Template information

Download Kitab Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khothib



Judul kitab : Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khothib

Penulis : Syekh Sulaiman Bin Muhammad bin Umar Al-Bujairomi

Muhaqqiq : Syekh Ali Muhammad Mu'awwadh - Syekh Adil Ahmad Abdul Maujud

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1996

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2  Jilid 3  Jilid 4

Download Kitab Al-Iqna' Syarah Taqrib



Judul kitab : Al-Iqna' Fi Halli Alfadhi Abi Syuja'

Penulis : Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfihani (Abu Syuja')

Muhaqqiq : Syekh Ali Muhammad Mu'awwadh - Syekh Adil Ahmad Abdul Maujud

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Ketiga

Tahun : 2004

Link download (PDF) : Cover  Jilid 1  Jilid 2

Download Kitab Tausyekh Ala Fathul Qorib


Judul kitab : Qutul Habib Al-Ghorib, Tausyekh Ala Fathul Qorib Al-Mujib

Penulis : Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi

Muhaqqiq : Muhammad Abdul Aziz Al-Kholidi

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1998

Link download (PDF) : Klik disini

......................................................................................................................

Link Terkait :






Download Kitab Fathul Qorib Syarah Taqrib



Judul kitab : Fathul Qorib Al-Mujib Ala  At-Taqrib

Penulis : Syeh Muhammad  bin Qosim bin Muhammad Al-Ghozi


VERSI PERTAMA :


Penerbit : Musthofa Albabi Al-Halabi, Kairo - Mesir

Tahun Terbit : 1343 H

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA :


Muhaqqiq : Yusuf Ar-Rozzaq

Penerbit : Maktabah Al-Husain At-Tijariyah

Link download (PDF) : Muqoddimah  Kitab

................................................................................................


Link Terkait :





Download Kitab Matan Taqrib (Al-Ghoyah Wat Taqrib)


Judul kitab : Al-Ghoyah Wat Taqrib

Penulis : Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfihani (Abu Syuja')


VERSI PERTAMA :

Penerbit : Maktabah Al-Jumhuriyah Al-Arobiyah, Kairo - Mesir

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA :

Muhaqqiq : Majid Al-Hamawi

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun : 1994

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KETIGA :

Muhaqqiq : Muhammad Labib

Penerbit : Darus Shohabah Lit-Turots, Thonto - Mesir

Cetakan : Pertama

Tahun : 1413 H

Link download (PDF) : Klik disini

.........................................................................................


Link Terkait :





Download kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurrotul Ain - Nawawi Al-Jawi



Judul kitab : Nihayatuz Zain Fi Irsyadil Mubtadi'in  

Penulis : Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi

Muhaqqiq : Abdulloh Mahmud Muhammad Umar

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2002

Link download (PDF) : Klik disini

Download kitab Fathul Mu'in Syarah Qurrotul Ain - Zainuddin Al-Malibari



Judul kitab : Fathul Mu'in Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin 

Penulis : Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannani

Muhaqqiq : Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut - Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2004

Link download (PDF) : Klik disini

Kajian Kitab Safinatun Naja : Syarat-Syarat Wudhu

فَصْلٌ : شُرُوْطُ الْوُضُوْءِ عَشَرَةٌ
 الإِسْلاَمُ
وَالتَّمْيِيْزُ
وَالنَّقَاءُ عَنِ الْحَيْضِ، والنِّفَاسِ
وَعَمَّا يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ إِلَى الْبَشَرَةِ
وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ عَلَى الْعُضْوِ مَا يُغَيِّرُ الْمَاءَ
وَالْعِلَمُ بِفَرْضِيَّتِهِ
وَ أَنْ لاَ يَعْتَقِدَ فَرْضَاً مِنْ فًرُوْضِهِ سُنَّةً
وَالْمَاءُ الطَّهُوْرُ
وَدُخُوْلُ الْوَقْتِ وَالْمُوَالاَةُ لِدَائِمِ الْحَدَثِ
 
[Pasal] Syarat-syarat wudlu ada 10 :
1. Islam
2. Tamyiz
3. Bersih dari haidh
4. Bersih dari nifas
5. Bebas dari sesuatu yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit
6. Tidak   terdapat sesuatu pada anggota wudlu’ yang bisa merubah air
7. Mengetahui kewajiban wudhu
8. Tidak meyakini fardhu-fardhu wudhu sebagai suatu kesunatan
9. (Menggunakan) air yang suci dan mensucikan
10. Harus setelah memasuki waktu shalat bagi orang yang “dai’mul hadats” (selalu berhadats)

Penjelasan
SYARAT-SYARAT WUDHU

Syarat sah mengerjakan wudhu yang sekiranya apabila salah satunya tidak terpenuhi maka wudhu tidak dihukumi sah, itu jumlahnya ada 10. Penjelasannya secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Islam
Wudhu hanya bisa sah apabila dikerjakan oleh seorang muslim, karena itu orang kafir tidak sah mengerjakan wudhu sebab wudhu merupakan ibadah badaniah (ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan yang nampak) yang disyaratkan bagi yang mengerjakannya harus beragama islam dan juga membutuhkan niat, karena itu orang kafir tidak sah mengerjakan wudhu.

2. Tamyiz
Orang yang mengerjakan wudhu disyaratkan harus sudah tamyiz agar wudhu yang dikerjakannya dihukumi sah, karena itu wudhu yang dikerjakan oleh anak kecil yang belum tamyiz tidak sah. Sebab wudhu membutuhkan niat yang berfungsi untuk membedakan antara pekerjaan yang bersifat ibadah dengan yang lainnya.

3. Suci dari haidh dan nifas
Wanita yang sedang dalam keadaan haidh dan nifas tidak sah apabila mengerjakan wudhu, begitu juga tidak sah mandi besar yang dikerjakan dengan niat menghilangkan hadat, bahkan hal tersebut harom dilakukan oleh wanita yang sedang haidh dan nifas. Sebab wudhu adalah ibadah, sedangkan orang yang sedang mengeluarkan darah haidh atau nifas bukanlah termasuk orang yang diperintahkan untuk mengerjakan ibadah tersebut.

4. Bersihnya anggota badan dari perkara yang dapat mencegah sampainya air keanggota tubuh
Anggota badan orang yang wudhu disyaratkan harus bersih dari perkara yang akan menghalang-halangi sampainya air pada kulit bagian luar, seperti adanya benda padat yang menempel pada anggota badan yang wajib dibasuh dalam wudhu, Adapun kotoran yang ada dibawah kuku apabila kotoran tersebut berasal dari benda lain maka harus dibersihkan, namun apabila berasal dari keringat tubuh yang mengendap maka tidak wajib dihilangkan.

5. Tidak   terdapat sesuatu pada anggota wudlu’ yang bisa merubah air
Maksudnya adalah pada anggota tubuh orang yang wudhu tidak terdapat sesuatu yang akan membuat air yang digunakan wudhu menjadiberubah yang mana perubahan tersebut sampai merubah kemutlakan air, seperti ada minyak za’faron pada anggota badan dan saat menempel pada air yang digunakan wudhu minyak tersebut merubah air menjadi seperti minyak, namun apabila perubahannya hanya sedikit air tersebut masih bisa digunakan bersuci.

6. Mengetahui kewajiban wudhu
Orang yang wudhu harus mengerti bahwa wudhu yang dikerjakan hukumnya adalah wajib. Jadi apabila ia ragu-ragu mengenai kewajibannya atau ia meyakini bahwa wudhu sebelum sholat bagi orang yang hadats hukumnya sunat, maka wudhunya tidak sah.

7. Tidak meyakini fardhu-fardhu wudhu sebagai suatu kesunatan
Artinya wudhu seseorang dihukumi sah apabila :
a) Mengetahui dengan pasti mana yang wajib dan mana yang sunat
b) Meyakini bahwa semua yang ia kerjakan adalah wajib
c) Meyakini bahwa sebagian yang ia kerjakan adalah wajib dan sebagian yang lainnya adalah sunat, tanpa tahu persis mana yang wajib dan mana yang sunat, semisal ia ditanya mana yang wajib dan mana yang sunat ia menjawab; “saya tidak tahu”.

Dalam ketiga keadaan tersebut wudhu yang dikerjakan seseorang dihukumi sah. Yang dihukumi tidak sah adalah apabila seseorang meyakini bahwa salah satu fardhu-fardhu tersebut hukumnya sunat.

8. Menggunakan air yang suci dan mensucikan
Air yang digunakan untuk wudhu haruslah air yang suci dan mensucikan, jadi apabila yang digunakan adalah air yang suci tapi tidak bisa menyucikan seperti air musta’mal dan air yang terkena najis mka wuhunya tidak sah.

Delapan syarat diatas adalah syarat yang diberlakukan secara umum, sedangkan bagi orang yang terus menerus berhadats, seperti wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh dan orang yang tidak bisa berhenti mengeluarkan air kencing, maka terdapat 2 syarat tambahan, yaitu :

1. Masuknya waktu sholat, jadi apabila wudhunya dilakukan sebelum masuknya waktu maka wudhunya tidak sah dan harus diulangi lagi saat waktu sholat telah masuk.

2. Muwalah (terus menerus dalam mengerjakan fardhu-fardhu wudhu). Maksud dari muwalah adalah membasuh/mengusap anggota badan sebelum keringnya anggota badan sebelumnya.

Lebih jelasnya, urutan dari perkara-perkara yang harus dikerjakan orang yang selalu berhadats adalah :
a) Membersihkan najisnya
b) Menempelkan kapas pada tempat keluarnya darah kecuali saat puasa.
c) Jika kapas tersebut tidak mencukupi, karena darah yang keluar banyak semisal, maka ditambah dengan perban
d) Setelah waktu sholat masuk, bergegas melakukan wudhu dan sholat.

Referensi
1. Ghoyatul Muna, Hal : 176 - 179


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

Kajian Kitab Safinatun Naja : Fardhu-Fardhu Mandi

فَصْلٌ : فُرُوْضُ الْغُسْلِ اثْنَانِ
النِّيَّةُ
وَ تَعْمِيْمُ الْبَدَنِ بِالمَاءِ

Terjemahan
[Pasal] Fardhu-fardhu mandi itu ada 2 :
1. Niat
2. Meratakan air keseluruh badan

Penjelasan
1. Niat mandi besar harus dikerjakan ketika membasuh bagian pertama pada tubuh, baik itu dimulai dari kepala atau bagian lainnya, jadi pembasuhan yang dikerjakan sebelum niat tidak dianggap, dalam arti pembasuhan tersebut harus diulang lagi setelah niat (1).

2. Kewajiban untuk mengerjakan niat pada pembasuhan pertama mengecualikan masalah memandikan mayit, sebab ketika memandikan mayit tidak diwajibkan untuk niatnya dikerjakan pada basuhan pertama, hanya saja disunatkan untuk mengerjakan niat pada basuhan pertama (2).

3. Niat mandi bisa dilakukan dengan beberapa cara, berikut ini niat-niat yang bisa dikerjakan (gunakan salah satunya);

•    a). Niat menghilangkan hadats janabah, dengan kalimat : “NAWAITU ROF’AL JANABAH” (saya niat menghilangkan hadats janabat)

•    b) Niat menghilangkan hadats besar, dengan kalimat : “NAWAITU ROF’AL HADATSIL AKBAR” (saya niat menghilangkan hadats besar).

•    c). Niat melakukan kewajiban mandi, dengan kalimat : “NAWAITU FARDHOL GHUSLI” (saya niat melakukan kewajiban mandi).

•    d). Niat bersuci dari sholat, dengan kalimat : “NAWAITUT THOHAROH LIS-SHOLAT” (saya niat bersuci untuk mengerjakan sholat) (3).

Hal yang harus diketahui adalah bahwa niat tidak diharuskan memakai bahasa arab, dan bisa dilakukan dengan bahasa apapun. Selain itu niat tidak wajib diucapkan karena niat tempatnya didalam hati.

4. Apabila berkumpul 2 mandi pada seseorang, maka hukumnya diperinci sebagai berikut :

•    Apabila yang berkumpul adalah 2 mandi wajib, seperti orang yang memiliki kewajiban untuk mandi karena melakukan hubungan intim sekaligus kewajiban mandi yang disebabkan mengeluarkan mani maka niatnya cukup satu saja.

•    Apabila yang berkumpul adalah 2 mandi sunat, seperti orang yang selesai memandikan jenazah dan juga hendak pergi melaksanakan sholat jum’at, maka niatnya juga cukup satu saja.

•    Apabila yang berkumpul adalah mandi wajib dan mandi, seperti orang yang mengeluarkan mani dan hendak pergi melaksanakan sholat jum’at, maka niatnya harus 2, satu niat untuk mandi wajib dan satu niat untuk mandi sunat (4).

5. Jika pada tubuh seseorang terdapat najis, maka najis tersebut cukup dibasuh ketika mandi dan basuhan untuk menghilangkan najis tersebut juga sudah termasuk basuhan untuk menghilangkan hadats, jadi tidak harus dilakukan pembasuhan untuk menghilangkan najis dan pembasuhan untuk menghilangkan hadats secara tersendiri, sebab satu basuhan sudah mencukupi untuk keduanya sekaligus (5).

6. Apabila berrkumpul hadats kecil dan hadats besar pada seseorang, maka orang tersebut cukup melakukan mandi saja, sebab dengan mengerjakan mandi hadats besar dan hadats kecilnya sudah hilang semua (6)

7. Orang yang memiliki beberapa kewajiban mandi cukup mengerjakan mandi satu kali untuk menghilangkan semua hadatsnya, begitu juga orang yang untuk mandi sunah. Yang dimaksud dengan “cukup” disini adalah bahwa orang yang tanggungannya sudah gugur, sedangkan untuk masalah pahalanya, orang tersebut hanya akan mendapatkannya apabila mengerjakan mandinya sebanyak bilangan hadatsnya dan dikerjakan dengan niat tersendiri (7).

Referensi
1. Kasyifatus Saja, Hal : 24
2. Ghoyatul Muna, Hal : 171
3.4. Taqrirot As-Sadidah, hal : 118
5. Ghoyatul Muna, Hal : 171
6.7. Ghoyatul Muna, Hal : 172


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Perkara - Perkara Yang Mewajibkan Mandi

فَصْلٌ : مُوْجِبَاتُ الْغُسْلِ سِتَّةٌ
إِيْلاَجُ الْحَشَفَةِ فِيْ الْفَرْجِ
وَخُرُوُجُ الْمَنيِّ
وَالْحَيْضُ
وَالنَّفَاسُ
وَالْوِلاَدَةُ
وَالْمَوْتُ

Terjemahan
[Pasal] Perkara-perkara yang mewajibkan mandi ada 6 :
1. Memasukkan hasyafah kedalam farji
2. Keluarnya mani
3. Haid
4. Nifas
5. Melahirkan
6. Meninggal dunia

Penjelasan
1. Perkara - perkara yang mewajibkan seseorang untuk mengerjakan mandi dibagi menjadi 2; 
•    Pertama; Perkara-perkara yang mewajibkan mandi yang berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan, yaitu : Memasukkan hasyafah kedalam farji, keluarnya mani  dan meninggal dunia.
•    Kedua; Perkara-perkara yang mewajibkan mandi yang hanya berlaku bagi perempuan, yaitu : keluarnya darah haidh, nifas dan melahirkan (1).

2. Masuknya hasyafah (bagian ujung dari penis yang terlihat setelah dikhitan) kedalam farji mewajibkan mandi meskipun masuknya tidak dengan sengaja atau dalam keadaan tidur (2).

3. Seorang lelaki diwajibkan mandi apabila :
•    Hasafahnya masuk kedalam farji bagian depan (vagina) atau bagian belakang (dubur
•    Hasafahnya masuk kedalam farjinya seorang perempuan, hewan atau sesamaa lelaki (sodomi)
•    Hasyafahnya masuk kedalam farji anak kecil atau orang yang sudah dewasa
•    Hasyafahnya masuk kedalam farji orang yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia.

Begitu juga seorang perempuan diwajibkan mandi apabila farjinya dimasuki hasyafah, baik hasyafah seorang manusia, hewan, anak kecil atau orang yang sudah meninggal (3).

4. Keluarnya mani mewajibkan mandi bagi laki-laki dan wanita, baik keluarnya diwaktu sedang tidur atau terjaga (4).

5. haidh adalah darah kebiasaan yang keluar dari dari pangkal rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu (5)

6. Nifas adalah darah yang keluar setelah seorang wanita melahirkan, meskipun yang keluar berupa segumpal daging atau segumpal darah (wanita keguguran). Jadi, darah yang keluar bersamaan dengan bayi dan sebelum bayi keluar secara sempurna tidak dihukumi darah nifas (6).

7. Melahirkan adalah mewajibkan seorang wanita untuk mandi secara tersendiri, maksudnya semisal ada seorang wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah nifas tetap wajib mandi. Begitu juga diwajibkan mandi meskipun yang keluar hanya berupa gumpalan daging atau gumpalan darah, karena gumpalan daging atau darah tersebut adalah cikal bakal penciptaan manusia (7).

8. Kematian seseorang mewajibkan mandi kecuali bagi orang yang mati syahid dimedan pertempuran.

Referensi
1. Kasyifatus Saja, Hal : 22  Ghoyatul Muna, Hal : 167
2. Kasyifatus Saja, Hal : 22
3. Kasyifatus Saja, Hal : 22
4. Kasyifatus Saja, Hal ; 23  Ghoyatul Muna, Hal : 168
5. Kasyifatus Saja, Hal ; 23
6. Kasyifatus Saja, Hal : 23
7. Kasyifatus Saja, Hal : 24  Ghoyatul Muna, Hal : 170


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"

Kajian Kitab Safinatun Naja : Air Sedikit Dan Air Banyak

فَصْلٌ : المَاءُ قَلِيْلٌ وَكَثِيْرٌ
فَالْقَلِيْلُ: مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ
وَالْكَثِيْرُ: قُلَّتَانِ فَأكْثَرُ
وَالقَلِيْلُ: يَتَنَجَّسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ فِيْهِ، وَإِن لَمْ يَتَغَيَّرْ
وَالْمَاءُ الْكَثِيْرُ: لاَ يَتَنَجَّسُ إِلاَّ إذا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، أوْ رِيْحُهُ

Terjamahan
[Pasal] Air terbagi menjadi 2, air sedikit dan air banyak ;
1.  Air sedikit adalah air yang kurang dari kulah
2. Air banyak adalah air yang mencapai 2 kulah atau lebih.

Air sedikit dihukumi najis jika  terkena najis walaupun tidak berubah.  
Sedangkan air banyak, tidak dihukumi najis kecuali jika berubah rasa, warna dan baunya.

Penjelasan
1. Ada 2 cara untuk menetapkan air 2 kulah;
Pertama, dengan melihat dari wadah air tersebut. Perinciannya adalah;
-    Apabila wadah yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi empat, maka panjang, lebar dan kedalaman wadah tersebut adalah 1 seperempat dziro’
-    Apabila wadah yang digunakan adalah wadah berbentuk persegi tiga, maka panjang ketiga sisinya adalah 2 setengah dziro’ dan kedalamannya 2 dziro’.
-    Apabila wadah yang digunakan berupa wadah berbentuk lingkaran, maka lebarnya adalah 1 dziro’ dan kedalamannya 2 setengah dziro’.
( 1 Dziro’ = 48 cm )

Kedua, dengan me;lihat isinya. Apabila volume air telah mencapai 216 liter, maka air tersebut telah mencapai 2 kulah (1).

2. Air yang kurang dari 2 kulah apabila terkena najis maka dihukumi najis dengan syarat :
a. Benda yang najis jatuh kedalam air tersebut, apabila najisnya yang disiramkan pada najis maka air tersebut tidak dihukumi najis kecuali jika air tersebut berubah setelah terpisah dari najis tersebut atau volume airnya bertambah setelah bercampur dengan najis tersebut.
b. Diyakini bahwa air yang kurang dari 2 kulah tersebut kemasukan najis, apabila masih diragukan apakah air tersebut kemasukan najis atau tidak, sedangkan sebelumnya air tersebut suci, maka air tersebut tetap dihukumi suci.
c. Najis yang jatuh kedalam air tersebut bukanlah najis yang ma’fu, apabila najis yang masuk adalah najis yang ma’fu, seperti bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dalam tubuhnya maka air tersebut tetap dihukumi suci (2).

3. Air 2 kulah atau lebih yang terkena najis tetap dihukumi suci dan tidak dihukumi najis selama air tersebut tidak berubah rasanya, warnanya atau baunya atau berubah semua sifatnya, dimana perubahannya disebabkan benda najis tersebut (3).

Referensi
1. Kasyifatusy Syaja, Hal : 20,  Ghoyatul Muna, Hal : 161
2. Ghoyatul Muna, Hal : 162
3. Ghoyatul Muna, Hal : 163

 
Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Fardhu-Fardhu Wudhu

فَصْلٌ : فُرُوْضُ الْوُضُوْءِ سِتَّةٌ
الأَوَّلُ: النَّيَّةُ
الثَّانِيْ:غَسْلُ الْوَجْهِ
الثَّالِثُ: غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ
الرَّابعُ: مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ
الْخَامِسُ: غَسْلُ الِّرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ
السَّادِسُ: التَّرْتِيْبُ

فَصْلٌ : النِّيَّة قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنَاً بِفِعْلِهِ، وَمَحَلُّهَا: الْقَلْبُ، وَالتَّلَفُّظُ بِهَا: سُنَّةٌ، وَوَقْتُهَا عِنْدَ غَسْلِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ الْوَجْهِ

وَالتَّرْتِيْبُ : أَنْ لاَ يُقُدَّمَ عُضْوٌ عَلَى عُضْوٍ

Terjemahan
[Pasal] Fardhu - fardhu wudlu’ ada 6 :
1. Niat
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan besert kedua siku
4. Membasuh sebagian dari kepala
5. Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki
6. Tertib

[Pasal] Niat  adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu bersamaan dengan melakukan pekerjaan tersebut,  tempatnya niat didalam hati, sedangkan mengucapkan niat dengan lisan itu sunnah. Waktu niat adalah ketika membasuh muka

Tertib adalah tidak mendahulukan satu anggota wudlu’ atas anggota wudlu yang lain.

Penjelasan
1. Kewajiban - kewajiban yang dikerjakan dalam sholat diistilahkan dengan “rukun” yang artinya bagian pokok/utama, sedangkan kewajiban - kewajiban yang dikerjakan saat berwudhu diistilahkan dengan “fardhu” yang artinya sama dengan wajib, karena pekerjaan - pekerjaan yang dikerjakan dalam sholat bagaikan satu perkara yang tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena itu setiap kewajiban adalah bagian utama dalam sholat, berbeda halnya dengan wudhu dimana setiap kewajibannya seperti bagian - bagian yang terpisah (1).

2. Niat itu tempatnya didalam hati, jadi tidak wajib dan tidak syaratkan untuk mengucapkannya, namun dianjurkan mengucapkannya dengan tujuan untuk membantu memudahkan niat dalam hati (2) dan agar anggota badan yang luar juga melakukan ibadah termulia bersamaan dengan hati, yaitu keikhlasan yang diwujudkan dalam niat (3).

3. Niat wudhu harus dikerjakan bersamaan dengan basuhan pertama pada wajah.

4. Pembasuhan yang dilakukan saat wudhu, baik ketika membasuh wajah atau yang lainnya bisa dilakukan dengan membasuh sendiri dan juga dibasuhkan orang lain meskipun tanpa ijinnya, asalkan niat berwudhu (4).

5. Agar wudhu bisa dikerjakan dengan sempurna, maka saat membasuh anggota badan saat wudhu  diwajibkan pula membasuh bagian - bagian yang berada didekatnya. Perinciannya sebagai beriktu;
a. Ketika membasuh wajah diwajibkan juga membasuh bagian kepala disekitar wajah, telinga, dan lainnya.
b. Ketika membasuh kedua tangan dan siku, sebagian lengan bagian atas juga dibasuh.
c. Ketika membasuh kedua kaki dan mata kaki, debagian lutut juga ikut dibasuh (5).

6. Mengusap sebagian kepala bisa dilakukan dengan mengusap kulit kepala atau mengusap rambut yang masih berada dalam batasan kepala (6).

7. Mengusap kepala dianggap mencukupi apabila kepala telah basah terkena air, jadi bisa dilakukan dengan tangan,mengusapkan kain yang basah atau meneteskan air pada kepala pada penutup kepala namun airnya menembus sampai kepala dan membasahinya (7).

Referensi
1. Kasyifatusy Syaja, Hal : 18, Ghoyatul Muna, Hal : 133
2. Kasyifatusy Saja, Hal : 19, Ghoyatul Muna, Hal : 157
3. Ghoyatul Muna, Hal : 157
4. Ghoyatul Muna, Hal : 139
5. Ghoyatul Muna, Hal : 140-142
6 & 7. Ghoyatul Muna, Hal : 142

 
Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Safinatun Naja : Syarat – Syarat Istinja

فَصْلٌ : شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ
 أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ
وَأنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ
وَأنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ
وَأَنْ لاَ يَنْتَقِلَ
وَلاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ
وَأََّ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ
وَأَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ
وَأنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً

Terjemahan
[Pasal] Syarat dianggap mencukupinya beristinja’ dengan batu:
1. Menggunakan 3 batu
2. Batu tersebut bisa membersihkan tempat najis
3. Najisnya belum sampai kering
4. Najisnya tidak berpindah ke tempat lain
5. Tidak terkena najis lain
6. Najisnya tidak melewati lubang dubur dan ujung penis
7. Najisnya tidak terkena air
8. Batu yang digunakan harus batu yang suci

Penjelasan
1. Istinja’ (membersihkan najis yang keluar saat buang air) bisa dilakukan dengan cara memakai batu terlebih dahulu kemudian dibasuh dengan air, hanya memakai air saja atau hanya memakai batu saja, namun yang paling baik adalah dengan cara pertama, yaitu mengusap dengan batu sebanayak 3 kali kemudian disiram dngan air (1).

2. Syarat – syarat istinja’ dibagi menjadi 3;
a) Syarat - syarat yang berkaitan dengan benda yang dipakai istinja’
b) Syarat – syarat yang berkaitan dengan penggunaan benda – benda yang dipakai istinja’
c) Syarat – syarat yang berkaitan dengan najis yang keluar ketika buang air

3.  Syarat – syarat yang berkaitan dengan benda yang dipakai istinja’, yaitu :
a) Benda yang dipakai istinja’adalah benda padat dan kering, seperti batu atau tisu. Karena itu tidak sah istinja’ menggunakan benda cair, semisal air cuka.
b) Benda yang digunakan adalah benda yang suci, bukan benda yang najis, seperti kotoran hewan atau benda yang terkena najis.
c) Benda tersebut bisa menghilangkan kotoran yang keluar, maka dari itu tidak sah beristinja’ dengan menggunakan benda yang yang halus, seperti debu yang lembut atau pohon bamboo yang halus.
d) Benda tersebut tidak dimuliakan, jadi tidak boleh dan tidak sah istinja’ dengan benda yang dimuliakan, semisal kertas yang bertuliskan nama Alloh, malaikat atau nama para rosul dan nabi, contoh lainnya seperti kitab – kitab atau buku – buku tentang ilmu agama, seperti tafsir, hadits dan fiqih (2).

3. Syarat – syarat yang berkaitan dengan penggunaan benda – benda yang dipakai istinja’ yaitu :
a. Menggunakan 3 batu/sejenisnya atau 3 sisinya, jadi tidak boleh kurang dari 3 kali usapan. apabila sudah mencukupi, jika belum cukup maka harus diusap lagi sanpai kotorannya tidak ada.
b. Benda yang digunakan istinja’ tersebut mampu menghilangkan kotoran hingga tak tersisa lagi kecuali bekasnya saja, namun disunatkan untuk menghilangkan bekasnya juga. Jadi tidak mencukupi beristinja’ dengan benda yang lembut yang tak mampu membersihkan kotoran, semisal dengan kaca atau plastik.

4. Syarat – syarat yang berkaitan dengan najis yang keluar ketika buang air yaitu :
a. Najis yang menempel belum sampai kering, apabila sudah kering harus disiram dengan air sampai suci dan tidak cukup hanya dengan batu.
b. Najis yang keluar tidak berpindah ke tempat lain, semisal pindah ke paha, apabila berpindah maka istinja’nya harus dengan air.
c. Najis tersebut tidak bertemu/bercampur dengan najis lain, semisal terkena kotoran binatang, apabila bercampur dengan najis lain, istinja’nya harus dengan air.
d Tinja yang keluar tidak melewati lubang dubur dan air kecing yang keluar tidak melewati hasyafah (bagian ujung penis yang terlihat setelah dikhitan). Jika sampai melewati maka harus istinja’ dengan air.
e. Kotoran yang keluar tidak terkena air, apabila terkena air harus istinja’ dengan air (3).

Referensi
1. Fathul Qorib, Hal : 16
2. Ghoyatul Muna, Hal : 122
3. Ghoyatul Muna, Hal : 125 - 129


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Ii Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Kitab Safinatun Najah : Tanda – Tanda Usia Baligh

فَصْلٌ : عَلاَمَاتُ الْبُلُوْغِ ثَلاَثٌ
تَمَامُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فِيْ الذَّكّرِ وَالأُنْثَى
وَالاحْتِلاَمُ فِيْ الذَّكَرِ وَالأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ
وَالْحَيْضُ فِيْ الأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ

Terjemahan
[Pasal] Tanda-tanda baligh itu ada 3 : 
1. Genap berusia 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan       
2. Mimpi basah, baik bagi laki-laki maupun perempuan
3. Haid bagi perempuan yang telah berumur 9 tahun.

Penjelasan
1. Baligh adalah; sampainya batasan usia taklif. Sedangkan taklif adalah; sampainya seseorang pada usia yang dianggap oleh agama dan orang tersebut juga dalam keadaan beakal sehat, panca inderanya berfungsi secara normal dan telah sampai dakwah agama islam kepadanya (1).

2.Tanda – tanda bahwa seseorang sudah mencapai masa baligh dimana ia mulai terikat dengan hukum – hukum syariat itu ada 3 :
a. Seorang lelaki atau perempuan telah genap berumur 15 tahun (tahdidiyah) yang dihitung mulai sempurnanya kelahiran seorang bayi dan hitungan umur 15 tahun ini mengikuti perhitungan tahun qomariyah (tahun hijriyah) (2).
b. Seorang laki – laki atau perempuan telah ihtilam, yaitu mimpi yang menyebabkan ia mengeluarkan mani (3). Begitu juga apabila telah mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga (tidak sedang tidur), baik keluarnya karena berhubungan intim atau karena sebab lainnya (3)
c. Seorang wanita telah mengeluarkan darah haidh, dan keluarnya pada usia 9 tahun dengan hitungan tahun qomariyah (4).

3. Hikmah dari ditetapkannya umur 15 tahun sebagai batasan umur terikatnya sesorang dengan hukum – hukum syari’at (taklif) karena pada usia tersebut syahwat mulai bergejolak dan timbul hasrat seksual, begitu juga syahwat – syahwat lain seperti dalam hal makanan dan suka bermewah – mewahan. Syahwat – syahwat tersebut yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan. Karena itu syahwat-syahwat tersebut harus dikekang dan dikendalikan dengan tali ketakwaan agar seseorang tidak menuruti syahwatnya dengan diberikan perjanjian-perjanjian dan juga ancaman. Selain itu, pada usia ini seseorang telah sampai pada kesempurnaan akal sdan juga kekuatan fisiknya, karena itu diperlukan pengarahan berupa hukum-hukum yang mengikat karena kuatnya dorongan syahwat dan pemikiran dan dirasa sudah mampu nenerima hukuman apabila menyimpang (5).

Referensi
1. Ghoyatul Muna, Hal : 106
2&3. Kasyifatus Syaja, Hal : 16,  Ghoyatul Muna, Hal : 108
3. Kasyifatus Syaja, Hal : 16
4. Ghoyatul Muna, Hal : 109
5. Ghoyatul Muna, Hal : 108


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Li Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]

Kajian Kitab Safinatun Naja : Rukun Islam Dan Rukun Iman

بِسْمِ اللهِ الُرَّحْمَنِ الُرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اُلْعَالَمِيْنَ
وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُرِ اُلدُّنْيَا وَاُلدَّيْنِ
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاَتِمِ اٌلنَّبِيَّيْنَ، وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاُللهِ اُلْعَلِيِّ اُلْعَظِيْمِ

فَصْلٌ : أَرْكَانُ اُلإِسْلامِ خَمْسَةٌ 
 شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ
 وإِقَامُ الصَّلاَةِ
 وإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ
 وصَوْمُ رَمَضَانَ
 وحَجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً

فَصْلٌ : أَرْكَانُ الإِيْمَانِ سِتَّةٌ
 أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ
 ومَلاَئِكَتِهِ
وكُتُبِهِ
 ورُسُلِهِ
 ِوالْيَوْمِ الآخِرِ
والْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى

فَصْلٌ : وَمَعْنَى لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ لاَ مَعْبُودَ- بِحَقٍّ فِيْ الْوُجُوْدِ إِلاَّ اللهُ

Terjemahan
Dengan menyebut nama Alloh, Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang
Segala puji bagi Alloh, tuhan semesta alam
Hanya kepadaNya kita meminta pertolongan atas perkara – perkara yang berkaitan dengan dunia dan perkara – perkara yang berkaitan dengan agama
Sholawat serta salam semoga snantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Muhammad, penutup para nabi, dan juga bagi keluarga dan para sahabat semuanya
Tiada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Alloh yang maha luhur dan maha agung.

[Pasal] Rukun Islam itu ada 5 : 
1. Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Alloh
2. Mendirikan (mengerjakan) sholat   
3. Membayar zakat  
4. Berpuasa pada bulan romadhon
5. Berhaji ke baitulloh bagi yang sudah mampu menunaikannya

[Pasal] Rukun Iman itu ada 6 :
1. Beriman kepada Alloh
2. Beriman malaikat - malaikat Allah
3. Beriman kepada kitab - kitab Alloh  
4. Beriman kepada utusan - utusan Alloh   
5. Beriman kepada hari akhir (hari kiamat)  
6. Beriman kepada takdir baik dan takdir buruk, yang keduanya dating dari Alloh

[Pasal] Arti dari kalimat “Laa Ilaaha Illalloh” adalah bahwa secara nyata, tak ada yang berhak untuk disembah kecuali Alloh.


Kajian Kitab : “Safinatun Najah Fi ma Yajibu `alal Abdi Ii Maulah"
Karya : Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromi
Oleh : Siroj Munir

[1] [2] [3] [4] [5]