Template information

Home » , , » TAFSIR AYAT AHKAM SURAT AL - FATIHAH

TAFSIR AYAT AHKAM SURAT AL - FATIHAH



SURAT AL-FATIHAH

1. Firman Allah ta’ala;

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji  bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah : 2)

Ayat ini menetapkan adanya Tuhan, sang pencipta, dan menetapkan bahwa alam semesta ini sifatnya huduts (baru diciptakan, sebelumnya tidak ada).

Sebagian ulama’ menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa kalimat “Alhamdu lillahi robbil ‘alamin” adalah shighot (bentuk) kalimat pemujian yang paling tinggi disbanding bentuk pemujian dengan kalimat selain itu. Hal ini berbeda dengan pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa pemujian dengan jumlah fi’liyah (menggunakan kalimat fi’il, semisal “Nahmadu” artinya kami memuji) itu lebih baik (daripada menggunakan jumlah ismiyah, yaitu dengan kalimat “Alhamdu”).

Imam Al-Bulqini berkata; Bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah menggunakan kalimat “Alhamdulillahi robbil ‘alamin”, sebab kalimat ini yang digunakan dalam surat al-fatihah, selain itu kalimat ini juga merupakan kalimat yang terakhir diucapkan oleh penghuni surga, karena itulah hendaknya kalimat ini yang dipakai dalam urusan kebaikan, karena kalimat ini merupakan kalimat pujian yang paling agung diantara kalimat-kalimat pujian lainnya.

Pendapat ini berbeda dengan keterangan yang ada dalam kitab “Ar-Rodloh” (Roudlotut Tholibin, karya Imam Nawawi) dan juga kitab asalnya (maksudnya kitab Syarhul Kabir, karya Imam Rofi’i) yang meriwayatkan pendapat Imam Al-Mutawawlli yang menyatakan bahwa bentuk kalimat pujian yang paling agung adalah “Al-Hamdu Lillah Hamdan Yuwafi Ni’amah Wa Yukafi Mazidah”.

2. Firman Allah ta’ala;

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” ( Al-Fatihah : 3)

Ayat ini menetapkan sifat-sifat dzatiyah bagi Allah.

3. Firman Allah ta’ala:

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai  di hari Pembalasan.” (QS. Al-Fatihah : 4)

Ayat ini menetapkan akan adanya hari pembalasan (akhirat).

4. Frman Allah ta’ala;

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)

Ayat ini merupakan isyarat untuk mendahulukan merendahkan diri sebelum meminta hajat.

Abu Tholib Ats-Tsa’labi dalam kitab tafsirnya berkata; Ayai ini mengumpulkan penjelasan yang membatalkan konsep “Al-Jabr” (menganggap bahwa semua yang dilakukan manusia adalah dari Tuhan dan manusia tak memiliki kehendak apa-apa) dan juga konsep “Al-Qodr” (menganggap bahwa semua perbuatan manusi dilakukan atas kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dari Tuhan) sekaligus.

Beliau melanjutkan bahwa dua konsep ituterbantahkan karena dalam ayat ini Allah  memberikan sifat penghambaan bagi manusia, dan ini sekaligus menetapkan adanya “Kasab” (kasab adalah kemampuan manusia untuk melakukan hal-hal yang bersifat ikhtiyariyah, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan kehendaknya sendiri, kebalikan dari ikhtiyariyah adalah “idhthiroriyah”, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan diluar kesadaran dan kontrol manusia) bagi manusia (konsep ini sekaligus meruntuhkan konsep bahwa manusia sama sekali tak memiliki peran dalam perbuatan-perbuatannya, yaitu konsep “Al-Jabr”). 

Namun disisi lain manusia diajarkan untuk meminta petolongan kepada Allah, dari sini bisa dipahami bahwa manusia tidak mampu melakukan semua hal secara mutlak sesuai kemauannya sebab jika ia mampu melakukan semua hal sendirian tentu Allah tak akan menyuryuhnya meminta bantuan kepada-Nya, dari sinilah terbantahkannya konsep “Al-Qudroh”. Hal ini sebagaimana firman Allah lainnya seperti;

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ

“Dan (sebenarnya) bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS.  Al-Anfal : 17)

Ayat diatas menafikan adanya penciptaan suatu perbuatan dari manusia dan menetapkan adanya “kasab”.

Beliau juga menjelaskan bahwa semua ayat yang ada dalam berbagai surat bertentangan dengan kaedah-kaedah kaum mu’tazilah, karena dimulai dengan basmalah, jika kita artikan makna dari basmalah secara sempurna maka artinya”Atas bantuan Allah segala sesuatu yang ada tercipta pada mulanya” (Huru f ba’ pada ayat basmalah diartikan “isti’anah”, meminta bantuan).  Sebab apabila seorang hamba mampu menciptakan sendiri semua amal perbuatannya tentunya ia tak perlu lagi meminta bantuan Allah,. Selain itu seorang hamba juga memuji Allah (jika Allah tak berperan apa-apa, untuk apa Allah dipuji?), suatu keburukan bagi seseorang untuk memuji sesuatu atas apa yang tidak dikerjakannya. Semua hal itu menjadi dalil bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.

Lalu Allah memerintahkan mereka untuk meminta pertolongan dan hidayah, sedangkan mereka (kaum mu’tazilah) menganggap bahwa tak dibutuhkan lagi hidayah sebab mereka telah diberikan dakwah dan petunjuk mengenai beberapa dalil, sebab mereka menganggap bahwa hidayah bukanlah merupakan penciptaan pengetahuan, maka permulaan dari kitab suci al-qur’an adalah saksi bagi mereka (bahwa apa yang dianggap kaum mu’tazilah tidak benar, sebab manusia disuruh untuk meminta pertolongan dan hidayah, meskipun mereka telah diberikan dakwah dan dalil).

Al-Qodhi Al-Baidhowi menjelaskan bahwa dhomir yang terdapat pada kalimat  “Na’budu” dan “Nasta’in” (ytaitu dhomir “Nun” yang berarti kami) ditujukan bagi orang yang membaca dan semua orang yang mengakui keesaan Allah yang sekaligus mencakup semua  ibadah yang telah mereka lakukan, baik ibadah yang dilipat gandakan pahalanya maupun yang tercampur dengan hajat-hajat mereka. Mereka semua meminta agar amal-amal ibadah tersebut diterima dan dikabulkan, untuk itulah disyari’atkan jama’ah (karena apabila salah satu dari mereka ibadah dan do’anya terkabul maka yang lainnya juga akan ikut terkabul).

5. Firman Allah ta’ala;

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.” (QS. Al-Fatihah : 7)

Ayat ini mengisyaratkan untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang sholih (salafus sholih).



Diterjemahkan dari kitab : “Al-Iklil Fi Istinbatit Tanzil”

0 komentar:

Posting Komentar