Pertanyaan:
Assalamu’alaikum...
Telah maklum bahwa dianjurkan menyembelih aqiqoh pada hari ke 7 dari kelahiran si buah hati. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam kitab salaf, salah satunya di dalam kitab Fath al-Mu’in, hal 63. Akan tetapi, karena beberapa hal, sebagian orang ada yang baru bisa menyembelihnya setelah hari ke 7. Dalam kasus penyembelihan aqiqoh pada hari ke 7 ini, terdapat dua anggapan di masyarakat:
1. Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari ke 14 atau 21.
2. Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari selapannya atau hari ke 40.
Pertanyaan:
Diantara dua anggapan tersebut, manakah yang benar dalam pandangan fiqh, atau justru kedua-duanya benar?
(Dari: NN)
Jawaban:
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut qoul mukhtar (pendapat yang dipilih oleh ulama’) dalam madzhab syafi’i, setelah lewat masa 7 hari, aqiqoh bisa dilakukan kapan saja ketika seseorang sudah mampu melakukan aqiqoh, sampai masa baligh. Alasannya sebab penyembelihan aqiqoh setelah lewatnya hari ke 7 sifatnya adalah qodho’, jadi kalau bisa secepatnya dikerjakan ketika sudah mampu.
Hanya saja penyembelihan aqiqah dianjurkan untuk dilakukan pada hari ke 14, dan jika tidak bisa maka pada hari ke 21, begitu seterusnya dengan hitungan kelipatan 7, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Al-Busyaihi, salah seorang ashab madzhab syafi’i. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Dari Ummu Kurz dan Abi Kurz:
“Seorang wanita dari keluargaAbdurrohman bin Abu Bakar bernadzar, apabila istri Abdurrohman melahirkan seorang bayi maka aku akan menyembelih seekor unta, mendengar hal itu Aisyah berkata: “Jangan, mengerjakan kesunahan itu lebih utama, bagi anak lelaki 2 kambing yang besar, dan bagi anak perempuan satu kambing, yang dipotong sepenggal-penggal, dan tulangnya tidak dipecah, kemudian (dagingnya) dimakan dan disedekahkan. Dan itu semua hendaknya dikerjakan pada hari ke-7, jika tidak maka dikerjakan pada hari ke-14, dan jika tidak, maka dikerjakan pada hari ke-21”. (Al-Mustadrok, No.7595. Hadits ini dishohihkan oleh Imam Hakim dan Imam Adz-Dzahabi).
Berdasarkan uraian ini, maka pandangan yang benar adalah yang pertama. Wallahu a’lam.
(Dijawab oleh: Siroj Munir)
Referensi:
1. Al-Majmu’, 8/431
2. Kifayatul Akhyar, Hal: 534
3. Al-Mughni Li Ibnu Qudamah, 9/461
4. Al-Mustadrok Ala As-Shohihain, 4/266
Assalamu’alaikum...
Telah maklum bahwa dianjurkan menyembelih aqiqoh pada hari ke 7 dari kelahiran si buah hati. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam kitab salaf, salah satunya di dalam kitab Fath al-Mu’in, hal 63. Akan tetapi, karena beberapa hal, sebagian orang ada yang baru bisa menyembelihnya setelah hari ke 7. Dalam kasus penyembelihan aqiqoh pada hari ke 7 ini, terdapat dua anggapan di masyarakat:
1. Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari ke 14 atau 21.
2. Apabila belum bisa menyembelih aqiqoh pada hari ke 7, maka penyembelihan dilakukan pada hari selapannya atau hari ke 40.
Pertanyaan:
Diantara dua anggapan tersebut, manakah yang benar dalam pandangan fiqh, atau justru kedua-duanya benar?
(Dari: NN)
Jawaban:
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut qoul mukhtar (pendapat yang dipilih oleh ulama’) dalam madzhab syafi’i, setelah lewat masa 7 hari, aqiqoh bisa dilakukan kapan saja ketika seseorang sudah mampu melakukan aqiqoh, sampai masa baligh. Alasannya sebab penyembelihan aqiqoh setelah lewatnya hari ke 7 sifatnya adalah qodho’, jadi kalau bisa secepatnya dikerjakan ketika sudah mampu.
Hanya saja penyembelihan aqiqah dianjurkan untuk dilakukan pada hari ke 14, dan jika tidak bisa maka pada hari ke 21, begitu seterusnya dengan hitungan kelipatan 7, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Al-Busyaihi, salah seorang ashab madzhab syafi’i. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Dari Ummu Kurz dan Abi Kurz:
نَذَرَتِ امْرَأَةٌ مِنْ آلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إِنْ وَلَدَتِ امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ نَحَرْنَا جَزُورًا، فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: «لَا بَلِ السُّنَّةُ أَفْضَلُ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرَ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ، وَلْيَكُنْ ذَاكَ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إِحْدَى وَعِشْرِينَ
“Seorang wanita dari keluargaAbdurrohman bin Abu Bakar bernadzar, apabila istri Abdurrohman melahirkan seorang bayi maka aku akan menyembelih seekor unta, mendengar hal itu Aisyah berkata: “Jangan, mengerjakan kesunahan itu lebih utama, bagi anak lelaki 2 kambing yang besar, dan bagi anak perempuan satu kambing, yang dipotong sepenggal-penggal, dan tulangnya tidak dipecah, kemudian (dagingnya) dimakan dan disedekahkan. Dan itu semua hendaknya dikerjakan pada hari ke-7, jika tidak maka dikerjakan pada hari ke-14, dan jika tidak, maka dikerjakan pada hari ke-21”. (Al-Mustadrok, No.7595. Hadits ini dishohihkan oleh Imam Hakim dan Imam Adz-Dzahabi).
Berdasarkan uraian ini, maka pandangan yang benar adalah yang pertama. Wallahu a’lam.
(Dijawab oleh: Siroj Munir)
Referensi:
1. Al-Majmu’, 8/431
قال أصحابنا ولا تفوت بتأخيرها عن السبعة لكن يستحب أن لا يوخر عن سن البلوغ
قال أبو عبد الله البوشيحى من أئمة أصحابنا إن لم تذبح في السابع ذبحت في الرابع عشر وإلا ففي الحادي والعشرين ثم هكذا في الأسابيع
2. Kifayatul Akhyar, Hal: 534
وفي العدة والحاوي للماوردي أنها بعد السابع تكون قضاء والمختار أن لا يتجاوز بها النفاس فإن تجاوزته فيختار أن لا يتجاوز بها الرضاع فإن تجاوز فيختار أن لا يتجاوز بها سبع سنين فإن تجاوزها فيختار أن لا يتجاوز بها البلوغ
3. Al-Mughni Li Ibnu Qudamah, 9/461
مسألة: قال: ويذبح يوم السابع، قال أصحابنا: السنة أن تذبح يوم السابع، فإن فات ففي أربع عشرة، فإن فات ففي إحدى وعشرين. ويروى هذا عن عائشة. وبه قال إسحاق.
وعن مالك، في الرجل يريد أن يعق عن ولده، فقال: ما علمت هذا من أمر الناس، وما يعجبني. ولا نعلم خلافا بين أهل العلم القائلين بمشروعيتها في استحباب ذبحها يوم السابع
والأصل فيه حديث سمرة، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «كل غلام رهينة بعقيقته، تذبح عنه يوم سابعه، ويسمى فيه، ويحلق رأسه
وأما كونه في أربع عشرة، ثم في أحد وعشرين، فالحجة فيه قول عائشة - رضي الله عنها - وهذا تقدير، الظاهر أنها لا تقوله إلا توقيفا.
4. Al-Mustadrok Ala As-Shohihain, 4/266
أخبرنا أبو عبد الله محمد بن يعقوب الشيباني، ثنا إبراهيم بن عبد الله، أنبأ يزيد بن هارون، أنبأ عبد الملك بن أبي سليمان، عن عطاء، عن أم كرز، وأبي كرز، قالا: نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا، فقالت عائشة رضي الله عنها: «لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان، وعن الجارية شاة تقطع جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق، وليكن ذاك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين» هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه " [التعليق - من تلخيص الذهبي] ٧٥٩٥ - صحيح
0 komentar:
Posting Komentar