Template information

Ketika Adzan berkumandang, Apakah Dilanjutkan Mengajar Atau Menjawab Adzan?


Soal: Assalamualaikum, saya menjumpai dua model pak kiyai;

1. Saat ta'lim (mengajar) dikala adzan berkumandang maka berhenti sejenak untuk menjawab adzan

2. Ta'lim tetap lanjut kala adzan berkumandang dengan alasan kalau litta'lim tidak apa-apa

Yang saya tanyakan adakah keterangan dalam kitab-kitab salaf untuk nomer 2 Sekalian alasan yang nomer 1 juga boleh ustad. Terimakasih.

(Pertanyaan dari : Pencari Tahu)

Jawab: Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh,

Ketika terdengar suara adzan dikumandangkan saat proses belajar mengajar sedang berlangsung, sebaiknya proses belajar mengajar berhenti sejenak guna menjawab adzan, sebab menjawab adzan hukumnya sunah bagi orang yang mendengarkan adzan berkumandang untuk menjawab adzan tersebut, baik bagi orang yang sedang dalam keadaan berwudhu atau tidak, kecuali bagi orang yang sedang melakukan hubungan intim dan sedang qodhil hajat (buang air besar/kecil).

Sedangkan menanggapi sebagian orang yang tetap melanjutkan mengajar saat terdengar suara adzan dikumandangkan, berikut ini kami kutipkan penjelasan Imam sya’roni dalam kitab al-Uhud al-Muhammadiyyah, beliau berkata;

"Kita telah terikat perjanjian umum dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menjawab orang yang sedang adzan sebagaimana telah dijelaskan dalan As-Sunnah, dan untuk tidak membicarakan sesuatu yang tak ada gunanya atau membicarakan hal lain, untuk menunjukkan sikap sopan santun kita pada Nabi Muhammad yang telah menetapkan syari'at.

Sebab segala sesuatu itu ada waktunya; menjawab adzan ada waktunya, untuk ilmu ada waktunya, tasbih ada waktunya, membaca al-qur'an juga ada waktunya sendiri. Sebagaimana pada waktu membaca fatihah kita tidak boleh menggantinya dengan istighfar, tempatnya rukuk dan sujud tidak boleh ditempati membaca, begitu juga tempatnya tasyahud tidak boleh ditempati untuk hal lain, dan begitu seterusnya. Pahamilah hal ini!

Perjanjian ini (kesunahan menjawab adzan) telah banyak ditinggalkan oleh para penuntut ilmu agama, apalagi selain mereka!, mereka tidak lagi mau menjawab adzan, bahkan terkadang meninggalkan sholat jama'ah sampai sholat jama'ah selesai dikerjakan. Sedangkan mereka sedang asyik muthola'ah (mempelajari) ilmu nahwu, ushul atau fiqih, dan mereka berkata: "Ilmu lebih dikedepankan daripada hal lain secara mutlak", ucapan itu tentu saja tidak benar, sebab terdapat perincian dalam masalah tersebut, karena tak semua ilmu lebih dikedepankan daripada sholat jama'ah, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang pernah "mencium bau" tingkatan-tingkatan perintah-perintah syari'at.

Karena itulah, tuanku, Syaikh Ali Al-Khowwash rahimahullah keika mendengar adzan berkumandang berkata: "Hayya 'alas sholah" (Mari mengerjakan sholat), badan beliau gemetar dan hampir meleleh karena merasakan haibatullah (kewibawaan), beliau menjawab adzan dengan hudhur dan khusyu' yang sempurna, semoga Allah meridhoi beliau. Ketahuilah hal itu, semoga Allah memberikanmu petunjuk."

Dari kutipan penjelasan Imam Sya'roni diatas kiranya kita telah dapat mengambil kesimpulan bahwasanya melanjutkan mengajar saat mendengar adzan berrkumandang dengan alasan bahwa tidak menjawab adzan karena sedang mengajar itu tidak dibenarkan, karena ilmu tak selalu lebih didahulukan dari ibadah-ibadah lainnya, dan lagi semua amal kebaikan itu ada waktunya sendiri-sendiri. Wallahu a'lam. 

(Dijawab oleh: Ulinuha Asnawi , Kudung Khantil Harsandi Muhammad,Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)

Referensi:

1. Nihayatuz Zain, juz 1 hal 97

و) سنّ (لسامعهما) أَي الْمُؤَذّن والمقيم (أَن يَقُول وَلَو غير متوضىء) أَو جنبا أَو حَائِضًا أَو نفسَاء خلافًا للسبكي حَيْثُ قَالَ يسن للمحدث لَا للْجنب وَالْحَائِض وَخِلَافًا لِابْنِهِ وَهُوَ التَّاج السُّبْكِيّ حَيْثُ قَالَ تجيب الْحَائِض لطول أمدها بِخِلَاف الْجنب (مثل قَوْلهمَا) والمجامع وقاضي الْحَاجة يجيبان بعد فرَاغ شغلهما كغيرهما مَا لم يطلّ الْفَصْل عرفا وَإِلَّا لم تسْتَحب لَهما الْإِجَابَة

2. I'anatut Tholibin, juz 1 hal.279

(( فائدة )) ﻗﺎﻝ اﻟﻘﻄﺐ اﻟﺸﻌﺮاﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﻌﻬﻮﺩ اﻟﻤﺤﻤﺪﻳﺔ: ﺃﺧﺬ ﻋﻠﻴﻨﺎ اﻟﻌﻬﺪ اﻟﻌﺎﻡ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃﻥ ﻧﺠﻴﺐ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﺑﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﻻ ﻧﺘﻼﻫﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﻂ ﺑﻜﻼﻡ ﻟﻐﻮ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﺩﺑﺎ ﻣﻊ اﻟﺸﺎﺭﻉ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -. ﻓﺈﻥ ﻟﻜﻞ ﺳﻨﺔ ﻭﻗﺘﺎ ﻳﺨﺼﻬﺎ، ﻓﻺﺟﺎﺑﺔ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﻠﻌﻠﻢ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﻠﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭﻗﺖ، ﻭﻟﺘﻼﻭﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻗﺖ. ﻛﻤﺎ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﻔﺎﺗﺤﺔ اﺳﺘﻐﻔﺎﺭا، ﻭﻻ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭاﻟﺴﺠﻮﺩ ﻗﺮاءﺓ، ﻭﻻ ﻣﻮﺿﻊ اﻟﺘﺸﻬﺪ ﻏﻴﺮﻩ. ﻭﻫﻜﺬا ﻓﺎﻓﻬﻢ. ﻭﻫﺬا اﻟﻌﻬﺪ ﻳﺒﺨﻞ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﻃﻠﺒﺔ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﻀﻼ ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﻴﺘﺮﻛﻮﻥ ﺇﺟﺎﺑﺔ اﻟﻤﺆﺫﻥ، ﺑﻞ ﺭﺑﻤﺎ ﺗﺮﻛﻮا ﺻﻼﺓ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺨﺮﺝ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻫﻢ ﻳﻄﺎﻟﻌﻮﻥ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ ﻧﺤﻮ ﺃﻭ ﺃﺻﻮﻝ ﺃﻭ ﻓﻘﻪ، ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻘﺪﻡ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﺈﻥ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﻤﺎ ﻛﻞ ﻋﻠﻢ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻘﺪﻣﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺻﻼﺓ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺷﻢ ﺭاﺋﺤﺔ ﻣﺮاﺗﺐ اﻷﻭاﻣﺮ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ. ﻭﻛﺎﻥ ﺳﻴﺪﻱ ﻋﻠﻲ اﻟﺨﻮاﺹ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺇﺫا ﺳﻤﻊ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﻳﻘﻮﻝ: ﺣﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻼﺓ. ﻳﺮﺗﻌﺪ ﻭﻳﻜﺎﺩ ﻳﺬﻭﺏ ﻣﻦ ﻫﻴﺒﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﺰﻭﺟﻞ، ﻭﻳﺠﻴﺐ اﻟﻤﺆﺫﻥ ﺑﺤﻀﻮﺭ ﻗﻠﺐ ﻭﺧﺸﻮﻉ ﺗﺎﻡ، ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ. ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻭاﻟﻠﻪ ﻳﺘﻮﻟﻰ ﻫﺪاﻙ. اﻩ.

Batasan Tertawa Yang Membatalkan Sholat

Soal: Banyak sekali tayangan tv yg lucu-lucu hingga hal yang lucu tersbut terbawa dalam sholat hingga tertawalah orang yang sedang sholat. Pertanyaannya batasan tertawa yg membatalkan sholat itu bagaimana? Syukron..

(Pertanyaan dari: Mamad Potlot)

Jawab:
Imam Ibnul Mundzir dalam kitab beliau, Al-Ijma', menyatakan bahwa semua ulama' sepakat mengenai batalnya sholat orang yang tertawa ketika sedang sholat. Imam Ad-Daruquthi meriwayatkan satu hadits dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الضَّحِكُ يُنْقِضُ الصَّلَاةَ وَلَا يُنْقِضُ الْوُضُوءَ

"Tertawa itu membatalkan sholat, dan tidak membatalkan wudhu." (Sunan Ad-Daruquthni, no. 658).

Sedangkan batasan tertawa yang membatalkan wudhu yaitu apabila sampai mengeluarkan 2 huruf, jadi apabila tidak sampai mengeluarkan 2 huruf maka tidak membatalkan sholat. Alasannya adalah karena apabila sudah sampai 2 huruf maka itu sama saja dengan berbicara, padahal berbicara saat sholat itu dapat membatalkan sholat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda;

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an." (Shahih Muslim, no.537).

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ihal Ba QuinKing dan Siroj Munir)

Referensi:
1. Al-Ijma', hal. 34

وأجمعوا على أن الضحك في الصلاة ينقض الصلاة

2. Al-Mughni, juz 2 hal. 39-40

فصل: والكلام المبطل ما انتظم حرفين. هذا قول أصحابنا وأصحاب الشافعي لأن بالحرفين تكون كلمة كقوله: أب وأخ ودم. وكذلك الأفعال والحروف، ولا تنتظم كلمة من أقل من حرفين. ولو قال: لا. فسدت صلاته، لأنها حرفان لام وألف.
وإن ضحك فبان حرفان. فسدت صلاته وكذلك وإن قهقه ولم يكن حرفان. وبهذا قال جابر بن عبد الله، وعطاء، ومجاهد، والحسن، وقتادة، والنخعي، والأوزاعي، والشافعي، وأصحاب الرأي، ولا نعلم فيه مخالفا. قال ابن المنذر: أجمعوا على أن
الضحك يفسد الصلاة، وأكثر أهل العلم على أن التبسم لا يفسدها، وقد روى جابر بن عبد الله عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال «القهقهة تنقض الصلاة ولا تنقض الوضوء» رواه الدارقطني في سننه

3. Sunan Ad-Daruquthni, juz 1 hal. 318

حدثنا عبد الباقي بن قانع , نا محمد بن بشر بن مروان الصيرفي , نا المنذر بن عمار , نا أبو شيبة , عن يزيد أبي خالد , عن أبي سفيان , عن جابر , عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الضحك ينقض الصلاة ولا ينقض الوضوء

4. Al-Majmu', juz 4 hal. 79

وأما الضحك والبكاء والأنين والتأوه والنفخ ونحوها فإن بان منه حرفان بطلت صلاته وإلا فلا

5. Al-Iqna', juz 1 hal. 147

والذي يبطل الصلاة) المنعقدة أمور المذكور منها هنا (أحد عشر شيئا) الأول (الكلام) أي النطق بكلام البشر بلغة العرب وبغيرها بحرفين فأكثر أفهما كقم ولو لمصلحة الصلاة كقوله لا تقم أو اقعد أو لا كعن ومن لقوله صلى الله عليه وسلم إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس والحرفان من جنس الكلام

Status Hukum Shalat Dengan Membawa Selang Kencing


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, sahkah shalatnya orang yang saluran kencingnya memakai selang? sedangkan kalau dicopot disamping sakit juga butuh biaya lagi untuk pemasangannya.

(Dari Kang Bakre Bakre).

Jawaban:
Wa alaikum salam.
Memandang bahwa pemasangan selang tersebut karena ada hajat dan bila dilepas dapat menimbulkan kesulitan yang secara umum tidak sanggup ditanggung maka tetap wajib shalat dan shalatnya tersebut dihukumi sah meskipun membawa najis, hanya saja sebelum shalat harus berusaha meminimalisir najis yang terdapat pada selang semampunya.

Selain itu shalatnya juga tidak wajib diqadha' (diulangi lagi) karena adanya dharar (membahayakan atau merugikan kesehatan) dalam melepas selang tersebut menjadikannya termasuk kategori udzur nadir da'im (udzur yang jarang terjadi namun berjangka lama). Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho).

Referensi:

1. Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, juz 3 hal. 101

قال المصنف رحمه الله تعالى إذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها ولم يجد ما يغسلها به صلى وأعاد , كما قلنا فيمن لم يجد ماء ولا ترابا وإن كان على قرحه دم يخاف من غسله صلى وأعاد , وقال في القديم لا يعيد لأنه نجاسة يعذر في تركها فسقط معها الفرض كأثر الاستنجاء , والأول أصح ; لأنه صلى بنجس نادر غير متصل فلم يسقط معه الفرض كما لو صلى بنجاسة نسيها

 الشرح ) القرح بفتح القاف وضمها لغتان , وقوله : ( صلى بنجس نادر ) احتراز من أثر الاستنجاء , وقوله : ( غير متصل ) احتراز من دم المستحاضة. (أما حكم المسألة) فإذا كان على بدنه نجاسة غير معفو عنها وعجز عن إزالتها وجب أن يصلي بحاله لحرمة الوقت لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال { : وإذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم } رواه البخاري ومسلم . وتلزمه الإعادة لما ذكره المصنف وقد سبق في باب التيمم قول غريب أنه لا تجب الإعادة في كل صلاة أمرناه أن يصليها على نوع خلل أما إذا كان على قرحه دم يخاف من غسله وهو كثير بحيث لا يعفى عنه ففي وجوب الإعادة القولان اللذان ذكرهما المصنف الجديد الأصح : وجوبها والقديم : لا يجب وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحمد والمزني وداود والمعتبر في الخوف ما سبق في باب التيمم , وقوله : ( كما لو صلى بنجاسة نسيها ) هذا على طريقته وطريقة العراقيين أن من صلى بنجاسة نسيها تلزمه الإعادة قولا واحدا , وإنما القولان عندهم فيمن صلى بنجاسة جهلها فلم يعلمها قط , وعند الخراسانيين في الناسي خلاف مرتب على الجاهل , وسنوضحه قريبا حيث ذكره المصنف إن شاء تعالى   

2. Hawasyi asy Syarwaniy, juz 2 hal. 134

ولو وصل ) معصوم إذ غيره لا يأتي فيه التفصيل الآتي على الأوجه لأنه لما أهدر لم يبال بضرره في جنب حق الله تعالى وإن خشي منه فوات نفسه ( عظمه ) لاختلاله وخشية مبيح تيمم إن لم يصله ( بنجس ) من العظم ولو مغلظا ومثل ذلك بالأولى دهنه بمغلظ أو ربطه به ( لفقد الطاهر ) الصالح للوصل كأن قال خبير ثقة إن النجس أو المغلظ أسرع في الجبر  أو مع وجوده , وهو من آدمي محترم ( فمعذور ) في ذلك فتصح صلاته للضرورة ولا يلزمه نزعه وإن وجد طاهرا صالحا كما أطلقاه وينبغي حمله على ما إذا كان فيه مشقة لا تحتمل عادة وإن لم تبح التيمم ولا يقاس بما يأتي لعذره هنا لا ثم ( وإلا ) بأن وصله بنجس مع وجود طاهر صالح ومثله ما لو وصله بعظم آدمي محترم مع وجود نجس أو طاهر صالح ( وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا ) , وهو ما يبيح التيمم وإن تألم واستتر باللحم فإن امتنع أجبره عليه الإمام أو نائبه وجوبا كرد المغصوب ولا تصح صلاته قبل نزع النجس لتعديه بحمله مع سهولة إزالته . فإن خاف ذلك  ولو نحو شين وبطء برء لم يلزمه نزعه لعذره بل يحرم كما في الأنوار وتصح صلاته معه بلا إعادة ( قيل ) يلزمه نزعه ( وإن خاف ) مبيح تيمم لتعديه   


3. Al Asybah wan Nadzair lis Suyuthiy, hal. 400

قاعدة : فيما يجب قضاؤه بعد فعله لخلل , وما لا يجب . قال في شرح المهذب : قال الأصحاب : الأعذار قسمان : عام ونادر  فالعام : لا قضاء معه للمشقة , ومنه : صلاة المريض قاعدا , أو موميا , أو متيمما ; والصلاة بالإيماء في شدة الخوف , وبالتيمم في موضع , يغلب فيه فقد الماء . والنادر : قسمان : قسم يدوم غالبا , وقسم لا يدوم . فالأول : كالمستحاضة , وسلس البول , والمذي , ومن به جرح سائل , أو رعاف دائم , أو استرخت مقعدته فدام خروج الحدث منه , ومن أشبههم , فكلهم يصلون مع الحدث , والنجس , ولا يعيدون للمشقة والضرورة . والثاني نوعان : نوع يأتي معه ببدل للخلل , ونوع لا يأتي . فالأول : كمن تيمم في الحضر لعدم الماء , أو للبرد مطلقا , أو لنسيان الماء في رحله , أو مع الجبيرة الموضوعة على غير طهر , والأصح في الكل : وجوب الإعادة . ومنه من تيمم مع الجبيرة الموضوعة على طهر , ولا إعادة عليه , في الأصح قال في شرح المهذب , ومن الأصحاب من جعل مسألة الجبيرة : من العذر العام وهو حسن . والثاني : كمن لم يجد ماء ولا ترابا , والزمن , والمريض الذي لم يجد من يوضئه , أو من يوجهه إلى القبلة , والأعمى الذي لم يجد من يدله عليها , ومن عليه نجاسة لا يعفى عنها , ولا يقدر على إزالتها والمربوط على خشبة ومن شد وثاقه ; والغريق , ومن حول عن القبلة , أو أكره على الصلاة مستدبرا أو قاعدا .  فكل هؤلاء تجب عليهم الإعادة ; لندور هذه الأعذار . وأما العاري : فالمذهب أنه يتم الركوع والسجود , ولا إعادة عليه وقيل : يومئ , ويعيد , ومن خاف فوت الوقوف لو صلى العشاء . قيل : يصلي صلاة شدة الخوف ويعيد , واختاره البلقيني . صرح به العجلي , كما نقله ابن الرفعة في الكفاية وقيل : لا يعيد . وقيل : يلزمه الإتمام , ويفوت الوقوف , وصححه الرافعي . وقيل : يبادر إلى الوقوف , ويفوت الصلاة لأنها يجوز تأخيرها عن الوقت , للجمع بمشقة السفر  ومشقة فوات الحج أصعب , وهذا ما صححه النووي

Tata Cara Sholat Didalam Kendaraan


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum, bolehkah sholat khurmatan lil waqti dalam kendaraan dan bagaimna tata cara sholat khurmatan lil waqti dalam kendaraan kalau memang boleh?

(Dari: Waluyo El Muttaqin Hady)

Jawaban:
Wa'alaikum salam waraahmatullahi wabarakatuh
Ketika waktu sholat fardlu telah masuk sewaktu seseorang sedang berada didalam kendaraan, maka ia harus turun guna melakukan sholat secara sempurna, sebab sholat farhu tidak sah apabila dikerjakan didalam kendaraan yang sedang berjalan, ketentuan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat (sunat) diatas tunggangannya kemanapun menghadapnya, dan jika beliau hendak mengerjakan sholat fardhu beliau turun kemudian (sholat dengan) menghadap kiblat.” (Shahih Bukhari, no.400)

Sedangkan apabila tidak memungkinkan untuk turun, semisal karena takut ketinggalan jika harus turun atau sebab lainnya, maka dalam keadaan demikian ia tetap diwajibkan mengerjakan sholat yang dalam fiqih dikenal dengan istilah sholat li hurmatil waqti (sholat untuk menghormati waktu). Adapun tata cara sholatnya sama dengan sholat pada umumnya hanya saja rukun-rukunnya, seperti rukuk dan sujud dikerjakan semampunya.

Sholat li hurmatil waqti adalah sholat fardhu yang dikerjakan bagi orang yang tidak mampu memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sholat, seperti orang yang tak menemukan air atau debu untuk bersuci atau tidak mampu sholat menghadap kiblat. Sholat yang dilakukan hanya untuk menghormati waktu ini wajib diulangi ketika sudah mampu dilakukan dengan sempurna.

Kesimpulannya, orang yang sedang berada dalam kendaraan yang sedang berjalan tetap wajib mengerjakan sholat li hurmatil waqti, sedangkan caranya adalah seperti sholat pada umumnya dan dikerjakan semampunya, namun sholat tersebut wajib diulangi (qodho') lagi. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir dan Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. Nihayatul Muhtaj, juz 1 hal. 105

ومن لم يجد ماء ولا ترابا لزمه في الجديد أن يصلي الفرض . ويعيد
...........................
ثم شرع في الحكم الثالث ، وهو وجوب القضاء ، فقال ( ومن لم يجد ماء ولا ترابا ) بأن فقدهما حسا كأن حبس في موضع ليس فيه واحد منهما ، أو شرعا كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش ؛ أو وجد ترابا نديا ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار ( لزمه في الجديد أن يصلي الفرض ) المؤدي لحرمة الوقت

2. Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, juz 3 hal.241-242

 الثامنة ) شرط الفريضة المكتوبة أن يكون مصليا مستقبل القبلة مستقرا في جميعها فلا تصح إلى غير القبلة في غير شدة الخوف ولا تصح من الماشي المستقبل ولا من الراكب المخل بقيام أو استقبال بلا خلاف ، فلو استقبل القبلة وأتم الأركان في هودج أو سرير أو نحوهما على ظهر دابة واقفة ففي  صحة فريضته وجهان ( أصحهما ) تصح ، وبه قطع الأكثرون منهم القاضي أبو الطيب والشيخ أبو حامد وأصحاب التتمة والتهذيب والمعتمد والبحر وآخرون ، ونقله القاضي عن الأصحاب ; لأنه كالسفينة ( والثاني ) لا يصح وبه قطع البندنيجي وإمام الحرمين والغزالي فإن كانت الدابة سائرة والصورة كما ذكرنا فوجهان ، حكاهما القاضي حسين والبغوي والشيخ إبراهيم المروزي وغيرهم ( الصحيح ) المنصوص : لا تصح ; لأنها لا تعد قرارا ( والثاني ) تصح كالسفينة وتصح الفريضة في السفينة الواقفة والجارية والزورق المشدود بطرف الساحل بلا خلاف إذا استقبل القبلة وأتم الأركان ، فإن صلى كذلك في سرير يحمله رجال أو أرجوحة مشدودة بالحبال أو الزورق الجاري في حق المقيم ببغداد ونحوه ففي صحة فريضته وجهان ، الأصح : الصحة كالسفينة ، وبه قطع القاضي أبو الطيب فقال في باب موقف الإمام والمأموم ، قال أصحابنا : لو كان يصلي على سرير فحمله رجال وساروا به صحت صلاته -إلى أن قال

فرع ) قال أصحابنا : ولو حضرت الصلاة المكتوبة وهم سائرون ، وخاف لو نزل ليصليها على الأرض إلى القبلة انقطاعا عن رفقته أو خاف على نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها ، بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت ، وتجب الإعادة ; لأنه عذر نادر

3. At-Taqrirot as-Sadidah, hal. 201

ﻭﺍﻣﺎ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﺍﻥ ﺗﻌﻴﻨﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﺛﻨﺎﺀ ﺍﻟﺮﺣﻠﺔ, ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺮﺣﻠﺔ ﻃﻮﻳﻠﺔ ﺑﺎﻥ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻗﺒﻞ ﺻﻌﻮﺩﻫﺎ ﺍﻭ ﺍﻧﻄﻼﻗﻬﺎ ﺍﻭﺑﻌﺪ ﻫﺒﻮﻃﻬﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻭﻟﻮ ﺗﻘﺪﻳﻤﺎ ﺍﻭﺗﺄﺧﻴﺮﺍ ﻓﻔﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻥ ﻳﺼﻠﻰ لحرمة ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﻓﻴﻬﺎ ﺣﺎﻟﺘﺎﻥ
ﺍﻥ ﺻﻠﻰ ﺑﺎﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﻓﻔﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﺧﻼﻑ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﺳﺘﻘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻄﺎﺋﺮﺓ ﻓﻰ ﺍﻻﺭﺽ ,ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﺍﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ
ﻭﺍﻥ ﺻﻠﻰ ﺑﺪﻭﻥ ﺍﺗﻤﺎﻡ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﺍﻭ ﺑﺪﻭﻥ ﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻣﻊ ﺍﻻﺗﻤﺎﻡ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ

Hukum Sholat Jenazah Dengan Hanya Satu Kali Salam



Pertanyaan:
Assalamu alaikum, sholat jenazah di masjis nabawi menggunakan satu kali salam. Pertanyaanya shalat jenazah dengan cara seperti itu mengikuti madzhab syafii atau hanbali?

(Dari: Ali Mustofa)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Menurut madzhab hanbali hukum salam kedua dalam sholat jenazah juga sunat. Syaikh Mansur bin Yusuf Al-Bahuti, seorang ulama' madzhab hanbali dalam kitab beliau Kasysyaf al-Qona' 'An Matn al-Iqna' menjelaskan, mengerjakan 2 salam ketika sholat hukumnya wajib kecuali dalam sholat jenazah, karena dalam sholat jenazah cukup melakukan salam satu kali (salam kedua tidak wajib), hanya saja salam yang kedua sunat untuk dikerjakan.

Sedangkan menurut madzhab syafi'i, salam kedua pada sholat jenazah hukumnya juga sunat. Syaikh Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah 'Ala Syarh Ibnu Qosim menjelaskan bahwa salam yang dikerjakan dalam sholat jenazah hukumnya sama dengan salam yang dikerjakan pada sholat-sholat lainnya, baik dalam hal tata cara dan bilangannya, maksudnya salam yang pertama hukumnya wajib sedangkan salam yang kedua hukumnya sunat.

Syaikh al-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa ketentuan hukum ini didasarkan pada satu riwayat;

عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: " ثَلَاثُ خِلَالٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ، تَرَكَهُنَّ النَّاسُ , إِحْدَاهُنَّ: التَّسْلِيمُ عَلَى الْجِنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيمِ فِي الصَّلَاةِ

"Dari Abdullah, beliau berkata: "Ada tiga perkara yang dikerjakan oleh Nabi namun ditinggalkan oleh banyak orang, salah satunya adalah salam pada sholat jenazah yang dikerjakan sebagaimana salam pada sholat (lainnya)". (Sunan Baihaqi, no.6989)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sholat jenazah yang dikerjakan dengan satu salam itu bisa saja dilakukan oleh orang yang bermadzhab syafi'i maupun hanbali, sebab sholat jenazah yang dikerjakan dengan satu salam hukumnya sah baik menurut madzhab syafi'i maupun hanbali, karena salam yang kedua hukumnya sunat. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Imam Al-Bukhori dan Izal Ya Fahri)

Referensi:
1. Hasyiyah Al-Bajuri Ala Syarah Ibnu Qosim, jilid 1 hal. 485

قوله: (والسلام هنا) أي في صلاة الجنازة. وقوله: (في كيفيته) أي كالتفاته في التسليمة الأولى على يمينه وفي الثانية على يساره. وقوله: (وعدده) أي كونه تسليمتين لكن الأولى واجبة والثانية مندوبة كما في صلاة غير الجنازة

2. Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 248

فصل: قال في الأم: يكبر في الرابعة ويسلم وقال في البويطي يقول: اللهم لا تحرمنا أجره ولا تفتنا بعده والتسليم كالتسليم في سائر الصلوات لما روي عن عبد الله أنه قال: ثلاث خلال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعلهن وتركهن الناس: إحداهن التسليم على الجنازة مثل التسليم في الصلاة

3. Kasysyaf al-Qona', jilid 1 hal. 388-389

و) الثالث عشر (التسليمتان) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «وتحليلها التسليم» وقالت عائشة «كان النبي - صلى الله عليه وسلم - يختم صلاته بالتسليم» وثبت ذلك من غير وجه ولأنهما نطق مشروع في أحد طرفيها فكان ركنا كالطرف الآخر (إلا في صلاة جنازة وسجود تلاوة وشكر) فيخرج منها بتسليمة واحدة، ويأتي في محله. (و) إلا في (نافلة فتجزي) تسليمة (واحدة على ما اختاره جمع منهم المجد) عبد السلام بن تيمية قال (في المغني والشرح: لا خلاف أنه يخرج من النفل بتسليمة واحدة قال القاضي الثانية سنة في الجنازة والنافلة رواية واحدة انتهى

Hukum sholat sambil bersandar


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.
Bagaimana hukumnya shalat sambil bersandar?

(Dari Yuyut Si Dokter Cinta).


Jawaban:
Wa alaikum salam warahatullah wabarakatuh.
Penjelasan mengenai hukum sholat sambil bersandar mencakup 2 pembahasan, yaitu sholat fardhu dan sholat sunat, karena dalam hal kewajiban berdiri keduanya memiliki hukum berbeda, dalam sholat fardhu berdiri hukumnya wajib sedangkan dalam sholat sunat tidak wajib. Berikut ini uraiannya:

1. Hukum sholat fardhu sambil bersandar

Semua ulama' sepakat bahwasanya bagi orang yang memiliki udzur sehingga membuatnya tak mampu berdiri jika tidak bersandar ketika sholat, diperbolehkan sholat sambil bersandar.

Permasalahan yang diperselisihkan diantara ulama' adalah ketika orang tersebut tidak memiliki udzur:

- Menurut pendapat madzhab hanafi, maliki, hanbali, dan satu pendapat dalam madzhab syafi'i, apabila seseorang sholat sambil bersandar tongkat atau benda-benda lain yang sekiranya orang tersebut akan roboh apabila benda itu diambil, maka sholatnya dihukumi tidak sah. Alasannya sebab salah satu kewajiban dalam sholat adalah berdiri, sedangkan orang yang sholat dengan cara seperti itu tidak dianggap berdiri, jadi ia tidak melakukan salah satu kewajiban sholat, karena itu sholatnya dihukumi tidak sah.

Sedangkan jika benda yang dibuat bersandar diambil, orang tersebut tidak jatuh maka sholatnya dihukumi sah, namun tetap saja hal tersebut hukumnya makruh, sebab sholat sambil bersandar merupakan sikap "su'ul 'adab" (tidak sopan), padahal ia sedang mengerjakan sholat yang berarti mbermunajat pada Allah.

- Menurut pendapat yang mu'tamad dalam madzhab syafi'i sholat yang dikerjakan sambil bersandar, baik orang tersebut akan roboh ketika sandarannya diambil atau tidak, hukumnya sah, namun tetap makruh. Alasannya meskipun seumpama sandaranya diambil orang tersebut akan jatuh, dalam keadaan seperti itu tetap saja orang tersebut dianggap berdiri (sebab kenyataannya ia berdiri, sedangkan kemungkinan akan jatuh itu belum terjadi).

2. Hukum sholat sunat sambil bersandar

Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menjelaskan bahsa para ulama' telah sepakat bahwasanya  mengerjakan sholat sunat sambil bersandar itu hukumnya diperbolehkan, kecuali menurut pendapat Imam Ibnu Sirin yang memakruhkannya, sedangkan Imam Mujhid menyatakan bahwa orang yang sholat sunat sambil bersandar maka pahala yang ia dapatka akan berkurang (tidak sama dengan orang yang berdiri tanpa bersandar).

Dari uraian diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ketika sholat, baik sholat fardhu ataupun sholatsunat sebaiknya tidak bersandar, agar terhindar dari perselisihan pendapat ulama' mengenai keasahan sholat dan kemakruhan sholat sambil bersandar. wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).

Referensi:
1. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 4 hal. 104
 
الاتجاه الأول: يرى الحنفية، والمالكية، والحنابلة منعه، وهو قول للشافعية. قالوا: من اعتمد على عصا أو حائط ونحوه بحيث يسقط لو زال العماد، لم تصح صلاته، قالوا: لأن الفريضة من أركانها القيام، ومن استند على الشيء بحيث لو زال من تحته سقط، لا يعتبر قائما. أما إن كان لا يسقط لو زال ما استند إليه، فهو عندهم مكروه، صرح به الحنفية، والمالكية، والحنابلة. قال الحلبي في شرح المنية: يكره اتفاقا - أي بين أئمة الحنفية - لما فيه من إساءة الأدب وإظهار التجبر. وعلل ابن أبي تغلب - من الحنابلة - للكراهة بكون الاستناد يزيل مشقة القيام
والاتجاه الثاني: قول الشافعية المقدم لديهم أن صلاة المستند تصح مع الكراهة، قالوا: لأنه يسمى قائما ولو كان بحيث لو أزيل ما اعتمد عليه لسقط
الى أن قال- يتفق الفقهاء على أنه إذا وجدت الضرورة، بحيث لا يستطيع المصلي أن يصلي قائما إلا بالاستناد، أن الاستناد جائز له

2. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 256-

قال المصنف رحمه الله: والقيام فرض في الصلاة المفروضة لما روى عمران ابن الحصين رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلي جنب " واما في النافلة فليس بفرض لأن النبي صلى الله عليه وسلم " كان يتنفل علي الراحلة وهو قاعد " ولان النوافل تكثر فلو وجب فيها القيام شق وانقطعت النوافل
..........................
الشرح: حديث عمران رضي الله عنه رواه البخاري بلفظه وابو حصين صحابي على المشهور وقيل لم يسلم كنية عمران أبو نجيد بضم النون أسلم عام خيبر وهو خزاعي نزل البصرة وولي قضاءها ثم استقال فأقيل وتوفي بها سنة اثنتين وخمسين واما حديث تنقل النبي صلى الله عليه وسلم على الراحلة فثابت رواه البخاري ومسلم من رواية ابن عمر وجابر وانس وعامر ابن ربيعة رضي الله عنهم أما حكم المسألة فالقيام في الفرائض فرض بالإجماع لا تصح الصلاة من القادر عليه إلا به حتى قال أصحابنا لو قال مسلم أنا أستحل القعود في الفريضة بلا عذر أو قال القيام في الفريضة ليس بفرض كفر إلا أن يكون قريب عهد بإسلام
فرع في مسائل تتعلق بالقيام
إحداها: قال أصحابنا يشترط في القيام الانتصاب وهل يشترط الاستقلال بحيث لا يستند فيه أوجه أصحها وبه قطع أبو علي الطبري في الإفصاح والبغوي وآخرون وصححه القاضي أبو الطيب في تعليقه والرافعي لا يشترط فلو استند إلى جدار أو إنسان أو اعتمد على عصا بحيث لو رفع السناد لسقط صحت صلاته مع الكراهة لأنه يسمى قائما والثاني يشترط ولا تصح مع الاستناد في حال القدرة بحال حكاه القاضي أبو الطيب عن ابن القطان وبه قطع إمام الحرمين والغزالي والثالث يجوز الاستناد إن كان بحيث لو رفع السناد لم يسقط وإلا فلا هذا في استناد لا يسلب اسم القيام فإن استند متكئا بحيث لو رفع عن الأرض قدميه لأمكنه البقاء لم تصح صلاته بلا خلاف لأنه ليس بقائم بل معلق نفسه بشئ فلو لم يقدر على الاستقلال فوجهان الصحيح أنه يجب أن ينتصب متكئا لأنه قادر على الانتصاب والثاني لا يلزمه الانتصاب بل له الصلاة قاعدا: أما الانتصاب المشروط فالمعتبر فيه نصب فقار الظهر ليس للقادر أن يقف مائلا إلى أحد جانبيه زائلا عن سنن القيام ولا أن يقف منحنيا في حد الراكعين فإن لم يبلغ انحناؤه حد الراكعين لكن كان إليه أقرب فوجهان أصحهما لا تصح صلاته لأنه غير منتصب والثاني تصح لأنه في معناه ولو أطرق رأسه بغير انحناء صحت صلاته بلا خلاف لأنه منتصب ولو لم يقدر على النهوض إلا بمعين ثم إذا نهض لا يتأذى بالقيام لزمه الاستعانة إما بمتبرع وإما بأجرة المثل إن وجدها هذا كله في القادر على الانتصاب فأما العاجز كمن تقوس ظهره لزمانة أو كبر وصار في حد الراكعين فيلزمه القيام فإذا أراد الركوع زاد في الانحناء إن قدر عليه هذا هو الصحيح وبه قطع العراقيون والمتولي والبغوي ونص عليه الشافعي قال الرافعي هو المذهب ونقله ابن كج عن نص الشافعي وقال إمام الحرمين والغزالي يلزمه أن يصلي قاعدا قالا فإن قدر عند الركوع على الارتفاع إلى حد الراكعين لزمه والمذهب الأول لأنه قادر على القيام ولو عجز عن الركوع والسجود دون القيام لعلة بظهره تمنع الانحناء لزمه القيام ويأتي بالركوع والسجود بحسب الطاقة فيحني صلبه قدر الإمكان فإن لم يطق حنى رقبته ورأسه فإن احتاج فيه إلى شئ يعتمد عليه أو ليتكئ إلى جنبه لزمه ذلك فإن لم يطق الانحناء أصلا أومأ إليهما ولو أمكنه القيام والاضطجاع دون القعود قال البغوي يأتي بالقعود قائما لأنه قعود وزيادة وسيأتي إن شاء الله تعالى بيان مسائل العجز عن القيام وفروعها في باب صلاة المريض حيث ذكرها المصنف رحمه الله
فرع: في مذاهب العلماء في الاعتماد على شئ في حال القيام
قد ذكرنا تفصيل مذهبنا قال القاضي عياض في مسائل قيام الليل في شرح مسلم اختلف السلف في جواز التعلق بالحبال ونحوها في صلاة النفل لطولها فنهى عنه أبو بكر الصديق وحذيفة رضي الله عنهما ورخص فيه آخرون قال واما الاتكاء على العصي فجائز في النوافل باتفاقهم إلا ما حكي عن ابن سيرين من كراهته وقال مجاهد ينقص من أجره بقدره قال وأما في الفرائض فمنعه مالك والجمهور وقالوا من اعتمد على عصا أو حائط ونحوه بحيث يسقط لو زال لم تصح صلاته قال وأجاز ذلك أبو ذر وأبو سعيد الخدري وجماعة من الصحابة والسلف قال وهذا إذا لم يكن ضرورة فإن كانت جاز وكان أفضل من الصلاة جالسا والله أعلم

Hukum Mengikuti Gerakan Imam Tanpa Niat Menjadi Makmum

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.. Seorang makmum berniat mufaroqoh (memisahkan diri dari imam), tapi gerakannya mengikuti imam, boleh atau tidak?  Misalnya saya niat mufaroqoh soalnya kalau saya ikut si imam itu menurut saya ada hal yang membatalkan sholat/hilang rukunnya sholat (misalkan rukun fatihah dan sebagainya yang dihilangkan imam) jadi saya mesti mufaroqoh dan untuk menghindari negatif thinking orang lain (imam maupun makmun lainnya) gerakan yang saya lakukan itu saya sesuaikan dengan si imam, walaupun sebenarnya saya mufaroqoh. Terimakasih atas jawabnnya.

(Dari: Hilman Saifulmillah dan Hamzah Al-Bangkawi)


Jawaban:
Wa'alaaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Menurut pendapat yang ashoh dalam madzhab syafi'i, jika ada orang yang tidak niat menjadi makmum atau sebelumnya ia niat makmum lalu niat mufaroqoh, namun gerakannya mengikuti maka sholat makmum tersebut hukumnya batal.

Alasannya adalah dikarenakan sholatnya terhubung dengan orang yang tidak menjadi imamnya, jadi seakan-akan ia terhubung dengan orang yang tidak sedang mengerjakan sholat, selain itu orang yang mengerjakan hal tersebut dianggap sebagai orang yang mempermainkan sholat (mutala'ib bis-sholah).

Namun menurut sebagian ulama', orang yang melakukannya sholatnya dihukumi batal hanya apabila ia memang mengerti ketentuan mengenai batalnya sholat apabila mengikuti gerakan imam tanpa niat menjadi makmum.

Dan juga hukum tersebut mengecualikan jika makmum tersebut tetap mengikuti imam - meskipun sudah niat mufaroqoh - dengan tujuan untuk menghindarkan dirinya dari gunjingan dan celaan dari orang-orang yang melihatnya atau menghindari tekanan dari penguasa.

Kesimpulannya, makmum yang mufaroqoh namun tetap mengikuti gerakan imam sholatnya dihukumi batal, kecuali apabila ia memang tidak tahu atau ia melakukannya untuk menghindari celaan masyarakat atau tekanan penguasa. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir)


Referensi:
1. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 hal. 200-201

اتفق نص الشافعي والأصحاب على أنه يشترط لصحة الجماعة أن ينوي المأموم الجماعة والاقتداء والائتمام -إلى أن قال- فإن تابع الإمام في أفعاله من غير تجديد نية فوجهان حكاهما القاضي حسين في تعليقه والمتولي وآخرون. أصحهما وأشهرهما تبطل صلاته لأنه ارتبط بمن ليس بإمام له فأشبه الارتباط بغير المصلي وبهذا قطع البغوي وآخرون والثاني لا تبطل لأنه أتى بالأركان على وجهها وبهذا قطع الأكثرون

2. Hasyiyah I'anatut Tholibin, jilid 2 hal. 25

فلو ترك هذه النية، أو شك فيها، وتابع مصليا في فعل، كأن هوى للركوع متابعا له، أو في سلام بأن قصد ذلك من غير اقتداء به وطال عرفا انتظاره له، بطلت صلاته
........................
قوله: بطلت صلاته) أي لأنه متلاعب لكونه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما. قال في النهاية: هل البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أو مختص بالعالم؟ قال الأذرعي: لم أر فيه شيئا، وهو محتمل، والأقرب أنه يعذر

3. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, jilid 1  hal. 330

فلو تركها) أي هذه النية (أو شك) فيها (وتابع في فعل أو سلام بعد انتظار كثير) للمتابعة بطلت صلاته لأنه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما فلو تابعه اتفاقا أو بعد انتظار يسير أو انتظره كثيرا بلا متابعة لم يضر
.......................
ولم يذكر محترز قوله للمتابعة ومحترزه ما لو انتظره كثيرا لأجل غيرها كدفع لوم الناس عليه كأن كان لا يحب الاقتداء بالإمام لغرض ويخاف لو انفرد عنه حسا صولة الإمام أو لوم الناس عليه لاتهامه بالرغبة عن الجماعة فإذا انتظر الإمام كثيرا لدفع هذه الريبة فإنه لا يضر كما قرره شيخنا ح ف

Solusi Bagi Orang Meragukan Masuknya Waktu Sholat


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum..
Memasuki waktu sholat, haruskah menunggu adzan dari mesjid setempat atau boleh menggunakan waktu panduan masuk waktu sholat dari google. Tadi sholat subuh, adzan berkumandang di mesjid pukul 5.45.. ternyata slama ini saya sholat pukul 5 karena prasangka kuat saya sudh masuk sholat subuh, apakah bisa di anggap sholat subuh saya? mohon pencerahannya. dan trima kasih sebelumnya..

(Dari: Ana Sholihah)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warahamatullah wabarokatuh
Para Ulama telah menetapkan satu kaidah pokok dalam ibadah, yaitu:

ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ

"Yang menjadi acuan utama dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah adalah dengan melihat kenyataan yang ada dan apa dugaan yang kuat orang yang terbebani ibadah"

Kaidah tersebut adalah kaidah yang masyhur dan banyak tercantum dalam kitab-kitab ulama' salaf.

Penjelesan kaidah tersebut adalah; segala bentuk ibadah tidak akan dianggap sah oleh syara' kecuali memenuhi dua persyaratan:
1. Ibadah harus dikerjakan sesuai dengan kenyataannya.
2. Dugaan yang kuat dalam diri pelaku bahwasanya apa yang ia kerjakan itu sudah sesuai dengan aturan syara'.

Contohnya dalam pelaksanaan sholat itu tidak sah dikerjakan sebelum masuknya waktu sholat, sehingga ketika ada seseorang hendak menjalankan sholat, maka wajib baginya untuk mengetahui atau minimal memiliki dugaan kuat bahwa waktu sholat sudah masuk. Tidak hanya demikian saja, dalam kenyataannya pun harus terbukti bahwa waktunya sudah benar-masuk masuk.

Jadi seandainya hanya memenuhi salah satu dari dua persyaratan di atas, maka ibadah sholatnya tidak sah. Dengan artian ketika kita sudah punya dugaan kuat bahwasanya waktu sholat sudah masuk kemudian kita melaksanakan sholat ternyata setelah kita usai sholat diketahui waktunya belum masuk, maka wajib bagi kita untuk mengulang sholatnya bila waktunya belum habis, atau mengqodlo sholatnya jika waktunya sudah habis.

Atau permasalahan dibalik, tanpa berusaha untuk mengetahui waktu sholatnya sudah masuk atau belum, langsung secara spontan kita menjalankan sholat. Sholat yang demikian ini hukumnya tidak sah meski pada kenyataannya kita sholatnya di dalam waktu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sholat yang dikerjakaan hanya berdasarkan dugaan kuat telah masuknya waktu sholat namun ternyata kenyataannya belum masuk waktunya hukumnya tidak sah dan wajib di qodho' (diulangi lagi). Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad)

Referensi:
1. I'anatut Tholibin, jilid 3 hal. 16

 من تصرف في مال غير ببيع أو غيره ظانا تعديه فبان أن له عليه ولاية كأن كان مال مورثه فبان موته أو مال أجنبي فبان إذنه له أو ظانا فقد شرط فبان مستوفيا للشروط صح تصرفه لان العبرة في العقود بما في نفس الأمر وفي العبادات بذلك وبما في ظن المكلف ومن ثم لو توضأ ولم يظن أنه مطلق: بطل طهوره وإن بان مطلقا لان المدار فيها على ظن المكلف
................................
ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺇﻟﺦ) ﺃﻱ ﻭﻻﻥ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻻﻣﺮ، ﻭﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ. ﻭﻫﺬﺍ ﻳﻔﻴﺪ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﻤﺠﻤﻮﻉ ﺍﻻﻣﺮﻳﻦ : ﻣﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻻﻣﺮ ﻭﻣﺎ ﻓﻲ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ
ﻭﺻﻮﺭﺗﻪ ﺍﻵﺗﻴﺔ : ﻭﻫﻲ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﺗﻮﺿﺄ ﺇﻟﺦ، ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻬﺎ، ﻭﻫﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻻﻥ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭ ﺍﻟﺦ ﺗﻔﻴﺪ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﺜﺎﻧﻲ ﻓﻘﻂ، ﻭﻫﺬﺍ ﺧﻠﻒ، ﻭﻻ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ، ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭ، ﻻﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺃﻥ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻻﻣﺮ ﻛﺎﻑ ﻭﺣﺪﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ، ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﺘﺄﻣﻞ
قوﻪ : ﻭﻣﻦ ﺛﻢ) ﺃﻱ ﻭﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﻤﺎ ﺫﻛﺮ : ﻟو توضأ الخ (ﻗﻮﻟﻪ : ﺃﻧﻪ ﻣﻄﻠﻖ) ﺃﻱ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺗﻮﺿﺄ ﺑﻪ ﻣﺎﺀ ﻣﻄﻠﻖ (ﻭﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺇﻥ ﺑﺎﻥ) ﺃﻱ ﻣا توضأ به(ﻭﻗﻮﻟﻪ : ﻣﻄﻠﻘﺎ) ﺃﻱ ﻣﺎﺀ ﻣﻄﻠﻘﺎ (ﻗﻮﻟﻪ : ﻻﻥ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭ ﺇﻟﺦ) ﻻ ﺣﺎﺟﺔ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﻠﺔ ﺑﻌﺪ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﺇﻟﺦ
ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ) ﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ﻻ ﺗﺨﻠﻮ ﻋن النظر ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺷﻤﻞ ﻗﻮﻟﻨﺎ ﺑﺒﻴﻊ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ) ﺍﻻﻭﻟﻰ ﺇﺳﻘﺎﻁ ﻟﻔﻆ ﺑﺒﻴﻊ - ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻇﺎﻫﺮ

Hukum Mengerjakan Sholat Witir Hanya Satu Rakaat



Pertanyaan:
Assalamualaikum...
Ada yg tahu sholat witir cuma 1 raka'at boleh atau tidak? terima kasih

(Dari: Ze-nal Inkado)


Jawaban:
Wa'alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Mengerjakan sholat witir hanya dengan satu rakaat saja hukumnya sah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha;

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ

"bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat malam sebelas rakaat, beliau akhiri dengan satu rakaat witir". (Shahih Muslim, no.736)

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ

" Witir adalah satu rakaat yang dilakukan di akhir malam." (Shahih Muslim, no.752)

Imam Nanawi berkata: "Hadits tersebut merupakan dalil bahwa sholat witir yang dikerjakan satu rakaat saja hukumnya sah, ini adalah madzhab kami (madzhab syafi'i) dan pendapat mayoritas ulama', sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sholat witir satu rakaat hukumnya tidak sah, namun hadits-hadits shahih yang ada membantah pendapat ini".

Sebagian ulama' lainnya menyatakan bahwa hukum sholat witir satu rakaat adalah makruh, namun Syekh Syarbini membantah pendapat ini dengan menyatakan; pendapat seperti itu perlu ditinjau kembali, sebab tidak ada dalil yang melarangnya, bahwab Imam Abu Dawud meriwayatkan satu hadits dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

"Witir adalah sebuah hak atas setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka'at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka'at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka'at maka hendaknya ia melakukannya." (Sunan Abu Dawud, no.1422)

Meski begitu, lebih afdhol jika jumlah rakaat sholat witir ditambah, entah itu 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, dan yang paling afdhol adalah 11 rakaat.

Jadi kesimpulannya mengerjakan sholat witir hanya dengan satu rokaat saja hukumnya boleh dan sah menurut pendapat mayoritas ulama', hanya saja sebaiknya ditambah bilangan rakaatnya untuk menghindari perselisihan pendapat diantara ulama' yang sebagian menyatakan bahwa sholat witir satu rakaat hukumnya tidak sah. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)


Referensi:
1. Mughnil Muhtaj, jilid 1 hal. 451-452

ومنه الوتر، وأقله ركعة وأكثره إحدى عشرة
.................
وأقله ركعة) لخبر مسلم من حديث ابن عمر وابن عباس «الوتر ركعة من آخر الليل» . وفي الكفاية عن أبي الطيب أنه يكره الإيتار بركعة وفيه وقفة إذ لا نهي. وقد روى أبو داود وغيره من حديث أبي أيوب «من أحب أن يوتر بواحدة فليفعل» .
وفي صحيح ابن حبان من حديث ابن عباس «أنه - صلى الله عليه وسلم - أوتر بواحدة» وأدنى الكمال ثلاث، وأكمل منه خمس، ثم سبع، ثم تسع، ثم إحدى عشرة وهي أكثره كما قال (وأكثره إحدى عشرة) للأخبار الصحيحة: منها خبر عائشة «ما كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يزيد في رمضان ولا غيره على إحدى عشرة ركعة» فلا تصح الزيادة عليها كسائر الرواتب

2. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, jilid 6 hal. 19

حدثنا يحيى بن يحيى، قال: قرأت على مالك، عن ابن شهاب، عن عروة، عن عائشة، «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان يصلي بالليل إحدى عشرة ركعة، يوتر منها بواحدة، فإذا فرغ منها اضطجع على شقه الأيمن، حتى يأتيه المؤذن فيصلي ركعتين خفيفتين
......................
قوله ويوتر منها بواحدة دليل على أن أقل الوتر ركعة وأن الركعة الفردة صلاة صحيحة وهو مذهبنا ومذهب الجمهور وقال أبو حنيفة لا يصح الإيتار بواحدة ولا تكون الركعة الواحدة صلاة قط والأحاديث الصحيحة ترد عليه


2. Syarah Shohih Muslim Lin-Nawawi, jilid 6 hal. 32

حدثنا شيبان بن فروخ، حدثنا عبد الوارث، عن أبي التياح، قال: حدثني أبو مجلز، عن ابن عمر، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «الوتر ركعة من آخر الليل
.....................
قوله صلى الله عليه وسلم الوتر ركعة من آخر الليل دليل على صحة الإيتار بركعة

Baca Juga:

Jumlah bilangan roka'at sholat sunat rowatib (qobliyah dan ba'diyah)

Menggabungkan sholat qobliyah jum'at dan sholat tahiyat masjid

Tata cara dan ketentuan-ketentuan hukum sholat sunat wudhu'

Bolehkah sholat qobliyah dikerjakan sesudah sholat fardhu dan sholat ba'diyah sebelum sholat fardhu ?

Bolehkah sholat tahajjud, tapi belum tidur?

Waktu dan tata cara mengerjakan sholat istikhoroh

Dalil kesunahan sholat tasbih dan derajat haditsnya

Bacaan fatihah sholat tasbih yang dikerjakan pada malam hari

Perbedaan sholat tasbih dimalam hari dan siang hari

Hukum mengerjakan sholat sunat dirumah

Dalil disunatkannya sholat taubat

Hukum Mengerjakan sholat sunat sebelum dan sesudah sholat hari raya

Mengerjakan sholat sunat saat khutbah sedang berlangsung

Hukum Sholat Sunat Berjama'ah

Hukum Membatalkan Sholat Sunat Demi Sholat Jama'ah

Hukum bermakmum Pada Imam Yang Fasiq (Banyak Melakukan Dosa/Kemaksiatan)


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum...
Bagaimana hukum berma'mum kepada imam yang fasiq, dan kita jelas-jelas tahu si imam sering berbuat ma'siat.. mksih..

(Dari: Jendera L Achmad Muht)


Jawaban:
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Para ulama’ ahli fiqih menetapkan bahwa orang yang adil (orang sholeh) lebih utama dijadikan sebagai imam sholat. Diantara dalil yang mendasarinya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiu wasallam;

إِنْ سَرَّكُمْ أَنْ تُقْبَلَ صَلَاتُكُمْ، فَلْيَؤُمَّكُمْ خِيَارُكُمْ، فَإِنَّهُمْ وُفُودُكُمْ فِيمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Jika kalian senang jika sholat kalian diterima, maka hendaklah kalian memilih seorang imam yang terbaik diantara kalian, sebab para imam adalah perantara diantara kalian dan tuhan kalian” (Al-Mustadrok, no.4981, Mu’jam Kabir, no.777, Sunan Daruquthni, no.1882).

Dalam hadits diatas para imam sholat diistilahkan sebagai “Al-Wafd” yang makna aslinya adalah; “sekelompok orang yang dipilih untuk menghadap para pembesar’, sebab para imam merupakan penyebab didapatkannya pahala sholat jama’ah bagi para makmum, dan semua itu tergantung dari keadaan imamnya.

Karena itulah para ulama’ menetapkan bahwa orang fasiq dimakruhkan menjadi imam sholat jama’ah, begitu juga dimakruhkan bermakmum pada orang fasiq. Hanya saja apabila tidak ada pilihan lain selain bermakmum pada orang fasiq, maka hukumnya tidak makruh.

Meskipun bermakmum kepada imam yang fasiq hukumnya makruh, namun sholatnya orang yang bermakmum kepada imam yang fasiq tetap sah. Diantara dalilnya adalah satu hadits yang yang diriwayatkan Imam Syafi’i rahimahullah;

عَنْ نَافِعٍ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ اعْتَزَلَ بِمِنًى فِي قِتَالِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، وَالْحَجَّاجُ بِمِنًى فَصَلَّى مَعَ الْحَجَّاجِ

“Dari Nafi’, (ia menceritakan) bahwasanya Ibnu Umar memisahkan diri di Mina pada saat peperangan Ibnuz Zubair, kemudian beliau sholat bersama Al-Hajjaj” (Musnad Syafi’i, no.323/297 dan Sunan Baihaqi,  no.5301).

Imam Syafi’i berkata: “Cukuplah Al-Hajjaj (yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang fasiqi) sebagai contoh orang fasiq”.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan:
1. Bermakmum pada imam yang fasiq (banyak berbuat dosa) hukumnya makruh, jika masih ada pilihan lain.
2. Bermakmum kepada imam yang faiq tidak makruh apabila tidak ada pilihan lain.
3. Sholat jama’ah yang dikerjakan bersama imam yang fasiq hukumnya sah.

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Aziz Fariqfazarizaz, Siroj Munir dan Al Murtadho)


Referensi:
1. . Nihayatul Muhtaj & Hasyiyah Syibromalsi Jilid: 2  Hal: 179-180

والعدل) ولو قنا مفضولا (أولى) بالإمامة (من الفاسق) ، وإن كان حرا فاضلا لعدم الوثوق به في المحافظة على الشروط ولخبر الحاكم وغيره «إن سركم أن تقبل صلاتكم فليؤمكم خياركم، فإنهم وفدكم فيما بينكم وبين ربكم» ، وإنما صحت لخبر الشيخين أن ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج، قال الإمام الشافعي: وكفى به فاسقا. وتكره خلفه
......................................
قوله: إن سركم) أي أردتم ما يسركم (قوله: فإنهم وفدكم) أي الواسطة بينكم وبين ربكم. وفي المواهب قال النووي: الوفد الجماعة المختارة للتقدم في لقي العظماء واحدهم وافد. انتهى. وذلك؛ لأنه سبب في حصول ثواب الجماعة للمأمومين، وهذا يتفاوت بتفاوت أحوال الأئمة. وفي ابن حجر وفي مرسل «صلوا خلف كل بر وفاجر» ويعضده ما صح أن ابن عمر كان يصلي إلخ (قوله: وتكره خلفه) أي الفاسق، وإذا لم تحصل الجماعة إلا بالفاسق والمبتدع لم يكره الائتمام طب م ر اهـ سم على منهج

Hukum Shalat Saat Hadir Di Masjid Bertepatan Dengan Adzan Jum’at



Pertanyaan:
Assalamu'alaikum.
Saya mau tanya, kenapa kalau ada yang lagi adzan tidak boleh sholat? seperti kemarin waktu Jum'at orang yang datang belakangan berdiri semua dan tidak ada  yang shalat karena sedang dikumandangkan adzan.

(Dari: Aceng Ingin DiCinta).


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh

Para ulama' telah menetapkan bahwa ketika seseorang masuk masjid pada saat mu'adzin sedang mengumandangkan adzan hendaknya orang tersebut menunggu sampai muadzin selesai adzan, baru setelah itu ia mengerjakan sholat tahiyat masjid. Tujuannya adalah agar memperoleh 2 pahala sekaligus, yaitu pahala menjawab adzan dan sholat sunat tahiyat masjid.

Hanya saja terjadi menurut pendapat madzhab Syafi'i dan Hanbali; orang yang masuk masjid ketika muadzin sedang adzan menunggu selesainya adzan sambil berdiri, sedangkan menurut pendapat madzhab Hanafi orang tersebut menunggu mu'adzin menyelesaikan adzan sambil duduk.

Jadi kesimpulannya, orang yang masuk masjid pada saat muadzin sedang mengumandangkan adzan tidak mengerjakan sholat tujuannya agar ia memperoleh 2 pahala, yaitu pahala menjawab adzan dan sholat tahiyat masjid, karena menjawab adzan itu hukumnya sunat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ المُؤَذِّنُ

"Apabila kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti apa yang diucapkan mu'adzin." (Shahih Bukhari, no.611 dan Shahih Muslim, no.383).

Begitu juga halnya dengan sholat tahiyat masjid, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

إذَا دَخَلَ أَحَدُ كُمُ الْمَسجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua raka'at". (Shahih Bukhari, no.1110 dan Shahih Muslim, no.714).

Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho dan Siroj Munir).


Referensi:

1. Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah juz 34 hal. 111.

إذا دخل المسلم المسجد ، والمؤذن يؤذن ، فهل يظل قائما أو يجلس؟ للفقهاء اتجاهان
ذهب الشافعية والحنابلة إلى أنه إذا دخل المصلي المسجد، والمؤذن قد شرع في الأذان، لم يأت بتحية ولا بغيرها، بل يجيب المؤذن واقفا، حتى يفرغ من أذانه، ليجمع بين أجر الإجابة والتحية
وذهب الحنفية إلى أنه إذا دخل المصلي المسجد ، والمؤذن يؤذن أو يقيم قعد حتى يفرغ المؤذن من أذانه، فيصلي التحية بعدئذ  ليجمع بين أجر الإجابة وتحية المسجد

2. Mughnil Muhtaj, Jilid: 1  Hal: 327-328 (Madzhab Syafi'i)

ويسن لسامعه) أي المؤذن ومستمعه كما فهم بالأولى، ومثل المؤذن المقيم (مثل قوله) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «إذا سمعتم النداء فقولوا مثل ما يقول المؤذن» متفق عليه ويقاس بالمؤذن المقيم، وتناولت عبارته الجنب والحائض ونحوهما وهو المعتمد كما جزما به خلافا للسبكي في قوله لا يجيبان لحديث «كرهت أن أذكر الله إلا على طهر» ولابنه في قوله: ويمكن أن يتوسط، فيقال: تجيب الحائض لطول زمنها بخلاف الجنب، وتناولت أيضا المجامع وقاضي الحاجة، لكن إنما يجيبان بعد الفراغ
كما قاله في المجموع، ومحله ما لم يطل الفصل، فإن طال لم تستحب لهما الإجابة، وفارق هذا تكبير العيد المشروع عقب الصلاة حيث يتدارك وإن طال الفصل بأن الإجابة تنقطع مع الطول بخلاف التكبير ومن في صلاة، والأصح أنه لا يستحب له الإجابة بل تكره، فإن قال في التثويب: صدقت وبررت، أو قال: حي على الصلاة أو الصلاة خير من النوم بطلت صلاته، بخلاف صدق رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لا تبطل به كما صرح به في المجموع، وإن أجاب في أثناء الفاتحة وجب استئنافها، وإذا كان السامع أو المستمع في قراءة أو ذكر استحب له أن يقطعهما ويجيب، أو في طواف أجاب فيه كما قاله الماوردي

3. Kasyaful Qona', Jilid: 1  Hal: 246-247 (Madzhab Hanbali)      

ولو دخل المسجد والمؤذن قد شرع في الأذان لم يأت بتحية المسجد ولا بغيرها، بل يجيب) المؤذن (حتى يفرغ) من أذانه فيصلي التحية بشرطه، ليجمع بين أجر الإجابة والتحية    

3. Hasyiyah Ibnu Abidin, Jilid: 1  Hal. 400 (Madzhab Hanafi)

دخل المسجد والمؤذن يقيم قعد إلى قيام الإمام في مصلاه
........................
قوله: قعد) ويكره له الانتظار قائما، ولكن يقعد ثم يقوم إذا بلغ المؤذن حي على الفلاح انتهى هندية عن المضمرات

BAGIAN TUBUH MANA YANG DIDAHULUKAN SAAT SUJUD, LUTUT ATAU KEDUA TELAPAK TANGAN?



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ...
Mau tanya Ustadz/Ustadzah. Tentang anggota yang mesti didahulukan ketika hendak sujud, apakah kedua telapak tangan atau kedua  lutut? Apa hukum sebenarnya?  Adakah dalil atau ibarat tentang masalah ini?
Mohon penjelasannya. Syukron...

(Dari Bambang Irawan).



Jawaban :
Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..

Masalah ini merupakan salah satu masalah yang diperselisihkan diantara ulama’. Berikut ini kami uraikan pendapat-pendapat mengenai masalah ini beserta dalil-dalil atau alas an yang mendasarinya:

Pendapat pertama: anggota tubuh yang didahulukan ketika sujud adalah lutut terlebih dahulu, kemudian kedua tangan.  Ini adalah  pendapat mayoritas fuqoha’,  yaitu pendapat madzhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali dan sekolompok ulama’ salaf, seperti Imam An-Nakho’i, Sufyan Ats-Tsauri, ishaq, Muslim bin Yasar, dan Ibnul Mundzir. Diantara dalilnya adalah hadits Nabi yang diriwayatkan Wa’il bin hajar;

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

“Saya melihat apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”. (Sunan Abu Dawud, No.838)

Dan riwayat dari Sa’ad;

كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ، فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ

“Kami meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk mendahulukan kedua lutut sebelum (meletakkan) kedua tangan”. (Shahih Ibnu Huzaimah, No.628, Sunan Baihaqi, No.2637)

Pendapat kedua: Anggota badan yang didahulukan adalah kedua telapak tangan terlebih dahulu kemudian baru kedua lutut. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, Imam Al-Auza’i dan salah satu riwayat dai Imam Ahmad. Diantara dalil yang mendasari pendapat ini adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (Sunan Abu Dawud, No.840).

Pendapat ketiga: Anggota badan yang didahulukan kedua lutut atau kedua tangan sama saja, alasannya sebab tak ada dalil yang menguatkan pendapat mana yang lebih unggul. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Malik.

Kesimpulannya, sebagian ulama’ menyatakan bahwa yang didahulukan kedua lutut, sebagian lainnya berpendapat bahwa yang didahulukan kedua telapak tangan, dan ada juga yang berpendapat mana saja yang didahulukan sama saja. Meski begitu, masalah ini hanya membahas mana yang lebih utama dilakukan dan disunahkan. Jadi bagian mana saja yang didahulukan tidak berpengaruh pada sah dan tidaknya sholat. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Mahfuzul Ulum, Abdy Manaf El-Muchaveeydzooch, Brandal Loka Jaya, Poetra Sangfajar, Al Murtadho dan Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Siroj Munir).


Referensi :
1. Al Mausu’ah al Fiqhiyyah, Jilid: 24  Hal: 205-206

وضع الركبتين قبل اليدين أو عكسه
ذهب جمهور الفقهاء وهم الحنفية والشافعية والحنابلة وجمع من علماء السلف كالنخعي وسفيان الثوري وإسحاق ومسلم بن يسار وابن المنذر إلى أنه من المستحب أن يضع ركبتيه ثم يديه، ثم جبهته وأنفه، فإن وضع يديه قبل ركبتيه أجزأه إلا أنه ترك الاستحباب، لما رواه وائل بن حجر رضي الله عنه قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه
وروى سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه قال: كنا نضع اليدين قبل الركبتين فأمرنا بوضع الركبتين قبل اليدين وقد روى الأثرم عن أبي هريرة: " إذا سجد أحدكم فليبدأ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الجمل
وذهب المالكية والأوزاعي وهو رواية عن أحمد إلى أنه يقدم يديه قبل ركبتيه لما روي عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير، وليضع يديه قبل ركبتيه
وروي عن مالك أن الساجد له أن يقدم أيهما شاء من غير تفضيل بينهما؛ لعدم ظهور ترجيح أحد المذهبين على الآخر

2. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid: 3  Hal: 421-422

قال المصنف رحمه الله
والمستحب أن يضع ركبتيه ثم يديه ثم جبهته وأنفه لما روى وائل بن حجر رضي الله عنه قال " كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه " فإن وضع يديه قبل ركبتيه أجزأ إلا انه ترك هيئة
الشرح: مذهبنا أنه يستحب أن يقدم في السجود الركبتين ثم اليدين ثم الجبهة والأنف قال الترمذي والخطابي وبهذا قال أكثر العلماء وحكاه أيضا القاضي أبو الطيب عن عامة الفقهاء وحكاه ابن المنذر عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه والنخعي ومسلم بن بشار وسفيان الثوري واحمد واسحق وأصحاب الرأي قال وبه أقول وقال الأوزاعي ومالك يقدم يديه على ركبتيه وهي رواية عن أحمد وروي عن مالك أنه يقدم أيهما شاء ولا ترجيح واحتج لمن قال بتقديم اليدين بأحاديث ولمن قال بعكسه بأحاديث ولا يظهر ترجيح أحد المذهبين من حيث السنة ولكني أذكر الأحاديث الواردة من الجانبين وما قيل عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال " رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه " رواه أبو داود والترمذي والنسائي وغيرهم قال الترمذي هو حديث حسن وقال الخطابي هو أثبت من حديث تقديم اليدين وهو أرفق بالمصلي وأحسن في الشكل ورأى العين وقال الدارقطني قال ابن أبي داود وضع الركبتين قبل اليدين تفرد به شريك القاضي عن ابن كليب وشريك ليس هو منفردا به وقال البيهقي هذا الحديث يعد من أفراد شريك هكذا ذكره البخاري وغيره من الحفاظ المتقدمين وزاد أبو داود في رواية له " وإذا نهض نهض على ركبتيه واعتمد على فخذه " وهي زيادة ضعيفة من رواية عبد الجبار بن وائل عن أبيه ولم يسمعه وقيل ولد بعده وعن أنس رضي الله عنه قال " رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم كبر وذكر الحديث وقال في السجود سبقت ركبتاه يديه " رواه الدارقطني والبيهقي وأشار إلي تضعيفه عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه " رواه أبو داود والنسائي بإسناد جيد ولم يضعفه أبو داود وعن عبد الله ابن سعيد المقبري عن جده عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " إذا سجد أحدكم فليبدأ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الجمل رواه البيهقي وضعفه وقال عبد الله بن سعيد ضعيف وعن سعد بن أبي وقاص رضي الله تعالى عنه قال " كنا نضع الركبتين قبل اليدين " رواه ابن خزيمة في صحيحه وادعى أنه ناسخ لتقديم اليدين وكذا اعتمده أصحابنا ولكن لا حجة فيه لأنه ضعيف ظاهر التضعيف بين البيهقي وغيره ضعفه وهو من رواية يحيي ابن مسلمة بن كهيل وهو ضعيف باتفاق الحفاظ قال أبو حاتم هو منكر الحديث وقال البخاري في حديثه مناكير والله أعلم

3. Subulus Salam, Jilid:1  Hal: 279-280

[هيئة النزول إلى السجود]
وعن " أبي هريرة " - رضي الله عنه - قال: قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه» أخرجه الثلاثة. وهذا الحديث أخرجه أهل السنن، وعلله البخاري، والترمذي، والدارقطني. قال البخاري: " محمد بن عبد الله بن الحسن " لا يتابع عليه؛ وقال: لا أدري سمع من أبي الزناد أم لا؟ . وقال الترمذي: غريب لا نعرفه من حديث أبي الزناد. وقد أخرجه النسائي من حديث " أبي هريرة " أيضا عنه: [أن النبي - صلى الله عليه وسلم -] ولم يذكر فيه: [وليضع يديه قبل ركبتيه] .
وقد أخرج ابن أبي داود من حديث " أبي هريرة ": «أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان إذا سجد بدأ بيديه قبل ركبتيه» ومثله الدراوردي من حديث ابن عمر، وهو الشاهد الذي سيشير المصنف إليه.
وقد أخرج ابن خزيمة في صحيحه  من حديث " مصعب بن سعد بن أبي وقاص " عن أبيه قال: «كنا نضع اليدين قبل الركبتين، فأمرنا بوضع الركبتين قبل اليدين» . والحديث دليل على أنه يقدم المصلي يديه قبل ركبتيه عند الانحطاط إلى السجود، وظاهر الحديث الوجوب لقوله: " لا يبركن "، وهو نهي، وللأمر بقوله: " وليضع " قيل: ولم يقل أحد بوجوبه، فتعين أنه مندوب، وقد اختلف العلماء في ذلك، فذهب الهادوية، ورواية عن مالك، والأوزاعي: إلى العمل بهذا الحديث، حتى قال الأوزاعي: أدركنا الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم: وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث، وذهبت الشافعية، والحنفية، ورواية عن مالك: إلى العمل بحديث " وائل "، وهو قوله [وهو أي حديث " أبي هريرة " هذا [أقوى] في سنده [من حديث " وائل بن حجر "] وهو أنه قال:  «رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم -: إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه» ، أخرجه الأربعة، فإن للأول شاهدا من حديث ابن عمر - رضي الله تعالى عنهما -، صححه ابن خزيمة، وذكره البخاري معلقا موقوفا. «رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه» أخرجه الأربعة؛ فإن للأول أي حديث أبي هريرة شاهدا من حديث " ابن عمر " صححه ابن خزيمة، تقدم ذكر الشاهد هذا قريبا، وذكره أي الشاهد البخاري معلقا موقوفا، قال: قال " نافع ": كان " ابن عمر " يضع يديه قبل ركبتيه. وحديث " وائل " أخرجه أصحاب السنن الأربعة، وابن خزيمة، وابن السكن في صحيحيهما، من طريق شريك، عن عاصم بن كليب، عن أبيه، قال البخاري؛ والترمذي، وأبو داود، والبيهقي: تفرد به شريك، ولكن له شاهدا عن " عاصم الأحول " عن " أنس " قال: «رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - انحط بالتكبير حتى سبقت ركبتاه يديه» أخرجه الدارقطني والحاكم والبيهقي. وقال الحاكم؛ وهو على شرطهما. وقال البيهقي: تفرد به " العلاء بن العطار "، والعلاء مجهول، هذا حديث " وائل " هو دليل الحنفية والشافعية، وهو مروي عن " عمر "، أخرجه عبد الرزاق، وعن ابن مسعود، أخرجه الطحاوي، وقال به أحمد وإسحاق، وجماعة من العلماء

BOLEHKAH ORANG YANG MUKIM BERMAKMUM PADA ORANG YANG SEDANG SHALAT JAMAK QASHAR?



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Saya sedang shalat jamak qashar, tiba-tiba di belakang saya ada yang ikut menjadi makmum.
Apakah shalatnya sah?

(Dari : Si Aga Tegar).


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..
Jika memang orang yang tiba-tiba ikut menjadi makmum tersebut juga orang yang sedang bepergian dan akan mengerjakan sholat jamak qashar tentu saja tidak ada permasalahan, karena shalat keduanya sama.

Sedangkan apabila orang yang tiba-tiba ikut menjadi makmum tersebut adalah orang yang mukim (tidak sedang bepergian) atau orang yang menyempurnakan sholat (tidak sholat jamak atau qashar) maka sholat jama’ahnya juga sah, sebab orang yang sedang tidak sholat jamak qashar diperbolehkan makmum pada orang yang sedang shalat jamak qashar.

Namun, bagi orang yang mengetahui bahwa ada orang yang tidak sedang sholat jamak qashar makmum kepadanya yang sedang mengerjakan shalat jamak qashar, sesudah sholat disunatkan untuk memberitahukan makmum tersebut bahwa shalat yang ia kerjakan adalah shalat jamak atau qashar, dan menyuruhnya untuk menyempurnakan sholatnya. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Ubaid Bin Aziz Hasanan , Muhammad Fawwaz Kurniawan dan Siroj Munir)


Referensi:

1. Al-Majmu’, 4/357

فرع: إذا صلى مسافر بمسافرين ومقيمين جاز ويقصر الامام والمسافرين ويتم المقيمون ويسن للإمام أن يقول عقب سلامه أتموا فإنا قوم سفر
 
2. Kifayatul Akhyar, 1/143

الشرط الرابع أن لا يقتدي بمقيم أو بمتم في جزء من صلاته فإن فعل لزمه الإتمام، ولو صلى الظهر خلف من يصلي الصبح مسافراً كان أو مقيماً لم يجز له القصر على الأصح لأنها صلاة لا تقصر ولو صلى الظهر خلف من يصلي الجمعة فالمذهب أنه لا يجوز له القصر ويلزمه الإتمام وسواء كان إمام الجمعة مسافراً أو مقيماً ولو نوى الظهر مقصورة خلف من يصلي القصر مقصورة جاز والله أعلم

Hukum Membatalkan Sholat Sunat Demi Sholat Jama'ah



Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Saat kita shalat sunah qabliyah ternyata imam datang dan shalat berjamaah dimulai. Apa yang harus dilakukakan. Apakah kita melanjutkan shalat sunah rawatibnya tapi  ketinggalan takbiratul ihramnya imam atau malah tertinggal rakaat? Ataukah kita mesti memutus shalat sunah dan langsung ikut jamaah? Ataukah shalat sunah kita jadikan satu rakaat kemudian salam ?
Terima kasih atas jawaban dewan Asatidz.

(Dari Sari Similikiti).


Jawaban:
 Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh
Jawaban dari pertanyaan diatas diperinci sebagai berikut :

-      Disunahkan untuk  memutuskan shalat sunah qabliyahnya jika khawatir kehilangan shalat jama'ah sebab salamnya imam (kalau sholatsholat nya dilanjutkan sholat jama’ahnya sudah selesai).
-      Disunahkan menjadikan shalat qabliyahnya menjadi satu rakaat saja,  kemudian salam. Hal ini dilakukan apabila shalat jamaah dilaksanakan di tengah-tengah shalat qabliyah.
-      Disunahkan untuk menyempurnakan shalat qabliyah jika berharap ada jamaah lain yang akan datang dalam waktu dekat, sementara waktu shalat masih longgar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمُتَنَفِّلُ أَمِيرُ نَفْسِهِ

"Orang yang mengerjakan ibadah sunah itu lebih menguasai atau lebih berhak (amir)  atas dirinya”. (Sunan Turmudzi, No.732)

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Ubaid Bin Aziz Hasanan, Muhammad Fawwaz Kurniawan, Brandal Loka Jaya, Farid Muzakki, dan Siroj Munir).


Referensi:
1. Fathul Mu’in,

 وندب لمنفرد رأى جماعة أن يقلب فرضه نفلا ويسلم من ركعتين
ـــــــــــــــــــــــــــــ
 وندب لمنفرد رأى جماعة مشروعة أن يقلب فرضه الحاضر لا الفائت نفلا مطلقا ويسلم من ركعتين إذا لم يقم لثالثة ثم يدخل في الجماعة
 نعم إن خشي فوت الجماعة إن تمم ركعتين استحب له قطع الصلاة واستئنافها جماعة ذكره في المجموع
وبحث البلقيني أنه يسلم ولو من ركعة أما إذا قام لثالثة أتمها ندبا إن لم يخش فوت الجماعة ثم يدخل في الجماعة

2. I’anatut Tholibin, 1/264

تتمة: لو كان يصلي الفائتة وخاف فوت الحاضرة قلبها نفلا وجوبا واشتغل بالحاضرة
ولو كان يصلي في النافلة وخاف فوت الجماعة قطعها ندبا
نعم، إن رجا جماعة غيرها تقام عن قرب، والوقت متسع، فالأولى إتمام نافلته ثم يصلي الفريضة معها

3. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 34/51

أما قطع التطوع بعد الشروع فيه فقد اختلف الفقهاء في حكمه فقال الحنفية والمالكية: لا يجوز قطعه بعد الشروع بلا عذر كالفرض ويجب إتمامه، لأنه عبادة، ويلزم بالشروع فيه، ولا يجوز إبطاله، لأنه عبادة. وقال الشافعية والحنابلة: يجوز قطع التطوع، عدا الحج والعمرة، لحديث المتنفل أمير نفسه

 Baca Juga:

Jumlah bilangan roka'at sholat sunat rowatib (qobliyah dan ba'diyah)

Menggabungkan sholat qobliyah jum'at dan sholat tahiyat masjid

Tata cara dan ketentuan-ketentuan hukum sholat sunat wudhu'

Bolehkah sholat qobliyah dikerjakan sesudah sholat fardhu dan sholat ba'diyah sebelum sholat fardhu ?

Bolehkah sholat tahajjud, tapi belum tidur?

Waktu dan tata cara mengerjakan sholat istikhoroh

Hukum Mengerjakan Sholat Witir Hanya Satu Rakaat

Dalil kesunahan sholat tasbih dan derajat haditsnya

Bacaan fatihah sholat tasbih yang dikerjakan pada malam hari

Perbedaan sholat tasbih dimalam hari dan siang hari

Hukum mengerjakan sholat sunat dirumah

Dalil disunatkannya sholat taubat

Hukum Mengerjakan sholat sunat sebelum dan sesudah sholat hari raya

Mengerjakan sholat sunat saat khutbah sedang berlangsung

Hukum Sholat Sunat Berjama'ah

Bermakmum dengan Imam Yang Tidak Fasih Bacaannya



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum.....
Bagaimana hukumnya shalat seorang ma'mum yang baru mengetahui imam shalat bacaannya tidak fasih bahkan ma’mumnya lebih fasih dari imam tersebut.  Apakah shalatnya sah ? Terima kasih.

(Dari Agus Arifin).


Jawaban:
 Wa’alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh…
Jawaban dari pertanyaan diatas diperinci sebagai berikut :
1. Sholat makmum tetap sah apabila bacaan imam hanya mengulang-ulang huruf atau makhrojnya huruf serupa dengan huruf lain (kurang fasih).
2. Sholat makmum tidak sah, apabila kesalahannya fatal sampai merubah atau  makna. Dalam keadaan ini, jika makmum mengetahuinya setelah selesai shalat maka wajib mengulang shalatnya kalau mengetahuinya ditengah-tengah shalat maka ia wajib memutus shalatnya dan memulai lagi.
     Perincian hokum diatas berlaku jika sang imam telah belajar ilmu Tajwid (tidak ceroboh).

    Ketentuan ini hanya berlaku dalam shalat jahr (sholat yang disunatkan membaca dengan keras, yaitu maghrib, isya’ dan subuh) dan tidak berlaku pada shalat sir (sholat yang disunatkan membaca dengan pelan, yaitu dhuhur dan ashar).
Oleh karena itu, bermakmum pada orang yang disangka tidak fasih dalam shalat yang tidak tidak disunatkan untuk mengeraskan bacaan hukumnya tetap sah. Wa;llahu a’lam..

( Dijawab oleh: Al Murtadho, Aristo Sholihan Es dan Kaum Sarungan )


Referensi:
 1. Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 1/143-144

وسئل: - نفع الله به - عمن تعلم الفاتحة وفي حرف منها خلل؛ لثقل في اللسان هل تجزيه صلاته أو لا وهل يجب التعلم في جميع عمره أو لا وهل تصح الجمعة إذا لم يكمل العدد إلا به مثلا أو لا؟
فأجاب: بقوله: إن كان ذلك الخلل نحو فأفأة بأن صار يكرر الحرف صحت صلاته والقدوة به، لكنها مكروهة، وتكمل الجمعة به، ولا يلزمه التعلم. وإن كان لثغة؛ فإن كانت يسيرة بحيث يخرج الحرف صافيا وإنما فيه شوب اشتباه بغيره فهذا أيضا تصح صلاته وإمامته وتكمل الجمعة به، ولا يلزمه التعلم؛ وإن كان لثغة حقيقية؛ بأن كان يبدل الحرف بغيره فتصح صلاته لا القدوة به، إلا لمن هو مثله؛ بأن اتفقا في الحرف المبدل وإن اختلفا في البدل؛ فلو كان كل منهما يبدل الراء لكن أحدهما يبدلها لاما والآخر عينا صح اقتداء أحدهما بالآخر. وإن كان أحدهما يبدل الراء والآخر يبدل السين لم يصح اقتداء أحدهما بالآخر. –إلى أن قال- ومن كان بلسانه خلل في الفاتحة مثلا فمتى رجي زواله عادة لتعلم لزمه - وإن طال الزمن - ومتى لم يرجه كذلك لم يلزمه

2. I’anatut Tholibin, 2/52

 ولو اقتدى بمن ظنه أهلا ) للإمامة ( فبان خلافه ) كأن ظنه قارئا أو غير مأموم أو رجلا أو عاقلا فبان أميا أو مأموما أو امرأة أو مجنونا أعاد الصلاة وجوبا لتقصيره بترك البحث في ذلك ( قوله أعاد ) أي المقتدي وهو جواب لو ومحل الإعادة إن بان بعد الفراغ من الصلاة فإن بان في أثنائها وجب استئنافها

HUKUM SHALAT DI ATAS KAPAL LAUT / PERAHU



Pertanyaan :
Assalamu'alaikum..
Saya  mau bertanya. Ketika ada seseorang yang shalat di atas perahu, pertama-tama dia memang benar-benar sudah menghadap qiblat, tapi ketika dia ruku’ perahu itu berbelok karena mengikuti besarnya arus pada air.  Lalu bagaimana hukum shalatnya?

(Dari : Kan Sas).
 


Jawaban:
Wa alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh..

Hukum shalatnya tetap sah, namun bila tidak bisa menyempurnakan rukun-rukunnya seperti berpaling dari arah qiblat maka shalatnya wajib i'adah (mengulang) ketika telah sampai di darat. Karena untuk shalat di atas perahu pun harus  menyempurnakan rukun-rukunnya.

Orang yang menaiki perahu wajib menghadap qiblat serta menyempurnakan rukun-rukunnya shalat baik perahunya berhenti ataupun berlayar, karena tidak ada kesulitan baginya dan hal ini disepakati ulama, hukum ini berlaku bagi setiap pengemudinya sedang bagi kelasinya yang menentukan arah perahu menurut pengarang kitab al Haawy dan Abu al Makarim baginya boleh tidak menghadap kiblat dalam shalat-shalat sunah saat perahunya berlayar.

Di dalam kitab Al Umm dijelaskan: Dan tidak diperkenankan bagi orang yang naik perahu, rakit atau sesuatu yang ia kendarai dilaut untuk shalat sunat sesuai arah perahunya tapi dia menghadaplah kiblat meskipun ia tenggelam maka bergantunglah pada kayu, shalatlah dengan menghadap arah kiblat dengan menggunakan isyarat kemudian baginya wajib mengulangi setiap shalat wajib yang ia kerjakan dalam kondisi tersebut bila ia mengerjakan shalatnya dengan tidak menghadap kiblat dan tidak perlu baginya mengulangi shalat wajibnya dalam kondisi tersebut bila ia kerjakan dalam posisi ia menghadap kiblat.

Inti yang pokok adalah wajib berputar menghadap qiblat kembali jika perahunya menghadap ke arah selain kiblat sebab diterpa angin, dan meneruskan sholat.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Ubaid Bin Aziz Hasanan).


Referensi:
1. Al Majmu' ala Syarh al Muhaddzab 3/233

اما الراكب في سفينة فيلزمه الاستقبال واتمام الاركان سواء كانت واقفة أو سائرة لانه لا مشقة فيه وهذا متفق عليه هذا في حق ركابها الاجانب اما ملاحها الذى يسبرها فقال صاحب الحاوى وابو المكارم يجوز له ترك القبلة في نوافله في حال تسييره   

2. Al Umm 1/98

ﻭﻟﻴﺲ ﻟﺮﺍﻛﺐ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻭﻟﺎ ﺍﻟﺮﻣﺚ ﻭﻟﺎ ﺷﻲﺀ ﻣﻤﺎ ﻳﺮﻛﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻰ ﻧﺎﻓﻠﺔ ﺣﻴﺚ ﺗﻮﺟﻬﺖ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻭﻟﻜﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻨﺤﺮﻑ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﺇﻥ ﻏﺮﻕ ﻓﺘﻌﻠﻖ ﺑﻌﻮﺩ ﺻﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺟﻬﺘﻪ ﻳﻮﻣﺊ ﺇﻳﻤﺎﺀ ﺛﻢ ﺃﻋﺎﺩ ﻛﻞ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﺻﻠﺎﻫﺎ ﺑﺘﻠﻚ ﺍﻟﺤﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﺻﻠﺎﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﻗﺒﻠﺔ ﻭﻟﻢ ﻳﻌﺪ ﻣﺎ ﺻﻠﻰ ﺇﻟﻰ ﻗﺒﻠﻪ ﺑﺘﻠﻚ ﺍﻟﺤﺎﻝ

3. Al Majmu' ala Syarh al Muhaddzab 3/240-241

وتصح الفريضة في السفينة الواقفة والجارية والزورق المشدود بطرف الساحل بلا خلاف إذا استقبل القبلة وأتم الاركان
 فرع :  قال اصحابنا إذا صلي الفريضة في السفينة لم يجز له ترك القيام مع القدرة كما لو كان في البر وبه قال مالك واحمد وقال أبو حنيفة يجوز إذا كانت سائرة قال اصحابنا فان كان له عذر من دوران الرأس ونحوه جازت الفريضة قاعدا لانه عاجز فان هبت الريح وحولت السفينة فتحول وجهه عن القبلة وجب رده إلى القبلة ويبى علي صلاته بخلاف ما لو كان في البر وحول انسان وجهه عن القبلة قهرا فانه تبطل صلاته كما سبق بيانه قريبا قال القاضي حسين والفرق أن هذا في البر نادر وفى البحر غالب وربما تحولت في ساعة واحدة مرارا
فرع : قال أصحابنا ولو حضرت الصلاة المكتوبة وهم سائرون وخاف لو نزل ليصليها علي الارض الي القبلة انقطاعا عن رفقته أو خاف علي نفسه أو ماله لم يجز ترك الصلاة وإخراجها عن وقتها بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت وتجب الاعادة لانه عذر نادر

Hukum sholat diatas kasur - Lembaga Fatwa Mesir



Sholat di Atas Kasur


Nomor Urut : 552    Tanggal Jawaban : 11/05/2008


 Memperthatikan permohonan fatwa dengan No. 763 tahun 2008, yang berisi : Kami meletakkan sebuah kasur busa tipis yang panjangnya empat meter dan lebarnya satu meter seperempat di salah satu bagian di dalam mushalla dekat rumah kami. Kasur busa yang ketebalannya tidak lebih dari satu setengah sentimeter atau bahkan mungkin lebih tipis lagi itu, kami buat sebagai alas ketika melakukan shalat. Kasur ini dapat menampung delapan orang yang melakukan shalat di tempat itu. Jika orang yang hendak shalat jumlahnya lebih banyak, maka sisanya akan shalat di atas permadani biasa yang sudah usang. Kasur itu tentu saja membuat kami lebih nyaman, terutama bagi orang lanjut usia seperti saya yang biasanya mempunyai masalah pada lutut. Banyak orang telah melihat kasur itu dan senang melaksanakan shalat di atasnya. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan seseorang yang menyalahkan hal itu. Karena itulah, kami memohon penjelasan yang benar mengenai hal ini.

Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

Para ahli fikih dari kalangan Ahlussunnah sepakat tentang ketidakharusan melakukan shalat di atas benda yang berasal dari unsur bumi, seperti debu, krikil dan lain sebagainya. Salah seorang ulama Syafi'iyah, Syekh al-Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Mughnil-Muhtâj menyatakan, "Kaum muslimin, selain kelompok Syiah, sepakat mengenai kebolehan melakukan shalat di atas wol atau benda yang terbuat darinya. Tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan shalat di atasnya, kecuali Malik yang berpendapat bahwa itu adalah makruh tanzihi. Sedangkan Syiah berpandangan bahwa tidak boleh melakukan shalat di atasnya karena wol bukan berasal dari unsur tumbuhan bumi."

Keabsahan shalat pun tidak terpengaruh dengan tebal tipisnya alas yang digunakan untuk shalat, selama dahi dapat menempel sempurna dan tidak bergerak-gerak di atas alas tersebut ketika bersujud.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat di atas alas ketika Aisyah sedang berbaring di atasnya seperti posisi jenazah antara beliau dengan kiblat." Bukhari membuat judul untuk bab yang berisi hadits tersebut dengan nama Bab Shalat di Atas Alas. Al-Hafidh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bârî, berkata, "Dengan judul ini, Bukhari hendak mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih dari Ibrahim An-Nakho'i dari al-Aswad dan sahabat-sahabatnya, bahwa mereka tidak suka (menganggap makruh) melakukan shalat di atas permadani, karpet yang terbuat dari kulit binatang dan pakaian yang tebuat dari bahan kasar. Ibnu Abi Syaibah sendiri juga meriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi'in mengenai kebolehan hal itu."

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat –atau suka untuk melakukan shalat– di atas alas yang terbuat dari kulit binatang yang telah disamak." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr. Ini adalah redaksi Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Hakim menshahihkan hadits ini. Hakim berkata, "Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tapi keduanya tidak meriwayatkannya dengan menyebutkan alas dari kulit. Hanya saja, Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Said mengenai shalat di atas tikar." Imam Dzahabi berkata, "Hadits ini sesuai dengan syarat Muslim.").

Hadits di atas, meskipun terdapat beberapa ulama yang mendhaifkan sanadnya, hanya saja ia terangkat ke derajat hasan karena terdapat beberapa riwayat lain yang mempunyai makna serupa. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, apakah saya boleh shalat di atas alas yang terbuat dari kulit?" Maka beliau pun menjawab, "Kalau tidak boleh, untuk apa kulit disamak?"

Syekh as-Sindi dalam Hasyiyah 'al-Musnad menjelaskan, "Maksudnya adalah jika kamu tidak boleh shalat di atas alas kulit, tentu penyamakan kulit akan sia-sia, padahal tujuannya adalah untuk membersihkan kulit sehingga dapat digunakan sebagai alas shalat. Jika tidak boleh melakukan shalat di atasnya, maka tidak ada gunanya menyamak kulit."

Al-Hafizh ath-Thuyuri (salah seorang ulama Hambali), dalam kitab ath-Thuyûriyyât, meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di atas permadani.

Kebolehan ini pun diriwayatkan dari sejumlah orang sahabat dan para ulama kalangan salaf. Mereka juga pernah melakukan shalat di atas alas yang tebal, seperti kasur, bantal untuk bersandar, bantal biasa, bantal tempat duduk penunggang binatang, permadani, bantal untuk pelana unta, permadani tebal, karpet kulit, pakaian kasar terbuat dari bulu, kain yang diletakkan di atas punggung hewan di bawah pelana, kain tebal dari bahan wol dan lain sebagainya.

Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, dalam al-Mushannaf, pada bab tentang orang sakit yang melakukan sujud di atas bantal untuk tidur atau untuk bersandar, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Orang sakit boleh melakukan sujud di atas bantal dan pakaian yang bersih."

Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika dia sakit radang mata, dia melakukan shalat di atas bantal kulit. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. juga pernah bersujud di atas bantal yang digunakan untuk bersandar. Sedangkan Abu Aliyah, ketika sakit dia bersujud di atas bantal yang disiapkan untuknya. Begitu juga Hasan al-Bashri, dia membolehkan seseorang bersujud di atas bantal ketika berada di atas perahu.

Adapun mengenai shalat di atas kasur, Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan bahwa Anas radhiyallahu ‘anhu pernah shalat di atas kasurnya. Thawus juga melakukan hal yang sama ketika sakit. Ia juga menyebutkan riwayat mengenai shalat di atas pakaian kasar dari bulu. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Jabir, Abu Darda`, Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas –radhiyallahu 'anhum—. Sedangkan dari kalangan tabi'in diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia membolehkan shalat di atas pakaian kasar dari bulu. Namun, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Abdurrahman bin al-Aswad dan para sahabatnya tidak menyukai shalat di atas permadani, kulit dan kain dari bulu.

Mengenai masalah shalat di atas permadani, Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Darda` bahwa ia berkata, "Saya tidak peduli jika saya shalat di atas tumpukan enam permadani." Said bin Jubair berkata, "Ibnu Abbas pernah melakukan shalat Magrib bersama kami di atas permadani yang menutupi seluruh lantai rumah."

Abdullah bin 'Ammar berkata, "Saya melihat Umar melakukan shalat di atas permadani tebal." Hasan Bashri berkata, "Tidak apa-apa shalat di atas permadani." Diriwayatkan pula dari Hasan Bashri bahwa dia pernah melakukan shalat di atas permadani. Kedua kaki dan lututnya di atas permadani tersebut sedangkan wajahnya berada di tanah atau di tikar bambu. Diriwayatkan juga dari Qais bin Abbad al-Qaisi bahwa dia pernah melakukan shalat di atas kain yang terbuat dari wol. Hal itu juga diriwayatkan dari Murrah al-Hamdani.

Adapun tentang shalat di atas alas kulit, maka Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Masruq bahwa dia pernah menyembelih hewan kurban lalu menyamak kulitnya kemudian memakainya untuk alas shalat. Hal ini juga diriwayatkan dari Alqamah. Abdurrahman bin Aswad juga melakukan shalat di rumahnya di atas alas yang terbuat dari kulit domba, sehingga bulu-bulunya muncul di sela-sela kedua kakinnya. Sedangkan diriwayatkan dari al-Aswad dan para sahabatnya bahwa mereka tidak menyukai shalat di atas alas kulit.

Dalam al-Muhalla, Ibnu Hazm berkata, "Melakukan shalat di atas alas kulit adalah boleh. Begitu juga boleh shalat di atas wol dan semua benda yang boleh diduduki jika suci. Seorang perempuan boleh melakukan shalat di atas kain sutra. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, Abu Sulaiman dan lainnya. Atho` berkata, "Tidak boleh shalat kecuali di atas tanah dan pasir." Malik berkata, "Hukumnya makruh melakukan shalat di atas alas yang terbuat dari selain unsur bumi atau tanaman yang ditumbuhkannya." Ali (Ibnu Hazm) berkata, "Tidak ada dalil akan kebenaran pendapat ini. Sedangkan sujud wajib di atas tujuh anggota tubuh, yaitu kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dahi dan hidung. Malik membolehkan meletakkan semua anggota ini –selain dahi— di atas semua hal yang saya sebutkan di muka. Jadi apa yang membedakan antara dahi dengan anggota tubuh yang lain? Tidak ada dalil yang membedakan semua itu, baik dari Alquran, Sunnah yang shahih ataupun yang tidak, ijmak, kiyas, perkataan sahabat maupun ulama. Kami telah meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa dia melakukan shalat di atas pakaian kasar yang terbuat dari bulu, Umar pernah melakukan sujud di atas alas yang terbuat dari wol, Ibnu Abbas bersujud di atas permadani dari wol, begitu juga Abu Darda`. Pendapat Malik ini juga disetujui oleh Syuraih, az-Zuhri dan Hasan. Sedangkan pendapat yang kami pilih maka tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat –radhiyallahu 'anhum— yang menentangnya."

Para fuqaha dari mazhab-mazhab yang diikuti memberikan syarat sahnya tempat sujud yaitu tempat yang membuat orang yang bersujud seakan merasakan kerasnya permukaan bumi, sehingga dahinya dapat menempel dengan baik di atasnya dan tidak bergerak-gerak.

Di dalam Mazhab Hanafi, Imam Sarkhosi dalam al-Mabsûth menyatakan, "Tidak apa-apa shalat di atas salju jika dahinya dapat menempel dengan baik ketika melakukan sujud." Maksudnya adalah hendaknya tempat sujudnya tersebut keras, karena dengan demikian dahinya tersebut terasa menempel di tanah. Tapi, jika permukaannya tidak keras sehingga tidak seperti menempel di tanah, maka tidak sah, karena itu seperti melakukan sujud di udara. Dengan demikian, jika seseorang sujud di atas rumput atau kapas jika dahinya terasa menempel di tanah, maka sujud tersebut sah, jika tidak maka tidak sah. Begitu juga jika shalat di atas permadani yang diisi sesuatu, maka shalat itu akan sah jika tempat sujudnya kempal, kecuali menurut Malik. Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat bahwa mereka berkata, "Saya tidak peduli jika shalat di atas sepuluh permadani atau lebih."

Dalam kitab Badâi'ush-Shanâi', Al-Kasani berkata, "Jika seseorang melakukan sujud di atas rumput atau kapuk lalu dahinya masuk ke dalam sehingga merasakan permukaan tanah maka shalatnya sah. Jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika dia shalat di atas permadani tebal, maka shalatnya sah jika permukaannya kempal. Begitu juga, shalat di atas salju jika permukaannya keras, jika tidak maka tidak sah."

Imam Kamal bin Humam, dalam Fathul Qadîr, menyatakan: "Seseorang boleh melakukan sujud di atas rumput, jerami, kapas dan permadani jika dia merasakan permukaan bumi. Begitu juga, boleh shalat di atas salju yang keras. Jika dia telah membenamkan kepalanya ke dalam benda-benda tadi tapi tidak merasakan kerasnya permukaan tanah, maka tidak sah. Begitu juga, boleh shalat di atas gerobak yang menempel di tanah, sebagaimana halnya ranjang. Namun tidak sah jika gerobak itu berada di atas sapi, seperti kain yang diikat di antara beberapa pohon. Boleh juga shalat dan bersujud di rumah kecil yang dibuat di atas pohon, di atas gandum dan jelai, tapi tidak boleh di atas jewawut dan beras karena kepala tidak bisa menetap."

Dalam Al-Fatâwâ al-Hindiyyah disebutkan: "Jika seseorang bersujud di atas rumput, jerami, kapas, permadani atau salju, lalu dahi dan hidungnya stabil serta merasakan lapisan keras pada benda-benda itu, maka dibolehkan. Jika tidak maka tidak boleh."

Ketika menjelaskan perkataan Asy-Syurunbulali yang berbunyi, "Syarat sujud adalah menetapnya dahi," Ibnu 'Abidin dalam Hasyiyah-nya berkata, "Maksudnya seseorang diharuskan bersujud di atas sesuatu yang dapat dia rasakan lapisan yang keras padanya. Sehingga, jika orang yang bersujud itu ingin terus membenamkan kepalanya, maka dia tidak dapat membenamkannya lebih dalam lagi dari yang dia lakukan saat itu. Dengan demikian, tidak boleh bersujud di atas benda seperti beras dan jagung, kecuali jika berada di dalam karung. Tidak boleh juga bersujud di atas kapas, salju dan kasur kecuali jika dia merasakan kerasnya permukaan bumi ketika menekannya."

Ibnu 'Abidin juga mengatakan, "Maksud merasakan kerasnya permukaan bumi adalah bahwa orang yang bersujud jika terus membenamkan kepalanya, maka dia tidak akan dapat menambah lebih dalam dari keadaannya itu. Dengan demikian, boleh shalat dengan bersujud di atas permadani, tikar, gandum, jelai, tempat tidur dan gerobak jika menempel di tanah. Tetapi tidak sah shalat dengan bersujud di atas tandu yang ada di atas punggung hewan, kain yang terbentang antara beberapa pohon serta beras dan jagung kecuali jika ada dalam karung. Begitu juga, tidak boleh bersujud di atas salju jika tidak kempal yang membuat seseorang tidak dapat merasakan permukaan tanah ketika membenamkan kepalanya. Begitu juga, tidak boleh bersujud pada rumput kecuali jika merasakan lapisannya yang keras. Dari sini dipahami kebolehan melakukan shalat dengan bersujud di atas kain yang terbuat dari kapas jika dapat merasakan lapisan yang keras padanya."

Pengarang Marâqîyual-Falâh mengatakan, "Salah satu syarat sahnya sujud adalah melakukannya di atas sesuatu yang dapat dirasakan lapisannya yang keras, dimana dia tidak dapat terus membenamkan kepalanya lebih dalam dari posisinya itu. Dengan demikian, tidak boleh melakukan sujud di atas kapas, salju, jerami, beras, jagung dan biji rami. Sedangkan gandum dan jelai, maka dahi seseorang dapat stabil di atasnya sehingga boleh sujud di atasnya, karena biji-bijinya saling mengokohkan disebabkan permukaannya yang kasar dan tidak keras."

Menjelaskan pernyataan pengarang Marâqil-Falâh di atas, ath-Thahawi dalam al-Hâsyiyah 'alâ Marâqil-Falâh, mengatakan, "Maksud larangan bersujud di atas kapas adalah jika tidak merasakan lapisannya yang keras. Begitu juga setiap benda yang diisi kapuk, seperti kasur dan bantal. Sedangkan larangan besujud di atas beras dan jagung adalah karena permukaan benda tersebut halus dan bentuknya keras sehingga tidak dapat diam (selalu bergerak) yang mengakibatkan dahi seseorang terus bergerak masuk ke dalam tanpa terhenti pada bagian yang diam. Kecuali jika benda tersebut diletakkan disebuah wadah tertentu."

Sedangkan menurut Mazhab Maliki, makruh hukumnya melakukan shalat dengan bersujud di atas permadani dan sejenisnya jika tidak di masjid atau tidak ada keperluan untuk melakukannya. Jika terdapat kedua alasan tersebut maka tidak ada kemakruhan sama sekali.

Syekh ad-Dardir dalam asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, "Hukumnya makruh bersujud di atas kain atau karpet yang tidak digunakan untuk menutupi lantai masjid. Sedangkan bersujud di atas tikar yang tidak mewah maka tidak makruh, tapi akan lebih baik jika tidak melakukannya.Apabila tikar itu lembut, maka hukumnya tetap makruh."

Dalam Hâsyiyah atas kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syekh Dasuqi menjelaskan, "Maksud bahwa alas shalat tersebut tidak digunakan untuk menutupi lantai masjid adalah tidak adanya keperluan untuk menggunakan karpet tersebut karena suhu panas atau dingin atau kasarnya lantai tempat bersujud. Jika terdapat alasan-alasan tersebut, maka tidak makruh bersujud di atasnya. Sebagaimana tidak makruh bersujud di atas karpet masjid, baik karpet tersebut merupakan wakaf, hasil dari barang wakaf atau dari orang lain yang menjadikan karpet tersebut seperti wakaf untuk masjid."

Adapun dalam mazhab Syafi'i, maka Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm pada Bab Pakaian dan Karpet untuk Shalat, berkata, "Rasulullah saw. melakukan shalat di atas namirah. Namirah adalah alas yang terbuat dari wol. Sehingga, tidak apa-apa shalat dengan memakai wol, bulu dan bulu unta atau menjadikannya sebagai alas shalat. Rasulullah s bersabda;

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

"Kulit apa saja yang telah disamak maka ia suci."

Tidak apa-apa pula melakukan shalat dengan memakai kulit yang telah disamak baik berasal dari bangkai, binatang buas ataupun setiap sesuatu yang mempunyai ruh kecuali anjing dan babi. Dan boleh melakukan shalat dengan memakai kulit binatang yang disembelih dan boleh dimakan dagingnya meskipun kulit itu tidak disamak." Demikian penjelasan Imam Syafi'i.

Imam Nawawi dalam al-Majmû' menyatakan, "Jika seseorang bersujud di atas kapas, rumput atau sesuatu yang diisi dengan kedua benda tersebut, maka dia harus menekan kepalanya sehingga terbenam di dalamnya dan merasakan tangannya jika tangan orang itu diletakkan di bawah benda tersebut. Jika orang tersebut tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah. Imam Haramain berkata, "Menurut saya orang tersebut cukup meletakkan kepalanya saja tanpa perlu menekannya, sebagaimana yang diharuskan dalam gerakan sujud." Pendapat yang diambil oleh mazhab adalah yang pertama. Dan ini pulalah yang ditegaskan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juwaini dan pengarang kitab at-Tatimmah serta at-Tahdzîb."

Dalam Mughnîl-Muhtâj, al-Khatib asy-Syarbini mengatakan, "Hendaknya berat kepala orang yang bersujud benar-benar mengena pada tempat sujudnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang telah disebutkan;

وَإِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ جَبْهَتَكَ

"Jika kamu bersujud, maka mantapkan dahimu."

Maksud berat kepala orang yang bersujud adalah hendaknya dia menekan kepalanya sehingga jika terdapat kapas atau rumput maka kepalanya akan terbenam dan dia dapat merasakan tangannya jika dia letakkan di bawah kapas atau rumput tersebut. Imam Haramain berpendapat bahwa meletakkan kepala saja sudah cukup. Dia menyatakan bahwa itu lebih dekat dengan sikap tawadhu daripada memaksakan untuk menekan kepala."

Dalam Mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ, "Tidak ada perbedaan antara para ulama mengenai kebolehan melakukan shalat dan sujud di atas kasur jika terbuat dari unsur bumi, seperti tikar dari pelepah pohon kurma, tikar dari duan papirus dan sejenisnya. Namun, mereka berselisih mengenai kemakruhan melakukannya di atas alas yang tidak berasal dari unsur bumi, seperti karpet dari kulit binatang dan karpet yang dibuat dari wol. Sebagian besar ulama memberi keringanan dalam hal ini. Ini adalah pendapat ulama hadits seperti Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, serta pendapat para ulama Kufah seperti Imam Abu Hanifah dan lainnya. Mereka juga mendasarkan pendapat tersebut pada hadits Aisyah. Karena, alas yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak berasal dari unsur bumi, tapi dari kulit atau wol."

Al-Mardawi dalam al-Inshâf mengatakan, "Para ulama Hambali mengatakan, "Jika seseorang bersujud di atas rumput, kapas, salju atau pakaian dan sejenisnya, tapi orang itu tidak merasakan lapisannya yang keras maka tidak sah sujudnya tersebut. Karena tidak terdapat tempat yang kokoh (tidak bergerak)."

Dalam Kasysyâful-Qinâ', al-Buhuti menyatakan, "Hukumnya sah melakukan shalat di atas salju, baik dengan alas atau tidak, jika dia merasakan lapisannya yang keras. Karena, dengan itu anggota sujudnya dapat menempel dengan tetap. Begitu juga sah melakukannya di atas rumput dan kapas jika dia merasakan lapisannya yang keras. Jika dia tidak merasakan hal itu maka shalatnya tidak sah karena dahinya tidak menetap di atas benda-benda tersebut."

Dengan demikian, kasur busa tipis yang dibuat penanya boleh digunakan sebagai alas untuk shalat. Tidak ada keharaman sama sekali menurut para ulama Ahlus Sunnah termasuk ulama Mazhab Empat. Karena kasur itu tidak terlalu tebal sehingga tidak mengakibatkan dahi seseorang bergerak dan dia dapat merasakan keras permukaan tanah ketika sujud. Hal itupun tidak dianggap makruh dalam Mazhab Maliki, karena hukum makruh tersebut, menurut mereka, jika alas tersebut digunakan tanpa adanya keperluan atau di luar masjid. Dan kedua hal ini ada dalam masalah ini.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.


السجود على المرتبة


الرقـم المسلسل : 552    تاريخ الإجابة : 11/05/2008

اطلعنا على الطلب المقيد برقم 763 لسنة 2008م المتضمن : عملنا "مَرتَبة" طولها أربعة أمتار، وعرضها متر وربع، بعرض الزاوية التي نصلي فيها؛ وذلك للصلاة عليها، وهي عبارة عن قطعتي قماش نظيف بينهما طبقة إسفنج رقيقة هي أقل ما وجدنا في السوق لا تزيد عن سنتيمتر واحد، بل أقل من ذلك، وقد حاكها المنجد على شكل مربعات، طول المربع عشرون سنتيمترا ليصلي عليها ثمانية أشخاص من رواد الزاوية، فإذا جاء مصلون أكثر صلوا على "موكيت" الزاوية العادي القديم، وهي تريحنا في الصلاة لا سيما نحن كبار السن الذين نعاني ألما في الرُّكَب، وقد رآها كثيرون فأحبوها وصلَّوا عليها، لكن فوجئنا بمن يستنكر علينا ذلك، فأحببنا أن نعرف الرأي الصحيح فيها من حضراتكم.

الـجـــواب : فضيلة الأستاذ الدكتور علي جمعة محمد

من المقرر المتفق عليه بين الفقهاء من أهل السنة أنه لا يُشترَط أن تكون الصلاة على شيء من جنس الأرض كالتراب والحصى مثلا، قال الشيخ الخطيب الشربيني الشافعي في "مغني المحتاج" 1/ 426: "أجمع المسلمون -إلا الشيعة- على جواز الصلاة على الصوف وفيه، ولا كراهة في الصلاة على شيء من ذلك إلا عند مالك، فإنه كره الصلاة عليه تنزيها، وقالت الشيعة: ولا يجوز ذلك؛ لأنه ليس من نبات الأرض

كما أنه لا يؤثر في صحة الصلاة أيضًا أن يكون ما يُصَلِّي عليه الإنسان شيئًا وثيرًا أو سميكًا بعض الشيء ما دام أن جبهته تستقر في السجود عليه. فروى الإمام البخاري في صحيحه من حديث عائشة -رضي الله عنها- ((أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وآله وسلم- كَانَ يُصَلِّي وَهْيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ))، وترجم عليه بقوله: "بَاب الصَّلاة عَلَى الْفِرَاش". قال الحافظ ابن حجر في "فتح الباري": "وأشار البخاري بالترجمة إلى ما أخرجه ابن أبي شيبة بسند صحيح عن إبراهيم النخعي عن الأسود وأصحابه أنهم كانوا يكرهون أن يصلوا على الطنافس والفراء والمسوح، وأخرج عن جمع من الصحابة والتابعين جواز ذلك

وروى الإمام أحمد في مسنده واللفظ له وأبو داود والطبراني في المعجم الكبير وصححه ابن خزيمة والحاكم من حديث المغيرة بن شعبة -رضي الله عنه- قال: ((كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وآله وسلم- يُصَلِّي -أَوْ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ- عَلَى فَرْوَةٍ مَدْبُوغَةٍ)). قال الحاكم: "هذا حديث صحيح على شرط الشيخين، ولم يخرجاه بذكر الفروة، إنما خرجه مسلم من حديث أبي سعيد في الصلاة على الحصير". وقال الذهبي: على شرط مسلم

وهذا الحديث وإن كان في إسناده من ضُعِّفَ في الحديث إلا أنه يُحسَّن لورود روايات أخرى في هذا المعنى، فروى الإمام أحمد في مسنده عن محمد بن عبد الرحمن بن أبي ليلى، أن رجلا قال: ((يا رسول الله؟ أُصلِّي في الفراء؟، قال: فَأَيْنَ الدِّبَاغُ؟)). قال الشيخ السندي في حاشيته على "المسند" 31/ 407: "أي إن لم تُصَلِّ فقد ضاع الدِّباغ، فإنه للتطهير وجواز الصلاة فيها، فإن لم تَجُزْ بعدُ فلا فائدة فيه". اهـ. وروى الحافظ الطُّيُوري الحنبلي في "الطُّيُورِيَّات" 740 عن ابن عباس -رضي الله عنهما- ((أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وآله وسلم- صَلَّى عَلَى طِنْفِسَة

وقد جاء عن جماعة من الصحابة والسلف جوازُ ذلك، وأنهم كانوا يُصَلُّون أحيانًا على أشياء سميكة ووثيرة؛ كالفُرُش، والمَرَافِق، والوسائد، والنَّمارِق، والطَّنَافِس، والمَيَاثِر، والعَبْقَرِيِّ، والفِرَاء، والمُسُوح، والأَحْلاس، والمَرَاشِح، واللُّبُود، وغير ذلك: فروى الإمام أبو بكر بن أبي شيبة في "المصنَّف" "في المريض يسجد على الوِسَادة والمِرفَقَة" 1/ 304- 305: عن ابن عباس -رضي الله عنهما- أنه قال: "يسجد المريض على المرفقة والثوب الطيِّب". وعن أم سلمة -رضي الله عنها- أنها رمدت عينها فكانت تسجد على وسادة من أدم، وعن أنس -رضي الله عنه- أنه سجد على مِرفَقَة، وعن أبي العالية أنه كان مريضا وكانت مِرفَقَة تُثْنَى له فيسجد عليها، والحسن البصري أنه كان لا يرى بأسا أن يسجد الرجل على المِرْفَقَة والوِسادة في السفينة

وروى "في الصلاة على الفِرَاش": عن أنس -رضي الله عنه- أنه كان يصلي على فراشه، وعن طاوس أنه كان يصلي على الفراش الذي مرض عليه

وروى أيضًا "في الصلاة على المُسُوح" 1/ 436- 437 عن علي وجابر وأبي الدرداء وابن مسعود وابن عباس -رضي الله عنهم-، وعن عمر بن عبد العزيز من التابعين رحمه الله تعالى أنهم كانوا يصلُّون على المُسُوح، بينما روى عن إبراهيم عن الأسود وأصحابه أنهم كانوا يكرهون أن يصلوا على الطنافس والفراء والمسوح

وروى أيضًا "في الصلاة على الطَّنافِس والبُسُط" 1/ 437- 438: عن أبي الدرداء -رضي الله عنه- أنه قال: ما أبالي لو صليت على ست طنافس بعضها فوق بعض، وعن سعيد بن جبير قال: صلى بنا ابن عباس -رضي الله عنهما- على طنفسة قد طبقت البيت صلاة المغرب، وعن عبد الله بن عمار قال: رأيت عمر يصلي على عبقري، وعن الحسن البصري قال: لا بأس بالصلاة على الطنفسة، وعنه أيضًا أنه كان يصلي على طنفسة قدماه وركبتاه عليها ويداه ووجهه على الأرض أو على بُورِيٍّ -وهو الحصير المعمول بالقصب-، وعن قيس بن عباد القيسي أنه صلَّى على لِبْد دابته، وعن مرة الهمداني أنه صلَّى على لِبْد. وروى أيضًا "في الصلاة على الفراء" 1/ 441- 442: عن مسروق أنه كان يدبغ جلد أضحيته فيتخذه مُصَلًّى يُصلِّي عليه، وعن علقمة كذلك، وعن عبد الرحمن بن الأسود أنه كان يُصلِّي في بيته على جلد فرو ضأن، الصوف ظاهر يلي قدميه، بينما روى عن الأسود وأصحابه أنهم كانوا يكرهون أن يصلُّوا على الفراء. اهـ
فالفُرُش: جمع فِرَاش، وهو ما يُنام عليه
والمَرافِق: جمع مِرْفَقَة كمِكْنَسَة، وهي المِخَدَّةُ والمُتَّكَأُ
والوَسَائِد: جمع وِسَادة، وهي ما يُوضع تحت الخَدّ، كالمِخَدَّة
والنَّمارِق: جمع نُمرُقة، وهي الوسادة التي يجلس عليها الراكب فوق الرَّحْل
والطَّنَافِس: جمع طِنْفِسَة مُثَلَّثة الطّاءِ والفاءِ، وهي بِسَاطٌ لَهُ خَمْلٌ رَقِيقٌ، وَقِيلَ: هُوَ مَا يُجْعَلُ تَحْتَ الرَّحْلِ عَلَى كَتِفَيْ الْبَعِيرِ
والمَيَاثِر: جمع مِيثَرَة، وهي وِطاءٌ مَحْشُوٌّ يُتْرَكُ على رَحْل البعيرِ تحت الرَّاكِبِ
والعَبْقَرِيُّ: جمع عَبْقَرِيّة، والعَبْقَرِيُّ كما قال الفَرّاءُ: الطَّنَافِسُ الثِّخانُ
والفِرَاء: جمع فروة، وهي الكساء المُتَّخَذ من فرو الحيوانات
والمُسُوح: جمع مِسْح بالكسر، وهو ثَوْبٌ من الشَّعر غليظٌ
والأَحْلاس: جمع حِلْس بالكسْرِ، وهو كُلُّ شيءٍ وَلِيَ ظهرَ البعيرِ والدَّابَّةِ تحتَ الرَّحْلِ والسَّرْجِ والقَتَبِ وهو بمنزلةِ المِرْشَحَةِ تكون تحتَ اللِّبْدِ
والمَرَاشِح: جمع مِرْشَح ومِرْشَحَة، وهي البِطانَةُ التي تحت لِبْدِ السَّرْجِ؛ سُمِّيَتْ بذلك لأَنها تُنَشِّف الرَّشْحَ يعنِي العَرَق
واللُّبُود: جمع لِبْد بالكسر ولِبْدَةٌ بزيادة الهاء ولُبْدَةٌ بالضَّم، وهي كُلُّ شَعَرٍ أَو صُوفٍ مُتَلَبِّدٍ، وفي بعض النسخ ملْتَبِد أَي بعضُه على بعْضٍ

وقال ابن حزم في "المحلَّى" 1/ 402- 403: "مسألة: والصلاة جائزة على الجلود، وعلى الصوف، وعلى كل ما يجوز القعود عليه إذا كان طاهرا. وجائز للمرأة أن تصلي على الحرير. وهو قول أبي حنيفة، والشافعي، وأبي سليمان، وغيرهم. وقال عطاء: لا تجوز الصلاة إلا على التراب والبطحاء. وقال مالك: تكره الصلاة على غير الأرض أو ما تنبت الأرض. قال علي: هذا قول لا دليل على صحته، والسجود واجب على سبعة أعضاء: الرجلين، والركبتين، واليدين، والجبهة والأنف. وهو يجيز وضع جميع هذه الأعضاء على كل ما ذكرنا، حاشا الجبهة، فأي فرق بين أعضاء السجود ولا سبيل إلى وجود فرق بينها: لا من قرآن ولا سنة صحيحة ولا سقيمة، ولا من إجماع ولا من قياس، ولا من قول صاحب ولا من رأي له وجه وبالله تعالى التوفيق

وروينا عن ابن مسعود: أنه صلى على مِسحِ شعر، وعن عمر بن الخطاب: أنه كان يسجد في صلاته على عبقري وهو بساط صوف، وعن ابن عباس: أنه سجد في صلاته على طنفسة، وهي بساط صوف، وعن أبي الدرداء مثل ذلك، وعن شريح والزهري مثل ذلك، وعن الحسن، ولا مخالف لمن ذكرنا من الصحابة -رضي الله عنهم- في ذلك وبالله تعالى التوفيق

وقد اشترط الفقهاء من أرباب المذاهب الفقهية المتبوعة في ما يُسجَد عليه أن يجد المصلِّي حجم الأرض فيما يسجد عليه بحيث تستقر عليه جبهته، فعند الحنفية: يقول الإمام السرخسي في "المبسوط" 1/ 205- 206: ""ولا بأس بأن يصلي على الثلج إذا كان ممكنا يستطيع أن يسجد عليه" معناه أن يكون موضع سجوده متلبدا؛ لأنه حينئذ يجد جبينه حجم الأرض، فأما إذا لم يكن متلبدا حتى لا يجد جبينه حجم الأرض حينئذ لا يجزيه؛ لأنه بمنزلة السجود على الهواء على هذا السجود على الحشيش أو القطن إن شغل جبينه فيه حتى وجد حجم الأرض أجزأ وإلا فلا، وكذلك إذا صلى على طنفسة محشوة جازت صلاته إذا كان متلبدا إلا على قول مالك رحمه الله تعالى، وقد روي عن بعض الصحابة قال: "ما أبالي صليت على عشر طنافس أو أكثر

وقال الإمام الكاساني في "بدائع الصنائع" 1/ 210: "ولو سجد به على حشيش أو قطن إن تسفل جبينه فيه حتى وجد حجم الأرض أجزأه، وإلا فلا، وكذا إذا صلى على طنفسة محشوة جاز إذا كان متلبدا، وكذا إذا صلى على الثلج إذا كان موضع سجوده متلبدا يجوز، وإلا فلا

وقال الإمام الكمال بن الهمام في "فتح القدير" 1/ 304: ""فروع" يجوز السجود على الحشيش والتبن والقطن والطنفسة إن وجد حجم الأرض، وكذا الثلج الملبد، فإن كان بحال يغيب فيه وجهه ولا يجد الحجم لا، وعلى العجلة على الأرض تجوز كالسرير لا إن كانت على البقر كالبساط المشدود بين الأشجار، وعلى العرزال والحنطة والشعير يجوز لا على الدخن والأرز لعدم الاستقرار

وفي "الفتاوى الهندية" 1/ 70: "ولو سجد على الحشيش أو التبن أو على القطن أو الطنفسة أو الثلج إن استقرت جبهته وأنفه ويجد حجمه يجوز، وإن لم تستقر لا". هكذا في الخلاصة

وقال الشيخ ابن عابدين في الحاشية 1/ 472 عند شرحه لقول الشرنبلالي: "وشَرْطُ سُجُودٍ فالقَرَارُ لِجَبْهَةٍ": ""وشرط سجود" مبتدأ ومضاف إليه "فالقرار" خبر بزيادة الفاء "لِجبهة" أي يُفتَرَض أن يسجد على ما يَجِدُ حجمه، بحيث إن الساجد لو بالغ لا يتسفل رأسه أبلغ مما كان عليه حال الوضع، فلا يصح على نحو الأرز والذرة، إلا أن يكون في نحو جوالق، ولا على نحو القطن والثلج والفرش إلا إن وجد حجم الأرض بكبسه

وقال أيضًا 1/ 523: ""قوله: وأن يجد حجم الأرض" تفسيره: أن الساجد لو بالغ لا يتسفل رأسه أبلغ من ذلك، فصح على طنفسة وحصير وحنطة وشعير وسرير وعجلة إن كانت على الأرض، لا على ظهر حيوان كبساط مشدود بين أشجار، ولا على أرز أو ذرة إلا في جوالق، أو ثلج إن لم يلبده وكان يغيب فيه وجهه ولا يجد حجمه، أو حشيش إلا إن وجد حجمه، ومن هنا يُعلَم الجواز على الطُّرَّاحة القطن، فإن وجد الحجم جاز وإلا فلا. بحر". اهـ

وقال العلامة الطحطاوي في حاشيته على "مراقي الفلاح" ص: 126 عند قول صاحب المراقي: "ومن شروط صحة السجود كونُه "على ما" أي شيء "يجد" الساجد "حجمه" بحيث لو بالغ لا تتسفل رأسه أبلغ مما كان حال الوضع، فلا يصح السجود على القطن والثلج والتبن والأرز والذرة وبذر الكتان، "و"بالحنطة والشعير "تستقر عليه جبهته" فيصح السجود، لأن حبّاتها يستقر بعضها على بعض؛ لخشونة ورخاوة": ""قوله: على ما يجد حجمه" أي يُبْسَه كما في الفتح، ولو كان بمعنى الأرض كسرير وعجلة على الأرض. "قوله: فلا يصح السجود على القطن... إلخ" أي إلا إذا وجد اليبس، وكذا كل محشو كفرش ووسادة. "قوله: والأرز والذرة" لأن هذه الأشياء -لِمَلاسَة ظاهرها وصلابة أجسامها- لا يستقر بعضها على بعض، فلا يمكن انتهاء التسفل فيها واستقرار الجبهة عليها، إلا إذا كانت في وعاء. "قوله: لخشونةٍ" أي في حباتها "ورخاوة" أي في أجسامها". اهـ

أما عند المالكية فإنهم كرهوا ذلك في غير المسجد ولغير حاجة، فإن كان في المسجد أو لحاجة فلا كراهة. يقول الشيخ الدسوقي في حاشيته على الشرح الكبير 1/ 252 عند قول الإمام الدردير: ""وَكُرِهَ سُجُودٌ عَلَى ثَوْبٍ" أَوْ بِسَاطٍ لَمْ يُعَدَّ لِفَرْشِ مَسْجِدٍ "لا" عَلَى "حَصِيرٍ" لا رَفَاهِيَة فِيهَا كَحلفَاءَ فَلا يُكْرَهُ "وَتَرْكُهُ" أَي السُّجُودِ عَلَى الْحَصِيرِ "أَحْسَنُ" وَأَمَّا الْحُصْرُ النَّاعِمَةُ فَيُكْرَهُ": ""قوله: لم يُعَد لفرش مسجد" أي ولم يكن هناك ضرورة داعية للسجود عليه كحر أو برد أو خشونة أرض، وإلا فلا كراهة، كما أنه لو كان البساط مُعَدًّا لفراش المسجد فلا كراهة في السجود عليه سواء كان الفرش به من الواقف أو من ريع الوقف أو من أجنبي فَرَشَه بذلك لوقفه لذلك الفرش". اهـ

وعند الشافعية: يقول الإمام الشافعي -رضي الله عنه- في كتاب "الأم" في باب ما يصلى عليه مما يلبس ويبسط 1/ 111: "صلَّى رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- في نَمِرَة، والنَّمِرةُ صوفٌ، فلا بأس أن يُصلَّى في الصوف والشعر والوبر ويُصلَّى عليه، وقال رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم-: ((أَيُّما إِهابٍ دُبِغَ فقد طَهُر))، فلا بأس أن يُصلَّى في جلود الميتة والسباع وكل ذي روح إذا دُبِغَ، إلا الكلب والخنزير، ويُصلَّى في جلد كلِّ ذَكِيٍّ يُؤكَل لحمُه وإن لم يكن مدبوغا". وقال الإمام النووي في "المجموع" 3/ 398: "لو سجد على قطن أو حشيش أو شيء محشو بهما وجب أن يتحامل حتى ينكبس ويظهر أثره على يد -لو فرضت تحت ذلك المحشو- فإن لم يفعل لم يجزئه

وقال إمام الحرمين: عندي أنه يكفي إرخاء رأسه، ولا حاجة إلى التحامل كيف فرض محل السجود، والمذهب الأول، وبه قطع الشيخ أبو محمد الجويني وصاحب التتمة والتهذيب

وقال الخطيب الشربيني في "مغني المحتاج" 1/ 373: ""وينال مسجدَه" وهو بفتح الجيم وكسرها: محل سجوده "ثِقَلُ رأسه" للخبر السابق: ((وإذا سجدت فمكن جبهتك)). ومعنى الثقل: أن يتحامل بحيث لو فرض تحته قطن أو حشيش لانكبس وظهر أثره في يد لو فرضت تحت ذلك، واكتفى الإمام بإرخاء رأسه. قال: بل هو أقرب إلى هيئة التواضع من تكلف التحامل، وينال معناه: يصيب ويحصل، ومسجده هنا منصوب، وثقل فاعل". اهـ

وعند الحنابلة: يقول ابن تيمية في "الفتاوى الكبرى" 2/ 68: "ولا نزاع بين أهل العلم في جواز الصلاة والسجود على المفارش إذا كانت من جنس الأرض، كالخُمرة والحصيرة ونحوه، وإنما تنازعوا في كراهة ذلك على ما ليس من جنس الأرض: كالأنطاع المبسوطة من جلود الأنعام، وكالبسط والزرابي المصبوغة من الصوف، وأكثر أهل العلم يرخصون في ذلك أيضا، وهو مذهب أهل الحديث كالشافعي وأحمد، ومذهب أهل الكوفة كأبي حنيفة وغيرهم. وقد استدلوا على جواز ذلك أيضا بحديث عائشة، فإن الفراش لم يكن من جنس الأرض، وإنما كان من أدم أو صوف

وقال المرداوي في "الإنصاف" 2/ 70: "قال الأصحاب: لو سجد على حشيش أو قطن أو ثلج أو برد ونحوه، ولم يجد حجمه: لم يصح؛ لعدم المكان المستقر". وقال البهوتي في كشاف القناع 1/ 298: ""و" تصح الصلاة "على الثلج بحائل أو لا، إذا وجد حجمه" لاستقرار أعضاء السجود "وكذا حشيش وقطن منتفش" تصح الصلاة عليه إذا وجد حجمه "وإن لم يجد حجمه لم تصح" صلاته؛ لعدم استقرار الجبهة عليه

وبناء على ذلك وفي واقعة السؤال: فإن هذه المرتبة التي عملتموها للصلاة عليها جائزة شرعًا، ولا حرمة في الصلاة عليها باتفاق الفقهاء مِن أهل السنة وأرباب المذاهب الأربعة؛ لأن سُمْكَها المذكور يسير لا يمنع من استقرار الجبهة ويجد المصلِّي حجم الأرض عند السجود عليها، كما أنه لا كراهة فيها عند المالكية أيضًا؛ لأن الكراهة تنتفي عندهم إذا كان ذلك في المسجد أو للحاجة، وكلا الأمرين حاصل هنا

والله سبحانه وتعالى أعلم


Sumber : Situs Lembaga Fatwa Mesir / دار الإفتاء المصرية
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=552