Template information

Hukum Memakai Pakaian Ketat dan Menyerupai Lelaki Bagi Wanita


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.
Dewan Asatidz, maaf mau tanya. Apakah wanita yang memakai celana panjang ketat  termasuk menyerupai laki-laki dan diharamkan?

(Dari Laita Ly Janach).

Jawaban:
Wa'alaikum salam.
Celana yang dipakai wanita dikategorikan tasyabbuh (menyerupai) lelaki atau tidak  itu tergantung dari modelnya, berikut ini perinciannya:

- Apabila pakaian tersebut memang dirancang untuk dipakai para wanita atau umumnya dipakai oleh wanita, maka hal tersebut bukan termasuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan laki-laki yang diharamkan.

- Apabila bentuk celana tersebut biasa dipakai oleh para wanita dan juga dipakai oleh pria, maka juga tidak dikategorikan tasyabbuh.

- Apabila celana tersebut memang dirancang khusus bagi pria, maka apabila seorang wanita memakainya hal tersebut dikategorikan sebagai tindakan menyerupai laki-laki yang diharamkan, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

"Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki." (Shahih Bukhari, no.5885)

Sedangkan hukum memakai celana ketat bagi wanita adalah harom, apabila celana ketat tersebut dipakai didepan orang yang haram melihatnya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian (maksudnya jarak yang sangat jauh).” (Shahih Muslim, no. 2128).

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslimnya menjelaskan bahwa hadits ini merupakan salah satu mu'jizat nabi Muhammad, karena apa yang dijelaskan oleh Nabi kala itu telah terjadi pada masa ini. Sedangkan mengenai maksud dari “kasiyatun ‘ariyatun” (berpakaian tapi telanjang) yang disebutkan pada hadits tersebut, beliau menjelaskan beberapa penjelasan, salah satu maksud dari kalimat tersebut adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga tampak bagian dalam tubuhnya, jadi maksudnya wanita tersebut secara lahiriah memakai pakaian tapi sejatinya tidak.

Keharaman memakai pakaian ketat bagi seorang wanita harus dipahami sebagai aturan yang ditetapkan untuk menjaga kehormatan, mencegah pikiran negatif dari orang yang melihatnya dan terjadinya hal-hal yang buruk yang akan menimpa dirinya.

Kesimpulan dari keterangan diatas adalah memakai celana ketat dikategorikan tasyabbuh yang terlarang atau tidak tergantung dari modelnya, sedangkan hukum menggunakannya adalah haram apabila dipakai didepan orang yang haram melihat aurotnya. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir).

Referensi:
1. Syarah Shahih Bukhari Li Ibnul Baththol, jilid 9 hal. 140

باب المتشبهين بالنساء والمتشبهات بالرجال
فيه: ابن عباس، لعن النبى، عليه السلام، المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال. قال الطبرى: فيه من الفقه أنه لا يجوز للرجال التشبه بالنساء فى اللباس والزينة التى هى للنساء خاصة، ولا يجوز للنساء التشبه بالرجال فيما كان ذلك للرجال خاصة

2. Bughyah al Mustarsyidin hal. 604

ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه في الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة ، وتبعه الرملي في النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر ، أو يغلب اختصاصه به في ذلك المحل الذي هما فيه   

3. Syarh an Nawawi ala Muslim, jilid 17 hal. 190-191

قوله صلى الله عليه وسلم (صنفان من أهل النار لم أرهما قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ونساء كاسيات عاريات مائلات مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لايدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذاوكذا) هذا الحديث من معجزات النبوة فقد وقع ما أخبر به صلى الله عليه وسلم فأما أصحاب السياط فهم غلمان والي الشرطة أما الكاسيات ففيه أوجه -إلى أن قال- والرابع يلبسن ثيابا رقاقا تصف ما تحتها كاسيات عاريات في المعنى -إلى أن قال- (لايدخلن الجنة) يتأول التأويلين السابقين في نظائره أحدهما أنه محمول على من استحلت حراما من ذلك مع علمها بتحريمه فتكون كافرة مخلدة فى النار لاتدخل الجنة أبدا والثانى يحمل على أنها لاتدخلها أول الأمر مع الفائزين والله تعالى أعلم   

Mimpi Basah Pada Wanita Dan Ketentuan Hukumnya



Pertanyaan:
Assalamu'alaikum..
Mau nanya, apakah perempuan juga mengalami mimpi basah seperti halnya laki-laki? Dan apakah jika mengalami mimpi basah juga wajib mandi?

(Dari : Lisa Listiyani)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Wanita juga dapat mengalami mimpi basah sepertihalnya laki-laki, dan wanita diwajibkan mandi jinabat ketika mengeluarkan mani saat mimpi basah. Sedangkan ciri-ciri mani wanita adalah encer dan berwarna kuning. Ketentuan hukum ini didasarkan pada satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

 عَنْ قَتَادَةَ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، حَدَّثَهُمْ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ،، حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ» فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟ إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ، وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ

"Diriwayatkan dari Qotadah, bahwasanya Anas bin Malik bercerita bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi hadas." Ummu Sulaim berkata, "Aku malu untuk bertanya perkara tersebut". Ummu Sulaim bertanya, "Apakah perkara ini berlaku pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan?. Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning." (Shohih Muslim, no.311)

(Dijawab oleh: Ahmad Afif Arfianto, Al Murtadho, Zainul Abidin Kholil dan Siroj Munir)


Referensi :
Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 3  Hal : 222-223

حدثنا عباس بن الوليد، حدثنا يزيد بن زريع، حدثنا سعيد، عن قتادة، أن أنس بن مالك، حدثهم أن أم سليم، حدثت أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل» فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك، قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم: نعم، فمن أين يكون الشبه؟ إن ماء الرجل غليظ أبيض، وماء المرأة رقيق أصفر، فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه
...............................................
قوله صلى الله عليه وسلم (إن ماء الرجل غليظ أبيض وماء المرأة رقيق أصفر) هذا أصل عظيم في بيان صفة المني وهذه صفته في حال السلامة وفي الغالب قال العلماء مني الرجل في حال الصحة أبيض ثخين يتدفق في خروجه دفقة بعد دفقة ويخرج بشهوة ويتلذذ بخروجه وإذا خرج استعقب خروجه فتورا ورائحة كرائحة طلع النخل ورائحة الطلع قريبة من رائحة العجين وقيل تشبه رائحته رائحة الفصيل وقيل إذا يبس كان رائحته كرائحة البول فهذه صفاته وقد يفارقه بعضها مع بقاء ما يستقل بكونه منيا وذلك بأن يمرض فيصير منيه رقيقا أصفر أو يسترخي وعاء المني فيسيل من غير التذاذ وشهوة أو يستكثر من الجماع فيحمر ويصير كماء اللحم وربما خرج دما غبيطا وإذا خرج المني أحمر فهو طاهر موجب للغسل كما لو كان أبيض ثم إن خواص المني التي عليها الاعتماد في كونه منيا ثلاث أحدها الخروج بشهوة مع الفتور عقبه والثانية الرائحة التي شبه الطلع كما سبق الثالث الخروج بزريق ودفق ودفعات وكل واحدة من هذه الثلاث كافية في إثبات كونه منيا ولا يشترط اجتماعها فيه واذا لم يوجد شئ منها لم يحكم بكونه منيا وغلب على الظن كونه ليس منيا هذا كله في مني الرجل وأما مني المرأة فهو أصفر رقيق وقد يبيض لفضل قوتها وله خاصيتان يعرف بواحدة منهما إحداهما أن رائحته كرائحة مني الرجل والثانية التلذذ بخروجه وفتور شهوتها عقب خروجه

Ketentuan bagi wanita yang membatalkan puasa karena menyusui



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
Pak yai, bu nyai, saya mau tanya; seumpama ada perempuan menyusui dalam keadaan puasa dan wanita tersebut menghawatirkan dirinya dan anaknya lalu wanita tersebut membatalkan puasanya. Apakah wanita tersebut berkewajbn mengqodho' puasanya atau membayar kafaroh?

( Dari : Cholil Ibnuman Alkargoni )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Semua ulama’ telah sepakat bahwa wanita yang sedang menyusui diperbolehkan tidak tidak berpuasa pada bulan romadhon dengan syarat ia mengkhawatirkan dirinya atau anaknya akan menjadi sakit atau bertambah parah sakit yang diderita, atau akan menimbulkan bahaya atau kematian. Kekhawatiran pada anak juga menjadi pertimbangan dikarenakan seorang anak bagaikan bagian dari anggota tubuh ibunya, karena itu belas kasihan pada anak seperti halnya belas kasihan pada dirinya sendiri.

Adapun ketentuan bagi wanita yang membatalkan puasa karena menyusui anaknya diperinci sebagai berikut;

1. Apabila wanita tersebut membatalkan puasanya karena mengkhawatirkan kondisinya sendiri, semisal khawatir akan sakit karena harus menyusui anaknya saat berpuasa,  maka wanita tersebut diwajibkan mengqodho’ puasa yang ditinggalkan tersebut. Dalilnya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam;

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ المُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separoh shalat untuknya juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa" (Sunan Turmudzi, no.715)

2. Apabila wanita tersebut membatalkan puasanya karena mengkhawatirkan kondisi anaknya, semisal dikhawatirkan ASI yang keluar akan menjadi sedikit karena ia berpuasa maka wanita tersebut diwajibkan untuk mengqodho’ puasa yang ia tinggalkan dan ditambah dengan membayar kafaroh. Dalilnya adalah riwayat Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}، قَالَ: «كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ سْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: يَعْنِي عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا

“Dari Ibnu Abbas: WA 'ALALLADZII YUTHIIQUUNAHU FIDYATUN THA'AAMU MISKIIN (dan bagi orang yang berat menjalankanya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin), ia berkata; hal tersebut merupakan keringanan bagi laki-laki tua dan wanita tua, dan mereka -sementara kedua mampu melakukan puasa- agar berbuka dan memberi makan setiap hari satu orang miskin, dan keringanan bagi orang yang hamil dan menyusui apabila merasa khawatir. Abu Daud berkata; yaitu khawatir kepada anak mereka berdua, maka mereka berbuka dan memberi makan.” (Sunan Abu Dawud, no.2318)

Sedangkan pembayaran kafaroh dilakukan dengan bersedekah 1 mud (1 mud = 6 ons/ 679,79 gram) makan pokok yang umum didaerahnya pada tiap hari yang ditinggalkan kepada fakir miskin. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Jack Koko, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Kakek Jhøsy, dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 28  Hal : 54
2. Fathul Qorib, Hal : 141
3. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 2  Hal : 94


Ibarot :
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 28  Hal : 54


الفقهاء متفقون على أن الحامل والمرضع لهما أن تفطرا في رمضان، بشرط أن تخافا على أنفسهما أو على ولدهما المرض أو زيادته، أو الضرر أو الهلاك، فالولد من الحامل بمنزلة عضو منها، فالإشفاق عليه من ذلك كالإشفاق منه على بعض أعضائها

Fathul Qorib, Hal : 141

والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما) ضررا يلحقهما بالصوم، كضرر المريض (أفطرتا، و) وجب (عليهما القضاء، وإن خافتا على أولادهما) أي إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع (أفطرتا، و) وجب (عليهما القضاء) للإفطار (والكفارة) أيضا. والكفارة أن يخرج (عن كل يوم مد؛ وهو) كما سبق (رطل وثلث بالعراقي). ويعبر عنه بالبغدادي

Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 2  Hal : 94


الحامل والمرضع
إذا أفطرت الحامل والمرضع، فهي إما أن تفطر خوفا على نفسها، أو خوفا على طفلها
فإن أفطرت خوفا من حصول ضرر بالصوم على نفسها وجب عليها القضاء فقط قبل حلول شهر رمضان آخر. روى الترمذي (715) وأبو داود (2408) وغيرهما عن أنس الكعبي - رضي الله عنه - عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحامل أو المرضع الصوم أي خفف بتقصير الصلاة، ورخص في الفطر مع القضاء

وإن أفطرت خوفا على طفلها، وذلك بأن تخاف الحامل من إسقاطه إن صامت، أو تخاف المرضع أن يقل لبنها فيهلك الولد إن صامت، وجب عليها والحالة هذه القضاء والتصدق بمد من غالب قوت البلد عن كل يوم أفطرته. ومثل هذه الصورة أن يفطر الصائم لإنقاذ مشرف على الهلاك، فيجب عليه مع القضاء التصدق بمد طعام. روى أبو داود (2318) عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) البقرة 184. قال كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة، وهما يطيقان الصوم أن يفطرا ويطعما كل يوم مسكينا، والحبلى والمرضع إذا خافتا ـ يعني على أولادهما ـ أفطرتا وأطعمتا

Hukum perempuan mengajar lelaki - Lembaga Fatwa Mesir




Perempuan Mengajar Lelaki

Nomor Urut : 445    Tanggal Jawaban : 01/04/2008

Memperhatikan permohonan fatwa No. 559 tahun 2008 yang berisi: Apakah seorang perempuan boleh mengajar Alquran yang mencakup cara membaca Alquran, ilmu Rasm Mushaf, matan-matan ilmu dan lain sebagainya, kepada kaum lelaki dikarenakan tidak adanya guru laki-laki yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada mereka?

Jawaban :

Hukum seorang perempuan belajar dari guru lelaki atau seorang lelaki belajar dari guru perempuan adalah dibolehkan dalam syariat. Hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang adalah bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tidaklah diharamkan karena alasan keberadaan itu sendiri. Tetapi yang membuat perbuatan tersebut diharamkan adalah terjadinya kondisi yang bertentangan dengan ajaran agama yang melingkupi perbuatan itu, seperti jika perempuannya menampakkan aurat, pertemuan itu bertujuan untuk kemungkaran, atau mereka berdua dalam keadaan khalwat. Para ulama menegaskan bahwa perbuatan ikhtilat yang diharamkan –yang disebabkan oleh perbuatan ikhtilat itu sendiri— adalah jika lelaki dan perempuannya saling menempel dan saling bersentuhan, bukan murni karena keberadaan seorang lelaki dan perempuan di satu tempat. 

Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi radhiyallahu ‘anhu., ia berkata;

لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ

"Ketika Abu Usaid as-Sa'idi melakukan resepsi pernikahan, dia mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Tidak ada yang membuatkan dan menghidangkan makanan untuk mereka kecuali istrinya, Ummu Usaid."

Imam Bukhari membuat judul untuk hadis ini dengan: "Bab Perempuan Melayani Kaum Lelaki dalam Acara Resepsi Pernikahan Secara Langsung."

Al-Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya, "Para ulama kami (madzhab Maliki) berkata; "Hadis ini menunjukkan kebolehan seorang istri melayani suami dan para undangan dalam acara resepsi pernikahannya."

Dalam Syarah Al-Bukhari, Ibnu Baththol berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa kain pembatas yang memisahkan lelaki dengan perempuan dalam berinteraksi langsung adalah tidak wajib bagi para wanita mukmin. Hal itu hanya khusus bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran;

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (Al-Ahzâb: 53).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bâri, "Hadits ini mengandung penjelasan kebolehan seorang perempuan melayani suaminya dan tamu undangannya. Tentu saja, kebolehan itu jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah dan perempuan tersebut selalu menjaga auratnya dalam keadaan tertutup. Hadits ini juga menunjukkan kebolehan seorang suami meminta istrinya untuk melakukan pelayanan seperti itu."

Dalam kitab Shahîh Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan kisah Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya yang melayani tamu mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa keduanya berpura-pura makan di hadapan tamu mereka, padahal mereka tidak makan sama sekali, sehingga mereka berdua pun tidur dengan perut kosong tanpa makan malam terlebih dahulu.

Dalam kitab Qirâ adh-Dhoif, Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata kepada istrinya; "Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai lauknya lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu." Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan." Dhohir kisah ini mengisyaratkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepada mereka;

قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ

"Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam."

Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka;

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (Al-Hasyr: 9).

Dalam Shahîh Bukhari diriwayatkan dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ، وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا.... إلى أخر الحديث

"Nabi sshallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda`. Pada suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda`. Ia bertemu dengan Ummu Darda` yang ketika itu memakai pakaian yang lusuh. Salman lalu bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi denganmu?" Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda`, tidak lagi menyukai dunia." Sebentar kemudian, Abu Darda` muncul dan membuatkan Salman makanan", dan seterusnya.

Al-Hafiيh Ibu Hajar dalam Fathul Bâri berkata, "Di dalam hadis ini terdapat beberapa faedah..[Antara lain] kebolehan berbicara dan bertanya kepada wanita yang bukan mahram tentang sesuatu yang mendatangkan maslahat."

Adapun berkaitan dengan perempuan mengajar ilmu-ilmu syariat kepada kaum lelaki, maka sebagaimana diketahui dalam Sunnah bahwa para istri Nabi saw. mengajarkan ilmu dan menyebarkan agama kepada siapa saja. Kitab-kitab Sunnah penuh dengan hadis yang diriwayatkan dari mereka, bahkan dari para perawi wanita setelah mereka. Dalam kitab al-Ishobah fî Tamyîz ash-Shohâbah, Ibnu Hajar al-'Asqalani menyebutkan biografi seribu lima ratus empat puluh tiga (1543) perowi wanita, di antara mereka ada ulama fikih, ulama hadis dan sastrawan.

Dahulu, para wanita muslimah selalu berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam berbagai aktifitas kehidupan sosial secara umum dengan tetap menjaga cara berpakaian dan adab-adab islami. Bahkan, ada di antara para wanita sahabat Nabi saw. yang menjadi penanggung jawab hisbah (polisi syariat), seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr –dengan sanad yang terdiri dari para perawi tsiqât— dari Abu Balaj Yahya bin Abi Sulaim, ia berkata, "Saya melihat Samra` binti Nuhaik –seorang perempuan yang pernah bertemu dengan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam— memakai pakaian perang dan kerudung yang kasar serta memegang sebuah cambuk. Ia bertugas menertibkan masyarakat serta melakukan amar makruf dan nahi mungkar."

Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Sunnah Nabawiyah dan sejarah Islam. Kebiasaan atau adat masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dijadikan standar bagi kebenaran agama dan syariat. Ajaran agama berada pada tingkat tertinggi dan tidak ada yang dapat melampauinya. Jika ada seseorang yang ingin memilih bersikap wara' dengan lebih berhati-hati, maka ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya, atau bersikap keras dan mempersempit urusan yang dimudahkan dan dilapangkan oleh Allah.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


تعليم النساء للرجال

تاريخ الإجابة : 01/04/2008          الرقـم المسلسل : 445

    اطلعنا على الطلب المقيد برقم 559 لسنة 2008م المتضمن: هل يجوز لامرأة أن تعلم الرجال علم القراءات القرآنية من تلاوة ورسم مصحف ومتون وغير ذلك؛ لعدم وجود مختصين من الرجال في هذا العلم في ذلك المكان؟

الـجـــواب

كون الرجال يتعلمون من المرأة وكون النساء يتعلمن من الرجل مما لا مانع منه شرعًا، فالذي عليه عمل المسلمين سلفًا وخلفًا أن مجرد وجود النساء مع الرجال في مكان واحد ليس حرامًا في ذاته، وأن الحرمة إنما هي في الهيئة الاجتماعية إذا كانت مخالفة للشرع الشريف؛ كأن يُظهر النساءُ ما لا يحل لهن إظهاره شرعًا، أو يكون الاجتماع على منكر أو لمنكر، أو يكون فيه خلوة محرَّمة

    ونص أهل العلم على أن الاختلاط المحرم في ذاته إنما هو التلاصق والتلامس لا مجرد اجتماع الرجال مع النساء في مكان واحد. وعلى ذلك دلت السنة النبوية الشريفة: ففي الصحيحين عن سهل بن سعد الساعدي -رضي الله عنه- قال: ((لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلا قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلا امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ))، وترجم له البخاري بقوله: "باب قيام المرأة على الرجال في العرس وخدمتهم بالنفس". اهـ. قال القرطبي في التفسير: "قال علماؤنا: فيه جواز خدمة العروسِ زوجَها وأصحابَه في عرسها". اهـ. وقال ابن بطال في شرحه على البخاري: "وفيه أن الحجاب -أي انفصال النساء عن الرجال في المكان أو في التعامل المباشر- ليس بفرض على نساء المؤمنين، وإنما هو خاص لأزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-، كذلك ذكره الله في كتابه بقوله : ﴿وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾". ا هـ

    وقال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي الحديث جواز خدمة المرأة زوجها ومن يدعوه، ولا يخفى أن محل ذلك عند أمن الفتنة ومراعاة ما يجب عليها من الستر، وجواز استخدام الرجل امرأته في مثل ذلك". اهـ.
    وفي الصحيحين أيضًا عن أبي هريرة -رضي الله عنه- في قصة أبي طلحة الأنصاري في إطعامه الضيف: أنهما جعلا يُرِيانِه أنهما يأكلان، فباتا طاويَين، وفي رواية ابن أبي الدنيا في "قِرى الضيف" من حديث أنس -رضي الله عنه-: ((أن الرجل قال لزوجته: أثردي هذا القرص وآدِمِيه بسمنٍ ثم قَرِّبيه، وأمري الخادم يطفئ السراج، وجعلت تَتَلَمَّظُ هي وهو حتى رأى الضيفُ أنهما يأكلان)). اهـ

    وظاهره أنهم اجتمعوا على طبق واحد. وقد قال له النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-: ((قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ)). ونزل فيهما قولُه تعالى: ﴿وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ﴾. [الحشر: 9].
    وفي صحيح البخاري عن أبي جحيفة -رضي الله عنه- قال: ((آخَى النبي - صلى الله عليه وآله وسلم- بين سَلمانَ وأبي الدرداء، فزار سلمانُ أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء مُتَبَذِّلةً، فقال لها: ما شأنُكِ؟ قالت: أخوكَ أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا. فجاء أبو الدرداء فصنع له طعامًا... إلى آخر الحديث)). قال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وفي هذا الحديث من الفوائد جواز مخاطبة الأجنبية والسؤال عما يترتب عليه المصلحة". اهـ

    وأما بخصوص تلقي الرجال للعلم الشرعي والموعظة من المرأة العالمة فقد كان أزواج النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- يبلغن العلم وينشرن الدين، وهذه دواوين السنة في الرواية عنهن، بل وعن الطبقات من النساء بعدهن ممن روى عنهن الرجال وحملوا عنهن العلم، وقد ترجم الحافظ ابن حجر العسقلاني في كتابه "الإصابة في تمييز الصحابة" وحده لثلاث وأربعين وخمسمائة وألف 1543 امرأة منهن الفقيهات والمحدِّثات والأديبات.
    وكانت المرأة المسلمة تشارك الرجال في الحياة الاجتماعية العامة مع التزامها بلبسها الشرعي ومحافظتها على حدود الإسلام وآدابه، حتى إن من النساء الصحابيات من تولت الحسبة، ومن ذلك ما رواه الطبراني في "المعجم الكبير" بسندٍ رجالُه ثقات عن أبي بلج يحيى بن أبي سليم قال: "رأيت سمراء بنت نُهَيْك -وكانت قد أدركت النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- عليها درع غليظ وخمار غليظ بيدها سوط تؤدب الناس وتأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر

    وعلى ذلك فلا يسع أحدًا أن ينكر هذا الواقع الثابت في السنة النبوية الشريفة والتاريخ الإسلامي، ولا يصح جعل التقاليد والعادات الموروثة في زمان أو مكان معين حاكمةً على الدين والشرع، بل الشرع يعلو ولا يُعلَى عليه، ولا يجوز لمن سلك طريقة في الورع أن يُلزِم الناس بها أو يحملهم عليها أو يشدد ويضيِّق فيما جعل الله لهم فيه يُسرًا وسعة
والله سبحانه وتعالى أعلم

Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=445

Hukum cairan keputihan dan ketentuan - ketentuan bagi wanita yang mengalami keputihan



Pertanyaan:
Ada yang tau tentang wanita keputihan, sebenarnya keputihan itu apa bagaimana hukumnya ? Mohon pencerahannya..

( Dari : Alem Roso Roso Lorewodho )


Jawaban :
Keputihan adalah getah atau cairan yang keluar dari vagina,  yang ditimbulkan oleh jamur. Dalam ilmu Kedokteran disebut jamur candida. Kelembaban dan kehangatan vagina, merupakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan berkembang biaknya jamur. Getah atau cairan yang ditimbulkan keputihan berwarna putih, kental, keruh dan     kekuning-kuningan. Biasanya rasanya gatal, membuat vagina meradang dan luka.

Penyebab timbulnya keputihan di antaranya:
a.Menopause, yaitu masa yang sudah tidak keluar haidl, sebab dengan aktif keluar haidl, ada cairan yang selalu membasahi dinding vagina dan mempertahankan vagina tetap segar dan sehat.
b.Pil penghambat atau penyubur kehamilan. Hal ini disebabkan, pil tersebut mempunyai efek mengurangi ketahanan pelindung vagina dari infeksi jamur.
c.Efek dari kontrasepsi dari rahim.
d.Stres.
 e.Celana yang terbuat dari nilon.
f.Celana ketat.
g.Sabun bubuk pembersih.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa keputihan dalam fiqih dikategorikan sebagai “ruthubatul farji” (cairan basah vagina). Sedangkan hukum dari keputihan diperinci sebagai berikut :

1. Apabila cairan tersebut keluar dari luar farji (bagian vagina  yang nampak ketika jongkok), maka hukumnya suci.

2. Apabila cairan tersebut keluar dari farji (bagian vagiana yang tidak wajib dibasuh ketika istinja’ (cebok) dan terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya suci menurut pendapat yang ashoh.

3. Apabila cairan tersebut keluar dari balik farji (vagina bagian dalam yang tidak terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya najis dan menyebabkan batalnya wudlu.

Karena cairan keputihan bukanlah termasuk darah haidh atau nifas, maka wanita yag sedang mengalami keputihan tidak diwajibkan melakukan mandi besar, dan tidak diberlakukan hukum wanita haidh dan nifas baginya. Dan dihukumi seperti wanita yang suci apabila cairan yang keluar masuk dalam kategori suci (No.1 & 2)

Sedangkan apabila cairan yang keluar termasuk dalam kategori cairan yang najis (No. 3) maka hukum-hukum yang berlaku bagi wanita tersebut adalah hukum-hukum yang berlaku bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh. Dan langkah - langkah yang harus dilakukan sebelum sholat adalah sebagai berikut;

1. Menyucikan badan atau pakaian yang terkena cairan tersebut.

2. Menaruh semisal kapas pada tempat keluarnya darah untuk menyumbat darahnya agar tidak keluar. Namun menaruh kapas pada tempat keluarnya cairan itu tidak boleh dilakukan orang yang sedang puasa, karena dapat membatalkan puasanya, begitu juga hal tersebut tidak wajib dilakukan bagi wanita yang merasa sakit apabila menaruh kapas pada tempat keluarnya cairan. Apabila kapas itu tidak cukup bisa mencegah darah keluar maka wajib menambahkan kain atau pembalut .

3.Setelah itu, jika waktu sholat sudah masuk, diwajibkan segera berwudhu, dan wudhunya harus dilakukan setelah waktu sholat masuk, tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu sholat. Ada dua hal yang membedakan antara wudhu wanitanya dengan wudhu pada umumnya, yaitu :

•    A.Niat wudhunya tidak seperti wudhu pada umumnya yang menggunakan niat "lirof'il hadatsi" (untuk menghilangkan hadats), karena wudhunya wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh tidak menghilangkan maka niat wudhunya sebelum melakukan sholat adalah :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATIS SHOLATI FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan sholat..."

Atau bisa juga dengan niat secara umum, maksudnya entah itu mau sholat atau melakukan hal-hal lain yang diharuskan wudhu dahulu, yaitu :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATI MUFTAQIRIN ILA WUDHU'IN FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan perkara yang membutuhkan wudhu'..."

•    Ketika wudhu, diwajibkan untuk muwalah (terus menerus) dalam membasuh dan mengusap anggota badannya. Maksud dari muwalah adalah pembasuhan atau pengusapan anggota badan dilakukan sebelum anggota badan yang dibasuh atau diusap sebelumnya kering.
4. Setelah wudhu, diwajibkan untuk segera melakukan sholat dan tidak boleh mengakhirkannya kecuali apabila mengakhirkannya karena melakukan hal-hal yang berkaitan dengan sholat, seperti menjawab adzan, melakukan sholat sunat qobliyah atau menunggu dimulainya sholat jama'ah.

Semua hal diatas dilakukan setiap kali akan melakukan sholat fardhu, termasuk mengganti kapas dan pembalutnya, atau mencuci kain yang dipakai sebagai pembalut sebelumnya.Dan bila semua hal diatas sudah dilakukan, maka sholat yang dikerjakan sah dan tidak usah mengqodho' (mengulaingi)nya lagi. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Farid Muzakki dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarah Al-Manhaj,  Juz : 1  Hal : 179
2. Hasyiyah I’anatut Tholibin, Juz : 1  Hal : 104
3. At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171


Ibarot :
Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarah Al-Manhaj,  Juz : 1  Hal : 179

قوله ورطوبة فرج) هي ماء أبيض متردد بين المذي والعرق ومحل ذلك إذا خرجت من محل يجب غسله، فإن خرجت من محل لا يجب غسله فهي نجسة؛ لأنها رطوبة جوفية وهي إذا خرجت إلى الظاهر يحكم بنجاستها وإذا لاقاها شيء من الطاهر تنجس وحينئذ يشكل قولهم بعدم تنجيس ذكر المجامع مع أنه يجاوز في الدخول ما يجب غسله إلا أن يقال عفي عن ذلك كما عفي عن الولد الخارج من الباطن

Hasyiyah I’anatut Tholibin, Juz : 1  Hal : 104

قوله: وهي) أي رطوبة الفرج الطاهرة على الاصح. (قوله: متردد بين المذي والعرق) أي ليس مذيا محضا ولا عرقا كذلك. (قوله: الذي لا يجب غسله) خالف في ذلك الجمال الرملي، وقال: إنها إن خرجت من محل لا يجب غسله فهي نجسة، لانها حينئذ رطوبة جوفية
وحاصل ما ذكره الشارح فيها أنها ثلاثة أقسام
طاهرة قطعا، وهي ما تخرج مما يجب غسله في الاستنجاء، وهو ما يظهر عند جلوسها
ونجسة قطعا، وهي ما تخرج من وراء باطن الفرج، وهو ما لا يصله ذكر المجامع
وطاهرة على الاصح، وهي ما تخرج مما لا يجب غسله ويصله ذكر المجامع

At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171

الأحكام العامة للمستحاضة
تختلف المستحاضة عن الحائض والنفساء, فالمستحاضة يجب عليها أن تصلي, وصلاتها صحيحة ولا قضاء عليها, وإذا حل رمضان وجب يجب عليها الصوم, ويجوز لزوجها أن يأتيها ولو مع سيلان الدم

الخطوات التي تتخذها المستحاضة إذا أرادت الصلاة
يجب عليها أن تتطهر من النجاسة الدم وغيره
يجب عليها الخشو في موضع خروج الدم بقطن أو نحوه, إلا غذا كانت تتأذى, أو كانت صائمة, لأن ذلك يفطرها, ويجب عليها التعصب إن لم يكف الحشو
يجب عليها المبادرة بعد ذلك بالوضوء, وشرطه أن يكون بعد دخول الوقت, والموالة فيه
يجب عليها المبادرة إلى الصلاة, فلا يجوز تأخيرها, إلا إذا كان التأخير لمصلحة الصلاة كإجابة مؤذن ونافلة قبلية وانتظار جماعة

Wanita Haid Masuk ke Masjid untuk Menyampaikan atau Mendengarkan Pelajaran Agama - Lembaga Fatwa Mesir



Wanita Haid Masuk ke Masjid untuk Menyampaikan atau Mendengarkan Pelajaran Agama

Nomor Urut : 568
Tanggal Jawaban : 20/05/2005

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 1257 tahun 2005 yang berisi:
    Apakah seorang perempuan yang sedang haid boleh berdiam diri di masjid guna mendengarkan pelajaran agama (pengajian) untuk para perempuan? Perlu diketahui bahwa tempat pengajian tersebut merupakan ruangan yang digabungkan dengan masjid. Kemudian, bagaimana jika perempuan haid tersebutlah yang bertugas menyampaikan pengajian?

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

    Wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki areal tempat shalat para wanita di dalam masjid, meskipun tujuannya untuk mendengarkan pelajaran agama atau menghafal Alquran, kecuali jika sekedar berjalan untuk lewat saja. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ

“(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” (Q.S.An-Nisâ`: 43).

    Wanita yang sedang haid lebih besar tingkat ketidaksuciannya (tingkat hadasnya) daripada orang yang sedang junub. Karena orang yang junub dapat menghilangkan kondisi junubnya itu dengan mandi, sedangkan wanita haid terus berada dalam keadaan haid sampai berakhir masa haidnya tersebut. Dalam sebuah hadits disebutkan;

لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ

"Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub." (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Bukhari dalam at-Târîkh al-Kabîr).

    Hadits ini meskipun dho’if, tapi kandungannya diamalkan oleh jumhur (mayoritas) ulama, difatwakan oleh para ulama salaf dan merupakan pendapat para imam mdazhab empat. Bahkan, ulama mazhab Maliki melarang wanita haid untuk memasuki masjid meskipun hanya untuk lewat saja. Lihat misalnya kitab Bidâyah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, salah seorang ulama Malikiyah. Di dalam kitab tersebut, Ibnu Rusyd berkata, "Ada ulama yang membolehkan hal itu (masuknya wanita haid ke dalam masjid) dalam semua kondisi –maksudnya baik yang ingin berdiam diri di dalamnya atau sekedar lewat--. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Dawud (adh-Dhohiri) dan para ulama madzhabnya."

    Dengan ini menjadi jelas bahwa ulama yang membolehkan perempuan yang sedang haid berdiam diri di dalam masjid adalah para ulama Dhohiriyah. Tapi, pendapat mereka ini lemah dan tidak dapat menjadi pegangan dibandingkan dengan pendapat jumhur ulama yang turut didukung oleh para ulama madzhab empat.

    Adapun jika ruangan pengajian tersebut bukan bagian dari masjid tapi merupakan ruangan tambahan yang digabungkan ke masjid, maka dibolehkan bagi perempuan yang sedang haid untuk memasukinya, baik untuk tujuan belajar ataupun mengajar. Hal itu karena ruangan tersebut tidak mempunyai hukum masjid.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


دخول الحائض المسجد لإلقاء الدروس أو لسماعها

الرقـم المسلسل : 568
تاريخ الإجابة : 2005/05/20

اطلعنا على الطلب المقيـد برقم 1257 لسنـة 2005م المتضمن: هل يجوز للمرأة الحائض أن تمكث في المسجد بغرض سماع العلم في درس السيدات بالمسجد؟ مع الأخذ في الاعتبار أن المكان الذي يُلقى فيه درس النساء مكان ملحق بالمسجد. وهل يجوز لها أن تحضر في المسجد إن كانت حائضًا وهي التي تلقي الدرس على السيدات في المسجد؟

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

    لا يجوز للحائض دخول مصلى النساء في المساجد إلا عابرة سبيل حتى ولو كان دخولها لاستماع دروس العلم أو حفظ القرآن؛ لقوله تعالى: ﴿وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا﴾ [النساء: 43]، والحائض أشد من الجنب من ناحية الحدث؛ لأن الجنب يستطيع إزالة جنابته بالغسل، أما الحائض فمقهورة في حدثها إلى انقطاع حيضها، وقد ورد حديث: «لا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلا جُنُبٍ» رواه أبو داود والبيهقي والبخاري في التاريخ الكبير وهو وإن كان ضعيفًا فعليه عمل الجمهور وفتاوى السلف وأهل المذاهب الأربعة بل إن المالكية يمنعونها من دخول المسجد ولو كانت عابرة للسبيل، وليراجع في ذلك بداية المجتهد لابن رشد المالكي الذي قال: "... وقوم أباحوا ذلك -أي دخول الحائض المسجد- للجميع -أي للمقيم والعابر- ومنهم داود -أي الظاهري- وأصحابه" اهـ وكما يظهر فالمجيزون لذلك هم الظاهرية ورأيهم مرجوح بجانب رأي الجمهور ومنهم أهل المذاهب الأربعة

    أما إذا كان المكان الذي تلقى فيه دروس العلم ملحقًا بالمسجد وليس منه فإن للحائض أن تدخله دارسة أو مدرسة ولا يكون له حكم المسجد حينئذٍ
 والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/viewfatwa.aspx?id=568&mu&Home=1&LangID=1

Hukum memasuki area makam bagi wanita yang sedang haidh



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum..
Mau tanya, saya pernah mendengar wanita yang sedang haid utu dilarang masuk area makam, apa itu benar?
Mohon penjelasannya, terima kasih

( Dari : Ukhtye Jameel )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Hukum seorang wanita yang sedang haidh masuk kearea pemakaman diperinci sebagai berikut :

1. Apabila area pemakamannya berada didalam masjid, maka;

•    Tidak diperbolehkan masuk kearea pemakaman tersebut apabila tujuannya masuk adalah untuk berdiam diri ditempat tersebut, semisal untuk berziaroh, sebab wanita yang sedang haidh diharomkan berdiam diri didalam masjid.
•    Diperbolehkan masuk ke area pemakaman tersebut apabila ia hanya lewat saja, dengan syarat ia benar - benar yakin bahwa darahnya tidak akan keluar dan menetes ke masjid, sebab wanita yang sedang haidh diperbolehkan lewat didalam masjid, namun apabila khawatir akan mengotori masjid, diharamkan masuk masjid meskipun hanya lewat saja.

2. Apabila area pemakamannya diluar masjid maka diperbolehkan baginya untuk memasuki area pemakaman tersebut, namun apabila tujuannya masuk ke area pemakaman tersebut adalah untuk berziaroh, hal yang harus diperhatikan adalah untuk tidak membaca al-qur’an (karena biasanya orang yang sedang ziaroh membaca yasin) dan tidak memegang mushaf al-qur’an, sebab wanita yang sedang haidh diharamkan membaca al-qur’an dan memegang mushaf al-qur’an. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Su Kakov )


Referensi :
Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 79


Ibarot :
Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 79

ما يحرم بالحيض
الصلاة: لأحاديث فاطمة بنت أبي حبيش رضي الله عنها السابقة في الاستحاضة
قراءة القرآن ومس المصحف وحمله لما مر ايضأ فيما يحرم بالجنابة رقم (4، 5
- المكث في المسجد لا العبور فيه: لما مر معك فيما يحرم بالجنابة رقم (2). ومما يدل على أن مجرد العبور لا يحرم، بالإضافة لما سبق: ما رواه مسلم (298) وغيره عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال لي رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: " ناوليني الخمرة من المسجد". فقلت: إني حائض، فقال: " إن حيضتك ليست في يدك".
وعن النسائي (1/ 147) عن ميمونة رضي الله عنها قالت: تقوم إحدانا بالخمرة إلى المسجد فتبسطها وهي حائض. [الخمرة: هي السجدة أو الحصير الذي يضعه المصلي ليصلي عليه أو يسجد -إلى أن قال
ويحرم على الحائض زيادة على ذلك أمور أخرى وهي: عبور المسجد والمرور فيه إذا خافت تلويثه، لأن الدم نجس ويحرم تلويث المسجد بالنجاسة وغيرها من الأقذار، فإذا أمنت التلويث حل لها المرور كما علمت

Hukum keluar rumah bagi wanita dalam masa iddah wafat



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ...
Sahabat FK saya mau tanya nie, orang yang ditinggal suaminya karna meninggal itu selama masa iddah apakah tidak boleh keluar rumah ya ? mohon penjelasan dan pencerahannya, sebelumnya trima kasih

( Dari : WortEl AmiEcts )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Wanita yang sedang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia tidak diperbolehkan keluar rumah, berdasarkan firman Alloh;

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kalian keluarkan mereka (wanita – wanita dalam masa iddah) dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang” (Q.S. At-Tholaq : 1)

Dan sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pada Furai’ah, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya;

امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

"Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa 'iddahmu." (Sunan Abu Dawud,2300, Sunan Turmudzi, no.1204,Sunan Nasa’I, no.3530 dan Sunan Ibnu Majah, no.2031)

Kecuali apabila wanita tersebut mempunyai hajat, maka diperbolehkan baginya untuk keluar rumah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Jabir bin Abdulloh rodhiyallohu ‘anhu ;

طُلِّقَتْ خَالَتِي، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا، فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ، فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي، أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا

"Bibiku dicerai oleh suaminya, lalu dia ingin memetik buah kurma, namun dia dilarang oleh seorang laki-laki untuk keluar rumah." Setelah itu istriku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab; "Ya, boleh! Petiklah buah kurmamu, semoga kamu dapat bersedekah atau berbuat kebajikan." (Shohih Muslim, no.1483)

Hajat yang memperbolehkan bagi seorang wanita yang sedang dalam masa iddah, seperti : untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak – anaknya, berbelanja, mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau harta bendanya, omongan – omongan tetangga yang sangat menyakitkan hati, lingkungan rumahnya banyak terdapat orang – orang jahat, dan sebagainya.

Diperbolehkannya wanita tersebut keluar rumah dengan catatan dengan tetap melaksanakan “ihdad” yang wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu dengan tidak berhias diri dan memakai minyak wangi ketika keluar rumah. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Tie Aini, Zulfi Abdillah, Abdy Manaf El-Muchaveeydzooch, Ibnu Lail, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Abdurrofik Ingin Ridlo Robby dan Siroj Munir )


Referensi :
1.Al-Hawi Al-Kabir, Juz : 11  Hal : 245
2. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 4  Hal : 163
3. Kifayatul Akhyar, Juz : 1  Hal : 433
4. Fathul Qorib, Hal : 255 - 256


Ibarot :
Al-Hawi Al-Kabir, Juz : 11  Hal : 245

قال الشافعي رحمه الله: " قال الله تعالى في المطلقات {لا تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة} وقال - صلى الله عليه وسلم  - لفريعة بنت مالك حين أخبرته أن زوجها قتل وأنه لم يتركها في مسكن يملكه " امكثي في بيتك حتى يبلغ الكتاب أجله

Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 4  Hal : 163

أما دليل جواز الخروج للحاجة: فما رواه مسلم (الطلاق، باب: جواز خروج المعتدة البائن .. لحاجتها، رقم: 1483) عن جابر - رضي الله عنه - قال: طلقت خالتي، فأرادت أن تجد نخلها، فزجرها رجل أن تخرج، فأتت النبي - رضي الله عنه - فقال: " بلى اخرجي، فجدي نخلك، فإنك عسى أن تصدقي، أو تفعلي معروفا

Kifayatul Akhyar, Juz : 1  Hal : 433

يجب على المعتدة ملازمة مسكن العدة فلا يجوز لها أن تخرج منه ولا إخراجها إلا لعذر نص عليه القرآن العظيم قال الله تعالى {لا تخرجوهن من بيوتهن ولا يخرجن} فلو اتفق الزوجان على أن تنتقل إلى منزل آخر بلا عذر لم يجز وكان للحاكم المنع من ذلك لأن العدة حق الله تعالى وقد وجبت في ذلك المنزل فكما لا يجوز إبطال أصل العدة كذلك لا يجوز إبطال صفاتها وقوله إلا لحاجة يعني يجوز الخروج والحاجة أنواع منها إذا خافت على نفسها أو مالها من هدم أو حريق أو غرق سواء في ذلك عدة الوفاة والطلاق وكذا لو لم تكن الدار حصينة وخافت اللصوص أو كانت بين فسقة تخاف على نفسها أو كانت تتأذى بالجيران والأحماء تأذيا شديدا ولو كانت تبذو وتستطيل بلسانها عليهم جاز إخراجها وتتحرى القرب من مسكن العدة ومنها إذا احتاجت إلى شراء طعام أو قطن أو بيع غزل ونحوه فينظر إن كانت رجعية فهي زوجة فعليه القيام بكفايتها بلا خلوة ولا تخرج إلا بإذن

Fathul Qorib, Hal : 255 - 256

ويجب على المتوفى عنها) زوجها (الإحداد؛ وهو) لغة مأخوذ من الحد، وهو المنع، وشرعًا (الامتناع من الزينة) بترك لبس مصبوغ يقصد به الزينة كثوب أصفر أو أحمر. ويباح غير المصبوغ من قطن وصوف وكتان وإبريسم، ومصبوغ لا يقصد لزينة، (و) الامتناع من (الطيب) أي من استعماله في بدن أو ثوب أو طعام أو كُحْل غير محرم، أما المحرم كالاكتحال بالأثمد الذي لاَ طيب فيه فحرام إلا لحاجة كرمد، فيرخص فيه للمحدة، ومع ذلك فتستعمله ليلا وتمسحه نهارا إلا إن دعت ضرورة لاستعماله نهارا

Hukum khitan bagi wanita



Pertanyaan :
Bagaimana hukum khitan bagi Wanita..?

( Dari : Hasyim Wahid )

Jawaban :
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai hokum khitan bagi wanita mengenai masalah hokum khitan bagi wanita :

Pendapat pertama; menyatakan bahwa khitan bagi wanita hukumnya adalah wajib. Pendapat ini adalah pendapat madzhab syafi’ dan madzhab Hanbali. Diantara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh aisyah rodhiyallohu ‘anha;

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Ketika 2 khitan bertemu maka telah wajib mandi” (Sunan Turmudzi, no.108, Sunan Ibnu Majah, no.608 dan Shohih Ibnu Hibban, no.1183)

Pendapat kedua menyatakan bahwa khitan bagi wanita hukumnya tidak wajib. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Maliki, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan status hukumnya, menurut madzhab hanafi khitan bagi wanita adalah sebuah “kemuliaan” (makromah) namun tidak sampai dihukumi sunat, sedangkan menurut madzhab Maliki khitan bagi wanita hukumnya sunat. Diantara dalilnya adalah hadits;

الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ

“Khitan merupakan sebuah sunah bagi laki – laki dan kemuliaan bagi perempuan” (Musnad Ahmad, no.20719, Sunan Baihaqi, no.17565-17569 dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.26468)

Sedangkan khitan bagi wanita dilakukan dengan cara memotong sedikit bagian kulit yang berbentuk seperti cembel ayam jago yang berada diatas tempat keluarnya air kencing, pada alat kelamin wanita, dan tidak dilakukan dengan memotong semua bagian tersebut karena bisa – bisa berdampak buruk dengan hilangnya syahwat wanita. Dalam satu hadits dijelaskan;

أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ، وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

"Sesungguhnya ada seorang permpuan di Madinah yang berkhitan, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Janganlah engkau habiskan semua, sebab hal itu akan mempercantik wanita dan disukai oleh suami." (Sunan Abu Dawud, no.5271)

Dari uraian diatas sudah jelas bahwa khitan bagi wanita bukanlah hal yang disepakati oleh para ulama’ dan caranya bukan dengan memotong keseluruhan bagian tersebut yang akan menghilangkan syahwat wanita sebagaimana yang banyak disalah pahami orang, namun dilakukan dengan memotong sedikit saja bagian tersebut, dan hal ini bahkan bertujuan untuk menstabilkan syahwat wanita. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh,  Juz : 1  Hal : 460 (Fiqih 4 madzhab)
2. Al-Majmu’,  Juz : 1  Hal : 300 – 302 (Madzhab Syafi’i)
3. Kasysyaful Qona’,  Juz : 1  Hal : 80 (Madzhab Hanbali)
4. Roddul Mukhtar Alad Durril Mukhtar,  Juz : 6  Hal : 751 (Madzhab Hanafi)
5. Syarah Ash-Shoghir,  Juz : 2  Hal : 151 (Madzhab Maliki)


Ibarot :
Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh,  Juz : 1  Hal : 460


والختان: قطع جميع الجلدة التي تغطي حشفة ذكر الرجل، حتي ينكشف جميع الحشفة. وفي المرأة قطع أدنى جزء من الجلدة التي في أعلى الفرج. ويسمى ختان الرجل إعذارا، وختان المرأة: خفضا، فالخفض للنساء كالختان للرجال ويستحب أن يكون في اليوم السابع من الولادة، والأظهر أنه يحسب يوم الولادة
وهو سنة للرجل، مكرمة للمرأة عند الحنفية والمالكية، لحديث: الختان سنة في الرجال، مكرمة في النساء
وواجب عند الشافعية والحنابلة للذكر والأنثى، لقوله صلى الله عليه وسلم لرجل أسلم: «ألق عنك شعر الكفر، واختتن» ولخبر أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من أسلم فليختتن» وفي حديث آخر لأبي هريرة: «اختتن إبراهيم خليل الرحمن بعد ما أتت عليه ثمانون سنة، واختتن بالقدوم» أي آلة النجارة، ولأنه من شعار المسلمين، فكان واجبا كسائر شعاراتهم

Al-Majmu’,  Juz : 1  Hal : 300 – 302

الختان واجب على الرجال والنساء عندنا وبه قال كثيرون من السلف كذا حكاه الخطابي وممن أوجبه أحمد وقال مالك وأبو حنيفة سنة في حق الجميع  وحكاه الرافعي وجها لنا: وحكى وجها ثالثا أنه يجب على الرجل وسنة في المرأة: وهذان الوجهان شاذان: والمذهب الصحيح المشهور الذى نص عليه الشافعي رحمه الله وقطع به الجمهور أنه واجب على الرجال والنساء: ودليلنا ما سبق فإن احتج القائلون بأنه سنة بحديث الفطرة عشر ومنها الختان فجوابه قد سبق عند ذكرنا تفسير الفطرة والله أعلم
فرع : قال أصحابنا الواجب في ختان الرجل قطع الجلدة التي تغطي الحشفة بحيث تنكشف الحشفة كلها فإن قطع بعضها وجب قطع الباقي ثانيا صرح به إمام الحرمين وغيره: وحكى الرافعي عن ابن كج أنه قال عندي أنه يكفي قطع شئ من القلفة وإن قل بشرط أن يستوعب القطع تدوير رأسها: وهذا الذي قاله ابن كج شاذ ضعيف: الصحيح المشهور الذي قطع به الاصحاب في الطريق ما قدمناه أنه يجب قطع جميع ما يغطي الحشفة والواجب في المرأة قطع ما ينطلق عليه الاسم من الجلدة التي كعرف الديك فوق مخرج البول صرح بذلك أصحابنا واتفقوا عليه قالوا ويستحب أن يقتصر في المرأة على شئ يسير ولا يبالغ في القطع: واستدلوا فيه بحديث عن أم عطية رضي الله عنها أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم لا تهكي فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل رواه أبو داود ولكن قال ليس هو بالقوي وتنهكي بفتح التاء والهاء أي لا تبالغي في القطع والله أعلم

Kasysyaful Qona’,  Juz : 1  Hal : 80

ويجب ختان ذكر وأنثى) لقوله - صلى الله عليه وسلم - لرجل أسلم «ألق عنك شعر الكفر واختتن» رواه أبو داود. وفي الحديث «اختتن إبراهيم بعد ما أتت عليه ثمانون سنة» متفق عليه، واللفظ للبخاري وقال تعالى {ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا} [النحل: 123] ولأنه من شعار المسلمين، فكان واجبا كسائر شعارهم.
وقال أحمد كان ابن عباس يشدد في أمره حتى قد روي عنه أنه لا حج له ولا صلاة. وفي قول النبي - صلى الله عليه وسلم - «إذا التقى الختانان وجب الغسل» دليل على أن النساء كن يختتن، ولأن هناك فضلة فوجب إزالتها كالرجل

Roddul Mukhtar Alad Durril Mukhtar,  Juz : 6  Hal : 751

وختان المرأة ليس سنة بل مكرمة للرجال
....................................
قوله وختان المرأة) الصواب خفاض، لأنه لا يقال في حق المرأة ختان وإنما خفاض حموي (قوله بل مكرمة للرجال) لأنه ألذ في الجماع زيلعي (قوله وقيل سنة) جزم به البزازي معللا بأنه نص على أن الخنثى تختن، ولو كان ختانها مكرمة لم تختن الخنثى، لاحتمال أن تكون امرأة ولكن لا كالسنة في حق الرجال اهـ. أقول: وختان الخنثى لاحتمال كونه رجلا، وختان الرجل لا يترك فلذا كان سنة احتياطا ولا يفيد ذلك سنيته للمرأة تأمل.
وفي كتاب الطهارة من السراج الوهاج اعلم أن الختان سنة عندنا للرجال والنساء، وقال الشافعي: واجب وقال بعضهم: سنة للرجال مستحب للنساء لقوله - عليه الصلاة والسلام - «ختان الرجال سنة وختان النساء مكرمة

Syarah Ash-Shoghir,  Juz : 2  Hal : 151

والختان) للذكر (سنة مؤكدة) ، وقال الشافعي: واجب. (والخفاض في الأنثى مندوب كعدم النهك) «لقوله - صلى الله عليه وسلم - لمن تخفض الإناث: اخفضي ولا تنهكي» أي لا تجوري في قطع اللحمة لناتئة بين الشفرين فوق الفرج، فإنه يضعف بريق الوجه ولذة الجماع، والله أعلم

Kewajiban istri untuk meminta izin suaminya sebelum berpuasa



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
Afwan, mau tanya; adakah dalil yang spesifik menyatakan bagi Wanita jika puasa harus Izin Suami?
Syukron

( Dari : Hasyim Wahid )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Ada beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil kewajiban bagi seorang istri yang akan berpuasa untuk meminta izin dulu kepada suaminya, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda;

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya menyaksikannya, dengan tanpa izin dari suaminya” (Shohih Bukhori, no.5195 dan Shohih Muslim, no.1026)

Dalam riwayat lainnya terdapat tambahan;

لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ، إِلَّا بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

“Tidak diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk berpuasa, sedangkan suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izin suaminya selain puasa romadhon” (Sunan Abu Dawud, no.2458)

Berdasarkan hadits – hadits tersebut para ulama’ meetapkan diharamkannya mengerjakan puasa apabila :

1. Puasa yang dikerjakan adalah puasa sunat, sedangkan bila puasa yang dikerjakan puasa wajib seperti puasa romadhon atau puasa yang waktunya mepet maka boleh dikerjakan. Begitu juga diperbolehkan mengerjakan puasa yang tidak rutin seperti puasa arofah,  tanpa meminta izin pada suaminya, maka puasa sunat seperti itu boleh dikerjakan tanpa izin dari suami, kecuali apabila suaminya melarang.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa larangan ini dikarenakan suami mempunyai hak untuk bersenang – senang dengan istrinya, dan hak ini wajib dipenuhi oleh wanita, sedangkan apabila wanita tersebut sedang berpuasa tentu ia tak bisa melaksanakan kewajibannya, padahal kaedah yang berlaku dalam fiqih; “suatu kewajiban tak boleh ditinggalkan karena mengerjakan kesunatan”.

2. Suaminya sedang dirumah, jadi apabila suaminya sedang bepergian selama sehari penuh atau beberapa hari maka diperbolehkan bagi wanita tersebut untuk berpuasa.

Namun, apabila seorang wanita yang bersuami tetap mengerjakan puasa tanpa izin suaminya, puasa yang dikerjakan tetap sah. Adapun mengenai pahala puasanya menurut Syekh al-imroni, pahalanya diserahkan kepada Alloh, sedangkan menurut Imam nawawi wanita tersebut tidak mendapatkan pahala. Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Aziz Putra Assaidi, Su Kakov, Oziel Heer, Siroj Munir dan Ahlussunnah )


Referensi :
1. Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 9  Hal : 295
2. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 7  Hal : 155
3. Al-Majumu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 6  Hal : 392
4. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 2  Hal : 91


Ibarot :
Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 9  Hal : 295

حدثنا أبو اليمان، أخبرنا شعيب، حدثنا أبو الزناد، عن الأعرج، عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه، ولا تأذن في بيته إلا بإذنه، وما أنفقت من نفقة عن غير أمره فإنه يؤدى إليه شطره» ورواه أبو الزناد، أيضا عن موسى، عن أبيه، عن أبي هريرة، في الصوم
…………………………………………………………
وقد بينه المصنف بعد قوله لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها يلتحق به السيد بالنسبة لأمته التي يحل له وطؤها ووقع في رواية همام وبعلها وهي أفيد لأن بن حزم نقل عن أهل اللغة أن البعل اسم للزوج والسيد فإن ثبت وإلا ألحق السيد بالزوج للاشتراك في المعنى قوله شاهد أي حاضر قوله إلا بإذنه يعني في غير صيام أيام رمضان وكذا في غير رمضان من الواجب إذا تضيق الوقت وقد خصه المصنف في الترجمة الماضية قبل باب بالتطوع وكأنه تلقاه من رواية الحسن بن علي عن عبد الرزاق فإن فيها لا تصوم المرأة غير رمضان

Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, Juz : 7  Hal : 155

حدثنا محمد بن رافع، حدثنا عبد الرزاق، حدثنا معمر، عن همام بن منبه، قال: هذا ما حدثنا أبو هريرة، عن محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فذكر أحاديث منها، وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تصم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه، ولا تأذن في بيته وهو شاهد إلا بإذنه، وما أنفقت من كسبه من غير أمره، فإن نصف أجره له
…………………………………………..
وقله صلى الله عليه وسلم (لا تصم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه) هذا محمول على صوم التطوع والمندوب الذي ليس له زمن معين وهذا النهي للتحريم صرح به أصحابنا وسببه أن الزوج له حق الاستمتاع بها في كل الأيام وحقه فيه واجب على الفور فلا يفوته بتطوع ولا بواجب على التراخي فإن قيل فينبغي أن يجوز لها الصوم بغير إذنه فإن أراد الاستمتاع بها كان له ذلك ويفسد صومها فالجواب أن صومها يمنعه من الاستمتاع في العادة لأنه يهاب انتهاك الصوم بالإفساد وقوله صلى الله عليه وسلم وزوجها شاهد أي مقيم في البلد أما إذا كان مسافرا فلها الصوم لأنه لا يتأتى منه الاستمتاع إذا لم تكن معه

Al-Majumu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz : 6  Hal : 392

قال المصنف رحمه الله تعالى : ولا يجوز للمرأة ان تصوم التطوع وزوجها حاضر الا باذنه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه إن النبي صلى الله عليه وسلم قال " لا تصوم المرأة التطوع وبعلها شاهد إلا باذنه " ولان حق الزوج فرض فلا يجوز تركه بنفل
...................................
الشرح} حديث أبي هريرة رواه البخاري ومسلم
* لفظ البخاري " لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه " ولفظ مسلم لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه " وفي رواية أبي داود لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه غير رمضان " إسناد هذه الرواية صحيح على شرط البخاري ومسلم (أما) حكم المسألة فقال المصنف والبغوي وصاحب العدة وجمهور أصحابنا لا يجوز للمرأة صوم تطوع وزوجها حاضر إلا باذنه لهذا الحديث وقال جماعة من أصحابنا يكره والصحيح الأول فلو صامت بغير إذن زوجها صح باتفاق أصحابنا وإن كان الصوم حراما لأن تحريمه لمعنى آخر لا لمعنى يعود إلى نفس الصوم فهو كالصلاة في دار مغصوبة فإذا صامت بلا إذن قال صاحب البيان الثواب إلى الله تعالى هذا لفظه ومقتضى المذهب في نظائرها الجزم بعدم الثواب كما سبق في الصلاة في دار مغصوبة

 Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 2  Hal : 91 
[فرع لا تصوم المرأة تطوعا وزوجها حاضر إلا بإذنه]
قوله: لا تصوم) أي يحرم عليها فعل غير الرواتب من الصوم ومثل الصوم الصلاة كما يفيده كلام المصنف في كتاب النفقات وفي شرح شيخنا كحج ولا يلحق بالصوم صلاة التطوع لقصر زمنها فليحرر ح ل
قوله: المرأة) ومثلها الأمة التي يباح له التمتع بها والكلام في أمة معدة للاستمتاع وأما الأمة المعدة للخدمة غالبا فالظاهر جواز صومها قاله شيخنا ع ش برماوي