FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomer: 9 Thun 2011
Tentang
PENSUCIAN ALAT PRODUKSI YANG TERKENA NAJIS MUTAWASSITHAH
(NAJIS SEDANG) DENGAN SELAIN AIR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah:
MENIMBANG :
a. bahwa alat produksi (mesinJ yang digunakan untuk memproduksi suatu produk halal, di dalam prakteknya dimungkinkan juga digunakan untuk memproduksi produk lain yang berbahan naiis dan atau haram sehingga alat produksi tersebut meniadi mutanaiiis (terkena naiisJ;
b. dicuci dengan menggunakan air akan merusak produk atau merusak alat tersebut, sementara penyucian bisa menggunakan bahan selain air yang dapat menghilangkan sifat-sifat najis;
c. bahwa terhadap hal di atas, muncul pertanyaan di masyarakat mengenai hukum pensucian alat produksi dengan menggunakan selain air;
d. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum pensucian alat produksi yang terkenanaiis mutawassithalr (naiis sedang) dengan selain air, sebagai pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
"dan Aku turunkan dari langit air yang suci”. {QS. Al'Furqon [25]: 48)
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“dan diturunkan atas kalian air langit agar kalian bersuci dengannya”. (QS. Al-Anfal [8]: 11)
2. Hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
وَعَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ ﴿متفق عليه
Anas bin Maltk M. berkata: datang searqng dari pedalaman kemudian kencing di pojokan masjid, orang.orang menghardiknya tapi dilarang oleh nabi SAW. Ketika orang tersebut selesat dari kencingnya Nabi SAW memerintahkan untuk mengambil air satu ember, kemudian menyiramkannya ditempat kencing orang tersebut" HR Bukhari-Muslim
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ، كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ، قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
Asma berkata: datang searang perempuan b"rtinyo kepada Nabi SAW: di antara kami (para wanita) terkena darah haidh di baju, bagaimana mensucikannya? Nabi menj awab : menggosolk, membersihkan kemudian membasahinyo dengan air lalu shalat dengan baju tersebut" HR. Muslim
Hadis ini menunjukkan bahwa cara mensucikan tempat yang terkena najis sedang(najis mutawasslthah) adalah dengan air.
قد صح أن أصحاب رسول الله صلّى الله عليه وسلم كانوا يقتلون الكفار بالسيوف، ويمسحونها، ويصلون بها
Para sahabat Nabi SAW berperang melawan (membunuh) orang kafir dengsn menggunakan pedang, kemudian mereka mengusap pedongnya lalu shalat .dengan tetap membawa pedangnya"
Hadis ini menuniukkan bahwa cara mensucikan barang yang keras yang terkena najis sedang adalah cukup dilap saja.
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para ulama; antara lain:
واختلفوا فيما سوى ذلك من المائعات والجامدات التي تزيلها
فذهب قوم: إلى أن ما كان طاهرا يزيل عين النجاسة مائعا كان أو جامدا في أي موضع كانت، وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وقال قوم: لا تزال النجاسة بما سوى الماء إلا في الاستجمار فقط المتفق عليه، وبه قال مالك والشافعي
Artinya: "para ulama berbeda pendapat terhadap pensucian najis selain dengan air, baik berupa cair ataupun padat. Satu kelompok berpendapat boleh selagi sesuatu tersebut suci dan bisa menghilangkan barang najisnya {'ain an-najasah) baik cair atau padat, sebagaimana pendopat Abu Hanifah dan pengikutnya, Dan kelampok lainnya berpendopat tidak boleh menghilangkan najis dengan selain air, kecuali dalarn hal istijmar {cebok dengan batu) yang disepakati para ulama, sebagaimana pendapat imam Malik dan imam Syaf i’i ,
b. Pendapat lbnu al-Humam, ulama mazhab Flanafi, dalam kitabnya Fatltu al-Qadir sbb:
وَالنَّجَاسَةُ إذَا أَصَابَتْ الْمِرْآةَ أَوْ السَّيْفَ اكْتَفَى بِمَسْحِهِمَا) لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُهُ النَّجَاسَةُ وَمَا عَلَى ظَاهِرِهِ يَزُولُ بِالْمَسْح
ِالشرح: (قَوْلُهُ لِأَنَّهُ لَا تَتَدَاخَلُهُ النَّجَاسَةُ) يُفِيدُ أَنَّ قَيْدَ صِقَالَتِهَا مُرَادٌ حَتَّى لَوْ كَانَ بِهِ صَدَأٌ لَا يَطْهُرُ إلَّا بِالْمَاءِ بِخِلَافِ الصَّقِيلِ.
قَالَ الْمُصَنِّفُ فِي التَّجْنِيسِ: صَحَّ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانُوا يَقْتُلُونَ الْكُفَّارَ بِالسُّيُوفِ وَيَمْسَحُونَهَا وَيُصَلُّونَ بِهَا
Artinya, "najis jika terkena cermin atau pedang maka untuk mensucikannya cukup dengan diusap, karena tidak menyerap najis, Artinya, najis yang terkena bagian luarnya cukup dihilangkan dengan diusap. Kalimat "karene tidak menyerap najis" menjelaskan bahwa alasan bolehnya adalah karena merupakan benda mengkilap, keras dan kedap air (shaqil), sehingga seandainya hanya kedap air saja maka tetap tidak suci kecuali dengan air, Pendapat penulis ini didasarkan atas hadis shahih bahwa para sahahat nabi SAW perang dengan orang-orung kafir dengan menggunakan pedang, kemudian mereka mengusap pedangnya kemudian sholat dengan tetap membawanya"
c. Pendapat al-Kasani, ulama mazhab Hanafi, dalam kitabnya Badaa-i' as-.Shanaa-i’ Fi Tartib asy-Syaraa-i' sbb:
وَلَوْ أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صُلْبًا صَقِيلًا، كَالسَّيْفِ وَالْمِرْآةِ وَنَحْوِهِمَا يَطْهُرُ بِالْحَتِّ، رَطْبَةً كَانَتْ أَوْ يَابِسَةً؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَخَلَّلُ فِي أَجْزَائِهِ شَيْءٌ مِنْ النَّجَاسَةِ
Artinya: "jika suatu najis (baik kering ataupun basah) mengenai benda yang mengkilap, keras dan kedap air {shulban shaqiilan}, seperti pedang, cermin dan sejenisnya maka bisa suci dengan dilap, karena najisnya tidqk bisa menyerap ke dalamnya"
d. Pendapat Ar-Ramli, ulama mazhab Syafi'i, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj IIa Syarh al-Minhaj sbb:
قَوْلُهُ: أَمْ لَا لِكَوْنِ الْمَحَلِّ صَقِيلًا) صَرِيحُهُ أَنَّ نَجَاسَةَ الصَّقِيلِ حُكْمِيَّةٌ وَلَوْ قَبْلَ الْجَفَافِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ نَجَاسَتُهُ حِينَئِذٍ عَيْنِيَّةٌ، وَإِنَّمَا نَصُّوا عَلَيْهِ لِلْإِشَارَةِ لِلرَّدِّ عَلَى الْمُخَالِفِ الْقَائِلِ بِأَنَّهُ يُكْتَفَى فِيهِ بِالْمَسْحِ. وَعِبَارَةُ الرَّوْضَةِ: قُلْت إذَا أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صَقِيلًا كَسَيْفٍ وَسِكِّينٍ وَمِرْآةٍ لَمْ يَطْهُرْ بِالْمَسْحِ عِنْدَنَا بَلْ لَا بُدَّ مِنْ غَسْلِهَا
Artinya: "jelasnya, benda mengkilap, keras dan kedap air {shaqil), yang terkena najis wulaupun belum kering hukumnya najis hukmi. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena sesungguhnya hukumnya adalah najis 'aini, Pendapat tersebut dimaksudkan untuk mengcounter pendapat yang menyatakan bahwa untuk mensucikannya cukup dengan diusap. Pendapat {imam Nawawi) dalam kitab Raudhafit at-Thalibin menyatakan: saya berpendapat bahwa menurut mazhab Syafi'i jika najis terkena benda yang mengkilap, keras dan kedap air (shaqil) seperti pedang dan cermin tidak bisa suci hanya dengan diusap, tapi harus disiram (dengan air)".
e. Pendapat al-lmam an-Nawawi, ulama mazhab Syafi’i, dalam kitabnya al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab sbb:
إذَا أَصَابَتْ النَّجَاسَةُ شَيْئًا صَقِيلًا كَالسَّيْفِ وَالسِّكِّينِ وَالْمِرْآةِ وَنَحْوِهَا لَمْ تَطْهُرْ بِالْمَسْحِ وَلَا تَطْهُرُ إلَّا بِالْغَسْلِ كَغَيْرِهَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وَدَاوُد وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ تَطْهُرُ بِالْمَسْحِ
Artinya: "jika najis terkena benda mengkilap, keras dan kedap air (shaqil) seperti pedang, cermin dan sejenisnya maka tidak suci hanya dengan diusap, Benda tersebut tidak bisa suci kecuali dengan dicuci dengan air seperti benda Iainnya, sebaguimana pendapat imam Ahmad ibnu Hambal dan imam Daud Az-Zhohiri, Sedangkan imam Malik dan imam Abu Hanifah berpendapat benda tersebut suci dengan diusap"
f. Pendapat lbnu Qudamah, ulama mazhab Hanbali dalam kitabnya as-Syarh al-Kabir Li lbni Qudamah sbb:
وإذا أصابت النجاسة الأجسام الصقيلة كالمرآة ونحوها وجب غسله ولم يطهر بالمس لأنه محل لا تنكر فيه النجاسة فلم يجز فيه المسح كالأواني
Artinya: "Jika najis terkena benda yang mengkilap, keras dan kedap air (shaqil) seperti cermin dan sejenisnya maka harus mencucinya dengan air dan tidak suci honya dengan diusap, karena benda yang terkena najis, tidak cukup hanya diusap seperti bejana lainnya"
g. Pendapat ad-Dardir, ulama mazhab Maliki, dalam kitabnya as-Syarh al-Kabir Li ad-Dardir sbb:
وَ) عُفِيَ عَنْ (كَسَيْفٍ صَقِيلٍ) دَخَلَ بِالْكَافِ مَا شَابَهَهُ فِي الصِّقَالَةِ كَمُدْيَةٍ وَمِرْآةٍ وَجَوْهَرٍ وَسَائِرِ مَا فِيهِ صِقَالَةٌ وَصَلَابَةٌ مِمَّا يُفْسِدُهُ الْغَسْلُ ثُمَّ صَرَّحَ بِعِلَّةِ الْعَفْوِ لِمَا فِيهَا مِنْ الْخِلَافِ بِقَوْلِهِ (لَإِفْسَادِهِ) بِالْغَسْلِ وَلَوْ قَالَ لِفَسَادِهِ لَكَانَ أَخْصَرَ وَأَحْسَنَ
Artinya: "dan dimaafkan (mensucikan deigan ielain air) terhadap benda semisal pedang yang mengkilap dan keras (shaqil). Yang dimaksud "sernisal pedang" adalqh benda sejenisnyu seperti pisau, cermin kaca, berlian, dqn benda-benda lain yang mengkilap, keras dan kedap air (shiqalah wa shalabah) yang bisa rusak jika dicuci dengan air. Kemudian menjelaskan tentang alasan (illah) dimaafkannya, karena ada perbedaan pendapal yalmi "kerena bisa rusak" jika dicuci dengan air".
2. Keputusan Fatwa MUI tanggal 23 Mei 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, khususnya tentang tidak bolehnya mempergunakan suatu peralatan bergantian antara produk babi dan non babi meskipun sudah melalui proses pencucian.
3. Keterangan LP POM MUI dalam rapat komisi fatwa tanggal 28 Desember 2010, yakni: Tidak semua fasilitas produksi suatu produk yang terkena najis bisa disucikan dengan menggunakan air karena ada kemungkinan akan mempengaruhi kualitas produk Fasilitas tersebut terkena najis mutowassithah (najis sedangJ karena bahan padat atau cair yang bukan berasal dari babi. Pada dunia industri bahan yang digunakan sebagai bahan pembersih sama dengan produh Misalnya Produk cair dibersihkan dengan bahan cair sejenis seperti fasilitas pengolahan minyak dibilas dengan minyak juga (tanpa melibatkan panasJ. Najis yang terkandungan pada fasilitas tersebut adalah bahan yang larut minyak. Sedangkan produk padat (contohnya whey powder atau lactose, non dairy creamer) fasilitas produksinya dibersihkan dengan bahan powder baik berupa produk jadi, ataupun salah satu bahan yang terkandung dalam produk Whey powder dan lacfose kemungkinan mengandung najis sejumlah kecil enzim hewan yang tidak bersertifikat halal. Non Dairy Creamer mengandung bahan pengemulsi yang mungkin berasal dari hewan yang tidak bersertifikat halal.
3. Keterangan LP POM MUI dalam rapat komisi fatwa tanggal 28 Desember 20L0, yakni: Tidak semua fasilitas produksi suatu produk yang terkena najis bisa disucikan dengan menggunakan air karena ada kemungkinan akan mempengaruhi kualitas produk Fasilitas tersebut terkena najis mutowassithah (najis sedangJ karena bahan padat atau cair yang bukan berasal dari babi. Pada dunia industri bahan yang digunakan sebagai bahan pembersih sama dengan produh Misalnya Produk cair dibersihkan dengan bahan cair sejenis seperti fasilitas pengolahan minyak dibilas dengan minyak iuga (tanpa melibatkan panasJ. Najis yang terkandungan pada fasilitas tersebut adalah bahan yang larut minyah Sedangkan produk padat (contohnya whey powder atau lactose, non dairy creamer) fasilitas produksinya
dibersihkan dengan bahan powder baik berupa produk jadi, ataupun salah satu bahan yang terkandung dalam produk Whey powder dan lacfose kemungkinan mengandung najis sejumlah kecil enzim hewan yang tidak bersertifikat halal. Non
Dairy Creamer mengandung bahan pengemulsi yang mungkin berasal dari hewan yang tidak bersertifikat halal 4. Pendapat peserta rapat Komisi Fatwa pada tanggal 23
Desember 2010, 30 Desember 2010, dan 5 Januari 2010.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
FATWA TENTANG PENSUCIAN AIAT PRODUKSI YANG TERKENA NAJIS MUTAWASSITHAH (NAJIS SEDANG) DENGAN SELAIN AIR
Pertama :
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
L. Najis mutawassithah adalah najis sedang yaitu najis yang ditimbulkan karena bersentuhan dengan barang najis selain najis mukhaffafah (najis air seni bayi laki-laki sebelum usia dua tahun yang hanya mengonsumsi ASI), dan najis mughallazhah
(najis babi, anjingatau turunan keduanya).
2. Alat produksi adalah semua peralatan yang bersentuhan langsung dengan bahan produk yang apabila dicuci dengan air bisa rusak.
Kedua :
Ketentuan Hukum
t. Menegaskan kembali fatwa MUI nomor 4 tahun 2003 yang berbunyi: suatu
peralatan tidak boleh digunakan bergantian antara produk babi dan non babi meskipun sudah melalui proses pencucian".
2. Pada prinsipnya, pensucian suatu benda, termasuk alat produksi, yang terkena najis mutawassithah (najis sedang) dilakukan dengan menggunakan air.
3. Alat produksi yang terbuat dari benda keras dan tidak menyerap naiis (tasyarub), misalnya terbuat dari besi atau baja apabila terkena najis mutawassithah (najis
sedang), jika disucikan dengan menggunakan air akan merusak alat dan atau proses produksinya, maka dapat disucikan dengan menggunakan selain air, selama barang tersebut suci serta bekas najis berupa bau, rasa dan warnanya telah hilang.
4. Suatu alat produksi boleh digunakan bergantian antara produk halal dengan pruduk non halal yang terkena najis mutawassithah apabila sebelum proses produksi dilakukan pensucian sebagaimana ketentuan nomor dua dan tiga di atas.
Ketiga :
KetentuanPenutup
1. Fatwa ini berlaku seiak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : |akarta
Pada tanggal : 28.Rabi'al Awwal 1432 H
3 Maret 2O11 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR, H. HASANUDDIN AF., MA
Sekretaris
DR. HM.ASRORUN NI'AM SHOLEH, MA
...................................................................................
Baca Juga:
Najisnya darah dan pengecualiannya
Hukum Darah Nyamuk
Hukum donor darah
Apakah air liur dihukumi najis ?
Hukum bertato
Hukum cairan yang keluar dari luka
Hukum telur yang sudah rusak
Hukum menggunakan biogas dari limbah kotoran hewan (benda najis)
Kotoran hewan yang dijadikan pupuk
Hukum Kotoran ikan dalam kolam dan aquarium
Petis dan terasi, najis atau suci ?
Apakah kencingnya semut najis ?
Hukum bisa ular
Hukum asap dari pembakaran benda najis
Filter rokok yang terbuat dari babi
Penggunaan mikroba dan produk mikrobial dalam produk pangan
Penggunaan debu dalam penyucian najis mugholadhoh (najisnya anjing dan babi)
Cara pencucian najis yang sulit dihilangkan
Hukum pencucian dry clean (tanpa menggunakan air)
Najisnya darah dan pengecualiannya
Hukum Darah Nyamuk
Hukum donor darah
Apakah air liur dihukumi najis ?
Hukum bertato
Hukum cairan yang keluar dari luka
Hukum telur yang sudah rusak
Hukum menggunakan biogas dari limbah kotoran hewan (benda najis)
Kotoran hewan yang dijadikan pupuk
Hukum Kotoran ikan dalam kolam dan aquarium
Petis dan terasi, najis atau suci ?
Apakah kencingnya semut najis ?
Hukum bisa ular
Hukum asap dari pembakaran benda najis
Filter rokok yang terbuat dari babi
Penggunaan mikroba dan produk mikrobial dalam produk pangan
Penggunaan debu dalam penyucian najis mugholadhoh (najisnya anjing dan babi)
Cara pencucian najis yang sulit dihilangkan
Hukum pencucian dry clean (tanpa menggunakan air)
0 komentar:
Posting Komentar