Template information

Home » , » BIOGRAFI IMAM IZZUDDIN IBNU ABDISSALAM (Bagian kedua)

BIOGRAFI IMAM IZZUDDIN IBNU ABDISSALAM (Bagian kedua)



Karir Intelektual Imam Izzuddin

Setelah imam izzuddin belajar kepada guru-guru tersebut, beliau mulai kehidupan intelektual beliau dengan mengajar, berfatwa dan menjadi khothib. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kegiatan-kegiatan beliau tersebut.

Pertama;  Mengajar

Selama beliau tinggal di Damaskus, beliau mengajar dibeberapa madrasah, diantaranya :

1. Madrasah Al-‘Aziziyah
Imam Izzuddin ditetapkan sebagai staf pengajar dimadrasah ini, yang juga merupakan tempat mengajar guru beliau, Imam Al-Amidi, beliau sudah mulai mengajar ditempat ini saat guru beliau itu juga masih mengajar disana.

2.  Zawiyah Al-Ghozaliyah
Zawiyah Al-Ghozaliyah adalah sebiah tempat kecil yang berada disalah satu sudut masjid jami’ al-umawi (zawiyah artinya pojokan). Tempat ini dinamakan zawiyah al-ghozaliyah karena sering dipakai oleh imam Ghozali sebagai tempat i’tikaf dan juga mengajar murid-muridnya. Tempat ini merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat mengajar oleh beberapa ulama’ besar pada masa itu. Imam Izzuddin ditetapkan oleh Sultan Al-Kamil sebagai pengajar ditempat itu menggantikan Syaikh Jamaluddin bin Muhammad Ad-Daula’i  yang telah wafat.

Kedua; Berfatwa

Pada masa beliau memberikan fatwa bukanlah tugas resmi dimana pemerintah menetapkan seseorang menjadi mufti yang memiliki tugas khusus untuk memberikan fatwa, Berfatwa adalah tanggung jawab moral yang dijalankan oleh seorang ulama’ yang sudah ahli, wira’i dan bertakwa. Jika ada orang yang sudah memenuhi kriteria tersebut maka masyarakat dengan sendirinya akan mendatangi orang tersebut untuk dimintai fatwa mengenai satu permasalahan. Jadi pada masa beliau berfatwa bukanlah tugas dari pemerintah namun murni karena Allah semata.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, imam izzuddin sangat terpengaruh dengan ketegasan guru-gurunya dalam berfatwa dan tak memperdulikan jika pendapat beliau bertentangan dengan penguasa.

Dikisahkan bahwa beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan Sultan Al-Asraf mengenai masalah hakikat al-qur’an, yang pada kurun itu merupakan salah satu masalah yang menyebabkan fitnah yang sangat besar dikalangan kaum muslimin. Beberapa orang yang mengetahui bahwa pendapat beliau berbeda dengan sultan sengaja mengajukan pertanyaan tersebut kepada imam izzuddin, dan nanti jawaban itu akan disampaikan kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap beliau berkata; “permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku, demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang haq”.

Lalu beliau menulis kitab beliau yang masyhur “Milhatul I’tiqod”. Ketika kitab itu dibaca oleh Sultan Asyraf, ia marah dan menuliskan jawaban dari kitab fatwa tersebut, setelah sampai pada imam izzuddin, jawaban sang raja diminta untuk dikembalikan lagi. Hal ini membuat sultan marah besar lalu mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk mendatangi imam izzuddin dan memberitahukan 3 keputusan yang diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, imam izzuddin berkata : “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku patut berucap Alhamdulillah.

Wahai Ghoroz, ketetapan agar aku tetap dirumah merupakan suatu keberuntungan bagiku, karena keadaan itu adalah kesempatan bagiku untuk menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, karena orang yang beruntung adalah orang yang tetap tinggal didalam rumah,  menangisi segala kesalahan yang telah diperbuat dan menyibukkan diri beribadah kepada Allah. Sultan member keputusan itu karena marah sedangkan aku yang menerimanya malah senang.

Demi Allah, wahai Ghoroz, andai saja aku memiliki mahkota yang pantas untukmu akan aku lepas dan kuberikan padamu sebagai imbalan surat yang berisi kabar gembira dari sang raja, ambillah sajadah ini dan pakailah untuk sholat. Setelah beliau menyerahkan sajadah itu Ghoroz kembali keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan imam izzuddin. Mendengar cerita itu sang raja berkata kepada orang-orang yang hadir disityu; “Coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat”.

Keadaan imam izzuddin yang dilarang berfatwa, tidak boleh bertemu siapa siapa dan keluar dari rumah berlangsung selama 3 hari, hingga akhirnya Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Hushoiri, seorang ulama’ pembesar madzhab Hanafi dimasa itu menghadap kepada sultan Al-Asyraf. Syaikh Jamaluddin berkata pada sultan; “Apa yang terjadi antara anda dan Ibnu Abdissalam, orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja ia berada di negeri india atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu”.

Sultan berkata; “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu pertanyaan”. Lalu sang sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut dan membacanya dari awal sampai akhir, setelah membacanya Syaikh Jamaluddin berkata; “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang islam dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah benar”.

Mendengar pernyataan dari Syaikh Jamaluddin sang sultan mengakui kesalahannya lalu berucap; “Kami memohon ampun pada Allah atas segala yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan memberikan hak beliau”. Setelah kejadian itu sultan meminta maaf kepada belimam izzuddin. Semenjak saat itu sang sultan menuruti semua fatwa beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.

Pada saat sang sultan sakit parah dan merasa bahwa ajlnya sudah dekat, sultan memanggil imam izzuddin untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat kepada san imam dan meminta beliau untuk memberikan nasehat. Memenuhi permintaan sultan, imam izzuddin memberikan nasehat untuk membatalkan pengiriman bala tentara yang telah disiapkan untuk memerangi saudara sultan Al-Asyraf yaitu sultan Al-Kamil yang berkuasa di Mesir, dan mengalihkan tentara tersebut untuk memerangi tentara Tartar yang menjadi musuh bersama, kala itu tentara Tartar sudah mulai mulai menguasai bagian timur Negara-negara islam. Sultan Asyraf mematuhi nasehat dan saran dari imam Izzuddin lalu mengirimkan pasukan untuk memerai tentara tartar.

Selain itu imam izzuddin memberikan nasehat kepada sultan agar menindak tegas para pegawainya yang berzina, suka mabuk-mabukan, meminta pungutan liar dari kaum muslimin dan bersikap dholim pada warga, beliau meminta sultan untuk memberantas semua itu. Beliau juga bercerita pada sultan bahwa sebagian dari hal-hal tersebut telah mampu beliau hilangkan dengan usahanya.

Setelah mendengar semua nasehat dari sang imam, sultan Asyraf berkata; “Semoga Allah membalas atas jasa anda pada agama dan atas semua nasehat yang telah anda beikat, dan semoga Allah mengumpulkan aku dengan anda kelak disurga”, lalu sang sultan memberikan uang 1000 dinan mesir namun beliau menolaknya seraya berkata ; “Pertemuan kita ini adalah murni karena Allah, karena itu aku tak akan mengotorinya dengan urusan dunia”.

Setelah meninggalnya Sultan Asyraf, kepemimpinan beralih kepada wakilnya yaitu Sultan Ismail. Maka Sultan Isma’il yang pada akhirnya menjalankan nasehat dari Imam Izzuddin untuk menindak pegawai-pegawai pemerintah yang suka melakukan kemungkaran.

Ketegasan imam izzuddin dalam memberikan fatwa juga ditampakkan pada masa pemerintahan Sultan Isma’il, beliau menentang kebijakan Sultan isma’il yang bersekongkol dengan tentara salib dan meminta bantuan mereka untuk berperang melawan Sultan Najmuddin Ayyub bin Kamil yang berkuasa di Mesir, tentu saja bantuan dari tentara salib itu tidak diberikan dengan cuma-cuma, Sultan Isma’il menyerahkan beberapa benterng yang sebelumnya dikuasai kaum muslimin kepada tentara salib.

Selain itu tentara salib diperkenankan masuk ke Damaskus untuk membeli alat-alat perang yang akan digunakan untuk berperang menyerang mesir. Para pembuat persenjataan perang dan penjualnya datang kepada Imam Izzuddin untuk menanyakan hukum membuat dan menjual alat-alat perang kepada tentara salib yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Maka Imam Izzuddin memberikan fatwa bahwa hal tersebut dilarang, beliau berkata; “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama Islam”. Fatwa inilah yang membuat sang raja marah besar pada beliau, namun Imam Izzuddin tak memperdulikan hal tersebut, karena bagi beliau memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.

Keahlian dan ketegasan beliau dalam berfatwa itulah yang membuat nama beliau dikenal dimana-mana, sampai sampai beberapa orang sengaja datang jauh-jauh menghadap beliau hanya untuk meminta fatwa. Kemasyhuran beliau juga sampai kenegeri Mesir sebelum akhirnya beliau pindah kesana, ini terbukti ketika beliau pindah ke Mesir, ulama’ yang menjadi mufti disana, yaitu Al-Hafidh Al-Mundhiri sudah tak mau lagi memberikan fatwa, Imam Al-Mundhiri memberikan alas an; “Aku memberikan fatwa sebelum Syaikh Izzuddin datang, jika beliau telah datang maka beliau yang lebih pantas untuk menjadi mufti”.

Ketiga; Menjadi Khothib

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam menjadi khothib di masjid jami’ Al-Umawi pada masa pemerintahan Sultan isma’il, beliau mulai ditetapkan sebagai khothib pada bulan robi’ul awwal tahun 637 H. Pada saat menjadi khothib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai perbuatan bid’ah, seperti mengetokkan pedang kemimbar, memakai pakaian hitam, menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam Izzuddin menentang keras kebijakan sultan yang akan memerangi saudaranya sendiri, penguasa mesir dengan meminta bantuan tentara salib, dan beliau memberikan fatwa agar para penjual perlengkapan perang tidak menjualnya kepada tentara salib. Selain memberikan fatwa yang sangat berani, dalam khutbahnya beliau menyindir sang sultan dalam khutbah yang beliau sampaikan di Masjid jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak seperti biasanya, beliau berdo’a;

اللهم أبرم لهذه الأمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن معصيتك

“Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU”.

Ketika beliau menyampaikan khutbah itu sang sultan sedang berada diluar Damaskus, lalu setelang Sang Sultan diberikan kabar akan hal itu ia semakin marah karena do’a itu jelas jelas menyindirnya, karena itulah ia mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan imam izzuddin sebagai khotib dan menghukum beliau dengan hukuman tahanan. Namun setelah sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk melepaskan imam izzuddin. Dan setelah imam izzuddin keluar dari tahanan beliau pergi ke Baitul Maqdis dan berencana untuk pindah ke Mesir.

0 komentar:

Posting Komentar