjadi persenyawaan/persentuhan (ilhtilath antara porcine yang najis dengan media yang digunakan untuk pembiakan virus bahan vaksin dan tidak dilakukanpenyucian dengan cara van2 dibenarkan syari'ah (tathhir syar'an Hal itu menyebabkan media dan virus tersebut menjadi terkena najis (mutanadjis).

6.  Kondisi anak-anak yang menderita immunocompromise, jika tidak diberi vaksin IPV, dipandang telah berada pada posisi hajah dan dapat pula menimbulkan dharar bagi pihak lain.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
1.  FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN POLIO KHUSUS

2.  KetentuanHukum
•    Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari --atau mengandung--benda naj is ataupun bendaterkena naj is adalah haram.

2.  Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.

•    3.  Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
•   
3.  Rekomendasi (Taushiah)
•    1. Pemerintah hendaknya mengkampanyekan agar setiap ibu memberikan ASI, terutama colostrum secara memadai (sampai dengan dua tahun).

2.  Pemerintah hendaknya mengupayakan secaramaksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan yang suci dan halal.

Ditetapkan di : Jakarta
Padatanggal : 0 1 Sya'ban 1423 H.
08 Oktober 2002 M.


KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,

K.H. MA'RUF AMIN

Sekretaris

HASANUDIN

Hukum Penggunaan Dana Zakat Untuk Investasi - Fatwa MUI


PENGGUNAAN DANA ZAKAT
UNTUK ISTITSMAR (INVENTASI)


بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 4 Tahun 2003
Tentang
PENGGUNAAN DANA ZAKAT
UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

Majelis Ulama Indonesia, setelah
MENIMBANG  :
a.  bahwa pengelolaan dana zakat untuk dijadikan modal usaha yang digunakan oleh fakir dan miskin (mustahiq), banyak ditanyakan oleh umat Islam Indonesia;
b.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang status pengelolaan dana zakat tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam dan pihak-pihak yang memerlukannya.

MENGINGAT  :
1.  Firman Allah swt tentang zakat; antara lain:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”(QS. al-Taubah [9]: 60).
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ (البقرة: 219
“… dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan’ …”(QS. al-Baqarah [2]: 219).
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا (التوبة: 103
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. al-Taubah [9]: 103).

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ (رواه مسلم، كتاب الزكاة، 1631) قال النووي: هذا الحديث أصل في أن أموال القنية لا زكاة فيها
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata:“Hadis ini adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat.”
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ (رواه البخاري، كتاب الزكاة، باب لازكاة إلا عن ظهر غنى، رقم: 1338
“Dari Hakim bin Hizam r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: ‘Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan’.” (HR. Bukhari).

3. Kaidah fiqh:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyat digantungkan pada kemaslahatan.”

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat ulama tentang ta’khir dan istitsmar zakat:
يرى جمهور الفقهاء ضرورة أن تؤدى الزكاة إلى مستحقيها فورا عند وجوبها والقدرة على إخراجها، وأنه لا يجوز لصاحب المال تأخيرها، ويأثم بالتأخير لغير عذر، للأنها حق يجب صرفه إلى مستحقيه لدفع حاجتهم، وللأن الأمر بدفع الزكاة في قوله تعالى (خذ من أموالهم صدقة) مقترن بالفورية. ويرى اخرون أنها عمرية. (ص: 110
والخلاصة من ها كله أننا نرى جواز الإستثمار أموال الزكاة في التجارة والأنعام والمصانع وغيرها وتشغيل العاطلين عن العمل من الفقراء، ويكون المالك لهذه الأموال على الحقيقة أرباب الإستحقاق ينوب عنهم في الإشراف عليها صندوق الزكاة أو مصلحتها أو مؤسستها تحت رقابة الدولة وإشرافها (ص. 119
2.  Pertanyaan dari masyarakat tentang penggunaan dana sebagai dana bergulir.
3.  Rapat Komisi Fatwa, pada Sabtu, 6 Jumadil Awwal 1420/05 Juli 2003; Selasa, 15 Jumadil Awwal 1420/ 15 Juli 2003; 30 Agustus 2003;
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :  FATWA TENTANG PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)
1  Zakat mal harus dikeluarkan sesegera mungkin (fauriyah), baik dari muzakki kepada amil maupun dari amil kepada mustahiq.
2.  Penyaluran (tauzi’/distribusi) zakat mal dari amil kepada mustahiq, walaupun pada dasarnya harus fauriyah,dapat di-ta’khir-kan apabila mustahiq-nya belum ada atau ada kemaslahatan yang lebih besar.
3.  Maslahat ditentukan oleh Pemerintah dengan berpegang pada aturan-aturan kemaslahatan ( sehingga maslahat tersebut merupakan maslahat syar’iyah.
4.  Zakat yang di-ta’khir-kan boleh diinvestasikan (istitsmar) dengan syarat-syarat sebagai berikut :
•    a, Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku (al-thuruq al-masyru’ah).
•    b.  Diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini akan memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan.
•    c.  Dibina dan diawasi oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi.
•    d.  Dilakukan oleh institusi/lembaga yang professional dan dapat dipercaya (amanah).
•    e.  Izin investasi  (istitsmar)harus diperoleh dari Pemerintah dan Pemerintah harus menggantinya apabila terjadi kerugian atau pailit.
•    f.  Tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan biaya yang tidak bisa ditunda pada saat harta zakat itu diinvestasikan.
•    g.  Pembagian zakat yang di-ta’khir-kan karena diinvestasikan harus dibatasi waktunya.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 06 Ramadhan 1424 H.
01 Nopember 2003 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA


Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Hukum Memakan Dan Membudidayakan Katak / Kodok - Fatwa MUI



MEMAKAN DAN MEMBUDIDAYAKAN KODOK

Rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang diperluas dengan beberapa utusan Majelis Ulama Daerah, beberapa Dekan Fakultas Syari'ahIAIN dan tenaga-tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, yang diselenggarakan pada hari senin, 18 Shafar 1405 H. (12 Nopember 1984 M.) di Masjid Istiqlal Jakarta, setelah :

Menimbang :
Bahwa akhir-akhir ini telah tumbuh dan berkembang usaha pembudidayakan kodok oleh sebagian para petani ikan.

Mendengar :
a. Pengarahan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
b.  Keterangan para ahli perikanan tentang kehidupan kodok dan peternakannya.
c.  Makalah-makalah dari Majelis Ulama Daerah Sumatera Barat, NTB, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Walisongo Semarang.
d.  Pembahasan para peserta dan pendapat-pendapat yang berkembang dalam sidang tersebut.

Memperhatikan dan memahami :
a. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah, serta kaidah-kaidah fiqhiyah antara lain :
1.  Surat al-An’am ayat 145
“Katakanlah : Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yangmengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu adalah kotor ataubinatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
2.  Surat al-Mai’dah ayat 96
“Dahalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang orang yang dalam perjalanan.
3.  Surat Al-A’raf, ayat 157
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi  mereka segala yang buruk”.
b.  Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW :
“Dari Abdurrahman bin Utsman Al Quraisy bahwanya seorang tabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya.” (Ditakharijkan oleh Ahmad dan dishahihkan Hakim, ditakhrijkannya pula Abu Daud dan Nasa’I).
c.  Memanfaatkan kulit bangkai selain anjing dan babi, melalui proses penyamakan, dibolehkan menurut ajaran agama.
d.  Semua binatang yang hidup menurut jumhur ulama hukumnya tidak najis kecuali anjing dan babi.
e.  Khusus mengenai memakan daging kodok, jumhur ulama berpendapat tidak halal, sedangkan sebagian ulama yang seperti Imam Malik menghalalkan.
f.  Menurut keterangan tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor Dr. H. Mahammad Eidman M.Sc. bahwa dari lebih kurang 150 jenis kodok yang berada di Indonesia baru 10 jenis yang diyakini tidak mengandung racun, yaitu :
1.    Rana Macrodon
2.    Rana Ingeri
3.    Rana Magna
4.    Rana Modesta
5.    Rana Canerivon
6.    Rana Hinascaris
7.    Rana Glandilos
8.    Hihrun Arfiki
9.    Hyhrun Pagun
10.    Rana Catesbiana

Maka dengan bertawakal kepada Allah SWT, sidang :

MEMUTUSKAN

1.  Membenarkan adanya pendapat Mazhab Syafii/jumhur Ulama tentang tidak halalnya memakan daging kodok, dan membenarkan adanya pendapat Imam Maliki tentang halalnya daging kodok tersebut.
2.  Membudidayakan kodok hanya untuk diambali manfaatnya, tidak untuk dimakan. Tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Jakarta, 18 Shafar 1405 H
12 Nopember 1984 M

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
PROF.KH.IBRAHIM

Sekretaris
H.MAS’UD


** Kesimpulan dari fatwa MUI adalah memperbolehkan budidaya kodok dan menetapkan keharaman mengkonsumsi kodok mengikuti pendapat mayoritas ulama’.

Hukum Mengkonsumsi Kepiting - Fatwa MUI



KEPUTUSAN FATWA
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
tentang
KEPITING


Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat‐obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., Setelah: 

MENIMBANG
•    1.bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
•    2.bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak‐pihak lain yang memerlukannya. 

MENGINGAT
•    1.Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :

"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah‐langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al‐Baqarah [2]: 168).

”(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menhalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan! bagi mereka segala yang buruk... "(QS. al‐A'raf [7]: 157).

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka? " Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik‐baik dan (buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab‐Nya". Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya kepada‐Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik ! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada‐Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang‐orang yang dalam perjalanan panjang,.......... '(OS. al‐Baqarah [2] : 172).

Kemudian Nabi menceritakan seorang laki‐laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak‐acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit ia berdoa, 'Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt.  Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan komentar), 'Jika demikian halnya, bagaimana mumgkin ia akan dikabulkan doanya"... (HR. Muslim dari Abu Hurairah),

"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal‐hal yang musytabihat (syubhat, samar‐samar, tidak jelas halas haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati‐hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim). 

•    2. Hadis Nabi : "Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)‐nya" , 
•    3.Qaidah fiqhiyyah: Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya,
•    4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001‐2005 
•    5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI 

MEMPERHATIKAN :
•    1.Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza‐al‐Minhaj, (Dar’alfikr,) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air , dan halaman 151‐ 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan.
•    2.Pendapat Syeikh Muhammad al‐Kathib a;‐Syarbaini dalam Mughni Al‐Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al‐Minhaj, (t.t : Dar Al‐Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al‐Nawawi dalam Minhaj Al‐Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan oleh al‐Syarbaini : 
•    3.Pendapat Ibn al'Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al‐Sunnah (Beirut : Dar al‐Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249 tentang "binatang yang hidup di daratan dan laut".
•    4.Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi'ul Awwal 1421 H. 
•   5.Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko‐Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi'ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut : 
•    6.Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi komoditas, yaitu : 
a. Scylla serrata, 
b. Scylla tranquebarrica, 
c. Scylla olivacea, dan 
d. Scylla pararnarnosain. 
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan "kepiting". 
•    7. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan : 
a. Bernafas dengan insang. 
b. Berhabitat di air. 
c.Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. 
•    8. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas hanya ada yang : 
hidup di air tawar saja 
b. hidup di air taut saja, dan 
c.hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat. 

Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan didarat : 

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT. 
 

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING 
•    1.Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia. 
•  2.Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana:, mestinya. 

Agar setiap muslim dan pihak‐pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini. 

Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H.
15 Ju1i  2002 M 


KOMISI FATWA
MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,

K. H. MA'RUF AMIN

Sekretaris,

DRS. HASANUDIN, S.Ag

Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama - Fatwa MUI




PLURALISME, LIBERALISME, DAN
SEKULARISMEAGAMA


بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA


Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :

Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;

2.  bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;

3.  bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

Mengingat :

1.  Firman Allah SWT :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”.
(QS. Ali Imran [3]: 19)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(QS. al-Kafirun [109] : 6).

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.(QS. al-Ahzab [33]: 36).

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash [28]: 77).

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.(QS. al-Mu’minun [23]: 71).

2.  Hadis Nabi saw.:

a.  Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”.(H.R. Muslim)

b.  Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).

c.  Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Memperhatikan :
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME,LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :

1.  Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

2.  Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

3.  Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4.  Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua :   Ketentuan Hukum

1.  Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

2.  Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.

3.  Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4.  Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin


Sumber : Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia
http://www.mui.or.id/

Pensucian alat produksi yang terkena najis mutawassithah dengan selain air - Fatwa MUI



FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomer: 9 Thun 2011
Tentang
PENSUCIAN ALAT PRODUKSI YANG TERKENA NAJIS MUTAWASSITHAH
(NAJIS SEDANG) DENGAN SELAIN AIR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah:

MENIMBANG :
a. bahwa alat produksi (mesinJ yang digunakan untuk memproduksi  suatu  produk  halal,  di dalam prakteknya dimungkinkan juga  digunakan  untuk  memproduksi  produk lain  yang  berbahan  naiis  dan atau haram sehingga  alat produksi  tersebut  meniadi  mutanaiiis (terkena  naiisJ;
b. dicuci dengan  menggunakan  air akan merusak produk atau merusak  alat  tersebut,  sementara  penyucian  bisa menggunakan  bahan selain  air yang  dapat  menghilangkan sifat-sifat  najis;
c. bahwa terhadap  hal  di atas, muncul  pertanyaan  di masyarakat mengenai  hukum  pensucian  alat  produksi  dengan menggunakan  selain  air;
d. bahwa oleh karena  itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa  tentang  hukum  pensucian alat produksi yang  terkenanaiis  mutawassithalr (naiis  sedang) dengan selain air, sebagai  pedoman.

MENGINGAT :
1. Firman Allah  SWT,  antara  lain:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

"dan Aku turunkan dari langit  air yang  suci”. {QS. Al'Furqon [25]: 48)

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“dan diturunkan atas kalian air langit agar kalian bersuci dengannya”. (QS. Al-Anfal [8]: 11)

2. Hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:

وَعَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ ﴿متفق عليه

Anas bin Maltk  M. berkata: datang searqng  dari  pedalaman kemudian  kencing  di  pojokan  masjid, orang.orang menghardiknya tapi  dilarang  oleh  nabi  SAW.  Ketika  orang tersebut  selesat dari  kencingnya  Nabi SAW memerintahkan untuk mengambil  air satu  ember, kemudian menyiramkannya  ditempat  kencing orang tersebut"  HR  Bukhari-Muslim

عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ، كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ، قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

Asma  berkata: datang  searang perempuan  b"rtinyo kepada Nabi SAW:  di antara  kami  (para  wanita) terkena  darah haidh  di baju, bagaimana  mensucikannya?  Nabi  menj awab  :  menggosolk, membersihkan  kemudian  membasahinyo  dengan  air  lalu  shalat dengan baju  tersebut"  HR.  Muslim

Hadis ini  menunjukkan  bahwa  cara  mensucikan  tempat yang terkena  najis  sedang(najis  mutawasslthah)  adalah  dengan air.

قد صح أن أصحاب رسول الله صلّى الله عليه وسلم كانوا يقتلون الكفار بالسيوف، ويمسحونها، ويصلون بها

Para  sahabat  Nabi SAW  berperang  melawan  (membunuh) orang kafir dengsn menggunakan  pedang,  kemudian  mereka mengusap  pedongnya  lalu  shalat  .dengan  tetap  membawa pedangnya"

Hadis ini  menuniukkan  bahwa  cara  mensucikan  barang yang keras yang terkena  najis  sedang  adalah  cukup  dilap  saja.

MEMPERHATIKAN  : 
1. Pendapat para  ulama;  antara  lain:

واختلفوا فيما سوى ذلك من المائعات والجامدات التي تزيلها
فذهب قوم: إلى أن ما كان طاهرا يزيل عين النجاسة مائعا كان أو جامدا في أي موضع كانت، وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وقال قوم: لا تزال النجاسة بما سوى الماء إلا في الاستجمار فقط المتفق عليه، وبه قال مالك والشافعي

Artinya:  "para  ulama berbeda  pendapat terhadap pensucian  najis  selain  dengan air, baik  berupa  cair ataupun padat.  Satu  kelompok  berpendapat  boleh  selagi sesuatu tersebut  suci  dan bisa  menghilangkan barang najisnya {'ain an-najasah)  baik  cair atau padat, sebagaimana pendopat Abu Hanifah  dan pengikutnya,  Dan  kelampok  lainnya berpendopat  tidak  boleh menghilangkan  najis  dengan selain air, kecuali dalarn hal  istijmar  {cebok dengan  batu) yang disepakati para  ulama,  sebagaimana  pendapat imam  Malik dan imam  Syaf i’i ,

b. Pendapat  lbnu  al-Humam, ulama mazhab Flanafi,  dalam kitabnya  Fatltu al-Qadir  sbb:

وَالنَّجَاسَةُ إذَا أَصَابَتْ الْمِرْآةَ أَوْ السَّيْفَ اكْتَفَى بِمَسْحِهِمَا) لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُهُ النَّجَاسَةُ وَمَا عَلَى ظَاهِرِهِ يَزُولُ بِالْمَسْح
ِالشرح: (قَوْلُهُ لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُهُ النَّجَاسَةُ) يُفِيدُ أَنَّ قَيْدَ صِقَالَتِهَا مُرَادٌ حَتَّى لَوْ كَانَ بِهِ صَدَأٌ لَا يَطْهُرُ إلَّا بِالْمَاءِ بِخِلَافِ الصَّقِيلِ.
قَالَ الْمُصَنِّفُ فِي التَّجْنِيسِ: صَحَّ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانُوا يَقْتُلُونَ الْكُفَّارَ بِالسُّيُوفِ وَيَمْسَحُونَهَا وَيُصَلُّونَ بِهَا

Artinya,  "najis  jika  terkena  cermin atau  pedang  maka untuk mensucikannya  cukup  dengan diusap,  karena  tidak menyerap najis,  Artinya, najis  yang  terkena  bagian  luarnya cukup  dihilangkan  dengan  diusap.  Kalimat  "karene  tidak menyerap najis" menjelaskan  bahwa  alasan  bolehnya adalah  karena  merupakan  benda  mengkilap,  keras  dan kedap  air (shaqil), sehingga seandainya  hanya  kedap  air saja maka  tetap  tidak  suci kecuali  dengan  air,  Pendapat penulis  ini didasarkan  atas hadis  shahih  bahwa  para sahahat  nabi  SAW perang  dengan orang-orung  kafir  dengan menggunakan  pedang, kemudian  mereka mengusap pedangnya  kemudian  sholat dengan tetap  membawanya"

c. Pendapat  al-Kasani,  ulama mazhab  Hanafi,  dalam kitabnya Badaa-i' as-.Shanaa-i’  Fi Tartib  asy-Syaraa-i'  sbb:

وَلَوْ أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صُلْبًا صَقِيلًا، كَالسَّيْفِ وَالْمِرْآةِ وَنَحْوِهِمَا يَطْهُرُ بِالْحَتِّ، رَطْبَةً كَانَتْ أَوْ يَابِسَةً؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَخَلَّلُ فِي أَجْزَائِهِ شَيْءٌ مِنْ النَّجَاسَةِ

Artinya: "jika  suatu  najis  (baik  kering  ataupun  basah) mengenai benda  yang  mengkilap,  keras  dan kedap air {shulban shaqiilan},  seperti  pedang,  cermin dan  sejenisnya maka  bisa suci dengan  dilap, karena  najisnya  tidqk  bisa menyerap ke  dalamnya"

d. Pendapat  Ar-Ramli,  ulama  mazhab Syafi'i,  dalam  kitabnya Nihayah  al-Muhtaj  IIa  Syarh  al-Minhaj sbb:

قَوْلُهُ: أَمْ لَا لِكَوْنِ الْمَحَلِّ صَقِيلًا) صَرِيحُهُ أَنَّ نَجَاسَةَ الصَّقِيلِ حُكْمِيَّةٌ وَلَوْ قَبْلَ الْجَفَافِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ نَجَاسَتُهُ حِينَئِذٍ عَيْنِيَّةٌ، وَإِنَّمَا نَصُّوا عَلَيْهِ لِلْإِشَارَةِ لِلرَّدِّ عَلَى الْمُخَالِفِ الْقَائِلِ بِأَنَّهُ يُكْتَفَى فِيهِ بِالْمَسْحِ. وَعِبَارَةُ الرَّوْضَةِ: قُلْت إذَا أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صَقِيلًا كَسَيْفٍ وَسِكِّينٍ وَمِرْآةٍ لَمْ يَطْهُرْ بِالْمَسْحِ عِنْدَنَا بَلْ لَا بُدَّ مِنْ غَسْلِهَا

Artinya: "jelasnya,  benda  mengkilap, keras dan kedap air {shaqil), yang terkena  najis  wulaupun  belum  kering hukumnya  najis  hukmi.  Pendapat  tersebut  tidak  sepenuhnya tepat,  karena  sesungguhnya  hukumnya  adalah  najis  'aini, Pendapat  tersebut  dimaksudkan  untuk  mengcounter pendapat  yang menyatakan  bahwa untuk  mensucikannya cukup  dengan diusap.  Pendapat {imam Nawawi)  dalam kitab  Raudhafit  at-Thalibin  menyatakan:  saya  berpendapat bahwa  menurut mazhab  Syafi'i jika  najis  terkena  benda yang mengkilap,  keras dan kedap  air (shaqil)  seperti  pedang dan cermin  tidak  bisa suci hanya  dengan  diusap,  tapi harus disiram (dengan  air)".

e. Pendapat al-lmam an-Nawawi,  ulama mazhab  Syafi’i, dalam  kitabnya  al-Majmu' Syarh  al-Muhadzdzab sbb:

إذَا أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صَقِيلًا كَالسَّيْفِ وَالسِّكِّينِ وَالْمِرْآةِ وَنَحْوِهَا لَمْ تَطْهُرْ بِالْمَسْحِ وَلَا تَطْهُرُ إلَّا بِالْغَسْلِ كَغَيْرِهَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَدَاوُد وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ تَطْهُرُ بِالْمَسْحِ

Artinya:  "jika  najis terkena  benda mengkilap, keras  dan kedap air (shaqil)  seperti pedang,  cermin  dan sejenisnya maka tidak  suci  hanya  dengan  diusap, Benda tersebut tidak bisa  suci  kecuali  dengan  dicuci dengan  air seperti  benda Iainnya,  sebaguimana  pendapat  imam  Ahmad ibnu  Hambal dan imam  Daud  Az-Zhohiri,  Sedangkan imam  Malik dan imam Abu Hanifah  berpendapat benda tersebut  suci dengan diusap"

f.  Pendapat  lbnu Qudamah, ulama mazhab Hanbali  dalam kitabnya  as-Syarh  al-Kabir  Li lbni Qudamah sbb:

وإذا أصابت النجاسة الأجسام الصقيلة كالمرآة ونحوها وجب غسله ولم يطهر بالمس  لأنه محل لا تنكر فيه النجاسة فلم يجز فيه المسح كالأواني


Artinya: "Jika najis  terkena  benda  yang  mengkilap, keras dan  kedap  air  (shaqil)  seperti  cermin  dan  sejenisnya  maka harus  mencucinya  dengan  air dan  tidak  suci honya dengan diusap, karena  benda  yang  terkena  najis,  tidak  cukup  hanya diusap  seperti  bejana lainnya"

g. Pendapat  ad-Dardir,  ulama mazhab  Maliki,  dalam kitabnya as-Syarh  al-Kabir  Li ad-Dardir  sbb:

وَ) عُفِيَ عَنْ (كَسَيْفٍ صَقِيلٍ) دَخَلَ بِالْكَافِ مَا شَابَهَهُ فِي الصِّقَالَةِ كَمُدْيَةٍ وَمِرْآةٍ وَجَوْهَرٍ وَسَائِرِ مَا فِيهِ صِقَالَةٌ وَصَلَابَةٌ مِمَّا يُفْسِدُهُ الْغَسْلُ ثُمَّ صَرَّحَ بِعِلَّةِ الْعَفْوِ لِمَا فِيهَا مِنْ الْخِلَافِ بِقَوْلِهِ (لَإِفْسَادِهِ) بِالْغَسْلِ وَلَوْ قَالَ لِفَسَادِهِ لَكَانَ أَخْصَرَ وَأَحْسَنَ

Artinya:  "dan  dimaafkan  (mensucikan  deigan  ielain  air) terhadap  benda  semisal  pedang yang  mengkilap dan  keras (shaqil).  Yang dimaksud  "sernisal  pedang"  adalqh benda sejenisnyu  seperti  pisau,  cermin kaca,  berlian, dqn  benda-benda  lain  yang  mengkilap,  keras  dan  kedap air (shiqalah wa shalabah) yang  bisa  rusak  jika  dicuci  dengan  air. Kemudian  menjelaskan  tentang  alasan (illah) dimaafkannya,  karena  ada  perbedaan  pendapal yalmi "kerena  bisa  rusak"  jika  dicuci  dengan air".

2. Keputusan Fatwa MUI tanggal  23  Mei 2003  tentang Standarisasi  Fatwa  Halal,  khususnya  tentang  tidak  bolehnya mempergunakan  suatu peralatan  bergantian  antara  produk babi dan  non babi  meskipun sudah melalui  proses  pencucian.

3. Keterangan  LP  POM  MUI  dalam rapat  komisi fatwa  tanggal  28 Desember 2010,  yakni:  Tidak  semua  fasilitas  produksi  suatu produk  yang  terkena najis  bisa  disucikan  dengan menggunakan  air  karena  ada kemungkinan akan mempengaruhi kualitas  produk Fasilitas  tersebut  terkena najis mutowassithah  (najis  sedangJ karena  bahan  padat  atau cair  yang bukan  berasal  dari  babi.  Pada  dunia  industri  bahan yang digunakan  sebagai  bahan  pembersih  sama dengan produh  Misalnya  Produk  cair dibersihkan  dengan bahan cair sejenis  seperti  fasilitas  pengolahan minyak  dibilas dengan minyak juga (tanpa  melibatkan  panasJ.  Najis yang terkandungan  pada  fasilitas  tersebut  adalah  bahan  yang larut minyak. Sedangkan  produk  padat  (contohnya  whey powder atau  lactose,  non dairy creamer)  fasilitas  produksinya dibersihkan  dengan  bahan  powder  baik berupa produk  jadi, ataupun  salah  satu bahan  yang  terkandung  dalam  produk Whey  powder dan lacfose  kemungkinan  mengandung  najis sejumlah  kecil enzim  hewan  yang tidak  bersertifikat  halal. Non Dairy Creamer mengandung  bahan pengemulsi  yang mungkin berasal  dari  hewan  yang tidak  bersertifikat  halal.

3. Keterangan  LP  POM MUI  dalam rapat  komisi fatwa  tanggal  28 Desember 20L0,  yakni:  Tidak  semua  fasilitas  produksi  suatu produk  yang  terkena najis  bisa  disucikan  dengan menggunakan  air  karena  ada kemungkinan  akan mempengaruhi kualitas  produk Fasilitas  tersebut  terkena najis mutowassithah  (najis  sedangJ karena  bahan  padat  atau cair  yang bukan  berasal  dari  babi.  Pada  dunia  industri  bahan yang  digunakan  sebagai  bahan  pembersih  sama dengan produh  Misalnya  Produk  cair dibersihkan  dengan  bahan cair sejenis  seperti  fasilitas  pengolahan minyak  dibilas dengan minyak  iuga (tanpa  melibatkan  panasJ.  Najis yang terkandungan  pada  fasilitas  tersebut  adalah  bahan  yang larut minyah  Sedangkan  produk  padat  (contohnya  whey powder atau  lactose,  non dairy creamer)  fasilitas  produksinya
dibersihkan  dengan  bahan  powder  baik berupa produk  jadi, ataupun  salah  satu bahan  yang  terkandung  dalam  produk Whey  powder dan lacfose  kemungkinan  mengandung  najis sejumlah  kecil enzim  hewan  yang tidak  bersertifikat  halal.  Non
Dairy Creamer mengandung  bahan pengemulsi  yang mungkin berasal  dari  hewan  yang tidak  bersertifikat  halal 4. Pendapat peserta rapat  Komisi  Fatwa  pada tanggal  23
Desember 2010,  30 Desember  2010, dan  5  Januari 2010.

Dengan  bertawakal  kepada  Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :
FATWA  TENTANG  PENSUCIAN  AIAT PRODUKSI YANG TERKENA  NAJIS  MUTAWASSITHAH  (NAJIS SEDANG)  DENGAN SELAIN  AIR


Pertama :
Ketentuan  Umum

Dalam  fatwa  ini,  yang  dimaksud  dengan:

L. Najis mutawassithah adalah  najis  sedang  yaitu najis  yang ditimbulkan karena  bersentuhan  dengan barang  najis  selain najis  mukhaffafah  (najis  air seni  bayi laki-laki  sebelum  usia dua tahun  yang  hanya  mengonsumsi ASI), dan  najis mughallazhah
(najis babi,  anjingatau turunan  keduanya).

2. Alat produksi  adalah  semua  peralatan yang  bersentuhan langsung  dengan bahan  produk  yang apabila  dicuci  dengan air bisa rusak.

Kedua :
Ketentuan  Hukum

t.  Menegaskan  kembali  fatwa  MUI  nomor  4 tahun  2003  yang berbunyi: suatu
peralatan tidak  boleh  digunakan  bergantian antara  produk  babi  dan non  babi meskipun  sudah  melalui proses pencucian".

2. Pada  prinsipnya,  pensucian suatu  benda,  termasuk  alat produksi,  yang  terkena  najis mutawassithah  (najis  sedang) dilakukan  dengan menggunakan  air.

3. Alat produksi  yang  terbuat  dari  benda  keras  dan tidak menyerap naiis  (tasyarub),  misalnya terbuat  dari besi  atau baja  apabila terkena  najis mutawassithah (najis
sedang),  jika disucikan  dengan menggunakan air akan  merusak alat dan atau  proses  produksinya,  maka  dapat  disucikan  dengan menggunakan  selain  air, selama  barang tersebut  suci  serta bekas  najis  berupa  bau,  rasa  dan  warnanya  telah  hilang.

4. Suatu  alat  produksi  boleh  digunakan  bergantian  antara produk  halal  dengan  pruduk  non halal yang  terkena najis mutawassithah apabila  sebelum proses  produksi  dilakukan pensucian  sebagaimana ketentuan  nomor  dua  dan  tiga  di atas.

Ketiga :
KetentuanPenutup

1. Fatwa  ini  berlaku  seiak tanggal  ditetapkan,  dengan  ketentuan jika di kemudian  hari  ternyata  terdapat  kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak  yang  memerlukan  dapat mengetahuinya, menghimbau  semua  pihak  untuk menyebarluaskan  fatwa  ini.

Ditetapkan di  : |akarta
Pada  tanggal  : 28.Rabi'al Awwal 1432 H
3 Maret 2O11 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua

PROF.  DR, H. HASANUDDIN AF., MA

Sekretaris

DR. HM.ASRORUN  NI'AM  SHOLEH, MA

...................................................................................

Mentasharufkan dana zakat untuk kegiatan produktif dan kemaslahatan umum - Fatwa MUI



MENTASHARUFKAN DANA ZAKAT
UNTUK KEGIATAN PRODUKTIF DAN
KEMASLAHATAN UMUM

بسم الله الرحمن الرحيم

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya pada tanggal 8 Rabi’ul Akhir 1402 H, bertepatan dengan tanggal 2 Februari 1982 M, setelah :

Membaca :
Surat dari Sekolah Tinggi Kedokteran “YARSI” Jakarta.

Memperhatikan :
1.  Al-Qur’an Surat An-Nur : 56

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur [24] : 56)

2.  Syarah al-Muhazzab, Juz 5 hal. 291 :

وأقيموا الصلاة وآتو الزكاة) وروى أبو هُرَيْرَةَ قَالَ " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم ذات يوم جالسا فأتاه رجل فقال يا رسول الله ما الاسلام قال الاسلام ان تعبد الله ولا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة المكتوبة وتؤدى الزكاة المفروضة وتصوم شهر رمضان ثم ادبر الرجل فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ردوا علي الرجل فلم يروا شيئا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هذا جبريل جاء ليعلم الناس دينهم

 “(Dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat). Abu Hurairah meriwayatkan : Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk datang serorang laki-laki berkata :’Hai Rasulullah! Apakah Islam itu? Beliau menjawab : ‘Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat yang wajib, membayarkan zakat yang difardukan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan’. Kemudian laki-laki itu membelakangi (pergi). Rasulullah SAW berkata : ‘Lihatlah laki-laki itu!’ Mereka (para sahabat) tidak melihat seorang pun; lalu Rasulullah berkata :’Itu adalah Jibril, datang mengajari manusia agama mereka’.”(HR al-Bukhari dan Muslim)

3.  Kitab al-Baijuri, jilid 1 hal. 292:
“Orang fakir dan miskin (dapat) diberi (zakat) yang mencukupinya untuk seumur galib (63 tahun). Kemudian masing-masing dengan zakat yang diperolehnya itu membeli tanah (pertanian) dan menggarabnya (agar mendapatkan hasil untuk keperluan sehari-hari). Bagi pimpinan negara agar dapat membelikan tanah itu untuk mereka (tanpa menerimakan barang zakatnya) sebagaimana hal itu terjadi pada petugas perang.
Yang demikian itu bagi fakir miskin yang tidak dapat bekerja. Adapun mereka yang dapat bekerja diberi zakat guna membeli alat-alat pekerjaannya. Jadi, misalnya yang pandi berdagang diberi zakat untuk modal dagang dengan baik yang jumlahnya diperkirakan bahwa hasil dagang itu cukup untuk hidup sehari-hari (tanpa mengurangi modal).”

4.  Kitab I’anah at-Tabilin, Jilid 2 hal. 189:
“Sehingga bagi pimpinan negara boleh mengambil zakat bagian fakir atau miskin dan memberikannya kepada mereka. Masing-masing fakir miskin itu diberi dengan cara : Bila ia bisa berdagang, diberi modal dagang yang diperkirakan keuntungannya mencukupi guna hidup; bila ia biasa / dapat bekerja, diberi alat-alat pekerjaannya. Dan bagi yang tidak dapat bekerja atau berdagang diberi jumlahyang mencukupi seumur galib (63 tahun).”
Kata-kata ‘diberi jumlah yang mencukupi untuk seumur galib’ bukan maksudnya diberi zakat sebanyak untuk hidup sampai umur galib, tetapi diberi banyak (sekira zakat pemberian itu diputar) dan hasilnya mencukupinya. Oleh karena itu, zakat pemberian itu dibelikan tanah (pertanian/perkebunan) atau binatang ternak sekiranya dapat mengolah/memelihara tanah atau ternak itu.

5.  Kitab Fiqh as-Sunnah, Jilid 1 hal. 407 :

قال النووي: ولو قدر على كسب يليق بحاله، إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض العلوم الشرعية، بحيث لو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل، حلت له الزكاة، لان تحصيل العلم فرض كفاية

“Imam Nawawi berpendapat, jika seseorang dapat bekerja yang sesuai dengan keadaanya. Tetapi ia sedang sibuk memperoleh ilmu Syara’ dan sekiranya ia bekerja, terputuslah usaha menghasilkan ilmu itu, maka halallah baginya zakat, karena menghasilkan ilmu itu hukumnya fardu kifaya (keperluan orang banyak dan harus ada orang yang menangganinya).”

6.  Kitab Fiqh as-Sunnah, jilid 1 hal. 394:

ومن أهم ما ينفق في سبيل الله، في زماننا هذا، إعداد الدعاة إلى السلام، وإرسالهم إلى بلاد الكفار، من قبل جمعيات منظمة تمدهم بالمال الكافي، كما يفعله الكفار في نشر دينهم. ويدخل فيه النفقة على المدارس، للعلوم الشرعية، وغيرها مما تقوم به المصلحة العامة. وفي هذه الحالة يعطى منها معلمو هذه المدارس، ما داموا يؤدون وظائفهم المشروعة، التي ينقطعون بها عن كسب آخر

“Pada masa sekarang ini, yang paling penting dalam membagi zakat untuk atas nama sabilillah ialah menyediakan propagandis Islam dan mengirim rnereka ke negara-negara non-Islam. Hal itu ditangani oleh organisasiorganisasi Islam, yang teratur tertib dengan menyediakan bekal/sangu yang cukup sebagaimana hal itu dilakukan oleh golongan non-Islam dalam usaha penyiaran agama mereka.
Termasuk dalam kategori sabililah membiayai madrasah-madrasah guna ilmu syari’at dan lainnya yang memang diperlukan guna maslahat umum. Dalam keadaan sekrang ini para guru madrasah boleh diberi zakat selama melaksanakan tugas keguruan yang telah ditentukan, yang dengan demikian mereka tidak dapat bekerja lain. “

7.  Benar, dana zakat itu hak syakhsiyah; akan tetapi, bagian sabililahdan al-gharimada yang membolehkan ditasarufkan guna keperluan pembangunan. Dalam kitab Fiqh as-Sunnah jilid 1 hal. 394 dikemukakan :
“Dalam tafsir al-Manar disebutkan, boleh memberikan zakat dari bagian sahilillah ini untuk pengamanan perjalanan haji, menyempurnakan pengairan (bagi jamaah haji), pen yediaan makan dan sarana-sarana kesehatan bagi jamaah haji, selagi untuksemua tidakadapersediaan lain.
Dalam persoalan sabilillah ini tercakup segenap maslahat-maslahat umum yang ada hubungannya dengan soal-soal agama dan negara.
Termasuk ke dalam pengertian sabilllah adalah membangun rumah sakit militer, juga (rumah sakit) untuk kepentingan umum, membangun jalan-jalan dan meratakannya,membangun jalur kereta api (rel) untuk kepentingan militer (bukan bisnis), termasuk juga membangun kapal-kapal penjelajah, pesawat tempur, benteng, dan parit (untuk pertahanan).”

Menimbang :
Pentingnya masalah zakat di Indonesia, terutama
mengenai tasarufnya.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
1.  Zakat yang diberikan kepada fakir miskin dapat bersifat produktif.
2.  Dana zakat atas nama Sabilillah boleh ditas-arufkan guna keperluan aslahah’ammah
(kepentingan umum).

Ditetapkan : Jakarta, 8 Rabi’ul Akhir 1402 H
2 Februari 1982 M


KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
ttd
Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML

Sekretaris
ttd
H. Musytari Yusuf, LA


Sumber : Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia
http://www.mui.or.id/

Hukum giro dan ketentuan-ketentuannya - Fatwa DSN MUI



FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
G I R O

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

ِ

Dewan Syari’ah Nasional setelah;

Menimbang :
a. bahwa keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam bidang investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah giro, yaitu simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan;

b. bahwa kegiatan giro tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah);

c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan giro pada bank syari’ah.

Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.

2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ

“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.

4. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

 “dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan….”

5. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani:

كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ: لَا يَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا، وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا، وَلَا يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ، فَرَفَعَ شَرْطَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada  mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”  (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ، لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah ( mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’”  (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,  mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily,  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,1989, 4/838).

9. Qiyas. Transaksi  mudharabah , yakni penyerahan sejumlah harta (dana, modal) dari satu pihak (malik, shahib al-mal) kepada pihak lain  (‘amil, mudharib ) untuk diperniagakan (diproduktifkan) dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan, diqiyaskan kepada transaksi musaqah.

10. Kaidah fiqh:

الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

11. Para ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut.

Memperhatikan :
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG GIRO

Pertama : Giro ada dua jenis:
1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.

Kedua: Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah :
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai  shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai  mudharibatau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai  mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ketiga: Ketentuan Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call ).
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya ) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1 April 2000 M


DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,
Prof. KH. Ali Yafie

Sekretaris,
Drs. H.A. Nazri Adlani


Sumber : Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia
http://www.mui.or.id/